Anda di halaman 1dari 22

PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

Makalah Teori

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Dasar-Dasar Lingkungan

Yang dibimbing oleh Dr.H.Sueb, M.Kes dan Farid Akhsani, S.Si, M.Si

Disajikan pada tanggal 11 Februari 2020

Disusun Oleh:
Kelompok 04/ Offering I 2019
Candra Septiana Bintara Putri (190342621217)
Lucy Nafis (190342621225)
Luthfi Angely Pinandhita Ramadhani (190342621238)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

Februari 2020
PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

Sueb¹ , Akhsani F.², Putri C.S.B .3, Ramadhani L.A.P.⁴, Nafis S.

Program Studi S1 Biologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu


Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang Jalan Semarang Nomor 5 Malang
65145, Indonesia

Corresponding author:
¹sueb.fmipa@um.ac.id, ²farid.akhsani.fmipa@um.ac.id, 3lucynafis@gmail.com

Abstrak. Hutan sebagai salah satu Sumber Daya Alam yang dimanfaatkan manusia
dengan mengelolanya sebaik mungkin. Pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungan
harus sejalan tidak hanya dengan norma pengelolaan lingkungan hidup, tetapi juga dengan
rasionalitas sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, perlu strategi pengelolaan sumber daya
hutan yang menyejahterakan dan berdaulat, yang bersandar pada kepentingan nasional.
Aspek-aspek yang diperhatikan saat mengelola sumber daya hutan harus diperhatikan, agar
pengelolaannya dapat bermanfaat untuk masyarakat sekitar hutan, dengan menjalankan
segala peraturan hingga program-program pemerintah yang sudah ada. Tujuan dari
makalah ini adalah untuk mengetahui pengelolaan sumber daya hutan di lingkungan
masyarakat.

Kata Kunci: pengelolaan, hutan

Abstract. Forest as one of the Natural Resources that utilizes humans by managing it as
best as possible. Management of forest and environmental resources must not only with the
norms of environmental management, but also with social and economic rationality.
Therefore, it needs a management strategy for forest resources that is prosperous and
sovereign, which relies on national interests. The aspects considered when managing forest
resources must be considered, so that their management can benefit the community around
the forest, by implementing all existing government program regulations. The purpose of
this paper is to find out forest resources in the community environment.
Keywords: management, forest
DAFTAR ISI

RUMUSAN MASALAH ............................................................................... 1


TUJUAN PENELITIAN ................................................................................ 1
KAJIAN PUSTAKA
Pengertian Sumber Daya Hutan ..................................................................... 2
Pengertian Kebijakan .................................................................................... 2
PEMBAHASAN
Karakteristik Proses Pengambilan Keputusan ................................................. 4
1. Pandangan dari Ilmu Manajemen ............................................................. 4
2. Proses Pengambilan Keputusan ................................................................. 5
Strategi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan ........................................ 6
1. Model Sosial dan Kapasitas Negara ......................................................... 6
2. Rasionalitas Sosial-Ekonomi-Ekologi ...................................................... 7
3. Kebijakan Pemerintah tentang Hutan Kemasyarakatan .............................. 9
Kebijakan Lingkungan ................................................................................... 10
Perencanaa dalam Manajemen Sumber Daya Hutan .......................................... 12
1. Hirarki Perencanaan dalam Organisasi Manajemen Sumber Daya Alam ...... 12
2. Perencanaa Komunitas atau Koperasi Hutan ............................................. 13
3. Manajemen dan Perencanaan Adaptif Hutan ............................................. 13
PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................................... 17
Saran ............................................................................................................. 17
DAFTAR RUJUKAN ...................................................................................... 18
RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana karakteristik proses pengambilan keputusan?


2. Bagaimana strategi kebijakan pengelolaan sumber daya hutan?
3. Bagaimana kebijakan lingkungan yang ada di Indonesia?
4. Bagaimana perencanaan dalam manajemen sumber daya hutan?
5. Bagaimana pemanfaatan hutan?

TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui karakteristik proses pengambilan keputusan.


2. Untuk mengetahui strategi kebijakan pengelolaan sumber daya hutan.
3. Untuk mengetahui kebijakan lingkungan yang ada di Indonesia.
4. Untuk mengetahui perencanaan dalam manajemen sumber daya hutan.
5. Untuk mengetahui pemanfaatan hutan.

1
KAJIAN PUSTAKA

Pengertian Sumber Daya Hutan


Dalam UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonandalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan
sebagai salah satu sumber daya alam adalah kekayaan negara yang harusdikelola secara
bijaksana guna kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.Inventarisasi hutan didefinisikan
sebagai pengumpulan dan penyusunan data danfakta mengenai sumberdaya hutan untuk
perencanaan pengelolaan sumberdayatersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lestari dan
sebaguna. Hutan memiliki peranan penting terhadap keberlangsungan hidup makhluk hidup,
tanpanyakehidupan akan sulit untuk dilakukan. Inventarisasi hutan dilakukan untukmengetahui
kondisi biofisik sumberdaya hutan baik yang berupa flora, faunamaupun keadaan fisik lapangan,
serta kondisi sosial ekonomi dari areal ataukawasan hutan yang diinventarisasi [1].

