Anda di halaman 1dari 107

Tugas.

1. Jelaskan cara kerja analisis sistem dari David Easton dengan menggunakan studi kasus
penghapusan subsidi BBM!

2. Jelaskan bagaimana sosialisasi politik dan pembentukan budaya politik dilakukan pada
masyarakat dengan teknologi digital saat ini!

3. Jelaskan pertumbuhan ekonomi di Indonesia pasca reformasi khususnya era Presiden Joko
Widodo! Kaitkan jawaban anda dengan kebijakan politik yang dikeluarkan oleh pemerintah!

Petunjuk pengerjaan soal:

1. Soal terdiri dari 3 (tiga) pertanyaan.


2. Jawaban setiap soal minimal terdiri dari 1 (satu) halaman. Jadi jawaban keseluruhan
soal minimal 3 (tiga) halaman.
3. Font times new roman, dengan ukuran 12; margin default; spasi 1,5; dan ukuran
kertas A4.
4. Tidak copy paste dan mengutip harus disertai sumber rujukan. Apabila terbukti
melakukan plagiarisme maka nilai yang diberikan adalah 0 (nol).
5. Adapun penilaian meliputi format dan teknis penulisan jawaban, orisinalitas dan
ketajaman gagasan, serta informasi dan pengetahuan valid yang diberikan.
6. File dokumen tugas adalah sebagai berikut Nama NIM T1 ISIP4213 atau sebagai
contoh: Evidakartini 0123456 T1 ISIP4213
7. Pengumpulan tugas paling lambat satu minggu dari waktu pemberian tugas. Sistem
secara otomatis akan tertutup sesuai jadual yang sudah ditetapkan.
Agen sosialisasi politik yang komvensional seperti sosialisai keluarga, institusi pendidikan, media
massa, dan lembaga pemerintah tidak lagi mendapatkan perhatian kaum muda karena konten dan
cara penyampaiannya yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan kaum muda saat ini.
Dampaknya sosialisasi yang dilakukan oleh agen sosialisasi tersebut tidak mampu mendorong kaum
muda untuk ikut berpartisipasi politik. Dalam agen sosialisasi konvensional tersebut dalam
menyampaikan informasi dan pendekatan mengenai nilai, pola, dan norma politik yang terdapat
dalam materi yang disampaikan dilakukan secara satu arah. Artinya pendekatan yang dilakukan
bersifat kaku atau memaksakan kaum muda untuk menerima nilai yang dibawa dan tidak terbuka.

Dari analisa yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
media sosial mampu menjadi agen sosialisasi politik pada kaum muda. Sosialisasi politik sendiri
dapat diterima apabila memperhatikan agen sosialisasi apa yang paling mempengaruhi sebuah
kelompok masyarakat tertentu. Dalam hal ini, nilai, norma, dan budaya politik yang terdapat di
dalam media sosial dapat diterima oleh kaum muda. Kaum muda memilih media sosial sebagai agen
sosialisasi dibandingkan keluarga, media massa, institusi pendidikan, dan lemabaga pemerintah
karena dua hal utama. Pertama, perbedaan konten yang dimiliki sosial media dan agen sosialisasi
lainnya. Kedua, pendekatan atau cara penyampaiannya yang dilakukan melalui sosial media berbeda
dengan agen sosialisasi lainnya. Konten yang dimiliki sosial media dapat menyediakan informasi yang

dibutuhkan oleh kaum muda karena berkaitan dengan kondisi sosial mereka, memfailitasi kaum
muda untuk memperoleh informasi yang mereka butuhkan, dan mampu memperlihatkan berbagai
macam sudut pandang kelompok masyarakat.

Kemudian, pendekatan sosialisasi politik yang dilakukan melalui sosial media dapat memfasilitasi
komunikasi dua arah, bebas digunakan oleh siapa saja, dan terbuka bagi siapa saja. Selain itu melalui
media sosial, kaum muda bisa berkomunikasi langsung dengan elit politik. Dengan adanya media
sosial, kaum muda menjadi lebih aktif dalam partisipasi politik.

Selain itu kaum muda juga dapat ikut mengajukan kritik terhadap kebijakan pemerintah melalui
media sosial. Sosialisasi politik yang dilakukan melalui media sosial ternyata mampu mendorong
partisipasi aktif kaum muda. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi berbagai pihak untuk lebih aktif
melalui media sosial apabila menginginkan kaum muda untuk lebih aktif berpartisipasi. Namun,
kaum muda yang menggunakan media sosial sebagai media sosialisasi politik juga harus
memperhatikan dan mengkritisi konten apa saja yang tersedia di dalamnya. Persebaran informasi
yang tersedia di media sosial tidak semuanya memiliki kebenaran informasi dan objektif, sehingga
kaum muda atau pengguna internet harus dapat memperhatikan kebenaran informasi tersebut. Hal
ini merupakan paradoks yang terjadi dari penggunaan media sosial sebagai agen sosialisasi politik.
Pada satu sisi, sosialisasi melalui media sosial dapat dikatakan efektif dari segi persebaran
informasinya, namun di sisi lain kebenaran informasinya masih perlu dipelajari kembali.

Perekonomian Indonesia di lima tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo jauh
dari janji yang diiming-imingkan pada masa kampanye Pilpres 2014. Alih-alih mencapai
pertumbuhan 7 persen, ekonomi Indonesia justru mentok di kisaran 5 persen. Tahun lalu, di
akhir periode pertama pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru
mengalami perlambatan dan hanya bertumbuh sebesar 5,02 persen. Di samping meleset
dari target APBN 2019, yang dipatok sebesar 5,2 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia
di tahun lalu juga merupakan yang terburuk dalam kurun empat tahun terakhir. Meski
demikian, Jokowi menyebut bahwa capaian itu cukup memuaskan dan patut disyukuri. Ia
mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi adalah hal yang sulit terelakkan di tengah
gejolak perekonomian global yang meliputi perang dagang hingga konflik geopolitik.

Baca selengkapnya di artikel "Nasib Pertumbuhan Ekonomi Era Jokowi: Gagal Meroket,
Mentok di 5%", https://tirto.id/exhx

"Yang lain-lain [pertumbuhan ekonominya] bukan turun, anjlok. Kita ini, kalau enggak kita
syukuri, artinya kufur nikmat. Pertahankan pada posisi yang seperti ini saja sulit sekali," ujar
dia, di Istana Kepresidenan, Rabu (5/2/2020). Apa pasal yang menyebabkan ekonomi
Indonesia melambat di tahun ini? Padahal momentum untuk menggenjot perekonomian
berkali-kali muncul, mulai dari pemilihan presiden (Pilpres) hingga pilkada serentak. Jika
menilik data BPS, hampir seluruh indikator perekonomian Indonesia di tahun lalu memang
mengalami perlambatan. Konsumsi rumah tangga, yang jadi motor utama penggerak
perekonomian, cuma bisa tumbuh 5,04 persen pada tahun lalu atau lebih rendah
dibandingkan 2018 yang tercatat sebesar 5,05 persen. Sektor manufaktur, yang jadi
penyumbang terbesar dalam struktur PDB Indonesia juga cuma tumbuh sebesar 3,8 persen
year on year melanjutkan perlambatan yang telah terjadi dalam dua tahun terakhir.
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang merupakan indikator investasi hanya mampu
tumbuh 4,45 persen—anjlok jika dibandingkan tahun 2108 yang mampu tumbuh 6,67
persen. Melesetnya pertumbuhan ekonomi dari target 5,2 persen juga disebabkan oleh
penurunan ekspor dan impor yang cukup dalam. Ekspor dan impor terkontraksi masing-
masing sebesar 0,39 persen dan 8,05 persen. Lupakan Pertumbuhan 7% Tentu tak ada
yang salah jika Jokowi menggunakan klausul "kufur nikmat" untuk merespons kritik atas
pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Namun, mengutip pendapat ekonom Faisal Basri,
"jangan sampai kelemahan kita sendiri dikesampingkan. Ibarat pepatah: gajah di pelupuk
mata tak tampak, semut di seberang samudera tampak." Faktor eksternal yang turut
memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi domestik tak bisa terus menerus dijadikan
kambing hitam dan perbaikan internal harus segera dilakukan pemerintah untuk mengerem
perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Baca selengkapnya di artikel "Nasib Pertumbuhan Ekonomi Era Jokowi: Gagal Meroket,
Mentok di 5%", https://tirto.id/exhx

Konsumsi rumah tangga, yang jadi tulang punggung penggerak perekonomian masih
membutuhkan dukungan kebijakan baik melalui pemberian insentif pemerintah maupun
kebijakan moneter BI. Di samping itu, pemerintah harus lebih kencang mendorong kinerja
manufaktur Indonesia yang terus-menerus mengalami kemunduran. IHS Markit mencatat,
Indeks Manufaktur Indonesia di bulan Januari 2020 berada di level 49,3 atau kembali turun
dari posisi bulan Desember 2019 yang berada di angka 49,5. Jika pemerintah gagal
mengangkat daya saing manufaktur, maka Indonesia akan sulit mengejar persaingan
dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, Kamboja, hingga Thailand dan tekanan
eksternal terhadap Indonesia akan berdampak makin buruk bagi perekonomian domestik.
Apalagi, pertumbuhan perekonomian global berpotensi kian melambat akibat wabah Corona
yang melanda Cina. Beberapa Bank Global seperti Foldman Sachs telah memangkas
prediksi pertumbuhan ekonomi Cina dari 5,9 persen menjadi 5,5 persen untuk tahun ini.
Dampak perekonomian Cina yang tumbuh melambat lantaran aktivitas produksi negara
tersebut terganggu wabah virus Corona akan segera menjalar ke pertumbuhan
perekonomian Indonesia, baik secara langsung maupun tak langsung. Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sendiri bahkan menyebut wabah Corona bisa
menggerus perekonomian Indonesia sebesar 0,1-0,29 persen.

Baca selengkapnya di artikel "Nasib Pertumbuhan Ekonomi Era Jokowi: Gagal Meroket,
Mentok di 5%", https://tirto.id/exhx
Hay guys...tentu kalian sudah tidak asing lagi mendengarkan kata "Orde Baru"?  Ya benar
sekali bahwa orde baru adalah masa sebelum reformasi dan juga masa setelah orde lama yang
diberikan oleh pemerintahan orde baru, padahal Bung Karno tidak menyukai sebutan itu jadi
dinamakan orde rovolusi, Mari kita kupas lebih dalam perkembangan kehidupan ekonomi
dan politik pada masa orde baru.

Orde baru dipimpin oleh Soeharto 32 tahun lamanya, kebijakan-kebijakan yang sangat
berpengaruh yaitu kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia. Perkembangan kehidupan
ekonomi pada masa orde baru, pemerintahan mempunyai slogn yakni "Trilogi Pembangun"  
1.Pertumbuhan ekonomi yang lumayan tinggi.
2.Perkembangan pembangunan hasilnya mengarah pada terwujudnya keadilan sosial.
3.Stabilitas nasional yang sehat serta dinamis. 

Revolusi hijau adalah suatu perubahan bercocok tanam sistem tradisional ke sistem modern,
sebagai peningkatan produksi pertanian dilancarkan 4 usaha yaitu;
1).Intersifikasi yakni pemerataan,pengembangan dan penemuan teknologi pertanian.
2).Ekstersifikasi yakni perluasan lahan dengan hasil maksimal.
3).Diversifikasi yakni keanekaragaman usaha tani.
4).Rehabilitasi yakni pemulihan daya produktivitas daya pertanian yang kritis.

Perkembangan kehidupan politik pada masa orde baru diabgi menjadi 2 kebijakan yaitu
kebijakan dalam negri dan kebijakan luar negri.

1).Kebijakan politik dalam negri yaitu;


a.Pelaksanaan pemilu 1971 diatur dengan SI MPR 1967 yang diselenggarakan pada tahun
1971.
b.Parpol PPP,PDI dan Golkar.
c.Dwifungsi ABRI merupakan suatu peran ganda kekuatan pertahanan keamanan sosial
politik yang berperan aktif pembangunan nasional.         d.Pedoman penghayatan dan
penggalan pancasila yang bertujuan memberi pemahaman pada lapisan masyarakat tentang
pancasila.    

 2).Kebijakan politik luar negri yaitu;     

a.Indonesia menjadi anggota PBB kembali.pada tanggal 7 Agustus 1965 yang membuat
kondisi buruk Indonesia dalam ekonomi dan politik membuat indonesi resmi aktif kembali
menjadi anggota PBB 28 September 1966.
b.Pemulihan hubungan diplomasi antara Malaysi dengan Singapura serta pemutusan
hubungan dengan Tiongkok. Pada tahun 1965, pertikaian ketiga negara yakni
Indonesia,Malysia dan Singapura dalam memulihkan dan perbaikan hubungan diadakan
penandatanganan perjanjian yang diwakili oleh  Adam Malik dari Indonesia dan Tun Abdul
Rajat dari Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta.
c.Memperkuat  kerja sama regional serta internasional.

1).Turut adil dalam pembentukan ASEAN.


2).Mengirim kontingen Garuda dalam misi perdana.
3).Berperan dalam organisasi Konferensi Islam(OKI).

Nah jadi era reformasi berpengaruh pada perkembangan kehidupan ekonomi dan politik yang
mempelajari sejarah menjadi sangat penting karena saling berkaitan dan berkesinambungan

Perubahan Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi 1998, Keadilan Sosial, dan

Deficit Demokrasi Hingga Kini.

Cut Maya Aprita Sari, S. Sos, M. Soc. Sc.

Pasca reformasi 1998 Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar dalam sistem
politiknya. Salah satu aspek penting dalam bidang politik yang menjadi sasaran utama

perubahan adalah kekuasaan pemerintahan Suharto yang dikelola secara sentralistik. Memang

kekuasaan yang sentralistik tidak senantiasa buruk. Gagasan Plato tentang The philosopher

king setidaknya menunjukkan bahwa kekuasaan sentralistis, jika dijalankan oleh seorang

penguasa yang amat bijaksana dapat menghasilkanhal-hal positif bagi perkembangan

masyarakat, keadilan, kesejahteraan dan integrasi bagi negara tersebut. Namun yang terjadi di

Indonesia adalah sebaliknya, pemerintahan otoriter selama 32 tahun menutup akses demokrasi

bagi rakyat, sehingga kejatuhan pemerintahan Suharto disambut gembira oleh sebagian besar

kalangan rakyat Indonesia. Pada saat itu sistem politik indonesia berganti dari otoriter menuju

orde reformasi yang dicirikan dengan liberalisasi politik dan ekonomi. Setelah Suharto turun,

pengaktifan hak-hak rakyat terlihat dari adanya suatu partisipasi politik yang tinggi dari

rakyat, jumlah partai politik peserta pemilu 1999 pun mengalami lonjakan.

Dalam perjalanannya, sistem politik di indonesia pasca reformasi menunjukkan

perubahan yang cepat. Terdapat perkembangan positif bahwa dengan runtuhnya rezim

Suharto, kebebasan sipil yang dulu tidak bisa dinikmati kini dapat dinikmati walaupun

terkadang sering kali keluar dari norma-norma yang berlaku, terlepas dari itu, masyarakat kini

lebih bebas berpendapat, menyuarakan aspirasinya dan berpolitik.

Berbicara mengenai sistem politik, Gabriel A. Almond and G. R. Powell

mengungkapkan konsep Capability of system politics yang dapat kita pergunakan sebagai alat

untuk mengenalisis sejauh mana keberhasilan atau kegagalan sistem politik demokrasi di

Indonesia. Menurut Almond dan Powell (1965), ada 5 macam kemampuan sistem politik,

yaitu: (1)Kemampuan Extractive, berkaitan dengan bagaimana sumber daya alam dan sumber

daya manusia diolah dan dikelola untuk kepentingan nasional, regional maupun masyarakat
secara keseluruhan; (2)Kemampuan Regulative yang merupakan kemampuan negara dalam

melakukan pengawasan terhadap tingkah laku masyarakat, pengaturan dan menjamin hak-hak

individu maupun kelompok; (3)Kemampuan distributif, berkenaan dengan kemampuan

pendistribusian sumber daya alam secara merata untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi

masyarakat; (4)Kemampuan simbolik, Yakni kemampuan pemerintah dalam membuat suatu

kebijakan yang sedapat mungkin bisa diterima oleh rakyat. Kemampuan simbolik juga terkait

dengan bagaimana simbol-simbol kenegaraan mendapat kepercayaan dari rakyat; dan

(5)Kemampuan Responsif, dimana sistem politik dapat dikatakan memiliki kemampuan

respons yang tinggi apabila ia dapat memberikan tanggapan terhadap tuntutan yang muncul.

Melalui 5 jenis kemampuan ini, kita dapat melihat bahwa sebenarnya masih banyak

tantangan kedepan yang harus diperhatikan dalam demokrasi negara kita, antara lain: Dalam

ketatanegaraan Indonesia, perubahan konstitusi terlihat dari diamandemenya Undang-Undang

Dasar sebanyak beberapa kali. Perubahan amandemen ini mengakibatkan reformasi dibidang

ketatanegaraan Indonesia, salah satunya yaitu dibentuknya sebuah lembaga baru bernama

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD). Sejak dibentuknya DPD maka sistem perwakilan

di Indonesia berubah dari unikameral menjadi bikameral. Hal ini merupakan suatu keadaan

yang agak aneh ketika negara kesatuan menganut sistem bikameral, karena sebagaimana yang

kita ketahui, bikameral hanya cocok di negara federal. DPD yang tadinya dianggap dapat

merepresentasikan kepentingan daerah dalam kenyataannya belum berfungsi dengan baik,

terlihat dari kebijakan-kebijakan di tingkat nasional masih saja kurang memperhatikan rakyat

daerah maka dalam hal ini kemampuan DPD masih dipertanyakan.

Kemudian, prinsip checks and balances antar cabang kekuasaan negara seperti

legislatif dan eksekutif masih kabur batas-batasnya dan kekuasaan diantara keduanya
tumpang tindih, begitu juga halnya dengan mahkamah agung dan mahkamah konstitusi. Hal-

hal mengenai penghargaan terhadap hak asasi manusia yang tertulis didalam UU tidak juga

diperlihatkan dalam kehidupan nyata, terbukti dari masih ada saja konflik-konflik di daerah.

