PENDIDIKAN PKN DI SD
WILA AMITA
NIM. 856209504
UNIVERSITAS TERBUKA
2020
1. Apa hubungan hokum dan HAM
Ham dan Hukum bagaikan mata uang yang memiliki dua sisi yang tidak dapat
dipisahkan. Hukum sebagai batasan batasan dan sbg pengawal ham yang dapat
merealisikan perwujuadan keadilan dari ham. Hukum sebagai alat yang mengatur ham
untuk mendapatkan hak yang sama dan ham harus dipertahankan. Karena ciri negara
kita ialah negara hukum yang menjamin adanya hukum dengan tujuan untuk
melindungi hak asasi warganegaranya.
Hubungan hukum dan ham ini sangat berkaitan karena segala perilaku kehidupan
manusia disuatu negara selalu berdasarkan kepada hukum tersebut.
Semua hak itu diatur oleh hukum dengan pembuktian bahwa hukum mengatur segala
hal sebagai contoh pembuktiannya adalah uu dan instrumen peradilan HAM. Hukum
mengatur dari yang terkecil hingga hal terkompleks. Hukum melindungi ham. Hukum
tanpa hak tidak ada gunanya dan Ham tanpa hukum sia-sia.
Bagaimana kalau negara tidak ada hukum? Atau ada hukum namun tidak ada
keadilan? Ketika pelanggaran dibarkan begitu saja,apa yang terjadi? Pelakunya tudak
diberikan teguran/sanksi lainnya setiap orang akan berbuat seenaknya atau
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya sehingga keamanan ,ketentraman
dan ketertuban sulit terwujud.
Fungsi dari hukum sendiri yaitu memberikan perlindungan kepada manusia dalam
memenuhi berbagai macam keentingannya dengan syarat manusia juga harus
melindungi kepentingan orang lain. Selain adanya hukum kita juga berhak mendapatkan
perlindungan dari pemerintah.Pada hakikatnya setiap orang berhak mendapatkan
perlindungan dari hukum sebagai contoh perlindungan diberikan kepada tersangka
sebagai pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum.
Alinea pertama : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaandanperikeadilan.” Makna yang terkandung dalam Alinea
pertama ini adalah menunjukkan keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia
menghadapai masalah kemerdekaan melawan penjajah. Alinea ini mengungkapkan
suatu dalil obyektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan, dan oleh karenanya harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di
dunia ini dapat menjalankan hak kemerdekaannya sebagai hak asasinya.
Nilai-nilai itulah yang selalu menjiwai segenap bangsa Indonesia dan terus
berusahauntukmewujudkannya. Alinea ini mewujudkan adanya ketetapan dan
ketajaman penilaian:
1. Bahwa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai pada
tingkat yang menentukan;
2. Bahwa momentum yang telah dicapai tersebut harus dimanfaatkan untuk
menyatakan kemerdekaan;
3. Bahwa kemerdekaan tersebut bukan merupakan tujuan akhir tetapi masih
harus diisi dengan mewujudkan Negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil,
dan makmur.
Alinea ketiga, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”Kalimat tersebut
bukan saja menegaskan apa yang menjadi motivasi nyata dan materiil bangsa Indonesia,
untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi keyakinan motivasi
spiritualnya, bahwa maksud dan tindakan menyatakan kemerdekaan itu diberkati oleh
Allah Yang Maha Kuasa.
Alinea ini merumuskan dengan padat sekali tujuan dan prinsip-prinsip dasar, untuk
mencapai tujuan bangsa Indonesia setelah menyatakan dirinya merdeka. Tujuan
nasional negara Indonesia dirumuskan dengan "... Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kebidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial" Sedangkan prinsip dasar yang dipegang teguh untuk mencapai tujuan
itu adalah dengan menyusun kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang
Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan PancasiIa.
Dengan rumusan yang panjang dan padat ini, alinea keempat Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 sekaligus menegaskan:
1. Negara Indonesia mempunyai fungsi yang sekaligus menjadi tujuannya
yaitu:melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkankemerdekaan,perdamaianabadi,dankeadilansosial.
2. Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan rakyat;
3. Negara Indonesia mempunyai dasar falsafah Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Jelaskan perbedaan UUD 1945 sebelum dan sesudah di mandemen yang berhubungan
dengan perlindungan HAM
Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia
semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang
selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan
telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA.
Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain,
hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak
banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM
dalam konstitusinya.
Rujukan Dasar
Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan
tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-
bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan
dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945.
Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini
bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat
mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa
seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya
dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi
manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup
dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD
1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara
Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische
interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I
UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan
pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang
juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup,
yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms,
everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the
purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others
and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in
a democratic society.”
Konstitusionalisme Indonesia
Dalam perkara yang sama, Mahkamah menilai bahwa apabila kita melihat dari
sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam
konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan,
Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya
kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam
hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu
undang-undang.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap
pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun
dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah
satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
2. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak
dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan
undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang
diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan
kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang
lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan
kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;
3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar
Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang
diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan
undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak
boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan
dalam suatu masyarakat yang demokratis”;
4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham
konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni
melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas;
1. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak
Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur
budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam
Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap
orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”,namun dalam
Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk
hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”;
2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam
Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9
UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam
hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan
putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai
pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang
diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-
undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan
kepentingan bangsa”.
Selain itu, putusan Mahkamah yang dapat kita jadikan rujukan mengenai
pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004
mengenai pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut
dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares
Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah
hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut
berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan
bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2),
sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah
bersifat mutlak.
Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang
termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun”dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di
luar dari Pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk
berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat
pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-
pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Di saat rezim Orde Baru di bawah Soeharto berkuasa, konsepsi jaminan hak
asasi manusia dalam UUD 1945 justru sama sekali tidak diimplementasikan.
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dikebiri atas nama stabilisasi politik dan ekonomi, dan hal tersebut jelas nampak
dalam sejumlah kasus seperti pemberangusan simpatisan PKI di tahun 1965-1967 ,
peristiwa Priok dan penahanan serta penculikan aktivis partai pasca kudatuli.
Sementara penyingkiran hak-hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan terlihat menyolok dalam kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah,
pengusiran warga Kedungombo, dan pembunuhan 4 petani di waduk Nipah Sampang.
Praktis, pelajaran berharga di masa itu, meskipun jaminan hak asasi manusia telah
diatur jelas dalam konstitusi, tidak sertamerta di tengah rezim militer otoritarian akan
mengimplementasikannya seiring dengan teks-teks konstitusional untuk melindungi
hak-hak asasi manusia.
Setelah situasi tekanan politik ekonomi yang panjang selama lebih dari 30 tahun,
desakan untuk memberikan jaminan hak asasi manusia pasca Soeharto justru
diakomodasi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut nyatanya cukup
memberikan pengaruh pada konstruksi pasal-pasal dalam amandemen UUD 1945,
terutama pada perubahan kedua (disahkan pada 18 Agustus 2000) yang memasukkan
jauh lebih banyak dan lengkap pasal-pasal tentang hak asasi manusia. Bandingkan saja
kesamaan substansi antara UUD 1945 dengan UU Nomor 39 Tahun 1999
Dengan pasal-pasal hak asasi manusia yang diperlihatkan di atas, maka terpetakan
bahwa: (i) Pasal-pasalnya menyebar, tidak hanya di dalam Bab XIA tentang Hak Asasi
Manusia. Sejumlah pasal tentang hak asasi manusia terlihat pula di luar Bab XIA
(terdapat 8 substansi hak); (ii) UUD 1945 pasca amandemen telah mengadopsi jauh
lebih banyak dan lengkap dibandingkan sebelumnya, baik menyangkut hak-hak sipil dan
politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; (iii) Banyak sekali ditemukan
kesamaan substantif sejumlah pasal-pasal hak asasi manusia, baik di dalam maupun di
luar Bab XIA, sehingga secara konseptual tumpang tindih, repetitif dan tidak ramping
pengaturannya. Misalnya, hak untuk beragama maupun berkepercayaan diatur dalam
tiga pasal, yakni pasal 28E ayat (2), pasal 28I ayat (1), dan pasal 29.
Konsep derogasi haruslah spesifik, atau diterapkan dalam kondisi tertentu yang
sifatnya darurat dan tidak semua hak bisa dibatasi atau dikurangi, karena ada sejumlah
hak-hak yang sifatnya “non-derogable rights” (hak-hak yang tidak bisa sama sekali
dibatasi atau dikurangi), seperti hak hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan dan
perbudakan.
Secara konseptual, perbaikan terhadap pasal-pasal yang menyangkut hak-hak asasi
manusia adalah membongkar dan menata ulang berbasiskan pada substansi yang tegas
penormaan dan rumusannya, dan menghapus pasal-pasal repetitif nan tumpang tindih.
Sedangkan menyangkut tanggung jawab hak asasi manusia, perubahan UUD 1945 perlu
pula mengatur secara tegas dan progresif tanggung jawab utama negara, dalam hal ini
pemerintah, untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia.