Makalah Teori
Yang dibimbing oleh Dr.H.Sueb, M.Kes dan Farid Akhsani, S.Si, M.Si
Disusun Oleh:
Kelompok 04/ Offering I 2019
Candra Septiana Bintara Putri (190342621217)
Lucy Nafis (190342621225)
Luthfi Angely Pinandhita Ramadhani (190342621238)
JURUSAN BIOLOGI
Februari 2020
PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN DI LINGKUNGAN MASYARAKAT
Corresponding author:
¹sueb.fmipa@um.ac.id, ²farid.akhsani.fmipa@um.ac.id, 3lucynafis@gmail.com
Abstrak. Hutan sebagai salah satu Sumber Daya Alam yang dimanfaatkan manusia
dengan mengelolanya sebaik mungkin. Pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungan
harus sejalan tidak hanya dengan norma pengelolaan lingkungan hidup, tetapi juga dengan
rasionalitas sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, perlu strategi pengelolaan sumber daya
hutan yang menyejahterakan dan berdaulat, yang bersandar pada kepentingan nasional.
Aspek-aspek yang diperhatikan saat mengelola sumber daya hutan harus diperhatikan, agar
pengelolaannya dapat bermanfaat untuk masyarakat sekitar hutan, dengan menjalankan
segala peraturan hingga program-program pemerintah yang sudah ada. Tujuan dari
makalah ini adalah untuk mengetahui pengelolaan sumber daya hutan di lingkungan
masyarakat.
Abstract. Forest as one of the Natural Resources that utilizes humans by managing it as
best as possible. Management of forest and environmental resources must not only with the
norms of environmental management, but also with social and economic rationality.
Therefore, it needs a management strategy for forest resources that is prosperous and
sovereign, which relies on national interests. The aspects considered when managing forest
resources must be considered, so that their management can benefit the community around
the forest, by implementing all existing government program regulations. The purpose of
this paper is to find out forest resources in the community environment.
Keywords: management, forest
DAFTAR ISI
TUJUAN PENELITIAN
1
KAJIAN PUSTAKA
Pengertian kebijakan
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Banyak
definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Dye (dalam Abidin,
2012:5) menyebutkan kebijakan sebagai “pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu (whatever governments choose to do or not to do). Definisi ini dibuat
dengan menghubungkan beberapa definisi lain dari David Easton, Lasswell dan Kaplan.
Easton (dalam Abidin, 2012:6) menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai “kekuasaan
pengalokasian nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan”. Hal ini mengandung konotasi
tentang kewenangan pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan bermasyarakat. Tidak
ada organisasi lain yang wewenangnya dapat mencakup seluruh masyarakat kecuali
pemerintah. Sementara itu, Lasswell dan Kaplan (dalam Abidin, 2012:6) yang melihat
kebijakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai “program
yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik [2].
Menurut Ealau dan Prewit (dalam Suharto, 2010:7), kebijakan adalah “sebuah ketetapan
yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang kosisten dan berulang, baik dari yang
membuatnya maupun yang menaatinya”. Titmuss 13 (dalam Suharto, 2010:7) mendefinisikan
kebijakan sebagai “prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-
tujuan tertentu”. Kebijakan menurut Titmuss senantiasa berorientasi kepada masalah
2
(problemoriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk
mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai
tujuan tertentu [2].
3
PEMBAHASAN
Dalam model rasional, tim pembuat keputusan mengumpulkan semua data yang
dibutuhkan, menganalisis semua kemungkinan skenario, dan mencapai solusi terbaik
berdasarkan set informasi lengkap. Tentu saja proses ini hanya digunakan ketika ada jumlah
waktu yang cukup dan sumber daya [6], dan mungkin melibatkan keputusan itu mudah
diselesaikan dengan rumus matematika [7]. Namun, ini jarang terjadi pada pengelolaan
sumber daya. Bahkan, beberapa orang mungkin berpendapat tidak pernah ada sumber daya
yang cukup (seperti waktu, dana, atau orang).