Korban kasus pelanggaran HAM seperti DOM di Aceh bahkan sampai sekarang belum

mendapatkan keadilan. Selanjutnya, partai politik semakin tidak dipercaya karena hanya

berisikan orang-orang yang berebut kekuasaan. Birokrasi kita yang lambat diperparah dengan

korupsi pejabat-pejabatnya menimbulkan kekecewaan yang dalam. Terlebih lagi hukum hanya

berpihak kepada sekelompok orang dengan kelas menengah keatas, ini memperlihatkan

kemampuan regulatif yang masih rendah.

Hubungan yang tidak harmonis antara pusat dan daerah sering terjadi di Indonesia

akibat dari diskriminasi dalam hal distribusi kesejahteraan yang berakibat kepada disintegrasi

bangsa. Keadaan ini membuat kemampuan distributif dan ekstraktif mendapatkan nilai

negatif. David held (2004) menyatakan, ternyata anggapan “semua permasalahan yang

muncul dalam suatu negara seakan-akan hanya bisa diselesaikan secara demokrasi. Undang-

undang, hukum, adat istiadat terlihat sangat baik apabila semuanya bersifat demokratis. Nilai-

nilai yang terkandung didalam sistem demokrasi diyakini dapat membawa negara

penganutnya kearah yang lebih baik”. Dalam kenyataannya tidaklah selalu benar.

Kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparatur nya

menunjukkan bahwa kemampuan simbolik juga rendah, masyarakat tidak lagi menghargai

simbol-simbol negara yang selama ini mengecewakan rakyat. Kebijakan yang kerap kali

mendapat penolakan dari rakyat juga menambah nilai minus dari kemampuan simbolik ini.

Apatisme terhadap politik semakin meningkat seiring dengan semakin tipisnya kepercayaan

rakyat terhadap proses politik


Hal diatas menunjukkan bahwa ada permasalahan yang rumit dibalik demokrasi yang

kita terapkan. Harus diakui bahwa ternyata selama ini konsep ketatanegaraan kita masih

belum sempurna padahal seperti pendapat Habermas bahwa tatanegara yang baik merupakan

platform terselenggaranya kesuksesan demokrasi. Tatanegara yang tidak baik ini

menyebabkan gagasan demokrasi yang telah dibentuk sejak deklarasi kemerdekaan tidak

dapat dijalankan dengan baik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial

bagi masyarakat.

Demokrasi dan keadilan sosial adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan bahwa

demokrasi yang berhasil adalah demokrasi yang mampu mewujudkan keadilan sosial bagi

rakyatnya, hal ini diperkuat dengan isi sila ke 5 dari pancasila.Demokrasi membawa gagasan

mulia yaitu mencapai kesejahteraan masyarakat dankeadilan sosial. Namun yang terjadi di

Indonesia, demokrasi hanya sampai pada tataran prosedural, demokrasi dimaknai hanya

sekedar keberhasilan melaksanakan pemilu tanpa melihat sisi lain yang jauh lebih penting

seperti keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Aristoteles menyebutkan bahwa “Landasan konstitusi yang demokratis adalah

kemerdekaan/kebebasan”. Kemerdekaan dan kebebasan menurut John Rawls harus diberikan

kepada setiap individu apabila suatu negara ingin mewujudkan adanya keadilan sosial, artinya

keadilan sosial tidak akan ada bila kemerdekaan individu tidaklah ada. Membangun keadilan

sosial harus dimulai dengan memberi individual freedom, namun pemberian individual

freedom harus dibarengi dengan adanya sistem yang fairness. Fairness setidaknya dapat

menjamin keseimbangan antara elemen-elemen masyarakat. Sehingga ketimpangan antara

yang menang dan yang kalah tidak terlalu jauh dan jarak antara orang yang kaya dan miskin

tidak terlampau dalam.


Hal ini menjadi paradoks demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia dimana

pemberian individual freedom sebagaimana yang dikemukkan John Rawls tidak dibaregi

dengan adanya sistem yang fairness sehingga para pemlik modal dan elit-elit yang

berkuasalah yang paling menikmati adanya individual freedom tersebut. Kebijakan–kebijakan

yang dikeluarkan pemerintah membuat rakyat miskin semakin terpuruk dan yang kaya

semakin menikmati kesuksesannya. Beberapa contoh boleh kita perhatikan, adanya

perdagangan bebas dengan China selama ini memberikan contoh bahwa kebijakan yang

dilakukan pemerintah membuat gap semakin terlihat. Bagaimana mungkin pengusaha dalam

negeri dapat bersaing dengan China yang menawarkan harga murah bagi setiap produknya.

Kebijakan yang sangat tidak menguntungkan pedagang lokal semakin diperparah dengan

membiarkan mereka berkompetisi tanpa memberikan insentif kepada pedagang lokalagar

kompetisi lebih berimbang. Contoh lain, hadirnya supermarket sebagai tempat one stop

shopping yang menyediakan semua kebutuhan dalam satu tempat membuat pedagang lokal

semakin terasingkan. Dalam kasus kenaikan BBM, kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan

peningkatan jumlah lapangan pekerjaan atau kenaikan upah bagi para buruh sehingga mereka

tidak mampu membeli BBM sedangkan yang kaya tidak merasa kesulitan atas kenaikan BBM

tersebut, maka ketimpangan semakin terlihat disini.

Jika keadaan yang terjadi seperti ini, mulai dari ketatanegaraan yang yang tidak beres

sampai keadilan sosial yang diidamkan hanya sekedar harapan tanpa realisasi, maka dapat

dipastikan bahwa negara kita mengalami deficit demokrasi yang parah. Biaya yang kita

keluarkan untuk menegakkan demokrasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang kita

dapatkan. Permasalah di negeri ini menunjukkan bahwa demokrasi kita menghadapi

stagnasi. Defisit demokrasi terjadi karena melencengnya demokrasi dari tujuan awalnya,
Dimana demokrasi dengan cita-cita awalnya adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat

melalui suatu keadilan sosial ternyata pada kenyataannya tidak dijalankan dengan baik. Gagal

bekerjanya sistem politik inilah yang melahirkan defisit demokrasi. Kelembagaan, reformasi

hukum, birokrasi, dan militer tidak bekerja sebagaimana mestinya. Sistem tata negara yang

berantakan, Hukum di negara kita berjalan apabila menghadapi tekanan saja, selebihnya

tetap uang yang memainkan peranan yang besar, kemudian mutu pelayanan birokrasi

rendah, dan korupsi dimana-mana menunjukkan defisit demokrasi di negara kita. Jika

keadaan terus begini, Indonesia akan semakin menuju kearah failed state seperti yang

dikatakan Chomsky:

bahwa negara gagal mempunyai ciri utama sebagai berikut :One is their inability or

unwilingness to protect their citizens from violence and perhaps even destruction.

Another is their tendency to regard themselves as beyond their reach of domestic

and international law,........If they have democratic forms, their suffer from a serious

“democratic deficit” that deprives their formal democratic intitutions of real

substance.

Gaffar, Afan. (1999). “ Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi”. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Held, David. (2004). “ Demokrasi dan Tatanan Global : Dari Negara Modern Hingga

Pemerintahan kosmopolitan “. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Legowo, TA. (2004). “Keadilan Sosial, Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di

Indonesia”. Jakarta: Kompas.

Nurtjahjo, Hendra. (2006). “Filsafat Demokrasi”. Jakarta : Bumi Aksara.

Revitch, Diane dan Thernstrom Abigail. (2005), “ Demokrasi Klasik & Modern “, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

Sitepu, P. Anthonius. (2006).” Sistem Politik Indonesia”. Medan : Pustaka Bangsa Press.

Syamsuddin, Nazaruddin. (1994). “ Integrasi dan Ketahanan Nasional di Indonesia “.

Jakarta : Lemhanas.

Ujan, Andre Ata. (2001). “ Keadilan dan Demokrasi, Jelajah Filsafat Politik John Rawls”

SUDAH dua dasawarsa era reformasi berjalan. Sejak Presiden Soeharto dan rezim
Orde Baru dijatuhkan pada 1998, banyak perubahan terjadi di Indonesia, terutama
dalam ranah politik.
Salah satu perubahan besar yang terjadi pasca-
reformasi adalah pembatasan kekuasaan presiden.
Salah satu perubahan besar yang terjadi pasca-reformasi adalah pembatasan
kekuasaan presiden. Pada era Orde Baru, Soeharto dapat dipilih berkali-kali sebagai
presiden tanpa ada periode pembatasan.
Selain itu, wewenang presiden pada era reformasi tak sekuat seperti di era Soeharto
berkuasa selama 32 tahun. Misalnya, presiden bukan lagi satu-satunya pihak yang
punya kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
Sesuai Pasal 5 UUD 1945, pasca-amandemen, presiden tak lagi memiliki kekuasaan
tunggal dalam pembentukan UU, tetapi hanya berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada DPR.

KOMPAS/JB SURATNO
Presiden Soeharto. Gambar diambil pada 15 Januari 1998.