Pengertian kebijakan
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Banyak
definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Dye (dalam Abidin,
2012:5) menyebutkan kebijakan sebagai “pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu (whatever governments choose to do or not to do). Definisi ini dibuat
dengan menghubungkan beberapa definisi lain dari David Easton, Lasswell dan Kaplan.
Easton (dalam Abidin, 2012:6) menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai “kekuasaan
pengalokasian nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan”. Hal ini mengandung konotasi
tentang kewenangan pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan bermasyarakat. Tidak
ada organisasi lain yang wewenangnya dapat mencakup seluruh masyarakat kecuali
pemerintah. Sementara itu, Lasswell dan Kaplan (dalam Abidin, 2012:6) yang melihat
kebijakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai “program
yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik [2].
Menurut Ealau dan Prewit (dalam Suharto, 2010:7), kebijakan adalah “sebuah ketetapan
yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang kosisten dan berulang, baik dari yang
membuatnya maupun yang menaatinya”. Titmuss 13 (dalam Suharto, 2010:7) mendefinisikan
kebijakan sebagai “prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-
tujuan tertentu”. Kebijakan menurut Titmuss senantiasa berorientasi kepada masalah
2
(problemoriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk
mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai
tujuan tertentu [2].

3
PEMBAHASAN

Karakterisasi Proses Pengambilan Keputusan

Keputusan mengenai rencana manajemen dibuat diorganisasi pengelolaan sumber daya


alam biasanya oleh tim orang dengan berbagai pendidikan dan latar belakang budaya, dan
berbagai pengalaman panjang dalam pengaturan profesional. Satu ciri utama upaya
perencanaan adalah kerangka waktu untuk tugas-tugas tersebut yang dilakukan oleh anggota
tim biasanya terbatas. Selain itu, tugas yang harus dilakukan oleh anggota tim mungkin
membutuhkan tingkat pengetahuan, penilaian, dan keahlian [3].

1. Pandangan dari Ilmu Manajemen


Pekerjaan yang telah dilakukan mengeksplorasi bagaimana caranya kelompok membuat
keputusan yang luas, dan sejumlah teori tentang bagaimana dan mengapa keputusan dibuat
teldiajukan [4, 5]. Secara umum, di ilmu manajemen, ada tiga jenis proses pengambilan
keputusan: rasional, irasional, dan sesuatu yang disebut proses "tempat sampah" [6].

Dalam model rasional, tim pembuat keputusan mengumpulkan semua data yang
dibutuhkan, menganalisis semua kemungkinan skenario, dan mencapai solusi terbaik
berdasarkan set informasi lengkap. Tentu saja proses ini hanya digunakan ketika ada jumlah
waktu yang cukup dan sumber daya [6], dan mungkin melibatkan keputusan itu mudah
diselesaikan dengan rumus matematika [7]. Namun, ini jarang terjadi pada pengelolaan
sumber daya. Bahkan, beberapa orang mungkin berpendapat tidak pernah ada sumber daya
yang cukup (seperti waktu, dana, atau orang).

Model rasional mengasumsikan bahwa tim perencanaan cukup terlibat untuk


menyediakan yang sesuai jumlah perhatian pada atribut rencana untuk mereka yang
memiliki keahlian. Tuntutan dalam memenejemen waktu juga penting. Dan akhirnya akan
menjadi jelas bahwa keputusan menyangkut pengembangan dari suatu rencana secara
inheren sarat nilai, bahkan meskipun percaya bahwa kita menilai secara objektif
pengelolaan lanskap. Alasan lain yang mungkin menjadi solusi terbaik untuk suatu masalah
bukan rencana yang ditentukan oleh pengelola lahan atau pemilik tanah [8].

Model pengambilan keputusan yang irasional adalah kebalikannya dari model rasional:
keputusan dibuat berdasarkan pada data yang terbatas (atau tidak ada), dan sedikit (atau
tidak ada) alternatif dinilai. Meskipun kita semua akan berharap bahwa pengelolaan sumber
4
daya alam yang penting keputusan dibuat dengan menggunakan usaha yang lebih teliti,
tetapi jenis keputusan ini sering terjadi. Lebih umum, model keputusan mirip yang
digunakan, disebut semi-rasional model (atau rasionalitas terbatas) [9]. Dengan model ini,
keputusan didasarkan pada informasi terbaik yang tersedia yang dapat dikumpulkan selama
periode waktu terbatas, dengan demikian perencana mengenali ketidakpastian dan
kekurangan dari database dan model [8].

Model alternatif ketiga sering digunakan (tetapi jarang diakui) dalam upaya
pengambilan keputusan dikenal sebagai model tong sampah, yang diciptakan oleh Cohen
dkk. [10] Model ini berbeda dari yang lain karena beberapa aspek-aspek :

(1) Tujuan dan sasaran tidak jelas. Memiliki permasalahan namun tidak memiliki ide untuk
mengatasinya.

(2) Teknologi untuk mencapai maksud dan tujuannya tidak jelas, atau prosesnya diperlukan
untuk mengembangkan hasil mungkin disalahpahami oleh anggota tim, atau

(3) Keterlibatan anggota tim dalam upaya pengambilan keputusan bervariasi, tergantung
pada jumlah waktu dan upaya yang dapat dicurahkan setiap anggota untuk tugas-tugas
dalam proses pengambilan keputusan [10]. Cohen et al mencatat bahwa kondisi ini sangat
mencolok dalam pengambilan keputusan. Model alternatif ini dirancang untuk menjelaskan
situasi di mana tim dihadapkan dengan kriteria yang tidak jelas untuk pengambilan
keputusan, dan di mana tujuan bersifat subyektif dan saling bertentangan [7].

Tanpa formal diperkenalkan atau dikenali, model ini mungkin lebih lazim dalam
pengelolaan sumber daya alam situasi pengambilan keputusan daripada yang rasional atau
semirasional pendekatan. Pengambilan keputusan adalah proses mengidentifikasi dan
memilih alternatif manajemen, dan didasarkan pada nilai-nilai dan preferensi para pembuat
keputusan.

2. Proses Pengambilan Keputusan


Sebagian besar proses pengambilan keputusan, khususnya yang melibatkan tanah
publik atau publik [8], dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

1) Mengizinkan partisipasi publik dan komentari pengelolaan suatu daerah.


2) Tentukan tujuan untuk area manajemen.
3) Inventarisasi kondisi yang diperlukan untuk mengevaluasi tujuan.
4) Menganalisis tren perubahan penggunaan lahan dan pertumbuhan vegetatif.
3
5) Merumuskan alternatif untuk area tersebut.
6) Menilai alternatif untuk area tersebut.
7) Pilih alternatif dan kembangkan rencana manajemen.
8) Melaksanakan rencana manajemen.
9) Monitor rencana manajemen.
10) Perbarui rencana manajemen.
Langkah-langkah dapat disusun kembali, tergantung pada model perencanaan yang
digunakan oleh berbagai organisasi manajemen sumber daya alam. Misalnya publik langkah
partisipasi dapat terjadi kemudian dalam proses, karena alternatif sedang dirumuskan untuk
lanskap. Atau, beberapa langkah dapat dihilangkan dari model perencanaan. Dalam hal ini,
proses perencanaan yang terkait dengan pemilik tanah pribadi dapat meninggalkan atau
meminimalkan penggunaan langkah partisipasi publik. Namun, ada sejumlah konsistensi
proses pengambilan keputusan di antara organisasi manajemen sumber daya alam, seperti
pernyataan tujuan, dan penilaian alternatif, dan pemilihan dan implementasi rencana[8].

Strategi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan

Pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungan, dilakukan strategi untuk mencapai
kebijakan yang harus sejalan tidak hanya dengan norma pengelolaan lingkungan hidup, tetapi
juga dengan rasionalitas sosial dan ekonomi.  Dalam beberapa hal, intervensi regim global
menjadi kendala dalam penerapan strategi kebijakan terbaik untuk pengelolaan sumber daya
hutan dan lingkungan. Oleh karena itu, perlu strategi pengelolaan sumber daya hutan yang
menyejahterakan dan berdaulat, yang bersandar pada kepentingan nasional. Kebijakan
pengelolaan sumber daya hutan harus mengacu pada dua prinsip, yaitu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mengikutsertakan kelompok masyarakat dalam mengelola hutan
[11].

1. Modal Sosial dan Kapasitas Negara

Membangun kelembagaan pengelolaan sumber daya hutan diperlukan strategi yang


tepat, dengan berdasarkan kondisi objektif kapasitas negara dan kekuatan modal sosial agar
pengelolaan sumber daya dapat optimal [11].

Apabila kapasitas negara kuat dan modal sosial lemah maka pilihan terbaik adalah state
management. Kedua, apabila kapasitas negara lemah namun modal sosial kuat maka opsi
terbaik adalah community based forest management atau Pengelolaan Hutan Berbasis

6
Masyarakat (PHBM). Ketiga, apabila kapasitas negara kuat dan modal sosial juga kuat
maka opsi terbaik adalah collaborative forest management atau Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (Pola Kemitraan).  Terakhir, apabila kapasitas negara lemah dan modal sosial
juga lemah maka pilihan kelembagaan yang paling realistis adalah sistem kontrak atau
menyerahkan konsesi pengelolaan hutan kepada privat –perseorangan, perusahaan, atau
koperasi [11].

2. Rasionalitas Sosial-Ekonomi-Ekologi

Sumber masalah dalam pengelolaan hutan adalah rendahnya kapasitas dan akses formal
masyarakat terhadap sumber daya hutan dan resistensi masyarakat terhadap perubahan yang
menyebabkan gejala masalah kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat di dalam dan
sekitar hutan. Akar masalah dari semua ini adalah ketidakadilan karena struktur dan sistem
hukum, ekonomi, sosial dan politik tidak berpihak pada yang lemah [11].

Tidak semua kelompok masyarakat memiliki akses, keterampilan, kewenangan,


maupun kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sumber daya hutan. Segera setelah
berkuasa, rezim Orde Baru membuka keran penanaman modal asing (UU No. 1/1967) dan
dalam negeri (UU No. 6/1968), yang disusul dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor
21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan.
Berdasarkan peraturan tersebut, menyebabkan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar
hutan menjadi tersingkirkan, dan sangat sedikit mendapatkan hasil atas pengelolaan sumber
daya hutan tersebut, dan semua hasil tidak mengacu pada kedua prinsip, sehingga semua
hasil pengelolaan hutan jatuh kepada para pengusaha. Dalam mengatasi tersebut,
pemerintah mewajibkan pemegang konsesi hutan menyisihkan sebagian keuntungan untuk
melaksanakan program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH).  Secara umum,
program PMDH yang selama ini berjalan dipandang belum efektif memangkas kesenjangan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan karena masih bersifat belas kasihan (charity) dan
tidak ada kaitan ekonomi baik ke depan maupun ke belakang dengan perusahaan, sehingga
perlu peningkatan kualitas program atau bersinergi dengan program-program lainnya [11].