Model pengambilan keputusan yang irasional adalah kebalikannya dari model rasional:
keputusan dibuat berdasarkan pada data yang terbatas (atau tidak ada), dan sedikit (atau
tidak ada) alternatif dinilai. Meskipun kita semua akan berharap bahwa pengelolaan sumber
4
daya alam yang penting keputusan dibuat dengan menggunakan usaha yang lebih teliti,
tetapi jenis keputusan ini sering terjadi. Lebih umum, model keputusan mirip yang
digunakan, disebut semi-rasional model (atau rasionalitas terbatas) [9]. Dengan model ini,
keputusan didasarkan pada informasi terbaik yang tersedia yang dapat dikumpulkan selama
periode waktu terbatas, dengan demikian perencana mengenali ketidakpastian dan
kekurangan dari database dan model [8].
Model alternatif ketiga sering digunakan (tetapi jarang diakui) dalam upaya
pengambilan keputusan dikenal sebagai model tong sampah, yang diciptakan oleh Cohen
dkk. [10] Model ini berbeda dari yang lain karena beberapa aspek-aspek :
(1) Tujuan dan sasaran tidak jelas. Memiliki permasalahan namun tidak memiliki ide untuk
mengatasinya.
(2) Teknologi untuk mencapai maksud dan tujuannya tidak jelas, atau prosesnya diperlukan
untuk mengembangkan hasil mungkin disalahpahami oleh anggota tim, atau
(3) Keterlibatan anggota tim dalam upaya pengambilan keputusan bervariasi, tergantung
pada jumlah waktu dan upaya yang dapat dicurahkan setiap anggota untuk tugas-tugas
dalam proses pengambilan keputusan [10]. Cohen et al mencatat bahwa kondisi ini sangat
mencolok dalam pengambilan keputusan. Model alternatif ini dirancang untuk menjelaskan
situasi di mana tim dihadapkan dengan kriteria yang tidak jelas untuk pengambilan
keputusan, dan di mana tujuan bersifat subyektif dan saling bertentangan [7].
Tanpa formal diperkenalkan atau dikenali, model ini mungkin lebih lazim dalam
pengelolaan sumber daya alam situasi pengambilan keputusan daripada yang rasional atau
semirasional pendekatan. Pengambilan keputusan adalah proses mengidentifikasi dan
memilih alternatif manajemen, dan didasarkan pada nilai-nilai dan preferensi para pembuat
keputusan.
Pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungan, dilakukan strategi untuk mencapai
kebijakan yang harus sejalan tidak hanya dengan norma pengelolaan lingkungan hidup, tetapi
juga dengan rasionalitas sosial dan ekonomi. Dalam beberapa hal, intervensi regim global
menjadi kendala dalam penerapan strategi kebijakan terbaik untuk pengelolaan sumber daya
hutan dan lingkungan. Oleh karena itu, perlu strategi pengelolaan sumber daya hutan yang
menyejahterakan dan berdaulat, yang bersandar pada kepentingan nasional. Kebijakan
pengelolaan sumber daya hutan harus mengacu pada dua prinsip, yaitu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mengikutsertakan kelompok masyarakat dalam mengelola hutan
[11].
Apabila kapasitas negara kuat dan modal sosial lemah maka pilihan terbaik adalah state
management. Kedua, apabila kapasitas negara lemah namun modal sosial kuat maka opsi
terbaik adalah community based forest management atau Pengelolaan Hutan Berbasis
6
Masyarakat (PHBM). Ketiga, apabila kapasitas negara kuat dan modal sosial juga kuat
maka opsi terbaik adalah collaborative forest management atau Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (Pola Kemitraan). Terakhir, apabila kapasitas negara lemah dan modal sosial
juga lemah maka pilihan kelembagaan yang paling realistis adalah sistem kontrak atau
menyerahkan konsesi pengelolaan hutan kepada privat –perseorangan, perusahaan, atau
koperasi [11].
