Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Paru

Paru-paru adalah organ pada sistem pernapasan (respirasi) dan berhubungan dengan
sistem peredaran darah (sirkulasi). Paru-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan
elastis, berbentuk kerucut atau konus, terletak dalam rongga toraks dan di atas diafragma,
diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) yang
tumpul di kranial dan basis (dasar) yang melekuk mengikuti lengkung diphragma di kaudal.
Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2 lobus. Lobus pada paru-
paru kanan adalah lobus superius, lobus medius, dan lobus inferius. Lobus medius/lobus
inferius dibatasi fissura horizontalis; lobus inferius dan medius dipisahkan fissura oblique.
Lobus pada paru-paru kiri adalah lobus superius dan lobus inferius yg dipisahkan oleh
fissura oblique.1,2

Organ paru-paru memiliki tube bronkial atau bronchi, yang bercabang-cabang dan
ujungnya merupakan alveoli, yakni kantung-kantung kecil yang dikelilingi kapiler yang
berisi darah. Di sini oksigen dari udara berdifusi ke dalam darah, dan kemudian dibawa oleh
hemoglobin. Darah terdeoksigenisasi dari jantung mencapai paru-paru melalui arteri paru-
paru dan, setelah dioksigenisasi, beredar kembali melalui vena paru-paru.1,2

Gambar 1. Anatomi
paru

2.2 Definisi

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di paru-paru
(ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam paru-paru yang
menyebabkan seseorang sulit untuk bernafas.3,4

Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh
tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya
ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek
tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya
gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali
untuk menetapkan factor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai
pedoman pengobatan.5

Gambar 2. Edema Paru


2.3 Klasifikasi dan Etiologi

Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya diklasifikasikan menjadi


edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Edema paru kardiogenik biasanya
disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif yang akhirnya menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik di kapiler paru. Sedangkan edema paru non-kardiogenik dikatagorikan
berdasarkan kondisi yang mendasarinya. Edema paru non-kardiogenik diklasifikasikan
menjadi tekanan rendah alveolus, peningkatan permeabilitas alveolus, atau edema
neurogenik. Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena obstruksi
saluran nafas atas seperti paralisis laring, penyebab peningkatan permeabilitas adalah
leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema neurogenik disebabkan oleh epilepsy, trauma
otak, maupun elektrolusi.6,7

Gambar 3. Klasifikasi Edema Paru

2.4 Patogenesis
Protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan
sebagian kapiler paru.3 Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau
integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang Terdapat dua mekanisme
terjadinya edema paru:

a. Membran kapiler alveoli

Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal
terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial.7

Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada


sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.7

Q = K (Pcap – Pis) – I (Pcap – Pis)

Dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah tekanan
hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis adalah tekanan
hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog cairan ke kapiler; dan I
adalah koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding kapiler dalam
mencegah filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic koloid plasma, yang
cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua adalah tekanan osmotic koloid
dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar dari kepiler.7,8

Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada Peningkatan


tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral);
Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri;
Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteri
pulmonalis.8

b. Sistem limfatik
Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk merima larutan, koloid dan cairan balik
dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negative di daerah interstisial
peribronkial dan perivascular dan dengan peningkatan kemampuan dari interstisium non
alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan
memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe
terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien
dengan berat badan 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira
20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam
pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan di atrium
kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan
untuk mentransportasi filtrate kapiler dalam jumlah yang lebih besar sehingga dapat
mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensinya terjadi edema
interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.9

2.5 Diagnosis
Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak
(EPNK)10
EPK EPNK
Anamnesis

Acute cardiac event (+) Jarang


Penemuan Klinis

Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow meter)

Nadi kuat

S3 gallop/kardiomegali (+) (-)

JVP Meningkat Tak meningkat

Ronki Basah Kering

Tanda penyakit dasar


Laboratorium

EKG Iskemia/infark Biasanya normal

Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer

ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal

PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg


Sedikit
Shunt intra pulmoner Hebat
< 0.5

Protein cairan edema > 0.7


JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure

2.6 Gambaran Radiologi

Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran tersebut
adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau kerley lines,
peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa interlobar biasanya tidak
terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika terdapat akumulasi cairan di daerah
tersebut.5,6