Sistem demokrasi pun mulai diterapkan dengan baik di era reformasi. Hal yang
paling menonjol adalah sistem pemilihan umum yang memungkinkan presiden dipilih
langsung, tidak lagi dipilih melalui oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui
Sidang Umum MPR.
Kemudian, terdapat sejumlah perubahan lembaga negara. Dihilangkannya Dewan
Pertimbangan Agung sebagai penasihat presiden, menjadi salah satu contohnya.
Sebaliknya, di era reformasi, muncul sejumlah lembaga negara baru seperti
Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Yudisial.
Dari sisi kedaulatan, tuntutan masyarakat Timor Timur untuk merdeka menjadikan
Indonesia kehilangan provinsi termuda itu. Timor Timur pun berubah menjadi negara
merdeka bernama Timor Leste.
Meski demikian, era reformasi juga menyebabkan daerah memiliki wewenang yang
lebih besar berkat dilaksanakannya otonomi daerah.
Berikut ini merupakan sejumlah perubahan yang terjadi di Indonesia selama 20
tahun terakhir di bidang politik, berdasarkan dokumentasi harian Kompas dan
sumber pendukung lainnya.

Habibie dan Masa


Transisi
MASA transisi di era reformasi ditandai dengan perpindahan tongkat kekuasaan dari
Presiden Soeharto kepada wakilnya, Bacharuddin Jusuf Habibie pada 21 Mei 1998.
Namun, naiknya Habibie ke tampuk kekuasaan tak lepas dari kritik lantaran dia
dianggap sebagai bagian dari rezim Orde Baru. Demonstrasi mahasiswa pun tak
selesai, yang kali ini menuntut Habibie turun dari kursi presiden.
Salah satu alasan mahasiswa menuntut Habibie mundur adalah karena dia
dianggap tidak dapat menjalankan amanah reformasi, terutama pengadilan untuk
Soeharto. 

Meski demikian, Habibie dapat dianggap ikut meletakkan fondasi awal dalam sistem
demokrasi pada era reformasi. Salah satu kebijakannya adalah membebaskan
tahanan politik yang ditahan di era Soeharto, seperti Sri Bintang Pamungkas dan
Mochtar Pakpahan.
Habibie juga dinilai berjasa dalam menghadirkan kebebasan pers di Indonesia. Hal
ini dapat dilihat dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers, yang juga mengatur mekanisme pengaduan terkait pemberitaan media melalui
Dewan Pers.
Di bidang ekonomi, Habibie ikut memprakarsai Bank Indonesia yang independen
dan lepas dari pengaruh pemerintah. Independensi menjadikan BI bergerak lebih
bebas untuk mengatur sektor moneter.
Terkait politik elektoral, Habibie menghasilkan tiga undang-undang demokratis, yaitu
UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1999 tentang Pemilu, serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan
Kedudukan DPR/MPR.
Dengan tiga undang-undang itu, Habibie berperan mempersiapkan Pemilu 1999,
sebagai pemilu demokratis pertama pasca-Orde Baru. Sistem yang digunakan pun
benar-benar baru.
Pemilu 1999 ditandai dengan berbondong-bondongnya partai politik ikut
berkontestasi, yaitu 48 partai politik. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai
penyelenggara diisi oleh perwakilan pemerintah dan partai. Pencoblosan
berlangsung lancar pada 7 Juni 1999.
Beberapa bulan setelah Pemilu 1999, Habibie membacakan pidato
pertanggungjawaban pada Sidang Istimewa MPR 1999, yaitu pada 13 November
1999.
Sebenarnya, Golkar saat itu hendak mencalonkan kembali Habibie sebagai
presiden. Namun, pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak MPR. Habibie pun
batal dicalonkan.
Berikutnya, pemilihan presiden yang dilakukan oleh anggota MPR hasil Pemilu 1999
menempatkan Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid yang berpasangan
dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sebagai wakil menjadi
pemegang tampuk pemerintahan.

Berakhirlah Pemerintahan Habibie dan masa transisi. Selama 16 bulan masa


pemerintahannya, Habibie telah menerbitkan 67 undang-undang dan satu peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait politik dan hak asasi
manusia.
Produk peraturan-perundang-undangan itu belum pula mencakup sejumlah aturan di
tingkat di bawah undang-undang, seperti Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999
tentang Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Republik
Indonesia (Polri) dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Gus Dur dan Imlek

Pada masa Orde Baru, masyarakat Tionghoa mengalami diskriminasi yang


membuat mereka tidak bisa mengekspresikan budaya dan keyakinannya.
Misalnya saja, Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 14
Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Atas nama
asimilasi, Orde Baru melarang masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan
keyakinannya di depan umum.
Dengan demikian, masyarakat Tionghoa hanya boleh melaksanakan ibadah atau
merayakan hari besar seperti Imlek di lingkungan internal, yaitu keluarga.
Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, kebijakan itu dihapus. Gus Dur, sebutan
penghormatan untuk Abdurrahman, merilis Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun
2000 yang mencabut Inpres Nomor 14 Nomor 1967.
Setelah itu, masyarakat Tionghoa pun diperbolehkan mengekspresikan keyakinan,
termasuk merayakan Imlek di depan publik. Tidak hanya itu, Imlek pun dijadikan hari
libur nasional.

Lepasnya Timor Timur


PADA masa pemerintahan Presiden Habibie, Provinsi Timor Timur (Timtim)
memerdekakan diri dari Indonesia. Lepasnya provinsi termuda di Indonesia itu
bermula saat situasi di Timtim kembali memanas dengan munculnya kelompok pro
kemerdekaan dan pro otonomi khusus.
Kondisi ini sebenarnya juga dampak dari krisis politik di Jakarta, yang berujung pada
jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto.
Situasi di Timtim semakin tak menentu, terutama setelah sejumlah tahanan politik
asal Timtim dilepaskan saat Habibie menjadi presiden. Salah satu tahanan itu
adalah Xanana Gusmao.

Kemudian, dalam Sidang Kabinet Bidang Politik Keamanan pada 27 Januari 1999
pemerintah membuka kemungkinan untuk menyerahkan nasib Timtim kepada
warganya. Artinya, pemerintah memberi opsi kepada warga Timtim untuk merdeka
atau diberikan otonomi yang diperluas.
Opsi ini merupakan respons Presiden Habibie terhadap surat Perdana Menteri
Australia John Howard pada Desember 1998. Saat itu, Australia meminta Indonesia
melakukan referendum atau jajak pendapat untuk menentukan nasib Timtim.
Jajak pendapat yang disponsori PBB tersebut terlaksana pada 30 Agustus 1999 dan
diikuti 451.792 warga Timtim. Kriteria peserta pemilu ditentukan oleh PBB melalui
United Nations Mission in East Timor (Unamet).
Hasil jajak pendapat diumumkan pada 4 September 2009. Hasilnya, sebanyak 78,5
persen penduduk ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Dengan demikian, MPR dalam Sidang Umum 1999 mencabut Ketetapan (Tap) MPR
Nomor VI/1978 Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timur ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pencabutan itu sekaligus mengembalikan Timor
Timur seperti pada 1975.

Amandemen UUD 1945


REFORMASI menjadi pintu masuk untuk dilakukannya amandemen terhadap
sejumlah pasal dalam UUD 1945. Pasal-pasal yang dinilai kurang demokratis,
seperti memberi kekuasaan terlalu besar kepada eksekutif, menjadi prioritas untuk
diamandemen.
Pasca-reformasi, Indonesia tercatat melakukan empat kali amandemen. Berikut ini
rinciannya:
1. Amandemen pertama
Pelaksanaan:
19 Oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR 1999.
Perubahan:
9 (sembilan) pasal dalam UUD 1945, yaitu Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21.
Inti dari amandemen pertama ialah membonsai wewenang eksekutif yang
sebelumnya dinilai terlalu besar.
Hal itu terlihat pada amandemen Pasal 7, yang mengatur periode masa jabatan
presiden dan wakil presiden dibatasi menjadi dua kali.
Terlihat pula pada Pasal 5, di mana presiden tak bisa lagi sekehendak hati
menyusun undang-undang karena harus menyusunnya bersama DPR.
2. Amandemen kedua
Pelaksanaan:
18 Agustus 2000.
Perubahan:
Menghasilkan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A,
Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 25E, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal
28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J,
Pasal 30, Pasal 36B, dan Pasal 36C.
Amandemen kedua sekaligus menjadi tonggak dimulainya otonomi daerah dengan
pengesahan Pasal 18. Pasal tersebut kini mengakui pemerintahan daerah yang
berdaulat dan dipilih melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) serta memiliki DPRD
yang dipilih lewat pemilu.
Selain itu, amandemen kedua menjadi tonggak untuk memasukkan definisi hak
asasi manusia dalam dasar hukum di Indonesia, yaitu perluasan Pasal 28.
3. Amandemen ketiga
Pelaksanaan:
10 November 2001.
Perubahan:
Perubahan yang terjadi dalam amandemen ketiga ini terdiri dari 3 bab dan 22 pasal.
Hasilnya adalah Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C,
Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A,
Pasal 23C, Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan
Pasal 24C.
Perubahan utama dalam amandemen ketiga ialah pemilu presiden yang tak lagi
melalui MPR, tetapi langsung melalui rakyat. Ini terjadi dalam amandemen Pasal 1
dan Pasal 6A. Hal ini sekaligus mengubah kewenangan MPR yang tak lagi menjadi
lembaga tertinggi.
Amandemen juga mengatur mengenai mekanisme pencopotan presiden
atau impeachment.
Dapat dibilang bahwa amandemen ini berkaca pada pencopotan Presiden
Abdurrahman Wahid pada 23 Juli 2001 dengan mekanisme yang terbilang mudah,
sehingga dikhawatirkan terjadi ketidakstabilan politik.
Amandemen yang menghasilkan Pasal 24 juga mengamanahkan pembentukan
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