2. Rasionalitas Sosial-Ekonomi-Ekologi
Sumber masalah dalam pengelolaan hutan adalah rendahnya kapasitas dan akses formal
masyarakat terhadap sumber daya hutan dan resistensi masyarakat terhadap perubahan yang
menyebabkan gejala masalah kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat di dalam dan
sekitar hutan. Akar masalah dari semua ini adalah ketidakadilan karena struktur dan sistem
hukum, ekonomi, sosial dan politik tidak berpihak pada yang lemah [11].
Peran kelembagaan lokal untuk melestarikan sumber daya hutan dalam arus perubahan
sosial budaya, ekonomi, dan politik, serta kebutuhan kualitas lingkungan hidup memperoleh
perhatian besar dalam kajian-kajian selama 30 tahun terakhir ini. Sejumlah kajian terdahulu
tentang peran kelembagaan lokal dalam pelestarian sumber daya menghasilkan temuan-
3
temuan yang masih diperdebatkan [12]. Tentunya, keberhasilan dalam pengelolaan sumber
daya hutan tersebut akan terlaksana dengan baik apabila kebijakan pemerintah serta
pengaplikasian aturan-aturan serta program-program yang sudah ada dapat dilakukan
dengan semaksimal mungkin.
Dalam land use amnesty yang harus didorong adalah payung legalitas berupa izin, baik
izin pinjam pakai kawasan hutan, maupun beragam izin pemanfaatan hutan dalam skema
PS. Sedangkan pelepasan kawasan hutan adalah opsi terakhir. Perbedaan utama dari
kebijakan “land use amnesty” dengan TORA dan PS adalah sifatnya yang bottom-up dan
setiap individu atau kelompok harus pro-active mendeklarasikan penguasaan lahan dalam
jangka waktu yang ditetapkan. Dengan adanya deklarasi penguasaan lahan, sangat mungkin
terjadi dua atau lebih klaim di lahan yang sama. Dalam hal ini, pemerintah jelas posisinya
sebagai regulator –tidak terperangkap ikut menjadi player sehingga rawan terjebak dalam
pusaran konflik yang sangat menyita energi [11].
Program TORA dan PS akan lebih mudah diimplementasikan jika diawali kebijakan
“land use amnesty”, yang outputnya adalah pengakuan hak atas lahan yang “dikuasai”
masyarakat. Sebagaimana telah dikemukakan, lahan yang diklaim tidak harus diberikan
status hak milik, tetapi dapat berupa hak akses berupa izin usaha pemanfaatan hutan, baik
berupa Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), atau pola kemitraan
sesuai dengan ragam izin program PS dan batasan fungsi hutan. Penting untuk dicatat
bahwa penggunaan dan fungsi lahan terikat dengan ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah
8
(RTRW) sehingga perubahan status kawasan hutan tidak boleh serta merta mengubah
fungsi kawasan [11].
Intinya, negara memberikan alas hak tetapi pada saat yang sama juga melekatkan
kewajiban-kewajiban, termasuk membayar PBB, pajak penghasilan, PSDH dan pungutan
PNBP kehutanan lainnya. Dengan demikian, dalam jangka panjang kontribusi PDB
kehutanan diharapkan meningkat, terwujud tertib administrasi kehutanan, dan kepastian
hukum (hak dan kewajiban) bagi pemegang hak atau izin usaha pemanfaatan hutan atau
penggunaan kawasan hutan [11].
3
mengatur tentang pemanfaatan hutan disebutkan hak masyarakat lokal (perorangan atau
berkelompok atau koperasi) untuk memperoleh izin usaha, izin pemanfaatan, dan izin
pemungutan hasil hutan [13].
Kebijakan Lingkungan
PIHAK TERDAMPAK
10
Melarang kegiatan atau Pencemaran tidak dilarang,
mewajibkan pelaku untuk namun pihak terdampak
Berbasis menekan terjadinya pencemaran (pelaku sendiri) tidak
Properti yang merugikan pihak lain. memperoleh kompensasi.