Gambar 4. Anatomi Interstitium Paru

Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika jaringan
ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya sekitar 6 cm dari hilus
dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B, garis ini biasanya disebut sebagai septal
lines, garis ini akan muncul biasanya di basis paru atau di sekitar sudut costofrenikus.
Panjang garis horizontal ini 1-2 cm dengan tebal hanya 1 mm. Kerley lines C merupakan
Kerley lines B en face, merupakan opasitas reticular pada basis paru. Kerley lines D,
merupakan garis yang sama dengan Kerley lines B, dan akan terlihat hanya pada lateral
chest radiograph. Peribronchial cuffing adalah penebalan dinding bronkus dan terlihat
seperti ringlike density. Peribronchial cuffing terjadi ketika terdapatnnya akumulasi cairan
di jaringan ikat sekitar dinding bronkus. Peribronchial cuffing bentuknya ringerlike, kecil,
multiple, seperti donat.6
Gambar 5. [Gambar Kiri] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala panah
putih), Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Kanan] Peribronchial cuffing,
pleural effusion.9

Tabel 2 Perbedaan gambaran radiologis CPE dan non CPE11

2.6.1 Edema karena Peningkatan Tekanan Hidrostatik


Terdapat dua stadium patofisiologi dan radiologi pada perkembangan tekanan
edema, yaitu stadium edema interstiial dan edema alveolar. Kedua stadium ini identik
pada gagal jantung kiri dan kelebihan cairan intravaskuler. Keduanya sering dijumpai
pada pasien dengan edema tekanan di ICU maupun IGD. Intensitas dan durasi dari
kedua stadium ini tergantung dari peningkatan tekanan yang terjadi, yaitu tergantung
dari rasio tekanan hidrostatik dan onkotik.9
Gambar 6. Gambaran foto thorax pada pasien laki-laki, 33 tahun dengan edema
peningkatan tekanan hidrostatik karena akut mikolitik leukemia yang datang
dengan kelebihan cairan karena gagal ginjal dan gagal jantung. Panah hitam pada
gambar b menunjukkan adanya pelebaran progresif pembuluh darah lobus
(peribronchial cuffing), panah putih gambar c menunjukkan adanya bilateral kerley
lines, dan juga terdapat area noduler dengan peningkatan opasitas. Kelebihan cairan
dapat dikonfirmasi dari pertambahan ukuran dari vena zygos.9

Gambar 7.
Gambaran CT-scan
pada pasien
laki-laki 53 tahun,
dengan edema

peningkatan tekanan hidrostatik. Didapatkan adanya peribronchial cuffing (panah


hitam) pada bagian anterior paru kiri. Kedua paru terlihat adanya ground-glass
area.

2.6.2. Bat Wing Edema


Bat wing edema mengarah pada distribusi edema alveolar di bagian sentral dan
dengan distribusi non-gravitasional. Gambaran radiologis ini biasanya terdapat pada
10% kasus edema paru, dan secara keseluruhan terjadi pada kasus perkembangan
cepat gagal jantung berat seperti pada insufisiensi katub mitral akut (yang
berhubungan dengan rupturnya otot papilar, infark miokard masif, dan destruksi
katub seperti pada endokarditis septik) atau pada kasus gagal ginjal. Pada kasus bat
wing edema, korteks paru bersih dari cairan alveolar ataupun interstitial. Kondisi
patologis ini berkembang secara cepat yang ditandai secara radiologis dengan
infiltrat alveolus, dan gambaran tipikal edem pulmo jarang ditemukan.9

Gambar 8. Bat wing edema pada pasien wanita, 77 tahun dengan kelebihan cairan
dan gagal jantung. Pada gambaran foto thorax dada (3.a) dan gambaran CT-scan
(3.b) menunjukkan adanya wing alveolar edema yang distribusinya sentral dan
sparing dari konteks paru. Infiltrat pada pasien ini berkurang setelah 32 jam
menjalani pengobatan.

