Dafpus Edem Pulmo
Dafpus Edem Pulmo
TINJAUAN PUSTAKA
Paru-paru adalah organ pada sistem pernapasan (respirasi) dan berhubungan dengan
sistem peredaran darah (sirkulasi). Paru-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan
elastis, berbentuk kerucut atau konus, terletak dalam rongga toraks dan di atas diafragma,
diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) yang
tumpul di kranial dan basis (dasar) yang melekuk mengikuti lengkung diphragma di kaudal.
Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2 lobus. Lobus pada paru-
paru kanan adalah lobus superius, lobus medius, dan lobus inferius. Lobus medius/lobus
inferius dibatasi fissura horizontalis; lobus inferius dan medius dipisahkan fissura oblique.
Lobus pada paru-paru kiri adalah lobus superius dan lobus inferius yg dipisahkan oleh
fissura oblique.1,2
Organ paru-paru memiliki tube bronkial atau bronchi, yang bercabang-cabang dan
ujungnya merupakan alveoli, yakni kantung-kantung kecil yang dikelilingi kapiler yang
berisi darah. Di sini oksigen dari udara berdifusi ke dalam darah, dan kemudian dibawa oleh
hemoglobin. Darah terdeoksigenisasi dari jantung mencapai paru-paru melalui arteri paru-
paru dan, setelah dioksigenisasi, beredar kembali melalui vena paru-paru.1,2
Gambar 1. Anatomi
paru
2.2 Definisi
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di paru-paru
(ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam paru-paru yang
menyebabkan seseorang sulit untuk bernafas.3,4
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh
tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya
ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek
tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya
gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali
untuk menetapkan factor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai
pedoman pengobatan.5
2.4 Patogenesis
Protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan
sebagian kapiler paru.3 Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau
integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang Terdapat dua mekanisme
terjadinya edema paru:
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal
terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial.7
Dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah tekanan
hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis adalah tekanan
hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog cairan ke kapiler; dan I
adalah koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding kapiler dalam
mencegah filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic koloid plasma, yang
cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua adalah tekanan osmotic koloid
dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar dari kepiler.7,8
b. Sistem limfatik
Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk merima larutan, koloid dan cairan balik
dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negative di daerah interstisial
peribronkial dan perivascular dan dengan peningkatan kemampuan dari interstisium non
alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan
memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe
terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien
dengan berat badan 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira
20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam
pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan di atrium
kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan
untuk mentransportasi filtrate kapiler dalam jumlah yang lebih besar sehingga dapat
mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensinya terjadi edema
interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.9
2.5 Diagnosis
Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak
(EPNK)10
EPK EPNK
Anamnesis
Nadi kuat
Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran tersebut
adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau kerley lines,
peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa interlobar biasanya tidak
terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika terdapat akumulasi cairan di daerah
tersebut.5,6
Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika jaringan
ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya sekitar 6 cm dari hilus
dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B, garis ini biasanya disebut sebagai septal
lines, garis ini akan muncul biasanya di basis paru atau di sekitar sudut costofrenikus.
Panjang garis horizontal ini 1-2 cm dengan tebal hanya 1 mm. Kerley lines C merupakan
Kerley lines B en face, merupakan opasitas reticular pada basis paru. Kerley lines D,
merupakan garis yang sama dengan Kerley lines B, dan akan terlihat hanya pada lateral
chest radiograph. Peribronchial cuffing adalah penebalan dinding bronkus dan terlihat
seperti ringlike density. Peribronchial cuffing terjadi ketika terdapatnnya akumulasi cairan
di jaringan ikat sekitar dinding bronkus. Peribronchial cuffing bentuknya ringerlike, kecil,
multiple, seperti donat.6
Gambar 5. [Gambar Kiri] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala panah
putih), Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Kanan] Peribronchial cuffing,
pleural effusion.9
Gambar 7.
Gambaran CT-scan
pada pasien
laki-laki 53 tahun,
dengan edema
Gambar 8. Bat wing edema pada pasien wanita, 77 tahun dengan kelebihan cairan
dan gagal jantung. Pada gambaran foto thorax dada (3.a) dan gambaran CT-scan
(3.b) menunjukkan adanya wing alveolar edema yang distribusinya sentral dan
sparing dari konteks paru. Infiltrat pada pasien ini berkurang setelah 32 jam
menjalani pengobatan.