Pertama, jika pihak yang terdampak akibat pencemaran atau kerusakan lingkungan lainnya
adalah pelaku sendiri maka negara tidak perlu melarang kegiatan yang menimbulkan
kerusakan tersebut, tetapi korban (yang sekaligus juga pelaku) tidak berhak memperoleh
kompensasi atau ganti rugi. Ilustrasi yang sangat mudah dipahami, misalnya: seseorang
mengendarai sepeda motor tidak menggunakan helm tidak perlu dilarang karena pelaku sendiri
(pemilik property) yang akan menanggung risiko jika terjadi kecelakaan. Konsekuensinya, jika
pelaku tidak memakai helm dan kepalanya mengalami cedera akibat terjatuh, maka si-pelaku
tidak akan memperoleh kompensasi atas dampak yang timbul karena perbuatannya [11].
Prinsip kedua, mengacu pada pendekatan liability jika ada individu atau perusahaan yang
melakukan kegiatan yang menghasilkan pencemaran atau dampak negatif lainnya, kegiatan
tersebut tidak serta merta dilarang sepanjang dapat memberikan kompensasi atau ganti rugi
yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. Inilah yang disebut dengan
“prinsip pencemar membayar” (polluter pays principle) [11].
Oleh karena itu, jika menggunakan pendekatan liability, REDD atau CDM seharusnya
dilihat sebagai kewajiban dari negara-negara industri (bukan amal mereka) dan pada saat yang
sama ada hak negara-negara berkembang sebagai pihak terdampak untuk menerima
kompensasi. Contoh lain, jika ada individu atau perusahaan yang membakar lahan dan
3
akhirnya memantik terjadinya kabut asap yang merugikan warga karena menderita infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA) maka pelaku harus bertanggung jawab memberikan
kompensasi langsung kepada pihak-pihak yang terkena dampak. Dalam hal ini wewenang dan
tugas negara adalah mengawasi serta meyakinkan bahwa semua pihak terdampak memperoleh
hak-haknya. Apabila pihak-pihak terdampak telah sepakat dengan kompensasi yang diberikan,
maka menurut pendekatan liability izin operasinya tidak perlu ditutup [11].
Perencanaan, dalam skala kecil atau besar, dapat dipandang sebagai sebuah hierarki
(Gambar 1.2).
Pada level tertinggi, hirarki adalah proses perencanaan strategis, yang fokus pada
pencapaian jangka panjang tujuan manajemen. Di sini, tujuan seperti pengembangan satwa
liar habitat atau produksi volume panen kayu biasanya dimodelkan dalam kerangka waktu
yang lama dan area yang luas dan bersifat umum. Pada level yang lebih rendah perencanaan
hirarki hubungan spasial biasanya diakui. Misalnya, dalam proses perencanaan taktis,
12
masalah seperti lokasi manajemen kegiatan atas ruang dan waktu diakui. Rencana yang
melibatkan model habitat spasial bersifat taktis rencana, karena hu ungan lokasi antara unit
habitat (biasanya tegakan kayu) diakui. Tingkat perencanaan ini mengidentifikasi tindakan
spesifik situs yang berkontribusi pada tujuan rencana yang lebih besar, tetapi rincian teknis
dari pelaksanaan tindakan tersebut adalah terbatas [8].
Pada level terendah dalam hirarki adalah operasional perencanaan. Ini sehari-hari,
mingguan, bulanan, atau perencanaan tahunan yang diperlukan sebenarnya menerapkan
tindakan manajemen. Beberapa contoh jenis perencanaan ini termasuk penjadwalan bibit
untuk musim tanam, penebang untuk area panen, peralatan untuk proyek peningkatan aliran,
atau kebakaran kru untuk upaya pembakaran yang ditentukan. Operasional rencana
(mingguan, bulanan, tahunan) dipandu oleh taktis rencana (tahunan, dua tahunan), yang
dipandu oleh rencana strategis (jangka panjang). Tingkat detail meningkat ketika kita
beralih dari strategis ke operasional perencanaan. Sebaliknya, jumlah orang yang terlibat
meningkat dari operasional ke perencanaan strategis [8].
