Anda di halaman 1dari 12

A.

Inflamasi Akut (Radang Akut)

Respon radang akut ialah terkumpul leukosit dan protein plasma di tempat
jejas. Sampai ditempat tersebut leukosit akan memusnahkan agen penyebab dan
memulai proses pencernaan dan pembersihan jaringan nekrotik. Radang akut
mempunyai dua komponen utama :

a. Pembuluh vaskular: perubahan pada rongga kapiler pembuluh yang


mengakibatkan pertambahan aliran darah (vasodilatasi) dan perubahan pada
dinding pembuluh yang memungkinkan protein plasma keluar dari pembuluh
darah (peningkatan permeabilitas vaskular). Juga terjadi pengaktifan sel endotel
yang menyebabkan perlekatan leukosit meningkat dan migrasi leukosit melalui
dinding pembuluh.
b. Akibat pada sel : terjadi emigrasi leukosit keluar dari sirkulasi dan akumulasi di
tempat cedera (pengumpulan sel), diikuti oleh pengaktifan leukosit, untuk
mengeliminasi agen yang merugikan. Leukosit utama pada radang akut ialah
neutrofil (leukosit polimorfonukleus). (Kumar, Vinay.2010).

Stimulus Radang Akut

Reaksi radang akut dapat dipicu oleh berbagai stimulus:

a. Infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit) merupakan penyebab radang tersering dan
terpenting dalam klinis.
b. Trauma (tumpul atau tajam) dan berbagai agen fisis dan kimia (misalnya jejas
termal, seperti luka bakar atau luka pembekuan; radiasi; toksisitas akibat
pengaruh kimia lingkungan) akan mencederai sel tubuh dan memicu reaksi
radang.
c. Nekrosis jaringan (akibat semua sebab), termasuk iskemia (seperti pada infark
miokardium) dan jejas fisis dan kimia.
d. Benda asing (serpihan, kotoran, jahitan, deposit kristal).
e. Reaksi imun (juga disebut reaksi hipersensitif) terhadap substansi lingkungan
atau terhadap jaringan”sendiri". Karena stimulus untuk respons radang ini tidak
dapat dieliminasi atau dicegah, maka reaksi itu cenderung menetap, dengan
gambaran reaksi radang kronik. Istilah “penyakit radang akibat reaksi imun”
dipergunakan untuk kelompok kelainan ini.

Walaupun setiap stimulus menginduksi reaksi dengan gambaran tertentu,


namun pada umumnya semua reaksi radang memberikan gambaran dasar yang sama.
(Kumar, Vinay.2010).

Gambar Reaksi Vaskular dan selular radang akut ( Kumar, Vinay.2010)

Pengenalan Mikroba, Sel Nekrotik, dan Benda Asing

Pertanyaan dasar berkaitan dengan aktivasi respons tubuh ialah bagaimana sel
itu mengenali agen yang dapat merugikan seperti mikroba di dalam jaringan.
Diperkirakan bahwa mikroba dan sel mati mangeluarkan "sinyal bahaya” yang
membedakan mereka dari jaringan normal dan terjadi mobilisasi respons tubuh.
Sekarang diketahui bahwa fagosit, sel dendrit (sel pada jaringan ikat dan organ yang
menangkap mikroba dan memulai respons terhadapnya), dan banyak sel lain, seprti
sel epitel, mengekspresikan reseptor yang dibentuk untuk mampu merasakan
keberadaan patogen infektif dan substansi yang dikeluarkan oleh sel mati, Reseptor
tersebut disebut “reseptor pengenalan struktur" sebab reseptor itu mengenal struktur
(misalnya struktur molekul), yang umumnya dijumpai pada banyak mikroba atau sel
mati, dua kelompok reseptor ini yang terpenting ialah:

a. Toll-like receptor (TLR) merupakan sensor mikroba disebut kelompok Toll,


dijumpai pada Drosophila. Ada sepuluh TLR mamalia, yang mengenal produk
bakteria (misalnya endotoksin dan DNA bakteri), virus (rnisal RNA rantai
ganda), dan pathogen lainya. TLR terletak di membran plasma dan endosom,
sehingga dapat rnendeteksi mikroba ekstrasel dan yang telah dicerna. Mereka
dibantu oleh molekul sitoplasma dan molekul membran dari beberapa kelompok
lain, yang mampu mengenali produk mikroba. TLR dan reseptor lain mengenali
produk dari berbagai jenis mikroba sehingga membentuk pertahanan terhadap
semua jenis patogen infeksius. Pengenalan mikroba oleh reseptor ini
mengaktifkan faktor transkripsi yang memicu produksi sejumlah protein yang
disekresi dan protein membran. Termasuk protein tersebut ialah mediator
radang, sitokin antivirus (interferon) dan protein yang memicu aktivitas limfosit
dan respons imun yang lebih poten.
b. Inflammasome merupakan komplek multi-proteinsitoplasma yang rnengenali
produk sel mati, seperti asam urat dan ATP ekstrasel, juga kristal dan beberapa
produk mikroba, Terpicunya inflammusome akan mengakibatkan enzim
kaspase-1, yang akan memecah bentuk prekursor sitokin radang interleukin-15
(IL-15) menjadi bentuk biologis aktif. Seperti yang akan dibahas kemudian, IL-1
rnerupakan mediator penting untuk pengurnpulan leukosit pada respons radang
akut, dan leukosit akan melakukan fagositosis dan rnenghancurkan sel mati.
Penyakit sendi gout disebabkan oleh pengendapan kristal urat, yang akan dicerna
oleh fagosit dan mengaktifkan influnzrnasome, sehingga terbentuk produk IL-1
dan radang akut. Antagonis IL-1 merupakan terapi efektif pada kasus gout yang
resisten terhadap pengobatan dengan anti radang konvensional. Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa kristal kolesterol dan asam lemak bebas juga
mengaktifkan inflammasome, sehingga diperkirakan bahwa IL-1 memainkan
peran penting pada beberapa penyakit yang sering ditemukan misalnya
aterosklerosis (dihubungkan dengan pengendapan kristal kolesterol pada dinding
pembuluh darah) dan diabetes tipe 2. Penemuan ini memberi harapan untuk
pengobatan penyakit-penyakit ini dengan cara menghentikan IL-1. ( Kumar,
Vinay.2010).

Gambar sensor mikroba dan sel mati. ( Kumar, Vinay.2010)

Reaksi vaskular utama pada radang akut ialah peningkatan aliran darah yang
terjadi sekunder akibat dilatasi pembuluh dan peningkatan permeabilitas vaskular,
kedua hal dirancang untuk membawa sel darah dan protein menuju tempat infeksi
atau tempat jejas. Pada tahap awal, stimulus yang merugikan seperti mikroba
dihadapi oleh makrofag dan sel lain di jaringan ikat, kemudian akan diikuti reaksi
vaskular yang dipicu oleh interaksi ini dan akan mendominasi respons fase awal.
(Kumar, Vinay.2010).

Perubahan Rongga vaskular dan aliran darah. Perubahan pada pembuluh terjadi
segera setelah infeksi atau jejas namun kecepatan terjadinya berbeda, tergantung
pada jenis dan beratnya stimulus awal peradangan.
a. Setelah vasokontriksi sebentar (berlangsung hanya beberapa detik) terjadi
vasodilatasi arteriol, yang mengakibatkan peningkatan aliran darah setempat
sehingga pada bagian ujung daerah kapiler penuh berisi darah. Ekspansi vaskular
ini akan memberi warna merah (eritma) dan rasa panas merupakan tanda khas
radang akut, dan disebut sebagai dua tanda cardinal (utama) pada radang akut.
b. Pembuluh darah kecil menjadi lebih permeable, jaringan cairan kaya protein
akan mengalir keluar ke jaringan ekstravaskular. Hal ini mengakibatkan
peningkatan konsentrasi sel darah merah didalam darah yang mengalir sehingga
meningkatkan viskositas darah dan memperlambat aliran darah tampak secara
mikroskopik tampak banyak pembuluh darah kecil yang melebar dan berisi
penuh dengan sel darah merah dan disebut stasis.
c. Setelah timbulnya stasis, leukosit (terutama neutrophil ) mulai berkelompok
pada permukaan vaskular endotel pembuluh darah. Suatu proses yang disebut
marginasi. Hal ini merupakan langkah awal leukosit keluar ke jaringan
intestisium melalui dinding pembuluh darah. (Kumar, Vinay.2010).