4. Amandemen keempat.
Pelaksanaan:
10 Agustus 2002.
Perubahan:
Amandemen ini menghasilkan Pasal 2, Pasal 6A, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 16, Pasal
23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, penambahan Pasal 33, Pasal 34, dan
Pasal 37.
Perubahan utama dalam amandemen ini ialah pembentukan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) sebagai unsur di MPR dan dipilih melalui Pemilu.
Amandemen juga mengamanahkan penghapusan lembaga DPA. Selain itu, terdapat
juga memunculkan amanah UUD 1945 terkait kesejahteraan rakyat seperti
pendidikan, kebudayaan, dan kesehatan.

Pembentukan KPK
PEMBERANTASAN korupsi merupakan agenda besar sekaligus tugas tak mudah
untuk dijalankan di era reformasi. Pada era Presiden Habibie, pemerintah dan DPR
menghasilkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN.
Wacana pembentukan badan baru kemudian berkembang saat pemerintah dan DPR
membahas RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pertengahan 1999.
Pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Jaksa Agung Marzuki Darusman pernah
mengumumkan pembentukan tim gabungan pemberantasan korupsi (TGPK) yang
dipimpin mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto.
Tim bersifat otonom dan anggotanya berasal dari sejumlah instansi negara seperti BI dan
BPK; instansi pemerintah seperti BPK, Bapepam, Ditjen Pajak, Ditjen Imigrasi; serta unsur
masyarakat seperti ICW.

Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri,


pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun, wewenang TGPK terbatas. Misalnya, dalam kasus suap dengan tersangka
Hakim Agung Marnis Kahar dan Supratpini Sutarto, hakim pada sidang praperadilan
memutuskan bahwa TGPK tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap hakim
agung.
Keputusan tersebut menyebabkan munculnya gagasan perlunya sebuah
lembaga superbody yang memiliki kewenangan penuh serta independen dalam
melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi.

Hingga kemudian, pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah dan DPR
mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang itu menjadi dasar
pembentukan KPK, yang hingga kini ditakuti para koruptor.
Sejak berdiri pada 2002, KPK pernah menangkap hingga memproses hukum
sejumlah pejabat elite, mulai dari menteri, ketua lembaga negara, ketua umum partai
politik, hakim, hingga kepala daerah.

Otonomi Daerah
OTONOMI daerah menjadi salah satu produk reformasi yang berasal dari tuntutan
mahasiswa dalam Gerakan Reformasi 1998.
Kebijakan mengenai otonomi daerah merupakan amanah amandemen kedua UUD
1945, tepatnya pada Pasal 18. Pasal itu mengatur bahwa kedaulatan pemerintahan
daerah diakui.
Konsekuensinya, pemerintah bersama DPR segera menyusun Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan ini secara lebih detail
mengatur bahwa daerah dapat secara optimal mengelola sumber daya alamnya. 
Selain itu, otonomi daerah juga berdampak terhadap proses elektoral di daerah.
Sebelumnya,  kepala daerah dipilih oleh DPRD tingkat provinsi atau kabupaten/kota.
Namun, melalui undang-undang tersebut, pilkada langsung pun berlaku dan mulai
berlangsung pada 2005.

Pilkada langsung pertama digelar di Jayapura, Papua, pada 1 April 2005. Pada
bulan yang sama berlangsung pula pilkada langsung di Kabupaten Tuban, Jawa
Timur.

Berikutnya, mulai Juni 2005, berbondong-bondong kota dan kabupaten di Indonesia


melaksanakan pesta demokrasi serupa.
Pada gelombang penyelenggaraan mulai bulan tersebut, ada di antaranya adalah
pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kebumen.

Qanun Aceh
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang muncul sejak Aceh berstatus Daerah Operasi
Militer (DOM) pada era Orde Baru akhirnya berdamai dengan pemerintah Indonesia.
Hal itu ditandai dengan penandatanganan memorandum of understanding (MoU)
Helsinki antara GAM dan Pemerintah Indonesia pada 15 Januari 2005.
Semua berawal dari tsunami Aceh di pengujung Desember 2004. Aceh porak-
poranda karena air bah tsunami.
Saat itu, GAM mulai membuka opsi dialog dengan pemerintah yang dinilai telah
bekerja sama dalam membantu Aceh selama menangani bencana tsunami.
Atas mandat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla
membentuk tim inti yang menjadi tim perunding antara Republik Indonesia dan
dobelGAM.
Tim itu terdiri dari Widodo AS, Hamid Awaluddin, Sofyan Djalil, Farid Husain, Usman
Basya, dan I Gusti Agung Wesaka Puja.
Perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM itu antara lain memuat
permintaan GAM agar Aceh memiliki undang-undang pemerintahan sendiri serta
pendirian partai lokal. Kedua permintaan itu terpenuhi, menghasilkan Qanun dan
partai lokal Aceh.

Pilpres Langsung
PEMILU presiden (Pilpres) langsung menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia pasca-
reformasi. Indonesia pun mencatat sejarah karena presiden dapat dipilih
berdasarkan sistem satu orang mewakili satu suara, alias one man one vote.
Proses hingga berlangsungnya pilpres diawali dengan amandemen kedua UUD
1945 terhadap Pasal 6A. Dalam pasal itu diatur bahwa presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat.
Hal itu pun direspons oleh pemerintah dan DPR dengan memperbarui Undang-
Undang Pemilu. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2004 tentang Pemilu,
ketentuan pilpres langsung segera diadopsi.
Hasilnya, Pemilu 2004 yang menggunakan sistem pilpres langsung dimenangkan
oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla, melalui dua putaran
pemilu.