2.6.3 Distribusi Asimetris dari Edema Peningkatan Tekanan


Penyebab tersering terjadinya distribusi asimetris dari edema tekanan adalah
perubahan morfologi dari parenkim paru pada kasus penyakit paru obstruksi kronis.
Selain itu, pada kasus gagal jantung, emfisema pada apices atau gambaran destruksi
dan fibrosis pada bagian paru bagian atas dan tengah (sering ditemukan pada kasus
end-stage tuberculosis, sarcoidosis, atau asbestosis) akan terlihat pada kasus edema
paru yang
predominan pada bagian yang kurang berpengaruh pada proses penyakit ini.5,6

Gambar 9. Edema paru asimetris pada pasien laki-laki 70 tahun, dengan end-stage
fibrosis dan emfisema bulosa dikarenakan asbestosis dengan gagal jantung. Pada
gambaran radiografi didapatkan infiltrat edema paru predominan pada basis paru
karena aliran darah paru mengalir ke bagian ini dari bula lobus bagian atas.
Gambar 10. Edema paru asimetris pada pasien pria dengan chronic obstructive
pulmonary disease. Pada gambar 5.a yang merupakan parenkim paru dan gambar
5.b yang merupakan gambaran mediastinum menunjukkan edema dengan gambaran
diffuse ground-glass attentuation dengan gradien anteroposterior. Cairan yang
memenuhi bula subpleura paling jelas terlihat pada gambar 5.b di bagian kiri bawah.

2.6.4 Near Drowning Pulmonary Edema


Near drowning didefinisikan sebagai asfiksiasi yang diakibatkan karena
inhalasi air dan masih bertahan hidup sampai minimal 24 jam setelahnya. Terdapat
tiga stadium pada kasus ini. Stadium pertama adalah laringospasme akut yang
diakibatkan karena inhalasi air
yang sedikit (dry drowning). Gambaran
radiologis yang dapat terlihat adalah
kerley lines, peribronchial cuffing,
patchy, konsolidasi alveolar
perihilar. Gambaran tersebut
akan hilang setelah 24 sampai 48
jam dilakukan terapi. Pada stadium
kedua, masih terdapat
laringospasme pada korban, dan sebagian air akan ditelan ke perut. Pada stadium
ketiga, 10-15% pasien masih menampakkan gejala dry drowning dikarenakan
laringospasme yang persisten, sedangkan sisanya sekitar 90% pasien, laringospasme
yang terjadi akan mulai berelaksasi karena hipoksia dan aspirasi air dalam jumlah
yang cukup banyak. Pada kasus seperti ini, lesi di paru tidak lagi berhubungan
dengan edema tekanan, namun lebih karena hipoksia yang dapat menyebabkan
pengeluaran sitokin, dan akhirnya terjadi edema permeabilitas. Gambaran radiologis
pada stadium dua dan tiga biasanya tidak spesifik. Bisa didapatkan gambaran ill-
defiined lessions dan konsolidasi ruang udara lobus. Besarnya lesi tergantung dari
volume air yang dihirup dan durasi dari hipoksia, maupun jenis air yang terhirup (air
garam atau air segar).9
Gambar 11. Gambaran edema paru pada anak berumur 5 tahun yang hampir
tenggelam 1 jam sebelum dibawa ke rumah sakit. Terdapat pembesaran jantung,
diffuse confluent alveolar patterns of pulmonary edema, dan peribronchial cuffing.
Gambaran cortikal paru bersih dari edema interstitial, hal ini mengindikasikan edema
berasal dari kerusakan alveolar langsung dari inhalasi air atau edema karena
laringospasme dibandingkan dengan edema karena hipoksia.

Gambar 12. Gambaran foto thorax dan CT scan setelah 3 jam kejadian, menunjukkan
adanya penurunan edema paru.