Meningkatnya permeabilitas vaskular akan mengakibatkan aliran cairan kaya


protein dan juga sel darah merah ke jaringan ekstraselular. Hal ini akan
mengakibatkan tekanan osmotik cairan interstisium meningkat, dan menyebabkan
lebih banyak air keluar dari darah ke dalam jaringan. Hasil penimbunan cairan kaya
protein ini disebut eksudat. Eksudat dibedakan dari transudat, yang merupakan
penimbunan cairan yang disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik, biasanya
terjadi karena menurunnya aliran balik vena. Transudat biasanya mengandungi kadar
protein yang rendah dan sedikit atau tidak dijumpai sel darah. Akumulasi cairan
ekstravaskular baik eksudat maupun transudat akan mengakibatkan edema jaringan.
Apabila eksudat adalah tanda khas radang, transudat akan diakumulasi pada berbagai
keadaan bukan radang ( Kumar, Vinay.2010).

Beberapa mekanisme berperan pada peningkatan permeabilitas vaskular pada


reaksi radang akut:

a. Kontruksi sel endotel yung menyebabkan terbentuknya celah antar sal pada
venula post kapiler merupakan sebab tersering peningkatan permeabilitas
vascular. Kontraksi sel endotel terjadi segera setelah pengikatan dengan
histamin, bradikinin, leukotrin, dan banyak mediator lain untuk reseptor spesifik,
dan biasanya terjadi hanya sebentar (15 sampai 30 menit). Reaksi sel endotel
yang berlangsung lebih lambat dan lebih lama akibat perubahan sitoskeleton,
dipicu oleh sitokin misalnya faktor nekrosis tumor (TNF) dan interleukin-1 (IL-
1), dibutuhkan waktu 4 sarnpai 6 jam untuk menimbulkan reaksi ini setelah
adanya pemicu awal dan hal ini dapat berlangsung selarna 24 jam atau lebih.
b. Jejas endotel mengakibatkan kebocoran vaskular dengan nekrosis dan lepasnya
sel endotel. Sel endotel akan rusak setelah cedera berat, misalnya luka bakar dan
beberapa infeksi, umumnya, kebocoran terjadi segera setelah cedera dan
berlangsung beberapa jam (atau hari) hingga terjadi trombosis pada pembuluh
yang rusak tersebut atau terjadi pemulihan. Hal ini dapat terjadi pada semua
venula, kapiler, dan arteriol, tergantung pada letak jejas. Jejas langsung pada sel
endotel dapat pula mengakibatkan kebocoran yang tertunda, yang baru terjadi 2
sampai 12 jam kemudian,dan berlangsung selama beberapa jam hinggabeberapa
hari, dan melibatkan venula dan kapiler. Contoh ialah jejas panas ringan hingga
sedang, beberapa toksin bakteri, dan radiasi x atau ultraviolet (misalnya luka
bakar rnatahari yang menggangu saat rnalam setelah siangnya berjemur di
matahari), Sei endotel juga akan rusak sebagai akibat akumulasi leukosit
sepanjang dinding pembuluh. Leukosit yang teraktifkan akan mengeluarkan
mediator toksin, dibahas kemudian,yang dapat mengakibatkan jejas atau
lepasnya endotel,
c. Peningkatan transit protein melalui jalur vesikular intrasel akan rnenarnbah
perrneabilitas vena, terutama setelah berhadapan dengan beberapa mediator
misalnya faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF). Transit terjadi melalui
jalur yang terbentuk karena fusi vesikel intrasel.
d. Kebocoran pembuluh darah baru. Sesuai pembahasan lanjut, pemulihan jaringan
melibatkan pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis). Pembuluh darah
yang baru terjadi tetap mengalami kebocoran, sebelum proliferasi sel endotel
cukup matang sehingga terbentuk batas antar sel. Sel endotel baru juga
mempunyai ekspresi reseptor tambahan untuk mediator vasoaktif, dan beberapa
faktor tersebut akan memicu angiogenesis (misalnya VEGF) yang langsung
mengakibatkan peningkatan permeabilitas vascular. (Kumar, Vinay.2010).