3
rencana pengelolaan properti menjadi lebih baikmengenali beberapa ketidakpastian terkait
kegiatan manajemen. Dengan pendekatan ini, kesuksesan atau kegagalan tindakan
manajemen untuk menghasilkan efek yang diinginkan dievaluasi baik secara kuantitatif
maupun secara kualitatif. Grumbine [17] menyarankan hal itu manajemen adaptif adalah
proses pembelajaran, di mana hasil dari pengalaman manajemen sebelumnya dievaluasi dan
memungkinkan pengelola lahan untuk beradaptasi situasi yang tidak pasti.
Pemanfaatan Hutan
Ada berbagai macam wujud pemanfaatan hutan yang dapat dilakukan oleh manusia [18].
Berikut merupakan berbagai macam pemanfaatan hutan tersebut:
Pemanfaatan hutan yang pertama adalah dengan menjadikan hutan sebagai kawasan
lindung. Ada salah satu jenis hutan yang khusus diperuntukkan untuk menjadi kawasan
lindung. Hutan ini adalah hutan lindung. Hutan lindung merupakan salah satu hutan yang
digunakan untuk melindungi dan menjaga kondisi alam yang ada di Bumi [18].
Keberadaan hutan lindung ini biasanya digunakan untuk menjaga kondisi yang ada di
Bumi. Fungsi hutan lindung ini yang pokok antara lain sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan berupa pengaturan tata air, mencegah terjadinya banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, serta untuk memelihara kesuburan tanah
dan lain sebagainya. Selain yang telah disebutkan, biasanya hutan lindung ini juga
diperuntukkan sebagai rumah dari berbagai binatang dan juga tumbuh- tumbuhan yang khas
[18].
Pemanfaatan hutan yang selanjutnya adalah sebagai kawasan suaka alam. Kawasan
suaka alam ini diperuntukkan untuk menlindungi binatang atau tumbuhan yang dilindungi
dan keberadaannya hampir punah. Kepunahan binatang dan tumbuhan ini bisa disebabkan
karena proses alam maupun karena terlalu banyak diburu oleh manusia. Ada jenis hutan
yang dikhususkan untuk mempunyai peranan melindungi binatang dan tumbuhan langka.
Hutan ini adalah hutan suaka alam [18].
14
Hutan suaka alam ini merupakan hutan yang mempunyai keadaan yang khas. Hutan
suaka alam ini diperuntukkan sebagai kawasan perlindungan dan juga pelestarian flora serta
fauna yang hampir punah agar nantinya dapat berkembang biak sesuai dengan kondisi
ekosistemnya [18].
Pemanfaatan hutan lainnya adalah sebagai kawasan produksi. Hutan ini biasanya
digunakan untuk tujuan komersial. Hutan produksi bisa dimiliki oleh pemerintah maupun
oleh swasta yang pekerjaannya di bidang industri yang bahan bakunya berupa kayu. Karena
menjadi bahan baku, maka biasanya pohon yang ditanam pun merupakan pohon yang
sejenis atau biasa disebut dengan hutan homogen. Untuk dapat diolah menjadi sesuatu yang
diinginkan, pastinya pohon- pohon yang berada di hutan inipun harus ditebang terlebih
dahulu. Maka dari itu, sebagai pemilik atau pengelola hutan yang baik, manusia harus
mampu membedakan mana pohon yang sudah layak untuk ditebang dan yang belum layak
untuk ditebang [18].
Hal ini disebut juga sistem tebang pilih. Sistem ini penting untuk dilakukan agar
nantinya manusia tidak menebang pohon secara sembarangan. Selain tebang pilih, manusia
juga harus menanamkan prinsip tebang tanam. Jadi, setelah satu pohon ditebang, manusia
harus menanam pohon lain sebagai gantinya. Dengan demikian keadaan hutan akan tetap
lestari dan terhindar dari hutan gundul. Ada hutan yang dikhususkan untuk menyediakan
bahan baku industri seperti. Hutan yang demikian dinamakan hutan produksi [18].
