Anda di halaman 1dari 18

MATA KULIAH FARMAKOLOGI

PATOFISIOLOGI, MEKANISME KERJA OBAT, DAN ADR DARI


OBAT – OBAT ANEMIA, TOKOLITIK, DAN PENDARAHAN
Dosen Pembimbing : Sulaiman Badra, S.Si, M.Kes., Apt

Disusun Oleh :
KELOMPOK II
1 NUR NAHRIAH 105121101419
2 AINUN MARDIAH 105121101519
3 HASLINDAH 105121101619
4 TITIN SARIANI SAHID 105121101719
5 JALIFAH 105121101819
6 SALIDA 105121102019
7 FAHIRA HAIRUNNISHA 105121102119
8 REZKY ANRIANI MARSHANDA 105121102219
9 MILDA NUR PUTRI HAERUDDIN 105121102319
10 HASRIANI 105121102419
11 SHAFIRA TASYA 105121102719

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
TAHUN 2020
RINGKASAN .
1. ANEMIA
1.1. Patofisiologi
Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat
digolongkan pada tiga kelompok:
A. Anemia akibat produksi sel darah merah yang berkurang atau gagal
Pada anemia tipe ini, tubuh memproduksi sel darah yang terlalu sedikit atau
sel darah merah yang diproduksi tidak berfungsi dengan baik. Hal ini terjadi
akibat adanya abnormalitas sel darah merah atau kekurangan mineral dan vitamin
yang dibutuhkan agar produksi dan kerja dari eritrosit berjalan normal. Kondisi
kondisi yang mengakibatkan anemia ini antara lain Sickle cell anemia, gangguan
sumsum tulang dan stem cell, anemia defisiensi zat besi, vitamin B12, dan Folat,
serta gangguan kesehatan lain yang mengakibatkan penurunan hormon yang
diperlukan untuk proses eritropoesis.
B. Anemia akibat penghancuran sel darah merah
Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuh dan tidak
mampu bertahan terhadap tekanan sirkulasi maka sel darah
merah akan hancur lebih cepat sehingga menimbulkan anemia
hemolitik. Penyebab anemia hemolitik yang diketahui atara
lain:
 Keturunan, seperti sickle cell anemia dan thalassemia
 Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan, atau beberapa jenis
makanan
 Toksin dari penyakit liver dan ginjal kronis
 Autoimun
 Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka bakar, paparan
kimiawi, hipertensi berat, dan gangguan thrombosis
 Pada kasus yang jarang, pembesaran lien dapat menjebak sel darah merah
dan menghancurkannya sebelum sempat bersirkulasi.
C. Anemia akibat kehilangan darah
Anemia ini dapat terjadi pada perdarahan akut yang hebat ataupun pada
perdarahan yang berlangsung perlahan namun kronis. Perdarahan kronis
umumnya muncul akibat gangguan gastrointestinal ( misal ulkus, hemoroid,
gastritis, atau kanker saluran pencernaan ), penggunaan obat obatan yang
mengakibatkan ulkus atau gastritis (misal OAINS), menstruasi, dan proses
kelahiran.
1.2. Mekanisme Kerja obat
A. Tablet Fe (Besi)
Absorpsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung di duodenum dan
jejenum proksimal; makin ke distal absorpsinya makin berkurang. Zat ini lebih
mudah di absorpsi dalam bentuk fero. Transportnya melalui sel mukosa usus
terjadi secara transport aktif. Ion fero yang sudah di absorpsi akan di ubah
menjadi ion feri dalam sel mukosa. Selanjutnya ion feri akan masuk kedalam
plasma dengan perantara transferin, atau diubah menjadi feritin dan di simpan