Peran kelembagaan lokal untuk melestarikan sumber daya hutan dalam arus perubahan
sosial budaya, ekonomi, dan politik, serta kebutuhan kualitas lingkungan hidup memperoleh
perhatian besar dalam kajian-kajian selama 30 tahun terakhir ini. Sejumlah kajian terdahulu
tentang peran kelembagaan lokal dalam pelestarian sumber daya menghasilkan temuan-

3
temuan yang masih diperdebatkan [12]. Tentunya, keberhasilan dalam pengelolaan sumber
daya hutan tersebut akan terlaksana dengan baik apabila kebijakan pemerintah serta
pengaplikasian aturan-aturan serta program-program yang sudah ada dapat dilakukan
dengan semaksimal mungkin.

Belakangan, persoalan ketimpangan penguasaan lahan dan rendahnya akses masyarakat


terhadap pemanfaatan sumber daya hutan dijawab dengan program “Tanah Objek Reforma
Agraria (TORA)” dan diluncurkannya beragam program “Perhutanan Sosial (PS)”. Program
TORA sering disalahartikan, sementara kalangan menganggap sebagai program bagi-bagi
lahan gratis, atau sengaja dimaknai sebagai topeng legalitas untuk menduduki tanah negara.
Sementara program PS yang merupakan kebijakan pemerintah pusat, harus menghadapi
kenyataan bahwa kondisi di lapangan tidak sepenuhnya sama dengan asumsi-asumsi yang
dirumuskan di Jakarta.  Dalam beberapa kasus areal PS yang ditetapkan ternyata berimpit
dengan lahan yang secara de facto telah dikuasai oleh pihak lain. Pemerintah dapat
memberlakukan kebijakan “land use amnesty” atau pengampunan penggunaan lahan,
sebagai kebijakan pendukung yang tidak terpisahkan dari program TORA dan PS [11]. 

Dalam land use amnesty yang harus didorong adalah payung legalitas berupa izin, baik
izin pinjam pakai kawasan hutan, maupun beragam izin pemanfaatan hutan dalam skema
PS.  Sedangkan pelepasan kawasan hutan adalah opsi terakhir. Perbedaan utama dari
kebijakan “land use amnesty” dengan TORA dan PS adalah sifatnya yang bottom-up dan
setiap individu atau kelompok harus pro-active mendeklarasikan penguasaan lahan dalam
jangka waktu yang ditetapkan. Dengan adanya deklarasi penguasaan lahan, sangat mungkin
terjadi dua atau lebih klaim di lahan yang sama. Dalam hal ini, pemerintah jelas posisinya
sebagai regulator –tidak terperangkap ikut menjadi player sehingga rawan terjebak dalam
pusaran konflik yang sangat menyita energi [11].

Program TORA dan PS akan lebih mudah diimplementasikan jika diawali kebijakan
“land use amnesty”, yang outputnya adalah pengakuan hak atas lahan yang “dikuasai”
masyarakat.  Sebagaimana telah dikemukakan, lahan yang diklaim tidak harus diberikan
status hak milik, tetapi dapat berupa hak akses berupa izin usaha pemanfaatan hutan, baik
berupa Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), atau pola kemitraan
sesuai dengan ragam izin program PS dan batasan fungsi hutan.  Penting untuk dicatat
bahwa penggunaan dan fungsi lahan terikat dengan ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah

8
(RTRW) sehingga perubahan status kawasan hutan tidak boleh serta merta mengubah
fungsi kawasan [11].

Intinya, negara memberikan alas hak tetapi pada saat yang sama juga melekatkan
kewajiban-kewajiban, termasuk membayar PBB, pajak penghasilan, PSDH dan pungutan
PNBP kehutanan lainnya.  Dengan demikian, dalam jangka panjang kontribusi PDB
kehutanan diharapkan meningkat, terwujud tertib administrasi kehutanan, dan kepastian
hukum (hak dan kewajiban) bagi pemegang hak atau izin usaha pemanfaatan hutan atau
penggunaan kawasan hutan [11].

3. Kebijakan Pemerintah tentang Hutan Kemasyarakatan

Desentralisasi di bidang kehutanan diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No.


41/1999 Pasal 66. Dalam Pasal 66 tersebut dinyatakan bahwa pemerintah (pusat)
menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah bertujuan untuk
meningkatkan efektivitas pengurusan hutan. Kewenangan di bidang kehutanan yang
dilimpahkan kepada pemerintah daerah diatur lebih lanjut dalam lampiran Peraturan
Pemerintah (PP) No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota [13].