Walaupun mekanisme permeabilitas vaskular terpisah, semua berpartisipasi


pada respons stimulus tertentu. Contoh, pada luka bakar, kebocoran terjadi karena
kontraksi endotel akibat zat kimia, juga akibat jejas langsung dan kerusakan endotel
yang dimediasi leukosit( Kumar, Vinay.2010).

Gambar
Pembentukan transkudat dan eksudat ( Kumar, Vinay.2010)

Akibat Radang Akut

Walaupun akibat radang akut bergantung pada jenis dan intensitas jejas, tempat
dan jaringan yang cedera, dan kemampuan tubuh untuk merespons, namun radang
akut umumnya akan menghasilkan satu dari tiga akibat dibawah ini :

a. Resolusi : Regenerasi dan Pemulihan Jaringan.


Apabila jejas terbatas dan berumur pendek, kerusakan jaringan minimal
atau tidak ada yang rusak, dan jaringan yang cedera mampu rnengadakan
regenerasi, maka hasil akhir biasanya struktur dan fungsi kembali normal.
Sebelum proses resolusi dapat dirnulai, respons radang akut harus dihentikan.
Kegiatan ini meliputi netralisasi, menghentikan perusakan, atau degradasi
enzimatik berbagai mediator kimia, normalisasi perrneabilitas vascular,
penghentian ernigrasi leukosit, dengan akibat kematian (melalui apoptosis)
neutrofil di luar pembuluh. Selanjutnya, leukosit akan mulai memproduksi
mediator yang mencegah radang, sehingga reaksi radang akan terbatas sampai
nekrosis, cairan edema, dan sel radang akan dibersihkan oleh fagosit dan aliran
limfe, mengurangi sisa-sisa akibat radang. Leukosit mensekresi sitokin yang
akan memulai proses pemulihan jaringan, dengan pembentukan pembuluh darah
baru di antara jaringan cedera untuk memberikan nutrisi, faktor pertumbuhan
menstimulasi proliferasi fibroblast dan pengisian defek dengan kolagen, dan sisa
sel jaringan akan berproliferasi untuk memulihkan integritas struktur.
b. Radang kronik dapat terjadi setelah radang akut apabila agen penyebab tidak
dapat atau bisa jugu dijurnpai pada awal timbulnya jejas (misalnya infeksi virus
atau respons imun terhadap antigen diri sendiri). Tergantung pada luas cedera
jaringan awal dan Ianjut, dan juga pada kernampuan jaringan yang terkena untuk
tumbuh kembali, radang kronik dapat diikuti dengan restorasi struktur dan fungsi
normal, atau menirnbulkan jaringan parut.
c. Jaringan parut merupakan jenis pemulihan akibat kerusakan jaringan yang cukup
besar atau apabila radang terjadi pada jaringan yang tidak dapat beregenerasi, di
mana jaringan cedera akan diisi jaringan ikat. Pada organ dimana dijumpai
deposisi luas jaringan ikat sebagai upaya untuk menghilangkan kerusakan atau
sebagai akibat radang kronik, hasil akhir ialah pembentukan fibrosis, suatu
proses yang dapat mengganggu fungsi secara signifikan. ( Kumar, Vinay.2010).

Gambar Hasil radang akut ( Kumar, Vinay.2010)


Hubungan mekanisme dengan cardinal inflamasi

Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau
kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung
(sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu

Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang


memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang
paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik
yang diakibatkan oleh kerusakan sel ( Kumar, Vinay.2010).

Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia,


dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein
plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar dapat
mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan
debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan ( Kumar,
Vinay.2010).

Respons inflamasi terjadi dalam tiga fase dan diperantarai oleh mekanisme
yang berbeda :

a.fase akut, dengan ciri vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler.

b. reaksi lambat,tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosi.

c.fase proliferatif kronik, dengan ciri terjadinya degenerasi dan fibrosis ( Kumar,
Vinay.2010).

Respon Antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya


permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses
inflamasi yang sudah dikenal ialah:
a. Rubor (kemerahan)

Rubor, atau kemerahan, biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di


daerah yang mengalami peradangan. Seiring dengan di mulainya reaksi
peradangan, arteriol yang memasok daerah tersebut berdilatasi sehingga
memungkinkan lebih banyak darah yang mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal.
Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong, atau mungkin hanya sebagian
meregang, secara cepat terisi penuh oleh darah. Keadaan ini, disebut hiperemia
atau kongesti, menyebabkan kemerahan lokal pada peradangan akut. Tubuh
mengontrol produksi hiperemia pada awal reaksi peradangan, baik secara
neurologis maupun kimiawi melalui pelepasan zat-zat seperti histamin.

b. Kalor (panas)

Kalor atau panas, terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi


peradangan akut. Sebenarnya, panas secara khas hanya merupakan reaksi
peradangan yang terjadi pada permukaan tubuh, yang secara normal lebih dingin
dari 37 derajat celsius yang merupakan suhu inti tubuh. Daerah peradangan
dikulit menjadi lebih hangat dari sekelilingnya karena lebih banyak darah (pada
suhu 37 derajat selsius) dialirkan dari dalam tubuh kepermukaan daerah yang
terkena dibandingkan dengan ke daerah yang normal. Fenomena hangat lokal ini
tidak terlihat di daerah-daerah meradang yang terletak jauh di dalam tubuh,
karena jaringan-jaringan tersebut sudah memiliki suhu inti 37 derajat celcius dan
hiperemia lokal tidak menimbulkan perbedaan.

c. Dolor (nyeri)

Dolor, atau nyeri, pada suatu reaksi peradangan tampaknya ditimbulkan


dalam berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tentu
dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama pelepasan zat-zat kimia
bioaktif lain dapat merangsang saraf. Selanjutnya itu, pembengkakan jaringan
yang meradang menyebabkan peningkatan tekanan lokal yang tidak diragukan
lagi dapat menimbulkan nyeri.

d. Tumor (pembengkakan)
Aspek yang paling mencolok pada peradangan akut mungkin adalah
tumor, atau pembengkakan lokal yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang
berpindah dari aliran darah ke jaringan interstisial. Campuran cairan dan sel-sel
ini yang tertimbun didaerah peradangan disebut eksudat. Pada awal perjalanan
reaksi peradangan, sebagian eksudat adalah cairan, seperti yang terlihat secara
cepat pada di dalam tubuh setelah luka bakar ringan pada kulit, kemudian sel-sel
darah putih atau leukosit, meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai
bagian eksudat.

e. Fungsio laesa (perubahan fungsi)

Fungsi laesa, atau perubahan fungsi merupakan bagian yang lazim pada
reaksi peradangan. Sepintas mudah dimengerti, bagian yang bengkak, nyeri
disertai sirkular abnormal dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal,
seharusnya berfungsi secara abnormal. Akan tetapi, cara bagaimana fungsi
jaringan yang meradang itu terganggu tidak dipahami secara terperinci.

Selama berlangsungnya respon inflamasi banyak mediator kimiawi yang


dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-Hidrok sitriptamin(5HT), faktor
kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan prostaglandin (PG). Dengan migrasi sel
fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya enzim pemecah.
Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator-mediator
kimiawi tersebut kecuali PG ( Kumar, Vinay.2010).

DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C dan Hall John. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Kumar, Vinay dkk. 2014. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7. Singapore: Elsevier.

Kumar, Vinay dkk. 2010. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 9. Singapore: Elsevier

Anda mungkin juga menyukai