Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tokoh Aristoteles tentu tidak asing lagi bagi kita karena telah

menorehkan sejarah dan pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran

filosofis, bahkan Aristotelses dikenal dengan Bapak Logika. Sampai saat ini,

filsafat Aristoteles masih juga digunakan karena sebagai landasan dalam berpikir.

Realisme sebagai aliran filsafat berpendirian bahwa yang ada ditangkap

panca indra dan yang konsepnya ada dalam budi itu memang nyata adanya. Pada

Aristoteles kita menyaksikan bahwa pemikiran filsafat lebih maju, dasar-dasar

sains diletakkan. Pandangannya lebih realis dari pada pandangan plato, yang

didasari pada abstrak. Karena pendekatan yang dilakukan oleh Aristoteles adalah

pendekatan empiris. Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian dialam

dan mendukung pengembangan ilmu-ilmu khusus.

Dengan demikian, aliran realisme sangat menarik untuk diketahui lebih

lanjut sehingga penulis membuat makalah tentang Realisme Aristoteles.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana aliran filsafat Realisme Aristoteles itu?

2. Apa saja ajaran pokok Realisme?

3. Bagaimana epistimologi Realisme itu?

1
4. Bagaimana implikasi Realisme dalam Pendidikan?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui aliran filsafat Realisme Aristoteles.

2. Untuk mengetahui ajaran-ajaran pokok Realisme.

3. Untuk mengetahui epistimologi Realisme.

4. Untuk mengetahui implikasi Realisme dalam pendidikan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Reslisme Aristoteles

Realisme merupakan aliran atau paham filsafat yang sudah tua, tetapi

masih tetap bertahan sampai sekarang. Tokoh utama dan pertama aliran ini

adalah Aristoteles yang hidup pada zaman Yunani Kuno pada tahun 384-322

SM. Ia merupakan seorang filsuf Yunani yang lahir di Stagira, kota di wilayah

Chalcidice, Thracia, Yunani (dulu termasuk wilayah Makedonia tengah) tahun

384 SM.  Aristoteles juga merupakan anak didik dari seorang guru yang bernama

Plato. Aristoteles mengembangkan pandangan epistemologis yang berbeda

dengan gurunya. Plato memiliki pandangan epistemologis idealisme, sedangkan

Aristoteles mengembangkan realisme.

Realisme Aristoteles didasarkan pada prinsip bahwa ide-ide (atau bentuk)

bisa ada tanpa masalah, tapi tidak peduli bisa eksis tanpa bentuk. Aristoteles

menyatakan bahwa setiap bagian materi memiliki sifat universal dan khusus.

Sebagai contoh, semua orang berbeda dalam sifat-sifat mereka. Kita semua

memiliki berbagai bentuk dan ukuran namun tidak ada dua yang sama.

Pandangan aristoteles yang lebih realis dari pada Plato, yang didasarkan

pada hal yang konkret. Ini merupakan akibat didikan pada waktu kecil, yang

menghadapkannya senantiasa pada kenyataan. Ia terlebih dahulu memandang

kepada yang konkret, yang nyata. Ia bermula dengan mengumpulkan fakta-fakta.

3
Fakta-fakta itu disusun menurut ragam dan jenis atau sifatnya dalam suatu

sistem. Kemudian, ditinjaunya persangkutpautan satu sama lain. Ia ingin

menyelidiki sebab-sebab yang bekerja dalam kenyataan yang nyata dan menjadi

keterangannya.

Secara umum, realisme sebagai aliran epistemologi atau filsafat

sebenarnya ada beberapa ragam, yaitu :

1. Realisme Klasik, dengan tokoh utama Aristoteles

2. Realisme Saintifik, yang dianut oleh para saintis sebagai basis untuk

memahami kenyataan, terutama dalam bidang ilmu-ilmu alam (natural

sciences)

3. Realisme Theistik, dengan tokoh utama Thomas Aquinas yang mencoba

memahami Ada Mutlak sebagai Supra-natural.

B. Ajaran Pokok Realisme

Aliran realisme baik klasik, saintifik, maupun theistik memiliki ajaran

yang diyakini oleh para pengikutnya sebagai kebenaran. Ada empat hal penting

dalam ajaran realisme tersebut, yaitu :

a. Kehidupan dunia di dalamnya terdapat banyak hal yaitu manusia, hewan,

tumbuhan, benda-benda, dan sebagainya yang eksistensinya benar-benar nyata

(real), ada dalam dirinya sendiri.

b. Objek-objek realitas itu ada tanpa memandang harapan dan keinginan

manusia.

4
c. Manusia denngan nalarnya dapat mengetahui tentang objek-objek realitas.

d. Pengetahuan yang diperoleh tentang objek, hukum-hukumnya, dan

hubungannya satu sama lain adalah petunjuk yang paling diandalkan untuk

tindakan-tindakan manusia.