Berdasarkan lampiran PP No. 38/2007, pelimpahan kewenangan di bidang kehutanan


dapat dikategorikan sebagai desentralisasi, bukan devolusi. Pelimpahan kewenangannya
dari pemerintah pusat hanya sampai pemerintah kabupaten. Pemerintahan desa akan
memperoleh tugas-tugas tertentu yang diperlukan. Pelimpahan kewenangan tersebut juga
tidak menyebut secara tegas, jelas, dan khusus tentang pengelolaan hutan oleh masyarakat
dalam wujud hutan kemasyarakatan (HKm). Dalam UU No. 41/1999 tidak dijelaskan lebih
detail bagaimana peran masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang alokasi dan
pengelolaan hutan. Masyarakat hanya memperoleh hak dalam hal memberi informasi,
saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; menerima manfaat hutan
(menikmati kualitas lingkungan hidup, memanfaatkan hutan dan hasil hutan), mengetahui
rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; dan
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung
maupun tidak langsung, memperoleh kompensasi karena hilangnya akses (Pasal 68).
Sebaliknya, masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan
hutan dari gangguan dan perusakan (Pasal 69). Namun demikian pada pasal-pasal yang

3
mengatur tentang pemanfaatan hutan disebutkan hak masyarakat lokal (perorangan atau
berkelompok atau koperasi) untuk memperoleh izin usaha, izin pemanfaatan, dan izin
pemungutan hasil hutan [13].

Kebijakan devolusi pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia disebutkan dalam PP


No. 6/2007 dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.37/Menhut-II/2007
tentang Hutan Kemasyarakat (HKm), P.23/Menhut-II/2007 jo P.5/Menhut-II/2008 tentang
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa (HD).
Kawasan hutan yang dialokasikan untuk HKm adalah hutan alam produksi, lindung, dan
konservasi; kawasan hutan yang dialokasikan untuk HTR adalah kawasan hutan alam
produksi yang dikonversi menjadi hutan tanaman; dan kawasan hutan yang dialokasikan
untuk HD adalah hutan produksi dan hutan lindung. HKm dan HTR diberikan kepada
keluarga-keluarga dan dikelola oleh keluargakeluarga meskipun dapat dikelola bersama
dalam bentuk satuan kelompok atau koperasi. Sedangkan HD dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. HKm, HTR, dan HD membuka peluang lebih besar
kepada masyarakat kampung/desa untuk akses pada dan memegang hak pengelolaan atas
sumber daya hutan yang dikuasai negara dengan suatu jaminan kepastian (secara hukum)
yang lebih kuat [13].

Partisipasi dalam pengelolaan sumber daya hutan memiliki beberapa pengelompokan,


Arnstein (1969) mengelompokkan partisipasi menjadi tiga tingkatan yaitu: tingkatan non-
partisipatif, tingkatan tokenisme, dan tingkatan kewenangan masyarakat. Tingkatan (level)
partisipasi hendaknya tidak dimaknai sebagai “baik” atau “buruk” tetapi “sesuai” atau
“tidak sesuai” [13].

Kebijakan Lingkungan

PIHAK TERDAMPAK

Pihak lain Pelaku

10
Melarang kegiatan atau Pencemaran tidak dilarang,
mewajibkan pelaku untuk namun pihak terdampak
Berbasis menekan terjadinya pencemaran (pelaku sendiri) tidak
Properti yang merugikan pihak lain. memperoleh kompensasi.

Kebijakan Pencemaran tidak dilarang Memberikan insentif kepada


Lingkunga sepanjang pelaku memberikan pelaku agar melakukan upaya
n Berbasis kompensasi yang disepakati oleh untuk menekan terjadinya
Liability pihak terdampak. pencemaran.

 Prinsip dasar property dan liability adalah tindakan yang diambil ketika terjadi pencemaran


atau kerusakan lingkungan dengan melihat siapa pihak yang terdampak.  Jika dipergunakan
strategi kebijakan pengelolaan sumber daya dan lingkungan berdasarkan pendekatan property,
ada beberapa prinsip yang harus dipedomani [11].

Pertama, jika pihak yang terdampak akibat pencemaran atau kerusakan lingkungan lainnya
adalah pelaku sendiri maka negara tidak perlu melarang kegiatan yang menimbulkan
kerusakan tersebut, tetapi korban (yang sekaligus juga pelaku) tidak berhak memperoleh
kompensasi atau ganti rugi.  Ilustrasi yang sangat mudah dipahami, misalnya: seseorang
mengendarai sepeda motor tidak menggunakan helm tidak perlu dilarang karena pelaku sendiri
(pemilik property) yang akan menanggung risiko jika terjadi kecelakaan. Konsekuensinya, jika
pelaku tidak memakai helm dan kepalanya mengalami cedera akibat terjatuh, maka si-pelaku
tidak akan memperoleh kompensasi atas dampak yang timbul karena perbuatannya [11].

Prinsip kedua, mengacu pada pendekatan liability jika ada individu atau perusahaan yang
melakukan kegiatan yang menghasilkan pencemaran atau dampak negatif lainnya, kegiatan
tersebut tidak serta merta dilarang sepanjang dapat memberikan kompensasi atau ganti rugi
yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.  Inilah yang disebut dengan
“prinsip pencemar membayar” (polluter pays principle) [11].