Gambar 9. Edema paru asimetris pada pasien laki-laki 70 tahun, dengan end-stage
fibrosis dan emfisema bulosa dikarenakan asbestosis dengan gagal jantung. Pada
gambaran radiografi didapatkan infiltrat edema paru predominan pada basis paru
karena aliran darah paru mengalir ke bagian ini dari bula lobus bagian atas.
Gambar 10. Edema paru asimetris pada pasien pria dengan chronic obstructive
pulmonary disease. Pada gambar 5.a yang merupakan parenkim paru dan gambar
5.b yang merupakan gambaran mediastinum menunjukkan edema dengan gambaran
diffuse ground-glass attentuation dengan gradien anteroposterior. Cairan yang
memenuhi bula subpleura paling jelas terlihat pada gambar 5.b di bagian kiri bawah.
Gambar 12. Gambaran foto thorax dan CT scan setelah 3 jam kejadian, menunjukkan
adanya penurunan edema paru.
Gambar 13. Edema paru neurogenik pada pasien wantia berumur 54 tahun dengan
perdarahan intrakranial karena hipertensi arteri. Gambar a. menunjukkan foto
rontgen thorax dengan gambaran konsolidasi yang predominan pada daerah apices.
Tanpa disertai efusi pleura, Kerley lines, maupun ukuran jantung yang abnormal.
Gambar b. menunjukkan CT scan dengan gambaran konsolidasi alveolar pada sentral
paru, dan penebalan septum interlobus (tanda panah hitam).
2.7 Penatalaksanaan5,10,12
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari penyakit yang
mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat penting dalam
pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya.5
Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab diketahui, maka
pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah mempertahankan fungsi
fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara memperbaiki jalan napas, ventilasi yang
adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu
ditinjau, infus juga perlu dipasang.5
1. Posisi ½ duduk.5
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.12
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan
tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1
ml/kgBB/jam.12
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 –
10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka
dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak
memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan
klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital 10.
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).10
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.12
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.12
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.12
DAFTAR PUSTAKA
1. Derrickson, B., Tortora, Gerard J., 2009. Principles of Anatomy and Physiology. John
Wilay & Sons, United States of America.
2. Hall, Guyton &. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Peerbit Buku
Kedokteran EGC, 2007.
3. Sudoyo, 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Penerbit FK UI.
4. Nadel M, Boushey M, Textbook of respiratory medicine. 3 rd edition, vol. 2, Philadelphia,
Pennsylvania. 54:1575-1614.
5. Staub NC: Pulmonary edema. Physiol Rev 54:678-811.
6. Gluecker, T., Capasso, P., Schnyder, P., Guidinchet, F., Schaller, M.D., Revelly, Jean P.,
Chiolero, R., Vock, P., Wicky, S.. Clinical and Radiologic Features of Pulmonary Edema.
Scientific Exhibit. 19, 1507-1531.
7. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume one, United States,
593-617, 2008.
8. Sovari, A., Henry H., 2012. Cardiogenic Pulmonary Edema Clinical Presentation.
http://emedicine.medscape.com/article/157452-clinical.
9. Cinteza, M., Margulescu, A.D., Darabont, Roxana O., 2007. Acute Cardiogenic
Pulmonary Edema – an Important Clinical Entitiy with Mechanisms on Debate. A
Journal of Clinical Medicine. 2;1, 56-64Clein, Lawrence J., 2008. Walsh: Palliative
Medicine. Saunders An Imprint of Elsevier: United States of America
10. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-cardiogenic. In:
Han Disease. Textbook of Cardiovascular Medicine.Braunwald E. (Ed). 3rd ed.
Philadelphia : WB Saunders Co. 544-60
11. Glaus, T., Schellenberg, S., Lang, J., 2010. Cardiogenic and Non Cardiogenic Pulmonary
Edema: Pathomechanisms and Causes. Schweiz Arch Tierheilkd, 152:7, 311-317.
12. Klein HO, Brodsky E, Ninio R, et al; The effect of venous occlusion with tourniquets on
peripheral blood pooling and ventricular function. Chest 103:521-527, 1993.