C. Epistimologi Realisme

Realisme berpandangan bahwa mengetahui itu sama artiya dengan

memiliki pengetahuan tentang suatu objek. Kognisi atau hasil mengetahui itu

melibatkan interaksi antara pikiran manusia dan dunia di luar pikiran manusia.

“The difference between sense perception and intellectual apprehension

is not that the former grasps an object which is particular while the latter has an

object which is universal; sense perception is itself in a way of something

universal. The difference lies in the fact that in sense perception there must

always be a direct causal action on the faculty by an external physical object,

and hence the cognition can always be traced back to a concrete particular with

a definite location in space and time. But the intellect is affected as often as not

by mental images, and these are not necessarily tied back to some concrete

particular object. Hence we get cognition which has no peculiar causal tie to

one concrete object rather than another. In other words, this reflects Aristotle's

own thinking that intellectual knowledge is not always a knowing of some

particular that it has some feature, but rather can be just a knowing that any

particular of a certain class has some feature.”

5
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan persepsi antara

indera dan pemahaman intelektual terletak pada kenyataan bahwa dalam persepsi

indera harus selalu ada tindakan dengan objek dan karenanya kognisi selalu dapat

dilacak kembali. Dengan kata lain, ini mencerminkan pemikiran Aristoteles

sendiri bahwa pengetahuan intelektual tidak selalu merupakan pengetahuan

tentang beberapa hal tertentu yang memiliki beberapa fitur, tetapi lebih dari

sekadar mengetahui bahwa setiap kelas tertentu memiliki fitur tertentu.

Proses awal manusia mengetahui objek adalah sensation. Istilah itu

diartikan sebagai proses tertangkapnya objek di luar manusia oleh indera

manusia. Hasilnya adalah pengalaman indrawi atau data sensori. Kemudian akal

atau pikiran manusia menyortir, merangkai, mengklasifikasi, mengabstraksikan

atas hasil tangkapan indera tersebut. Proses abstraksi diartikan sebagai proses

bekerjanya akal untuk mencari unsur- unsur umum yang harus ada dan selalu

ditemukan dalam beberapa objek, serta unsur lain yang bersifat kontingen

(kadang- kadang ditemukan dalam sebuah objek). Proses abstraksi ini sangat

penting bagi subjek yang ingin mendapatkan pengetahuan yang hakiki tentang

objek tersebut. Sebagai contoh, kita melihat berbagaiu jenis lembaga pendidikan:

ada sekolah, ada lembaga kursus, ada akademi, dan ada universitas, dan

sebagainya. Semua jenis lembaga pendidikan tersebut memiliki beberapa

kesamaan, salah satunya dalah kesamaan misinya yaitu menuntun segenap

kekuatan kodrat yang dimiliki anak didik untuk mencapai kesempurnaan

6
hidupnya. Semua lembaga pendidikan didalamnya terdapat interaksi edukatif

yang melibatkan toga unsur dasar, yaitu: pendidik, anak didik, dan tujuan

pendidikan. Jadi, sebenarnya dalam proses abstraction itu seseorang menangkap

bentuk umum suatu objek, sedangkan sensation menghadirkan materi suatu

objek.

Bagi kaum realis, mengetahui adalah dua sisi proses yang melibatkan

sensasi dan abstraksi. Bila sensasi memperkenalkan objek dan memberi kita

informasi tentang aspek material dari objek, kemudian data masuk ke dalam

pikiran kita seperti data yang masuk ke dalam program komputer. Melalui suatu

proses abstraksi, akal sehat merangkai data dalam dua kategori besar, yang satu

sebagai sesuatu yang harus ada yang selalu ditemukan dalam sebuah objek yaiu

substansi, dan yang lain bersifat kontingen atau kadang- kadang ditemukan

dalam sebuah objek.

Berdasarkan pandangan dan pendapat diatas, maka epistemologi kaum

realisme disebut juga epistemologi “teori pengamatan”. Artinya epistemologi

yang menekankan manusia sebagai pengamat kenyataan. Karena kita semua

biasanya terlibat dalam proses mengetahui yang melibatkan sensasi dan

abstraksi. “pengamatan” kita dapat berkisar dari hal- hal yang paling kasar

sampai kepada pengumpulan data yang menggunakan cara- cara terlatih dengan

tepat dan akurat.