Oleh karena itu, jika menggunakan pendekatan liability, REDD atau CDM seharusnya
dilihat sebagai kewajiban dari negara-negara industri (bukan amal mereka) dan pada saat yang
sama ada hak negara-negara berkembang sebagai pihak terdampak untuk menerima
kompensasi.  Contoh lain, jika ada individu atau perusahaan yang membakar lahan dan
3
akhirnya memantik terjadinya kabut asap yang merugikan warga karena menderita infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA) maka pelaku harus bertanggung jawab memberikan
kompensasi langsung kepada pihak-pihak yang terkena dampak.  Dalam hal ini wewenang dan
tugas negara adalah mengawasi serta meyakinkan bahwa semua pihak terdampak memperoleh
hak-haknya.  Apabila pihak-pihak terdampak telah sepakat dengan kompensasi yang diberikan,
maka menurut pendekatan liability izin operasinya tidak perlu ditutup [11].

Perencanaan dalam Manajemen Sumber Daya Hutan

1. Hirarki Perencanaan dalam Organisasi Manajemen Sumber Daya Alam

Perencanaan, dalam skala kecil atau besar, dapat dipandang sebagai sebuah hierarki
(Gambar 1.2).

Gambar 1. Proses Pengelolaan Sumber Daya Hutan [8].

Pada level tertinggi, hirarki adalah proses perencanaan strategis, yang fokus pada
pencapaian jangka panjang tujuan manajemen. Di sini, tujuan seperti pengembangan satwa
liar habitat atau produksi volume panen kayu biasanya dimodelkan dalam kerangka waktu
yang lama dan area yang luas dan bersifat umum. Pada level yang lebih rendah perencanaan
hirarki hubungan spasial biasanya diakui. Misalnya, dalam proses perencanaan taktis,

12
masalah seperti lokasi manajemen kegiatan atas ruang dan waktu diakui. Rencana yang
melibatkan model habitat spasial bersifat taktis rencana, karena hu ungan lokasi antara unit
habitat (biasanya tegakan kayu) diakui. Tingkat perencanaan ini mengidentifikasi tindakan
spesifik situs yang berkontribusi pada tujuan rencana yang lebih besar, tetapi rincian teknis
dari pelaksanaan tindakan tersebut adalah terbatas [8].

Pada level terendah dalam hirarki adalah operasional perencanaan. Ini sehari-hari,
mingguan, bulanan, atau perencanaan tahunan yang diperlukan sebenarnya menerapkan
tindakan manajemen. Beberapa contoh jenis perencanaan ini termasuk penjadwalan bibit
untuk musim tanam, penebang untuk area panen, peralatan untuk proyek peningkatan aliran,
atau kebakaran kru untuk upaya pembakaran yang ditentukan. Operasional rencana
(mingguan, bulanan, tahunan) dipandu oleh taktis rencana (tahunan, dua tahunan), yang
dipandu oleh rencana strategis (jangka panjang). Tingkat detail meningkat ketika kita
beralih dari strategis ke operasional perencanaan. Sebaliknya, jumlah orang yang terlibat
meningkat dari operasional ke perencanaan strategis [8].

2. Perencanaan Komunitas atau Koperasi Hutan


Pengelolaan hutan kolaboratif, atau masyarakat kehutanan, adalah sistem di mana
masyarakat dan pemerintah lembaga bekerja sama untuk secara kolektif untuk mengelola
sumber daya alam, dan masing-masing berbagi tanggung jawab yang terkait dengan rencana
tersebut. Gagasan tentang pengelolaan dan perencanaan hutan berbasis masyarakat. Namun,
dalamnegara-negara berkembang, minat masyarakat dalam hal ini program umumnya
didasarkan pada kebutuhan dasar untuk bahan bakar, kayu, makanan, dan hasil hutan
nontimber lainnya,dan ketika ini tersedia sedikit, bunga dalam perencanaan dan manajemen
kolaboratif dapat berkurang [14] Aspek perencanaan kolaboratif yang sukses program
termasuk manfaat terukur (keuangan danlain-lain) dari mana masyarakat dapat memperoleh
lokal kontrol organisasi atas sumber daya alam, dan tidak adanya kontrol pemerintah [15].
Jenis ini sistem manajemen dan perencanaan mengharuskan kelompok mencapai konsensus
terkait hutan yang diperdebatkan, dan menemukan kesepakatan tentang penggunaan
komunal sumber daya hutan. Proses perencanaan mungkin panjangdan menantang, terutama
ketika lingkungan dan tujuan ekonomi keduanya penting [16].
3. Manajemen dan Perencanaan Adaptif Hutan
Manajemen dan perencanaan yang adaptif melibatkan banyak hal dari proses
perencanaan. Saat memanfaatkan pendekatan ini, fase pemantauan secara khusus
digunakanuntuk memberikan umpan balik ke tahap perencanaan, yangdapat memungkinkan

3
rencana pengelolaan properti menjadi lebih baikmengenali beberapa ketidakpastian terkait
kegiatan manajemen. Dengan pendekatan ini, kesuksesan atau kegagalan tindakan
manajemen untuk menghasilkan efek yang diinginkan dievaluasi baik secara kuantitatif
maupun secara kualitatif. Grumbine [17] menyarankan hal itu manajemen adaptif adalah
proses pembelajaran, di mana hasil dari pengalaman manajemen sebelumnya dievaluasi dan
memungkinkan pengelola lahan untuk beradaptasi situasi yang tidak pasti.