1
dalam sel mukosa usus. Secara umum, bila cadangan dalam tubuh tinggi dan
kebutuhan akan zat besi rendah, maka lebih banyak Fe di ubah menjadi feritin.
Setelah di absorpsi, Fe dalam tubuh akan di ikat dalam transferin ( siderofilin ),
suatu beta 1-globulin glikoprotein, untuk kemudian di angkut ke beberapa
jaringan, terutama ke sumsum tulang dan depot Fe. Indikasi :Sediaan Fe hanya
diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan Anemia defisiensi Fe.
Penggunaan diluar indikasi ini, cenderung menyebabkan penyakit penimbunan
besi dan keracunan besi.
B. Vitamin B12 (Sianokobalamin)
Sianokobalamin diabsorpsi baik dan cepat setelah pemberian IM dan SK .
Kadar dalam plasma mencapai puncak dalam waktu 1 jam setelah suntikan IM.
Absorpsi ini berlangsung dengan 2 mekanisme yaitu dengan perantaraan faktor
instrinsik castle (fic) dan absorpsi secara langsung. Setelah di absorpsi, hampir
semua vitamin B12 dalam darah terikat dengan protein plasma sebagian besar
terikat pada beta-globulin (transkobalamin II),Sisanya terikat pada alfa-
glikoprotein (transkobalamin I) dan inter-alfa-glikoprotein ( transkobalamin III)
vitamin B12 yang terikat pada transkobalamin II akan di angkut ke berbagai
jaringan, terutam hati yang merupakan gudang utama penyimpanan vitamin B12
(50-90% ). Kadar normal vitamin B12 dalam plasma adalah 200-900 pg ml
dengan simpanan sebanyak 1-10 mg dalam hepar.
Fungsi metabolik :Vit B12 bersama asam folat sangat penting untuk
metabolisme intrasel. Keduanya dibutuhkan untuk sintesis DNA yang normal,
sehingga defisiensi salah satu vitamin ini menimbulkan gangguan produksi dan
maturasi eritrosit (anemia megaloblastik). Defisiensi Vit B12 juga menyebabkan
kelainan neurologik. Bila tidak cepat diobati dapat membuat pasien cacat seumur
hidup. Dosis : Anemia pernisiosa: 1 -10 mg sehari yg diberikan selama 190 hari,
Terapi awal: dosis 100 mg sehari parenteral selama 5 – 10 hari, Terapi penunjang:
dosis pemeliharaan 100-200 mg sebulan sekali sampai diperoleh remisi yg
lengkap (jumlah eritrosit dalam darah +4,5 juta/mm3) dan morfologi
hematologik berada dalam batas-batas normal.
C. Asam Folat
Pada pemberian oral absorpsi folat baik sekali, terutama di 1/3 bagian
proksimal usus halus. Dengan dosis oral yang kecil, absorpsi memerlukan energi,
sedangkan pada kadar tinggi absorpsi dapat berlangsung secar difusi. Walaupun
terdapat gangguan pada usus halus, absorpsi folat biasanya masih mencukupi
kebutuhan terutama sebagai PmGA.
Defisiensi folat sering merupakan komplikasi dari:gangguan di usus kecil,
alkoholisme yg menyebabkan asupan makanan buruk, efek toksik alkohol pada
sel hepar, anemia hemolitik yg menyebabkan laju malih eritrosit tinggi, Obat-obat
yang dapat menurunkan kadar folat dalam plasma. Indikasi:Penggunaan folat
adalah pada pencegahan dan pengobatan defisiensi folat, Kebutuhan asam folat
meningkat pada wanita hamil, sekurang kurangnya 500 mg per hari, Hasil
penelitian menunjukkan adanya hubungan kuat antara individu antara defisiensi
asam folat pada ibu dengan insiden defek neural tuibe, spt spina bifida dan

2
anensefalus pada bayi yg dilahirkan. Dosis : Tergantung dari beratnya anemia dan
komplikasi yg ada. Untuk diagnostik: 0,1 mg per oral selama 10 hari.
D. Eritropoietin
Berinteraksi dengan reseptor eritropoietin pada permukaan sel induk sel
darah merah, menstimulasi poloferasi dan diferensiasi eritroit. Eritropoietin juga
menginduksi pelepasan retikulosis dari sumsum tulang. Eritrpoietin endogen
diproduksi oleh ginjal sebagai respon terhadap hipoksia jaringan. Bila terjadi
Anemia maka eritropoietin diproduksi lebih banyak olh ginjal, dan hal ini
merupakan tanda bagi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah.
Indikasi :Eritropoietin terutama diindikasikan untuk anemia pada pasien
gagal ginjal kronik. Pemberian eritropoietin dapat meningkatkan kadar
hematokrit dan hemoglobin, dan mengurangi/menghindarkan kebutuhan transfusi.
Dosisnya:50-150 IU/kg secara IV atau subkutan 3 x seminggu. Untuk pasien
anemia akibat gangguan primer atau sekunder pada sumsum tulang kurang
memberikan respon terhadap pemberian eritropoietin. Untuk pasien ibi dosisnya
lebih tinggi, sekitar 150-300 IU/L 3 x seminggu. Efek samping : Hipertensi
bertambah berat, paling sering akibat peningkatan hematokrit yg terlalu cepat.