7
Realisme mengakui bahwa segala sesuatu memiliki materia dan forma.

Materia adalah asas yang sama sekali terbuka. Materi adalah kemungkinan untuk

menerima bentuk. Adapun bentuk adalah asas yang menentukan. Begitu juga

pada diri manusia, terdapat dua aspek yaitu jiwa dan raga. Badan atau raga

adalah materi, sedangkan jiwa adalah bentuknya. Jiwa adalah aktus pertama dari

suatu badan organis. Perubahan sesuatu tersebut menurut Aristoteles selalu

menunjukkan adanya tiga faktor yaitu: (1) Alas yang tetap, (2) keadaan yang

lama, (3)keadaan yang baru. Semuanya itu dapat diketahui oleh manusia melalui

kegiatan pengamatan berupa sensasi dan abstraksi. Dengan memanfaatkan kedua

kegiatan tersebut, manusia akan mendapatkan pengetahuan. Ada tiga tingkatan

pengetahuan manusia, yaitu (1) Tingkat pengetahuan pengalaman adalah

pengetahuan manusia tentang suatu hal, (2) Tingkat pengetahuan keterampilan

adalah pengetahuan manusia untuk menghasilkan sesuatu, dan (3) Tingkat

pengetahuan ilmiah, adalah pengetahuan manusia demi memperoleh

pengetahuan.

D. Implikasi Realisme dalam Pendidikan

Dari pandangan realisme tentang tantangan kenyataan dan proses

mengetahui tersebut membawa implikasi dalam bidang pendidikan, sebagai

berikut :

a. Tujuan Pendidikan

8
Aristoteles berpendapat bahwa pendidikan bertujuan membantu manusia

mencapai kebahagiaan dengan mengembangkan potensi diri seoptimal mungkin

agar manusia menjadi unggul (excellence). Tujuan pendidikan bagi realisme

adalah membantu manusia dalam mengembangkan potensi diri seoptimal

mungkin agar mencapai kedewasaan dan kebahagiaan hidup melalui pemberian

peluang yang sebesar-besarnya pengalaman belajar mengenai beragam objek.

b. Konsep tentang Sekolah

Setiap lembaga memiliki peran khusus, seperti lembaga keluarga, masjid,

dan sekolah. Sekolah adalah lembaga formal dengan misi utamanya adalah

memberikan bekal kemampuan dan kecakapan kepada anak agar dapat hidup

lebih baik. Guru di sekolah dituntut mempunyai kompetensi yang diperlukan,

dalam arti harus ahli dalam bidangnya, mengenal pribadi anak, dan mengetahui

cara mengajar yang efektif. Fungsi utama sekolah adalah realistik adalah

pengembangan intelektual yang efisien bagi anak, selain fungsi lainnya seperti

fungsi rekreasional, fungsi komunitas sosial, dan lain-lain.

c. Kurikulum

Cara yang paling efisien dan efektif untuk memahami kenyataan adalah

belajar sistematis suatu disiplin ilmu. Maka, kurikulum seharusnya terdiri dari

dua komponen dasar. Pertama, bidang kajian yang mencakup ilmu-ilmu empirik-

obyektif, seperti: Fisika, Kimia, Biologi, Sosiologi, Antropologi, Psikologi,

9
Ekonomi, dan lain-lain. Kedua, bidang kajian yang mencakup ilmu-ilmu

normatif, seperti agama, moral, dan ilmu pendidikan untuk membentuk watak dan

kepribadian anak menjadi manusia dan bermartabat.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Realisme Aristoteles didasarkan pada prinsip bahwa ide-ide (atau bentuk)

bisa ada tanpa masalah, tapi tidak peduli bisa eksis tanpa bentuk. Pandangan

Aristoteles terbukti lebih realis dari pada gurunya, yaitu Plato. Di mana ia lebih

mendasarkan pada hal-hal yang konkret. Ia bermula dengan mengumpulkan

fakta-fakta yang kemudian fakta-fakta itu disusun menurut ragam dan jenis atau

sifatnya dalam suatu sistem. Dari aliran Realisme ini dapat diimplikasikan dalam

pendidikan melalui tujuan pendidikan, konsep tentang sekolah dan kurikulum.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis memberikan saran-saran sebagai

berikut.

1. Makalah ini jauh dari sempurna, bagi pembaca dapat menyempurnakan

dengan hasil karya yang sama.

10
2. Makalah ini masih banyak kekurangan, maka silakan pembaca menambah

kekurangan tersebut dan dapat meluruskan hal-hal yang kurang sesuai.

3. Mengimplikasikan realisme dengan baik terutama dalam bidang pendidikan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT. Refika Aditama.

Rohman, Arif., Rukiyati, dan Andriani Purwastuti. 2014. Epistemologi dan Logika.

Yogyakarta : UNY PRESS.

Rukiyati dan Andriani Purwastuti. 2002. Epistimologi (Filsafat Pengetahuan).

Yogyakarta: UNY

Tweedale, Martin. (1988). Aristotle’s Realism. Canadian Journal of Philosophy, 18,

501-526

https://www.academia.edu/12097647/Filsafat_Umum_Realisme_Aristoteles

https://www.slideshare.net/edelweiss_biru/makalah-filsafat-realisme-aristoteles

12

Anda mungkin juga menyukai