Pasangan SBY-JK mengalahkan empat pesaing, yaitu Wiranto dan Salahuddin


Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, Amien Rais dan Siswono Yudo
Husodo, serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar.
Pilpres kemudian berkembang pada era Presiden Joko Widodo. Pada 2017,
pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu yang mengatur pelaksanaan Pemilu Legislatif 2019 dan Pemilu Presiden
2019 dilakukan serentak alias bersamaan.
Dengan demikian, jika sebelumnya partai politik membentuk koalisi usai pileg, maka
pilpres serentak menyebabkan koalisi harus dibentuk jauh sebelum dilaksanakannya
pilpres dan pileg.
Perubahan Sistem Politik
Indonesia Pasca
Reformasi 1998,
Keadilan Sosial, dan
Deficit Demokrasi
Hingga Kini.
Cut Maya Aprita Sari, S.
Sos, M. Soc. Sc.
Pasca reformasi 1998
Indonesia mengalami
perubahan yang cukup
besar dalam sistem
politiknya. Salah satu
aspek penting dalam
bidang politik yang
menjadi sasaran
utama
perubahan adalah
kekuasaan
pemerintahan Suharto
yang dikelola secara
sentralistik. Memang
kekuasaan yang
sentralistik tidak
senantiasa buruk.
Gagasan Plato tentang
The philosopher
king setidaknya
menunjukkan bahwa
kekuasaan sentralistis,
jika dijalankan oleh
seorang
penguasa yang amat
bijaksana dapat
menghasilkanhal-hal
positif bagi
perkembangan
masyarakat, keadilan,
kesejahteraan dan
integrasi bagi negara
tersebut. Namun yang
terjadi di
Indonesia adalah
sebaliknya,
pemerintahan otoriter
selama 32 tahun
menutup akses
demokrasi
bagi rakyat, sehingga
kejatuhan pemerintahan
Suharto disambut
gembira oleh sebagian
besar
kalangan rakyat
Indonesia. Pada saat itu
sistem politik indonesia
berganti dari otoriter
menuju
orde reformasi yang
dicirikan dengan
liberalisasi politik dan
ekonomi. Setelah
Suharto turun,
pengaktifan hak-hak
rakyat terlihat dari
adanya suatu
partisipasi politik
yang tinggi dari
rakyat, jumlah partai
politik peserta pemilu
1999 pun mengalami
lonjakan.
Dalam perjalanannya,
sistem politik di
indonesia pasca
reformasi
menunjukkan
perubahan yang
cepat. Terdapat
perkembangan positif
bahwa dengan
runtuhnya rezim
Suharto, kebebasan
sipil yang dulu tidak
bisa dinikmati kini
dapat dinikmati
walaupun
terkadang sering kali
keluar dari norma-
norma yang berlaku,
terlepas dari itu,
masyarakat kini
lebih bebas
berpendapat,
menyuarakan
aspirasinya dan
berpolitik.
Berbicara mengenai
sistem politik, Gabriel
A. Almond and G.
R. Powell
mengungkapkan konsep
Capability of system
politics yang dapat kita
pergunakan sebagai alat
untuk mengenalisis
sejauh mana
keberhasilan atau
kegagalan sistem
politik demokrasi di
Indonesia. Menurut
Almond dan Powell
(1965), ada 5 macam
kemampuan sistem
politik,
yaitu: (1)Kemampuan
Extractive, berkaitan
dengan bagaimana
sumber daya alam dan
sumber
daya manusia diolah
dan dikelola untuk
kepentingan nasional,
regional maupun
masyarakat
secara keseluruhan;
(2)Kemampuan
Regulative yang
merupakan
kemampuan negara
dalam
melakukan pengawasan
terhadap tingkah laku
masyarakat, pengaturan
dan menjamin hak-hak
individu maupun
kelompok;
(3)Kemampuan
distributif, berkenaan
dengan kemampuan
pendistribusian sumber
daya alam secara
merata untuk
mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi
masyarakat;
(4)Kemampuan
simbolik, Yakni
kemampuan pemerintah
dalam membuat suatu
kebijakan yang sedapat
mungkin bisa diterima
oleh rakyat.
Kemampuan simbolik
juga terkait
dengan bagaimana
simbol-simbol
kenegaraan mendapat
kepercayaan dari
rakyat; dan
(5)Kemampuan
Responsif, dimana
sistem politik dapat
dikatakan memiliki
kemampuan
respons yang tinggi
apabila ia dapat
memberikan tanggapan
terhadap tuntutan yang
muncul.
Melalui 5 jenis
kemampuan ini, kita
dapat melihat bahwa
sebenarnya masih
banyak
tantangan kedepan
yang harus diperhatikan
dalam demokrasi negara
kita, antara lain: Dalam
ketatanegaraan
Indonesia, perubahan
konstitusi terlihat dari
diamandemenya
Undang-Undang
Dasar sebanyak
beberapa kali.
Perubahan amandemen
ini mengakibatkan
reformasi dibidang
ketatanegaraan
Indonesia, salah
satunya yaitu
dibentuknya sebuah
lembaga baru bernama
Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPD).
Sejak dibentuknya DPD
maka sistem perwakilan
di Indonesia berubah
dari unikameral menjadi
bikameral. Hal ini
merupakan suatu
keadaan
yang agak aneh ketika
negara kesatuan
menganut sistem
bikameral, karena
sebagaimana yang
kita ketahui, bikameral
hanya cocok di negara
federal. DPD yang
tadinya dianggap
dapat
merepresentasikan
kepentingan daerah
dalam kenyataannya
belum berfungsi
dengan baik,
terlihat dari kebijakan-
kebijakan di tingkat
nasional masih saja
kurang memperhatikan
rakyat
daerah maka dalam hal
ini kemampuan DPD
masih dipertanyakan.
Kemudian, prinsip
checks and balances
antar cabang
kekuasaan negara
seperti
legislatif dan
eksekutif masih kabur
batas-batasnya dan
kekuasaan diantara
keduanya
tumpang tindih, begitu
juga halnya dengan
mahkamah agung dan
mahkamah konstitusi.
Hal-
hal mengenai
penghargaan terhadap
hak asasi manusia yang
tertulis didalam UU
tidak juga
diperlihatkan dalam
kehidupan nyata,
terbukti dari masih ada
saja konflik-konflik di
daerah.
Korban kasus
pelanggaran HAM
seperti DOM di Aceh
bahkan sampai
sekarang belum
mendapatkan keadilan.
Selanjutnya, partai
politik semakin tidak
dipercaya karena
hanya
berisikan orang-orang
yang berebut
kekuasaan. Birokrasi
kita yang lambat
diperparah dengan
korupsi pejabat-
pejabatnya
menimbulkan
kekecewaan yang
dalam. Terlebih lagi
hukum hanya
berpihak kepada
sekelompok orang
dengan kelas
menengah keatas, ini
memperlihatkan
kemampuan regulatif
yang masih rendah.
Hubungan yang tidak
harmonis antara pusat
dan daerah sering
terjadi di Indonesia
akibat dari diskriminasi
dalam hal distribusi
kesejahteraan yang
berakibat kepada
disintegrasi
bangsa. Keadaan ini
membuat kemampuan
distributif dan
ekstraktif mendapatkan
nilai
negatif. David held
(2004) menyatakan,
ternyata anggapan
“semua permasalahan
yang
muncul dalam suatu
negara seakan-akan
hanya bisa diselesaikan
secara demokrasi.
Undang-
undang, hukum, adat
istiadat terlihat sangat
baik apabila semuanya
bersifat demokratis.
Nilai-
nilai yang terkandung
didalam sistem
demokrasi diyakini
dapat membawa
negara
penganutnya kearah
yang lebih baik”. Dalam
