Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KORTIKOSTEROID

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK III
1) Sandy Feroza 1843700110
2) Esa Nugroho 1843700114
3) Abdul Latif 1843700128
4) Cendi Purwasih 1843700132
5) Hutami Ladjusa Pratiwi 1843700134

PROGRAM STUDI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945

JAKARTA

Pendahuluan
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia kedokteran.
Begitu luasnya penggunaan kortikosteroid ini bahkan banyak yang digunakan tidak sesuai
dengan indikasi maupun dosis dan lama pemberian,seperti pada penggunaan kortikosteroid
sebagai obat untuk menambah nafsu makan dalam waktu yang lama dan berulang sehingga bias
memberikan efek yang tidak diinginkan.
Untuk menghindari hal tersebut diperlukan pemahaman yang mendalam dan benar tentang
kortikosteroid baik farmakokinetik,physiologi didalam tubuh maupun akibat-akibat yang bisa
terjadi bila menggunakan obat tersebut.
Kortokosteroid pertama kali dipakai untuk pengobatan pada tahun 1949 oleh Hence et al untuk
pengobatan rheumatoid arthritis. Sejak saat tersebut kortikosteroid semakin luas dipakai dan
dikembangkan usaha-usaha untuk membuat senyawa-senyawa glukokorticoid sintetik untuk
mendapatkan efek glukokortikoid yang lebih besar dengan efek mineralokortikoid lebih kecil
serta serendah mungkin efek samping ( 1 )
Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar
adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh
kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis
pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan
pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta
tingkah laku1.
Klasifikasi kortikosteroid
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak di atas
ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol
darinya, yaitu:
1. Glukokortikoid
- Contohnya: kortisol
- berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
- bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula
menurunkan kinerja eosinofil.
2. Mineralokortikoid
- Contohnya: aldosteron, desoksikortikosteron, fludokortison
- berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal.

Mekanisme kerja kortikosteroid

Farmakodinamik

Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus sel
membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock protein
kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke
dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai
gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan
tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan DNA jadi hormon ini
tidak menghambat kerja reseptor pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai
jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada
gen untuk menimbulkan ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek “penghambatan umpan balik cepat” yang
terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh
mekanisme nontranskripsi3(Katzung, G. Bertram, Farmakologi dasar dan klinik, hal 617-618 .
edisi IV, EGC, Jakarta: 1997)
A. Farmakokinetik
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik
Desoksikortikosteron asetat tidak efektif pada pemberian oral. Untuk mencapai kadar tinggi
dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol dan derivat sintetiknya diberikan secara IV.
Untuk mendapatkan efek yang lama kortisol dan esternya diberikan secara IM.
(Bagian farmakologi FKUI, Farmakologi dan Terapi, hal 492 . Edisi 4, Jakarta: 1995)

Fungsi kortikosteroid
1. Terhadap Metabolisme :
 Karbohidrat :

Meningkatkan glukoneogenesis

Mengurangi penggunaan glukosa di jaringan perifer dengan cara menghambat uptake
dan penggunaan glukosa oleh jaringan mungkin melalui hambatan transporter glucose
(3)

 Lemak:
 Meningkatkan lipolisis dijaringan lemak
 Pada penggunaan khronis dapat terjadi redistribusi sentral lemak didaerah
dorsocervical,bagian belakang leher ( “ Buffalo hump “ ) muka ( “ moon face ” )
supraclavicular,mediastinum anterior dan mesenterium( 1,2 )
.Mekanisme terjadinya
redistribusi ini tidak jelas.
 Protein:
Meningkatkan pemecahan protein menjadi asam amino dijaringan perifer yang
kemudian digunakan untuk glukoneogenesis.
2. Terhadap proses keradangan dan fungsi immunologis:
Produksi normal dari glukokortikoid endogen tidak akan berpengaruh secara
bermakna terhadap proses keradangan dan penyembuhan ( 2 )
. Kelebihan glukokortikoid
endogen dapat menekan fungsi immunologis dan dapat mengaktifasi infeksi latent. Efek
immunosupressi ini digunakan dalam pengobatan penyakit-penyakit autoimmune, proses
inflammasi dan transplantasi organ.
Peran glukokortikoid dalam proses immunologis dan inflammasi( 2,3 ) adalah :
- Merangsang pembentukan protein ( lipocortin ) yang menghambat phospholipase A2
sehingga mencegah aktivasi kaskade asam arachidonat dan pengeluaran prostaglandin.
- Menurunkan jumlah limfosit dan monosit diperifer dalam 4 jam, hal ini terjadi karena
terjadi redistribusi temporer limfosit dari intravaskular kedalam limpa, kelenjar
limfe,ductus thoracicus dan sumsum tulang.
- Meningkatkan pengeluaran granulosit dari sumsum tulang kesirkulasi, tapi menghambat
akumulasi netrofil pada daerah keradangan.
- Meningkatkan proses apoptosis
- Menghambat sintesis cytokine
- Menghambat nitric oxyd synthetase
- Menghambat respon proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating Factor dan
differensiasinya menjadi makrofag
- Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag
- Menghambat pengeluaran sel-sel radang dan cairan ketempat keradangan
- Menghambat plasminogen activators (PAs) yang merubah plasminogen menjadi plasmin
yang berperan dalam pemecahan kininogen menjadi kinin yang berfungsi sebagai
vasodilator dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
3. Terhadap musculoskeletal dan Jaringan ikat :
Tulang ( 1,2,3,4) :
- Pada pemakaian yang lama dapat menghambat fungsi osteoblast dan mengurangan
pembentukan tulang baru menyebabkan terjadinya osteopenia.
- Meningkatkan jumlah osteoclast
- Secara tidak langsung mengurangi absorbsi calcium di saluran cerna
- Efek sekunder glukokortikoid juga meningkatkan Parathyroid hormon dalam serum.
- Meningkatkan ekskresi calcium di ginjal
Otot :
Glukokortikoid meningkatkan pemecahan asam amino dari otot untuk digunakan
dalam glukoneogenesis, sehingga dalam pemakaian lama dapat menyebabkan kelainan
otot (myopathy) yang berat( 3 )
Jaringan Ikat :
- Glukokortikoid menyebabkan supressi fibroblas DNA dan RNA, serta sintesis
Protein ( 3 ).
- Juga menyebabkan supresi sintesis matriks intraselular ( kolagen & hyalurodinat )
Pemakaian lama dapat menyebabkan gangguan proses penyembuhan luka, apalagi
gerakan makrofag ke daerah keradangan juga menurun pada pemberian steroid yang lama
sehingga akan mempersulit penyembuhan luka ( 1,2,3 ).