1.3. ADR (Adverse Drug Reaction)


Efek samping yang paling sering timbul berupa intoleransi dalam sediaan oral,
dan ini sangat tergantung dari jumlah Fe yang dapat larut dan yang diabsorpsi pada
setiap pemberian. Gejala yang timbul dapat berupa mual dan nyari lambung (+- 7-
20%),konstipasi (+- 10%),diare (+- 5%) dan kolik. Gangguan ini biasa ringan dan
dapat dikurangi dengan mengurangi dosis atau dengan pemberian sesudah makan,
walaupun dengan cara ini absorpsi dapat berkurang.
Pemberian Fe secara IM dapat menyebabkan reaksi local pada tempat suntikan
yaitu berupa rasa sakit,warna coklat pada tempat suntikan, peradangan lokal dengan
pembesaran kelenjar inguinal. Peradangan lokal lebih sering terjadi pada pemakaian
IM dibandingkan IV.
Intoksikasi akut sangat jarang terjadi pada orang dewasa, kebanyakan terjadi
pada anak akibat menelan terlalu banyak tablet FeSO4 yang seperti gula-gula.
Kelainan utama terdapat pada saluran cerna,mulai dari iritasi,korosi sampai tejdai
neksrosis. Gejala yang timbul berupa mual, muntah, diare, hemetemesis serta fese
berwarna hitam karena perdarahan pada saluran cerna,syok dan akhirnya kolaps
kardiovaskular dengan bahaya kematian. Efek korosif dapat menyebabkan stenosis
pylorus dan terbentuknya jaringan parut berlebihan dikemudian hari. Gejala
keracunan tersebut di atas dapat timbul dalam waktu 30 menit atau setelah beberapa
jam minum obat. Terapi yang dapat dilakukan adalah pertam-tama diusahakan agar
pasien muntah, kemudian diberikan susu atau telur yang dapat mengikat Fe sebagai
kompleks protein Fe. Bila obat diminum kurang dari 1 jam sebelumnya,dapat
dilakukan bilasan lambung dengan menggunakan larutan natrium bikarbonat 1%.
Selanjutnya kedaan syok dehidrasi dan asidosis harus diatasi.

2. TOKOLITIK

3
2.1. Patofisiologi
Persalinan prematur merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan
kematian dan kesakitan neonatus. Risiko kelahiran prematur antara lain kematian
bayi, kecacatan bayi, gawat nafas, perdarahan otak, infeksi/sepsis dan gagal jantung.
Pengelolaan neonatus prematur ini membutuhkan biaya dan tenaga yang banyak.
Jika tidak terjadi kematian neonatus, hampir separuh dari neonatus yang berhasil
hidup akan mengalami kecacatan neurologis kongenital termasuk serebral palsi dan
akan menderita penyakit kronis yang merupakan komplikasi prematur seperti
displasia bronkopulmoner, enterokolitis nekrotikan, retinopati prematuritas dan
kerusakan organ akibat septikemia. Komplikasi ini menyebabkan disabilitas kronik
dengan tambahan biaya untuk pengelolaan kesehatan jangka panjang. Selain itu,
kenyataan bahwa hanya sebagian kecil bayi yang dapat diselamatkan setelah
mendapat perawatan intensif yang lama dan mahal sehingga merupakan beban bagi
keluarga, masyarakat maupun negara1,2022.
Melihat hal tersebut di atas, perlu usaha – usaha untuk menunda persalinan
prematur, baik pada ancaman persalinan prematur maupun pada kasus ketuban
pecah dini pada usia kehamilan belum cukup bulan dimana paru – paru janin belum
matang. Ini terutama untuk tempat–tempat yang belum memiliki fasilitas perawatan
intensif bagi neonates
Demikian juga pada kasus–kasus dimana kortikosteroid diharapkan dapat
bekerja untuk meningkatkan maturitas paru janin sebelum kehamilan diakhiri.
Penundaan persalinan dengan tokolitik perlu diberikan agar tersedia cukup waktu
bagi kortikosteroid untuk bekerja
Para peneliti terus berusaha untuk menemukan jenis tokolitik yang efektif
dalam menghambat persalinan prematur serta mempunyai efek samping minimal
terhadap ibu dan janinnya. Berbagai macam obat telah dicoba untuk melakukan
penundaan persalinan prematur, antara lain obat–obatan golongan beta
simpatomimetik (isoksuprin, ritodrin, terbutalin), kalsium antagonis (nifedipin,
nikardipin), antiprostaglandin (indomethasin, ketorolac, sulindac), dan magnesium
sulfat. Obat–obatan ini telah terbukti secara klinis dapat menunda persalinan
prematur untuk beberapa hari dengan efektifitas dan efek samping yang berbeda
Tujuan pemberian tokolitik adalah untuk menghilangkan kontraksi uterus
sehingga persalinan prematur dapat dihambat. Sudah dibuktikan secara meta
analisis bahwa tokolitik dapat memperpanjang fase laten persalinan prematur
antara 24–48 jam, yang dipergunakan untuk mempersiapkan pematangan paru
janin serta memberikan kesempatan merujuk pasien ke fasilitas pelayanan
kesehatan tersier yang mempunyai fasilitas perawatan bagi bayi prematur. Tujuan
akhir tokolitik adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan janin akibat
prematuritas.