kenyataannya tidaklah
selalu benar.
Kehilangan
kepercayaan
masyarakat terhadap
pemerintah dan
aparatur nya
menunjukkan bahwa
kemampuan simbolik
juga rendah,
masyarakat tidak lagi
menghargai
simbol-simbol negara
yang selama ini
mengecewakan rakyat.
Kebijakan yang kerap
kali
mendapat penolakan
dari rakyat juga
menambah nilai
minus dari
kemampuan simbolik
ini.
Apatisme terhadap
politik semakin
meningkat seiring
dengan semakin
tipisnya kepercayaan
rakyat terhadap proses
politik
Hal diatas menunjukkan
bahwa ada
permasalahan yang
rumit dibalik demokrasi
yang
kita terapkan. Harus
diakui bahwa ternyata
selama ini konsep
ketatanegaraan kita
masih
belum sempurna
padahal seperti
pendapat Habermas
bahwa tatanegara yang
baik merupakan
platform
terselenggaranya
kesuksesan demokrasi.
Tatanegara yang
tidak baik ini
menyebabkan gagasan
demokrasi yang telah
dibentuk sejak
deklarasi kemerdekaan
tidak
dapat dijalankan dengan
baik dalam rangka
mewujudkan
kesejahteraan dan
keadilan sosial
bagi masyarakat.
Demokrasi dan keadilan
sosial adalah dua hal
yang tidak dapat
dipisahkan bahwa
demokrasi yang
berhasil adalah
demokrasi yang mampu
mewujudkan keadilan
sosial bagi
rakyatnya, hal ini
diperkuat dengan isi sila
ke 5 dari
pancasila.Demokrasi
membawa gagasan
mulia yaitu mencapai
kesejahteraan
masyarakat
dankeadilan sosial.
Namun yang terjadi di
Indonesia, demokrasi
hanya sampai pada
tataran prosedural,
demokrasi dimaknai
hanya
sekedar keberhasilan
melaksanakan pemilu
tanpa melihat sisi lain
yang jauh lebih penting
seperti keadilan sosial
dan kesejahteraan
masyarakat.
Aristoteles
menyebutkan bahwa
“Landasan konstitusi
yang demokratis
adalah
kemerdekaan/kebebasa
n”. Kemerdekaan dan
kebebasan menurut
John Rawls harus
diberikan
kepada setiap individu
apabila suatu negara
ingin mewujudkan
adanya keadilan sosial,
artinya
keadilan sosial tidak
akan ada bila
kemerdekaan individu
tidaklah ada.
Membangun keadilan
sosial harus dimulai
dengan memberi
individual freedom,
namun pemberian
individual
freedom harus
dibarengi dengan
adanya sistem yang
fairness. Fairness
setidaknya dapat
menjamin
keseimbangan antara
elemen-elemen
masyarakat. Sehingga
ketimpangan antara
yang menang dan yang
kalah tidak terlalu jauh
dan jarak antara orang
yang kaya dan miskin
tidak terlampau dalam.
Hal ini menjadi
paradoks demokrasi
dan keadilan sosial
di Indonesia dimana
pemberian individual
freedom sebagaimana
yang dikemukkan John
Rawls tidak dibaregi
dengan adanya
sistem yang fairness
sehingga para pemlik
modal dan elit-elit
yang
berkuasalah yang paling
menikmati adanya
individual freedom
tersebut. Kebijakan–
kebijakan
yang dikeluarkan
pemerintah membuat
rakyat miskin
semakin terpuruk dan
yang kaya
semakin menikmati
kesuksesannya.
Beberapa contoh
boleh kita perhatikan,
adanya
perdagangan bebas
dengan China selama
ini memberikan
contoh bahwa
kebijakan yang
dilakukan pemerintah
membuat gap semakin
terlihat. Bagaimana
mungkin pengusaha
dalam
negeri dapat bersaing
dengan China yang
menawarkan harga
murah bagi setiap
produknya.
Kebijakan yang sangat
tidak menguntungkan
pedagang lokal
semakin diperparah
dengan
membiarkan mereka
berkompetisi tanpa
memberikan insentif
kepada pedagang
lokalagar
kompetisi lebih
berimbang. Contoh
lain, hadirnya
supermarket sebagai
tempat one stop
shopping yang
menyediakan semua
kebutuhan dalam satu
tempat membuat
pedagang lokal
semakin terasingkan.
Dalam kasus kenaikan
BBM, kebijakan tersebut
tidak dibarengi dengan
peningkatan jumlah
lapangan pekerjaan atau
kenaikan upah bagi para
buruh sehingga mereka
tidak mampu membeli
BBM sedangkan yang
kaya tidak merasa
kesulitan atas kenaikan
BBM
tersebut, maka
ketimpangan semakin
terlihat disini.
Jika keadaan yang
terjadi seperti ini, mulai
dari ketatanegaraan
yang yang tidak beres
sampai keadilan sosial
yang diidamkan hanya
sekedar harapan tanpa
realisasi, maka dapat
dipastikan bahwa
negara kita
mengalami deficit
demokrasi yang parah.
Biaya yang kita
keluarkan untuk
menegakkan demokrasi
jauh lebih besar
daripada keuntungan
yang kita
dapatkan. Permasalah
di negeri ini
menunjukkan bahwa
demokrasi kita
menghadapi
stagnasi. Defisit
demokrasi terjadi
karena melencengnya
demokrasi dari tujuan
awalnya,
Dimana demokrasi
dengan cita-cita
awalnya adalah
mewujudkan
kesejahteraan
masyarakat
melalui suatu keadilan
sosial ternyata pada
kenyataannya tidak
dijalankan dengan baik.
Gagal
bekerjanya sistem
politik inilah yang
melahirkan defisit
demokrasi.
Kelembagaan, reformasi
hukum, birokrasi, dan
militer tidak bekerja
sebagaimana mestinya.
Sistem tata negara yang
berantakan, Hukum di
negara kita berjalan
apabila menghadapi
tekanan saja,
selebihnya
tetap uang yang
memainkan peranan
yang besar, kemudian
mutu pelayanan
birokrasi
rendah, dan korupsi
dimana-mana
menunjukkan defisit
demokrasi di negara
kita. Jika
keadaan terus begini,
Indonesia akan
semakin menuju
kearah failed state
seperti yang
dikatakan Chomsky:
bahwa negara gagal
mempunyai ciri utama
sebagai berikut :One is
their inability or
unwilingness to protect
their citizens from
violence and perhaps
even destruction.
Another is their
tendency to regard
themselves as beyond
their reach of
domestic
and international
law,........If they have
democratic forms, their
suffer from a serious
“democratic deficit”
that deprives their
formal democratic
intitutions of real
substance.
Gaffar, Afan. (1999). “
Politik Indonesia,
Transisi Menuju
Demokrasi”. Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar.
Held, David. (2004). “
Demokrasi dan
Tatanan Global : Dari
Negara Modern
Hingga
Pemerintahan
kosmopolitan “.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Legowo, TA. (2004).
“Keadilan Sosial, Upaya
Mencari Makna
Kesejahteraan Bersama
di
Indonesia”. Jakarta:
Kompas.
Nurtjahjo, Hendra.
(2006). “Filsafat
Demokrasi”. Jakarta :
Bumi Aksara.
Revitch, Diane dan
Thernstrom Abigail.
(2005), “ Demokrasi
Klasik & Modern “,
Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sitepu, P. Anthonius.
(2006).” Sistem Politik
Indonesia”. Medan :
Pustaka Bangsa Press.
Syamsuddin,
Nazaruddin. (1994). “
Integrasi dan
Ketahanan Nasional di
Indonesia “.
Jakarta : Lemhanas.
Ujan, Andre Ata. (2001).
“ Keadilan dan
Demokrasi, Jelajah
Filsafat Politik John
Rawls”