Pemanfaatan Hutan

Ada berbagai macam wujud pemanfaatan hutan yang dapat dilakukan oleh manusia [18].
Berikut merupakan berbagai macam pemanfaatan hutan tersebut:

1. Sebagai kawasan lindung

Pemanfaatan hutan yang pertama adalah dengan menjadikan hutan sebagai kawasan
lindung. Ada salah satu jenis hutan yang khusus diperuntukkan untuk menjadi kawasan
lindung. Hutan ini adalah hutan lindung. Hutan lindung merupakan salah satu hutan yang
digunakan untuk melindungi dan menjaga kondisi alam yang ada di Bumi [18].

Keberadaan hutan lindung ini biasanya digunakan untuk menjaga kondisi yang ada di
Bumi. Fungsi hutan lindung ini yang pokok antara lain sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan berupa pengaturan tata air, mencegah terjadinya banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, serta untuk memelihara kesuburan tanah
dan lain sebagainya. Selain yang telah disebutkan, biasanya hutan lindung ini juga
diperuntukkan sebagai rumah dari berbagai binatang dan juga tumbuh- tumbuhan yang khas
[18].

2. Sebagai kawasan suaka alam

Pemanfaatan hutan yang selanjutnya adalah sebagai kawasan suaka alam. Kawasan
suaka alam ini diperuntukkan untuk menlindungi binatang atau tumbuhan yang dilindungi
dan keberadaannya hampir punah. Kepunahan binatang dan tumbuhan ini bisa disebabkan
karena proses alam maupun karena terlalu banyak diburu oleh manusia. Ada jenis hutan
yang dikhususkan untuk mempunyai peranan melindungi binatang dan tumbuhan langka.
Hutan ini adalah hutan suaka alam [18].

14
Hutan suaka alam ini merupakan hutan yang mempunyai keadaan yang khas. Hutan
suaka alam ini diperuntukkan sebagai kawasan perlindungan dan juga pelestarian flora serta
fauna yang hampir punah agar nantinya dapat berkembang biak sesuai dengan kondisi
ekosistemnya [18].

3. Sebagai kawasan produksi

Pemanfaatan hutan lainnya adalah sebagai kawasan produksi. Hutan ini biasanya
digunakan untuk tujuan komersial. Hutan produksi bisa dimiliki oleh pemerintah maupun
oleh swasta yang pekerjaannya di bidang industri yang bahan bakunya berupa kayu. Karena
menjadi bahan baku, maka biasanya pohon yang ditanam pun merupakan pohon yang
sejenis atau biasa disebut dengan hutan homogen. Untuk dapat diolah menjadi sesuatu yang
diinginkan, pastinya pohon- pohon yang berada di hutan inipun harus ditebang terlebih
dahulu. Maka dari itu, sebagai pemilik atau pengelola hutan yang baik, manusia harus
mampu membedakan mana pohon yang sudah layak untuk ditebang dan yang belum layak
untuk ditebang [18].

Hal ini disebut juga sistem tebang pilih. Sistem ini penting untuk dilakukan agar
nantinya manusia tidak menebang pohon secara sembarangan. Selain tebang pilih, manusia
juga harus menanamkan prinsip tebang tanam. Jadi, setelah satu pohon ditebang, manusia
harus menanam pohon lain sebagai gantinya. Dengan demikian keadaan hutan akan tetap
lestari dan terhindar dari hutan gundul. Ada hutan yang dikhususkan untuk menyediakan
bahan baku industri seperti. Hutan yang demikian dinamakan hutan produksi [18].

4. Sebagai kawasan wisata

Pemanfaatan hutan selanjutnya adalah sebagai kawasan wisata alam. Tidak semua
tempat wisata harus memiliki wahana permainan yang menguji adrenalin dan juga lampu
warna- warni yang berkelip- kelip. Justru, wisata alam merupakan wisata yang sangat
penting untuk dikunjungi dan berwisata bersama keluarga. Wisata alam, salah satunya bisa
dilakukan di hutan. Kawasan hutan ini merupakan kawasan yang sangat baik untuk
digunakan berwisata, terlebih untuk mengenalkan anak- anak kepada alam [18].

Di hutan, kita tidak hanya akan menemukan berbagai jenis tumbuh- tumbuhan, namun
juga berbagai jenis binatang yang hidup bebas di alamnya. Perlu sekali mengenalkan alam
kepada anak- anak sejak dini agar mereka dapat belajar mencintai dan juga melestarikan
3
alam. Oleh karena itulah sesekali ajaklah anak- anak untuk berwisata ke alam terbuka
seperti di hutan ini [18].

Kita tidak perlu khawatir mengenai keselamatan kita saat berada di hutan, karena ada
satu hutan yangb dimanfaatkan sebagai tempat berwisata, sehingga disana pun ada fasilitas-
fasilitas yang akan menjamin keselamatan kita. Hutan yang khudud diperuntukkan sebagai
sarana rekreasi ini dinamakan sebagai hutan wisata [18].

5. Sebagai kawasan edukasi

Selain berwisata, hutan juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat atau sarana
pendidikan. Tidak selamanya belajar harus melulu di dalam kelas. Sesekali kita perlu untuk
belajar di alam terbuka, bahkan apabila mata pelajaran yang kita pelajari ini mengenai alam.
Maka selain mendapatkan suasana baru, kita punbisa sekalian praktik atau melihat secara
langsung [18].