4. Terhadap neuropsychiatrik
Glukokortikoid mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku seperti pola tidur, kognitif dan
penerimaan input sensoris. Pada penelitian-penelitian yang dilakukan pada penderita yang
mendapatkan steroid exogen sering menunjukkan euphoria, mania bahkan psikosis.
Penderita dengan insuffisiensi adrenal juga dapat menunjukkan gejala-gejala psikiatris
terutama depresi, apati dan letargi( 3 ).
5. Terhadap Saluran Gastrointestinal :
- Glukokortikoid mempunyai efek langsung terhadap transport ion natrium di colon
melalui reseptor glukokortikoid.
- Pemakaian yang lama meningkatkan terjadinya resiko ulkus peptikum disaluran
cerna bagian atas.Mekanisme terjadinya belum diketahui, mungkin melalui hambatan
penyembuhan luka yang disebabkan factor-faktor lain( 3 ).
- Penggunaan dalam waktu singkat tidak akan menyebabkan terjadinya ulkus
peptikum.
6. Terhadap pertumbuhan
Pada anak dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan linier, penyebabnya belum
diketahui secara pasti, diduga melalui hambatan hormon pertumbuhan ( 3 )
7. Terhadap paru : dapat merangsang pembentukan surfactant oleh sel pneumatosit II Efek
anti inflammasi dan immunosupressi kortikosteroid adalah efek farmakologik utama yang
banyak digunakan dalam pengobatan.
Efek samping kortikosteroid
Kortikosteroid jarang menimbulkan efek samping jika hanya digunakan dalam waktu
singkat dan non-sistemik. Namun apabila digunakan untuk jangka waktu yang lama dapat
menimbulkan beragam efek samping. Ada dua penyebab timbulnya efek samping pada
penggunaan kortikosteroid. Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara
tiba-tiba atau pemberian terus menerus terutama dengan dosis besar.
Efek samping yang dapat timbul antara lain:
- Insufisiensi adrenal akut/krisis adrenal
Pemberian kortikosteroid jangka lama (>2 minggu) yang dihentikan secara mendadak
dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis adrenal). Insufisensi adrenal akut sebaiknya
dibedakan dari Addison disease, di mana pada Addison disease terjadi destruksi adrenokorteks
oleh bermacam penyebab (mis.autoimun, granulomatosa, keganasan dll). Insufisiensi adrenal
akut terjadi akibat penekanan sumbu hipothalamus-hipofisis-adrenal oleh kortikosteroid eksogen,
sehingga kelenjar adrenal kurang memproduksi kortikosteroid endogen.  Pada saat kortikosteroid
eksogen dihentikan, terjadilah kekurangan kortikosteroid (endogen). Dapat terjadi kehilangan ion
Na+ dan shock, terkait aktivitas mineralokortikoid yang ikut berkurang.  Gejala yang timbul
antara lain gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa lemah, hipotensi, demam, mialgia, dan
arthralgia. Hal ini diatasi dengan pemberian hidrokortison, disertai asupan air, Na +, Cl-, dan
glukosa secepatnya.  Untuk menghindari insufisiensi adrenal maka penghentian penggunaan
kortikosteroid harus secara perlahan /bertahap.
- Habitus Cushing
Penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu lama menyebabkan kondisi
hiperkortisme sehingga menimbulkan gambaran habitus Cushing. Kortikosteroid yang
berlebihan akan memicu katabolisme lemak sehingga terjadi redistribusi lemak di bagian
tertentu tubuh. Gejala yang timbul antara lain moon face, buffalo hump, penumpukan lemak
supraklavikular, ekstremitas kurus, striae, acne dan hirsutism. Moon face dan buffalo hump
disebabkan redistribusi/akumulasi lemak di wajah dan punggung. Striae (parut kulit berwarna
merah muda) muncul akibat peregangan kulit (stretching) di daerah perut yang disebabkan oleh
akumulasi lemak subkutan.
- Hiperglikemia dan glikosuria
Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme glukosa yaitu
melalui peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim glukosa-6-pospat, maka akan timbul
gejala berupa peninggian kadar glukosa dalam darah sehingga terjadi hiperglikemia dan
glikosuria. Dapat juga terjadi resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa, sehingga
menyebabkan diabetes steroid (steroid-induced diabetes).
- Penurunan absorpsi kalsium intestinal
Penelitian menunjukkan bahwa betametason serta prednison menyebabkan penurunan
absorpsi kalsium di intestinal dalam jumlah signifikan. Hal ini dapat membuat keseimbangan
kalsium yang negatif.
- Keseimbangan nitrogen negative
Kortikosteroid juga menyebabkan mobilisasi asam amino dari jaringan ekstrahepatik,
yang digunakan sebagai substrat untuk glukoneogenesis. Hal ini menyebabkan tingginya kadar
asam amino dalam plasma, peningkatan pembentukan urea, dan keseimbangan nitrogen negatif.
- Mudah terkena infeksi
Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek antiinflamatik. Efek
antiinflamatik ini terjadi melalui mekanisme salah satunya penekanan aktifitas fosfolipase
sehingga mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien.
Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi peradangan, namun dapat
memudahkan pasien terkena infeksi. Oleh karena itu pada pem berian kortikosteroid sebagai
antiinflamatik sebaiknya disertakan dengan pemberian antibiotik/antifungal untuk mencegah
infeksi.
- Tukak peptic
Tukak peptik merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan
dengan kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
radiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan. Pemberian dosis besar
sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi, dan di antara waktu makan diberikan antasida
(bila perlu). Perforasi yang terjadi sewaktu terapi kortikosteroid dosis besar sangat berbahaya
karena dapat berlangsung dengan gejala klinis minimal.
- Osteoporosis (steroid-induced osteoporosis)
Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara menghambat
pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama malah menghambat pembentukan
tulang (sintesis protein di osteoblast) dan meningkatkan resorpsi sehingga memicu terjadinya
osteoporosis. Selain itu juga menurunkan absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal dan
meningkatkan ekskresinya melalui ginjal, sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan
PTH yang menyebabkan resorpsi. Salah satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat
osteoporosis dan kompresi.
- Miopatik
Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat menyebabkan
berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan dan miopatik. Miopatik biasanya
terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan pelvis, dan pada pengobatan dengan
dosis besar. Miopatik merupakan komplikasi berat dan obat harus segera dihentikan.
- Psikosis
Psikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi. Kemungkinan hal ini terjadi
karena adanya gangguan keseimbangan elektrolit dalam otak, sehingga mempengaruhi
kepekaan otak. Berbagai bentuk gangguan jiwa dapat muncul, antara lain: nervositas, insomnia,
psikopatik, skizofrenik, kecenderungan bunuh diri. Gangguan jiwa akibat penggunaan hormon
ini dapat hilang segera atau dalam beberapa bulan setelah obat dihentikan.
- Hiperkoagubilitas darah
Hiperkoagulabilitas darah dengan kejadian tromboemboli telah ditemukan terutama pada
pasien yang mempunyai penyakit yang memudahkan terjadinya trombosis intravaskular.
Pengobatan kortikosteroid dosis besar pada pasien ini, harus disertai pemberian antikoagulan
sebagai terapi profilaksis.
- Pertumbuhan terhambat
Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat.
Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat growth hormone.
Selain itu kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi sekresi
PTH yang meningkatkan aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga
menghambat hormon-hormon gonad, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan proses
penulangan sehingga menghambat pertumbuhan.
- Peningkatan tekanan darah
Kortikosteroid dengan efek mineralokortikoidnya dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah/hipertensi. Yaitu efek retensi sodium yang mengakibatkan retensi air dan
peninggian tekanan darah. Beberapa obat dengan efek mineralokortikoid kuat antara lain
fludrokortison dan hidrokortison.
- Glaukoma (steroid-induced glaucoma)
Patofisiologi glaukoma akibat kortikosteroid belum diketahui dengan baik. Diduga
terdapat defek berupa peningkatan akumulasi glikosaminoglikan atau peningkatan aktivitas
respons protein trabecular-meshwork inducible glucocorticoid (TIGR) sehingga menyebabkan
obstruksi cairan. Selain itu bukti lain mengisyaratkan terjadi perubahan sitoskeleton yang
menghambat pinositosis aqueous humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans dan
menyebabkan akumulasi.
Dan masih ada beberapa efek samping lain seperti katarak, peninggian kolesterol LDL,
ginekomastia, akne, virilisasi, pembesaran prostat, sterilitas dll. Mekanisme terjadinya beragam 
efek samping ini masih ada yang belum diketahui dan sedang diteliti. Untuk menghindari efek
samping yang tidak diinginkan tsb, diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan
sebelum obat digunakan:

1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and
error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit,
2. Suatu dosis tunggal kortiksteroid umumnya tidak berbahaya,

3. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik,


tidak membahayakan kecuali dosis sangat besar,

4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu/lebih hingga dosis melebihi dosis


substitusi, insidens efek samping dan efek lethal potensial akan bertambah. Awasi dan
sadari risio pengaruhnya terhadap metabolism terutama bila gejala terkait muncul misalnya
diabetes resis tensi insulin, osteoporosis, lambatnya penyembuhan luka,

5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan terapi kausal


melainkan hanya paliatif saja,

6. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,
mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan mengancam jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brett T.S, dkk, 2006, Glucocorticoid-induced bone Loss in dermatologic patients
2. Hyun-Ju K, 2010, New understanding of glucocorticoid action in bone cells.
3. Jonathan D, dkk,2007 corticosteroid induced osteoporosis,
www.sciencedirect.com/sicence/article/pil/s0049017205800290 . Diakses tanggal
30 oktober 2011, jam 1920.
4. Walsh LJ, dkk, 1996. Use of oral corticosteroid in the community and the prevention
of secondary osteoporosis; the cross sectional study.
5. Oxford Medical dictionary, seventh edition, 2007, page 517
6. Clive P. dkk, 2002, Chapter 15;Drug and the endocrine and metabolic system,
Intergrated Pharmacology, 2nd edition.
7. Civitelli R, dkk, Epidemiology of glucocorticoid induced osteoporosis,
www.ncbi.nlm.gov/pubmed/18791344. Diakses tanggal 30 September 2011, jam
1900.
8. Dorlan,2002. Kamus kedokteran Dorland, 29th edition.
9. Katzung B.G, 2007. Basic and Clinical Pharmacology 10th edition. Mc Graw hill.
10. Goodman & Gilman,2006. The Pharmacoogical Basis of Therapeutic 11 th edition. Mc
Graw Hill.
11. International Osteoporosis Foundation, http://www.iofbonehealth.org/patients-
public/about-osteoporosis/what-is-osteoporosis.html, diakses tanggal 4 Oktober
2011, jam 1500.
12. Kanis JA (2007) WHO Technical Report, University of Sheffield, UK: 66.

Anda mungkin juga menyukai