Pemanfaatan hutan selanjutnya adalah sebagai kawasan wisata alam. Tidak semua
tempat wisata harus memiliki wahana permainan yang menguji adrenalin dan juga lampu
warna- warni yang berkelip- kelip. Justru, wisata alam merupakan wisata yang sangat
penting untuk dikunjungi dan berwisata bersama keluarga. Wisata alam, salah satunya bisa
dilakukan di hutan. Kawasan hutan ini merupakan kawasan yang sangat baik untuk
digunakan berwisata, terlebih untuk mengenalkan anak- anak kepada alam [18].
Di hutan, kita tidak hanya akan menemukan berbagai jenis tumbuh- tumbuhan, namun
juga berbagai jenis binatang yang hidup bebas di alamnya. Perlu sekali mengenalkan alam
kepada anak- anak sejak dini agar mereka dapat belajar mencintai dan juga melestarikan
3
alam. Oleh karena itulah sesekali ajaklah anak- anak untuk berwisata ke alam terbuka
seperti di hutan ini [18].
Kita tidak perlu khawatir mengenai keselamatan kita saat berada di hutan, karena ada
satu hutan yangb dimanfaatkan sebagai tempat berwisata, sehingga disana pun ada fasilitas-
fasilitas yang akan menjamin keselamatan kita. Hutan yang khudud diperuntukkan sebagai
sarana rekreasi ini dinamakan sebagai hutan wisata [18].
Selain berwisata, hutan juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat atau sarana
pendidikan. Tidak selamanya belajar harus melulu di dalam kelas. Sesekali kita perlu untuk
belajar di alam terbuka, bahkan apabila mata pelajaran yang kita pelajari ini mengenai alam.
Maka selain mendapatkan suasana baru, kita punbisa sekalian praktik atau melihat secara
langsung [18].
Ada banyak sekali ilmu yang dapat diambil dari alam, khususnya hutan. Hutan
menyimpan berbagai macam kekayaan dan fungsi yang patut diketahui oleh orang banyak
agar nantinya generasi penerus akan dapat memeliharanya. Oleh karena itulah sesekali perlu
untuk belajar di tengah- tengah hutan ini. Selain bisa dimanfaatkan sebagai ruang kelas,
hutan juga bisa digunakan sebagai laboratorium penelitian. Banyak hal yang dapat dikaji
dari hutan ini dan juga diteliti, dan sejauh ini pula telah banyak orang yang melakukan
penelitian di hutan dan menjadikan hutan sebagai objek penelitian [18].
16
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Dari kesimpulan tersebut dapat disarankan bahwa dalam mengelola sumber daya hutan
harus memiliki banyak aspek serta pertimbangan, baik pertimbangan kepada sesama manusia
maupun untuk makhluk hidup lainnya termasuk lingkungan disekitar sumber daya hutan.
Untuk pembaca disarankan untuk membaca buku mengenai pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya hutan dan juga jurnal-jurnal baik dari nasional hingga internasional, agar
pemahaman terhadap pengelolaan lingkungan lebih dimengerti.
3
DAFTAR RUJUKAN
18
Public Policy. 8(4), 642–661.
[15] United Nations Framework Convention on Climate Change. 1998. “Kyoto
Protocol.” United Nations Framework Convention on Climate Change, Bonn, Germany.
http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php
[16] Birdsey, R. 1992. “Carbon Storage and Accumulation in the United States Forest
Ecosystems.” U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Washington, D.C. General
Technical Report WO-59. 51 p.
[17] Sedjo, R. and Marland, G. 2003. Inter-trading permanent emissions credits and
rented temporary carbon emission offsets: Some issues and alternatives. Climate Policy.
[18] Fatma, D. 2016. Ilmugeografi.com
19