Ada banyak sekali ilmu yang dapat diambil dari alam, khususnya hutan. Hutan
menyimpan berbagai macam kekayaan dan fungsi yang patut diketahui oleh orang banyak
agar nantinya generasi penerus akan dapat memeliharanya. Oleh karena itulah sesekali perlu
untuk belajar di tengah- tengah hutan ini. Selain bisa dimanfaatkan sebagai ruang kelas,
hutan juga bisa digunakan sebagai laboratorium penelitian. Banyak hal yang dapat dikaji
dari hutan ini dan juga diteliti, dan sejauh ini pula telah banyak orang yang melakukan
penelitian di hutan dan menjadikan hutan sebagai objek penelitian [18].

16
PENUTUP
Kesimpulan

Pengelolaan Sumber Daya Hutan memiliki beberapa poin didalamnya seperti


karakteristik proses pengambilan keputusan yang terdiri dari pandangan ilmu manajemen dan
proses pengambilan keputusan, strategi kebijakan pengelolaan sumber daya hutan yang terdiri
dari modal sosial dan kapasitas negara; rasionalitas Sosial-Ekonomi-Ekologi; dan kebijakan
pemerintah tentang hutan kemasyarakatan, kebijakan lingkungan yang memiliki dua prinsip
yaitu prinsip dasar property dan liability, serta perencanaan dalam manajemen sumber daya
alam yang berisi hirarki perencanaan dalam organisasi; manajemen komunitas atau koperasi
hutan; dan manajemen dan perencanaan adaptif hewan.

Saran

Dari kesimpulan tersebut dapat disarankan bahwa dalam mengelola sumber daya hutan
harus memiliki banyak aspek serta pertimbangan, baik pertimbangan kepada sesama manusia
maupun untuk makhluk hidup lainnya termasuk lingkungan disekitar sumber daya hutan.
Untuk pembaca disarankan untuk membaca buku mengenai pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya hutan dan juga jurnal-jurnal baik dari nasional hingga internasional, agar
pemahaman terhadap pengelolaan lingkungan lebih dimengerti.

3
DAFTAR RUJUKAN

[1] Jurnal Bumi. 2015. https://jurnalbumi.com


[2] Unila. Digilib.unila.ac.id
[3] United Nations Economic Commission for Europe. 2007. “ECE/ FAO Forest
Products Annual Market Review, 2006–2007” Timber Bulletin, ECE/TIM/SP/22. United
Nations Economic Commission for Europe, Timber Section, Geneva. 153 p.
[4] Cubbage, F., Siry, J., and Abt, R. 2005. Fast-grown plantations, forest certification,
and the U.S. South: Environmental benefits and economic sustainability. New Zealand J.
Forestry Science. 35(2/3), 266–289.
[5] Tikina, A., Kozak, R., and Larson, B. 2008. What factors influence obtaining forest
certification in the U.S. Pacific Northwest? Forest Policy and Economics. 10(4), 240–
247.
[6] Ortolan, C. 2003. Some thoughts on FSC and environmental certification. Crow’s
Forest Industry J. 64(March/April), 24–25.
[7] Hansen, E., Forsyth, K., and Juslin, H. 2000. “Forest Certification Update for the ECE
Region: Summer 2000.” Geneva Timber and Forest Discussion Paper ECE/TIM/DP/20.
United Nations Economic Commission for Europe, Timber Section, Geneva,
Switzerland.
[8] Betinger, P., Boston K., dkk. 2009. Forest Management and Planning. (e-book).
[9] Cossalter, C. and Pye-Smith, C. 2003. Fast-Wood Forestry: Myths and Realities.
Center for International Forestry Research, Jakarta, Indonesia. 50 p.
[10] Sustainable Forestry Board. 2004. “Sustainable Forestry Initiative, 2005-2009
Standard.” Sustainable Forestry Board, Washington, D.C. 26 p.
[11] Nurrohmat R. D. 2018. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Hutan.
www.forestdigest.com
[12] Oborella, S., Suharjito, D., dkk. 2011. Efektifitas Kelembagaan Lokal dalam
Pengelolaan Sumber Daya Hutan pada Masyarakat Rumahkay di Seram Bagian Barat,
Maluku. JMHT Vol. XVII, (2): 49-55.
[13] Suharjito, D. 2009. Devolusi Pengelolaan Hutan di Indonesia: Perbandingan
Indonesia dan Philipina. JMHT Vol. XV, (3): 123-130.
[14] Elliot, C. and Schlaepfer, R. 2001. The advocacy coalition framework: Application
to the policy process for the development of forest certification in Sweden. J. European

18
Public Policy. 8(4), 642–661.
[15] United Nations Framework Convention on Climate Change. 1998. “Kyoto
Protocol.” United Nations Framework Convention on Climate Change, Bonn, Germany.
http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php
[16] Birdsey, R. 1992. “Carbon Storage and Accumulation in the United States Forest
Ecosystems.” U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Washington, D.C. General
Technical Report WO-59. 51 p.
[17] Sedjo, R. and Marland, G. 2003. Inter-trading permanent emissions credits and
rented temporary carbon emission offsets: Some issues and alternatives. Climate Policy.
[18] Fatma, D. 2016. Ilmugeografi.com

19

Anda mungkin juga menyukai