2.6.5 Edema Paru Neurogenik


Edema paru neurogenik terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan gangguan
otak berat seperti pada trauma, perdarahan subaraknoid, stroke, maupun status
epileptikus. Diagnosis dari edema paru neurogenik dibuat menggunakan metode
eksklusi. Penyebabnya masih kontroversional, beberapa mengemukakan kombinasi
antara faktor yang mempengaruhi edema hidrostatik dan faktor yang mempengaruhi
edema permeabilitas tanpa DAD. Gejala dari edema paru neurogenik ini
diantaranya adalah dispneu, takipneu, dan sianosis yang terjadi setelah adanya
gangguan pada otak. Gejala dan tanda ini akan berkurang secara cepat pada
kebanyakan kasus. Gambaran radiografi pada kasus ini adalah adanya bilateral,
homogen konsolidasi, dengan predominasi apices pada 50% kasus. Gambaran
radiologi ini biasanya menghilang setelah 1-2 hari.11

Gambar 13. Edema paru neurogenik pada pasien wantia berumur 54 tahun dengan
perdarahan intrakranial karena hipertensi arteri. Gambar a. menunjukkan foto
rontgen thorax dengan gambaran konsolidasi yang predominan pada daerah apices.
Tanpa disertai efusi pleura, Kerley lines, maupun ukuran jantung yang abnormal.
Gambar b. menunjukkan CT scan dengan gambaran konsolidasi alveolar pada sentral
paru, dan penebalan septum interlobus (tanda panah hitam).

2.7 Penatalaksanaan5,10,12
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari penyakit yang
mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat penting dalam
pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya.5
Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab diketahui, maka
pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah mempertahankan fungsi
fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara memperbaiki jalan napas, ventilasi yang
adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu
ditinjau, infus juga perlu dipasang.5
1. Posisi ½ duduk.5
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.12
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan
tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1
ml/kgBB/jam.12
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 –
10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka
dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak
memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan
klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital 10.
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).10
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.12
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.12
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.12
DAFTAR PUSTAKA

1. Derrickson, B., Tortora, Gerard J., 2009. Principles of Anatomy and Physiology. John
Wilay & Sons, United States of America.

2. Hall, Guyton &. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Peerbit Buku
Kedokteran EGC, 2007.
3. Sudoyo, 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Penerbit FK UI.
4. Nadel M, Boushey M, Textbook of respiratory medicine. 3 rd edition, vol. 2, Philadelphia,
Pennsylvania. 54:1575-1614.
5. Staub NC: Pulmonary edema. Physiol Rev 54:678-811.
6. Gluecker, T., Capasso, P., Schnyder, P., Guidinchet, F., Schaller, M.D., Revelly, Jean P.,
Chiolero, R., Vock, P., Wicky, S.. Clinical and Radiologic Features of Pulmonary Edema.
Scientific Exhibit. 19, 1507-1531.
7. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume one, United States,
593-617, 2008.
8. Sovari, A., Henry H., 2012. Cardiogenic Pulmonary Edema Clinical Presentation.
http://emedicine.medscape.com/article/157452-clinical.
9. Cinteza, M., Margulescu, A.D., Darabont, Roxana O., 2007. Acute Cardiogenic
Pulmonary Edema – an Important Clinical Entitiy with Mechanisms on Debate. A
Journal of Clinical Medicine. 2;1, 56-64Clein, Lawrence J., 2008. Walsh: Palliative
Medicine. Saunders An Imprint of Elsevier: United States of America
10. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-cardiogenic. In:
Han Disease. Textbook of Cardiovascular Medicine.Braunwald E. (Ed). 3rd ed.
Philadelphia : WB Saunders Co. 544-60
11. Glaus, T., Schellenberg, S., Lang, J., 2010. Cardiogenic and Non Cardiogenic Pulmonary
Edema: Pathomechanisms and Causes. Schweiz Arch Tierheilkd, 152:7, 311-317.
12. Klein HO, Brodsky E, Ninio R, et al; The effect of venous occlusion with tourniquets on
peripheral blood pooling and ventricular function. Chest 103:521-527, 1993.

Anda mungkin juga menyukai