Perubahan Sistem Politik


Indonesia Pasca
Reformasi 1998,
Keadilan Sosial, dan
Deficit Demokrasi
Hingga Kini.
Cut Maya Aprita Sari, S.
Sos, M. Soc. Sc.
Pasca reformasi 1998
Indonesia mengalami
perubahan yang cukup
besar dalam sistem
politiknya. Salah satu
aspek penting dalam
bidang politik yang
menjadi sasaran
utama
perubahan adalah
kekuasaan
pemerintahan Suharto
yang dikelola secara
sentralistik. Memang
kekuasaan yang
sentralistik tidak
senantiasa buruk.
Gagasan Plato tentang
The philosopher
king setidaknya
menunjukkan bahwa
kekuasaan sentralistis,
jika dijalankan oleh
seorang
penguasa yang amat
bijaksana dapat
menghasilkanhal-hal
positif bagi
perkembangan
masyarakat, keadilan,
kesejahteraan dan
integrasi bagi negara
tersebut. Namun yang
terjadi di
Indonesia adalah
sebaliknya,
pemerintahan otoriter
selama 32 tahun
menutup akses
demokrasi
bagi rakyat, sehingga
kejatuhan pemerintahan
Suharto disambut
gembira oleh sebagian
besar
kalangan rakyat
Indonesia. Pada saat itu
sistem politik indonesia
berganti dari otoriter
menuju
orde reformasi yang
dicirikan dengan
liberalisasi politik dan
ekonomi. Setelah
Suharto turun,
pengaktifan hak-hak
rakyat terlihat dari
adanya suatu
partisipasi politik
yang tinggi dari
rakyat, jumlah partai
politik peserta pemilu
1999 pun mengalami
lonjakan.
Dalam perjalanannya,
sistem politik di
indonesia pasca
reformasi
menunjukkan
perubahan yang
cepat. Terdapat
perkembangan positif
bahwa dengan
runtuhnya rezim
Suharto, kebebasan
sipil yang dulu tidak
bisa dinikmati kini
dapat dinikmati
walaupun
terkadang sering kali
keluar dari norma-
norma yang berlaku,
terlepas dari itu,
masyarakat kini
lebih bebas
berpendapat,
menyuarakan
aspirasinya dan
berpolitik.
Berbicara mengenai
sistem politik, Gabriel
A. Almond and G.
R. Powell
mengungkapkan konsep
Capability of system
politics yang dapat kita
pergunakan sebagai alat
untuk mengenalisis
sejauh mana
keberhasilan atau
kegagalan sistem
politik demokrasi di
Indonesia. Menurut
Almond dan Powell
(1965), ada 5 macam
kemampuan sistem
politik,
yaitu: (1)Kemampuan
Extractive, berkaitan
dengan bagaimana
sumber daya alam dan
sumber
daya manusia diolah
dan dikelola untuk
kepentingan nasional,
regional maupun
masyarakat
secara keseluruhan;
(2)Kemampuan
Regulative yang
merupakan
kemampuan negara
dalam
melakukan pengawasan
terhadap tingkah laku
masyarakat, pengaturan
dan menjamin hak-hak
individu maupun
kelompok;
(3)Kemampuan
distributif, berkenaan
dengan kemampuan
pendistribusian sumber
daya alam secara
merata untuk
mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi
masyarakat;
(4)Kemampuan
simbolik, Yakni
kemampuan pemerintah
dalam membuat suatu
kebijakan yang sedapat
mungkin bisa diterima
oleh rakyat.
Kemampuan simbolik
juga terkait
dengan bagaimana
simbol-simbol
kenegaraan mendapat
kepercayaan dari
rakyat; dan
(5)Kemampuan
Responsif, dimana
sistem politik dapat
dikatakan memiliki
kemampuan
respons yang tinggi
apabila ia dapat
memberikan tanggapan
terhadap tuntutan yang
muncul.
Melalui 5 jenis
kemampuan ini, kita
dapat melihat bahwa
sebenarnya masih
banyak
tantangan kedepan
yang harus diperhatikan
dalam demokrasi negara
kita, antara lain: Dalam
ketatanegaraan
Indonesia, perubahan
konstitusi terlihat dari
diamandemenya
Undang-Undang
Dasar sebanyak
beberapa kali.
Perubahan amandemen
ini mengakibatkan
reformasi dibidang
ketatanegaraan
Indonesia, salah
satunya yaitu
dibentuknya sebuah
lembaga baru bernama
Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPD).
Sejak dibentuknya DPD
maka sistem perwakilan
di Indonesia berubah
dari unikameral menjadi
bikameral. Hal ini
merupakan suatu
keadaan
yang agak aneh ketika
negara kesatuan
menganut sistem
bikameral, karena
sebagaimana yang
kita ketahui, bikameral
hanya cocok di negara
federal. DPD yang
tadinya dianggap
dapat
merepresentasikan
kepentingan daerah
dalam kenyataannya
belum berfungsi
dengan baik,
terlihat dari kebijakan-
kebijakan di tingkat
nasional masih saja
kurang memperhatikan
rakyat
daerah maka dalam hal
ini kemampuan DPD
masih dipertanyakan.
Kemudian, prinsip
checks and balances
antar cabang
kekuasaan negara
seperti
legislatif dan
eksekutif masih kabur
batas-batasnya dan
kekuasaan diantara
keduanya
tumpang tindih, begitu
juga halnya dengan
mahkamah agung dan
mahkamah konstitusi.
Hal-
hal mengenai
penghargaan terhadap
hak asasi manusia yang
tertulis didalam UU
tidak juga
diperlihatkan dalam
kehidupan nyata,
terbukti dari masih ada
saja konflik-konflik di
daerah.
Korban kasus
pelanggaran HAM
seperti DOM di Aceh
bahkan sampai
sekarang belum
mendapatkan keadilan.
Selanjutnya, partai
politik semakin tidak
dipercaya karena
hanya
berisikan orang-orang
yang berebut
kekuasaan. Birokrasi
kita yang lambat
diperparah dengan
korupsi pejabat-
pejabatnya
menimbulkan
kekecewaan yang
dalam. Terlebih lagi
hukum hanya
berpihak kepada
sekelompok orang
dengan kelas
menengah keatas, ini
memperlihatkan
kemampuan regulatif
yang masih rendah.
Hubungan yang tidak
harmonis antara pusat
dan daerah sering
terjadi di Indonesia
akibat dari diskriminasi
dalam hal distribusi
kesejahteraan yang
berakibat kepada
disintegrasi
bangsa. Keadaan ini
membuat kemampuan
distributif dan
ekstraktif mendapatkan
nilai
negatif. David held
(2004) menyatakan,
ternyata anggapan
“semua permasalahan
yang
muncul dalam suatu
negara seakan-akan
hanya bisa diselesaikan
secara demokrasi.
Undang-
undang, hukum, adat
istiadat terlihat sangat
baik apabila semuanya
bersifat demokratis.
Nilai-
nilai yang terkandung
didalam sistem
demokrasi diyakini
dapat membawa
negara
penganutnya kearah
yang lebih baik”. Dalam
kenyataannya tidaklah
selalu benar.
Kehilangan
kepercayaan
masyarakat terhadap
pemerintah dan
aparatur nya
menunjukkan bahwa
kemampuan simbolik
juga rendah,
masyarakat tidak lagi
menghargai
simbol-simbol negara
yang selama ini
mengecewakan rakyat.
Kebijakan yang kerap
kali
mendapat penolakan
dari rakyat juga
menambah nilai
minus dari
kemampuan simbolik
ini.
Apatisme terhadap
politik semakin
meningkat seiring
dengan semakin
tipisnya kepercayaan
rakyat terhadap proses
politik
Hal diatas menunjukkan
bahwa ada
permasalahan yang
rumit dibalik demokrasi
yang
kita terapkan. Harus
diakui bahwa ternyata
selama ini konsep
ketatanegaraan kita
masih
belum sempurna
padahal seperti
pendapat Habermas
bahwa tatanegara yang
baik merupakan
platform
terselenggaranya
kesuksesan demokrasi.
Tatanegara yang
tidak baik ini
menyebabkan gagasan
demokrasi yang telah
dibentuk sejak
deklarasi kemerdekaan
tidak
dapat dijalankan dengan
baik dalam rangka
mewujudkan
kesejahteraan dan
keadilan sosial
bagi masyarakat.
Demokrasi dan keadilan
sosial adalah dua hal
yang tidak dapat
dipisahkan bahwa
demokrasi yang
berhasil adalah
demokrasi yang mampu
mewujudkan keadilan
sosial bagi
rakyatnya, hal ini
diperkuat dengan isi sila
ke 5 dari
pancasila.Demokrasi
membawa gagasan
mulia yaitu mencapai
kesejahteraan
masyarakat
dankeadilan sosial.
Namun yang terjadi di
Indonesia, demokrasi
hanya sampai pada
tataran prosedural,
demokrasi dimaknai
hanya
sekedar keberhasilan
melaksanakan pemilu
tanpa melihat sisi lain
yang jauh lebih penting
seperti keadilan sosial
dan kesejahteraan
masyarakat.
Aristoteles
menyebutkan bahwa
“Landasan konstitusi
yang demokratis
adalah
kemerdekaan/kebebasa
n”. Kemerdekaan dan
kebebasan menurut
John Rawls harus
diberikan
kepada setiap individu
apabila suatu negara
ingin mewujudkan
adanya keadilan sosial,
artinya
keadilan sosial tidak
akan ada bila
kemerdekaan individu
tidaklah ada.
Membangun keadilan
sosial harus dimulai
dengan memberi
individual freedom,
namun pemberian
individual
freedom harus
dibarengi dengan
adanya sistem yang
fairness. Fairness
setidaknya dapat
menjamin
keseimbangan antara
elemen-elemen
masyarakat. Sehingga
ketimpangan antara
yang menang dan yang
kalah tidak terlalu jauh
dan jarak antara orang
yang kaya dan miskin
tidak terlampau dalam.
Hal ini menjadi
paradoks demokrasi
dan keadilan sosial
di Indonesia dimana
pemberian individual
freedom sebagaimana
yang dikemukkan John
Rawls tidak dibaregi
dengan adanya
sistem yang fairness
sehingga para pemlik
modal dan elit-elit
yang
berkuasalah yang paling
menikmati adanya
individual freedom
tersebut. Kebijakan–
kebijakan
yang dikeluarkan
pemerintah membuat
rakyat miskin
semakin terpuruk dan
yang kaya
semakin menikmati
kesuksesannya.
Beberapa contoh
boleh kita perhatikan,
adanya
perdagangan bebas
dengan China selama
ini memberikan
contoh bahwa
kebijakan yang
dilakukan pemerintah
membuat gap semakin
terlihat. Bagaimana
mungkin pengusaha
dalam
negeri dapat bersaing
dengan China yang
menawarkan harga
murah bagi setiap
produknya.
Kebijakan yang sangat
tidak menguntungkan
pedagang lokal
semakin diperparah
dengan
membiarkan mereka
berkompetisi tanpa
memberikan insentif
kepada pedagang
lokalagar
kompetisi lebih
berimbang. Contoh
lain, hadirnya
supermarket sebagai
tempat one stop
shopping yang
menyediakan semua
kebutuhan dalam satu
tempat membuat
pedagang lokal
semakin terasingkan.
Dalam kasus kenaikan
BBM, kebijakan tersebut
tidak dibarengi dengan
peningkatan jumlah
lapangan pekerjaan atau
kenaikan upah bagi para
buruh sehingga mereka
tidak mampu membeli
BBM sedangkan yang
kaya tidak merasa
kesulitan atas kenaikan
BBM
tersebut, maka
ketimpangan semakin
terlihat disini.
Jika keadaan yang
terjadi seperti ini, mulai
dari ketatanegaraan
yang yang tidak beres
sampai keadilan sosial
yang diidamkan hanya
sekedar harapan tanpa
realisasi, maka dapat
dipastikan bahwa
negara kita
mengalami deficit
demokrasi yang parah.
Biaya yang kita
keluarkan untuk
menegakkan demokrasi
jauh lebih besar
daripada keuntungan
yang kita
dapatkan. Permasalah
di negeri ini
menunjukkan bahwa
demokrasi kita
menghadapi
stagnasi. Defisit
demokrasi terjadi
karena melencengnya
demokrasi dari tujuan
awalnya,
Dimana demokrasi
dengan cita-cita
awalnya adalah
mewujudkan
kesejahteraan
masyarakat
melalui suatu keadilan
sosial ternyata pada
kenyataannya tidak
dijalankan dengan baik.
Gagal
bekerjanya sistem
politik inilah yang
melahirkan defisit
demokrasi.
Kelembagaan, reformasi
hukum, birokrasi, dan
militer tidak bekerja
sebagaimana mestinya.
Sistem tata negara yang
berantakan, Hukum di
negara kita berjalan
apabila menghadapi
tekanan saja,
selebihnya
tetap uang yang
memainkan peranan
yang besar, kemudian
mutu pelayanan
birokrasi
rendah, dan korupsi
dimana-mana
menunjukkan defisit
demokrasi di negara
kita. Jika
keadaan terus begini,
Indonesia akan
semakin menuju
kearah failed state
seperti yang
dikatakan Chomsky:
bahwa negara gagal
mempunyai ciri utama
sebagai berikut :One is
their inability or
unwilingness to protect
their citizens from
violence and perhaps
even destruction.
Another is their
tendency to regard
themselves as beyond
their reach of
domestic
and international
law,........If they have
democratic forms, their
suffer from a serious
“democratic deficit”
that deprives their
formal democratic
intitutions of real
substance.
Gaffar, Afan. (1999). “
Politik Indonesia,
Transisi Menuju
Demokrasi”. Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar.
Held, David. (2004). “
Demokrasi dan
Tatanan Global : Dari
Negara Modern
Hingga
Pemerintahan
kosmopolitan “.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Legowo, TA. (2004).
“Keadilan Sosial, Upaya
Mencari Makna
Kesejahteraan Bersama
di
Indonesia”. Jakarta:
Kompas.
Nurtjahjo, Hendra.
(2006). “Filsafat
Demokrasi”. Jakarta :
Bumi Aksara.
Revitch, Diane dan
Thernstrom Abigail.
(2005), “ Demokrasi
Klasik & Modern “,
Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sitepu, P. Anthonius.
(2006).” Sistem Politik
Indonesia”. Medan :
Pustaka Bangsa Press.
Syamsuddin,
Nazaruddin. (1994). “
Integrasi dan
Ketahanan Nasional di
Indonesia “.
Jakarta : Lemhanas.
Ujan, Andre Ata. (2001).
“ Keadilan dan
Demokrasi, Jelajah
Filsafat Politik John
Rawls”

Anda mungkin juga menyukai