2.2. Mekanisme Kerja Obat


Berbagai macam obat telah digunakan untuk menekan kontraksi uterus,
termasuk dalamnya B agonis, caleium channel hlockers, prostaglandin synthetase
inhibitor, magnesium sulfat, antagonis receptor oxytocin.

4
Kalsium pada sel myometrium berasal dari intraseluler maupun ekstraseluler
dimana sebagian besar kalsium yang digunakan sel myometrium untuk berkontraksi
berasal dari konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan kalsium intraseluler dari
berbagai macam mekanisme yang berbeda dan berikatan dengan calmodulin dan
memulai aktivasi dari calcium-dependent myosin light chain kinase (CDMLK).
Mekanisme kerja dari obat-obat tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Sub grup dari obat-obat tokolitik bekerja dengan cara yang berbeda-beda
untuk menghambat terjadinya kontraksi uterus, ini terjadi melalui mekanisme
persalinan yang spesifik (antagonis oksitosin, penghambat prostaglandin) atau
melalui aksi non spesifik pada kontraktilitas sel (B agonis, magnesium sulfat dan
penghambat kalsium).

2.3. ADR (Adverse Drug Reaction)


A. β AGONIS SEBAGAI TOKOLITIK
Efek-efek Terhadap Ibu
Efek-efek terhadap ibu dan komplikasi-komplikasi penggunaan terapi β –
adrenergik agonis banyak ditemukan dan lebih sering terjadi daripada efek-
efekterhadap fetus maupun neonatus. Terdapat informasi yang bertentangan
apakah efek-efek ini lebih sering terjadi pada penggunaan ritodrin atau
terbutalin. Secara umum,tidak ada perbedaan efek samping antara Ritodrin
dengan terbutalin, kecuali bahwaterbutalin oral menyebabkan perubahan
signifikan pada toleransi glukosa ibu,sedangkan ritodrin oral tidak menimbulkan
efek demikian.
Berikut adalah efek-efek maternal akibat terapi tokolitik dengan golongan
β-Adrenergik agonis :
1) Fisiologi : Agitasi, Sakit kepala, Mual, Muntah, Demam, Halusinasi
2) Metabolik : Hiperglisemia, Diabetik ketoasidosis, Hiperinsulinemia,
Hiperlaktasidemia, Hipokalemia, Hipokalsemia
3) Jantung : Edema pulmonum, Takikardi, Palpitasi, Hipotensi, Gagal
jantung, Aritmia, dll

Efek Terhadap Janin dan Neonatus

5
Efek fetal β-adrenergik agonis lebih kecil dibanding efek maternalnya.
Walaupunterjadi perpindahan obat ini secara cepat melalui plasenta yang
menyebabkantimbulnya efek fetal dan neonatal, kebanyakan fetus dapat
mentoleransinya tanpatimbul masalah maupun komplikasi.
Jarang dilaporkan adanya efek signifikan dan komplikasi β-adrenergik
agonisterhadap fetus dan neonatus. Efek samping terhadap neonatus paling
seringditemukan bila ibu mendapat terapi β-adrenergik agonis intravena yang
lama danmelahirkan sebelum kadar obat dalam darahnya turun. Walaupun hal
ini dulu seringterjadi, namun saat ini sudah jarang ditemukan.
Berikut adalah efek-efek Terhadap Fetus dan Neonetus akibat terapi
tokolitik dengangolongan β-Adrenergik agonis :
1) Fetal : Takikardi, Aritmia, Iskemik otot jantung, Hipertropi otot jantung,
Gagal jantung, Hiperglisemia, Hiperinsulinemia
2) Neonatal : Takikardi, Hipokalsemia, Hiperbilirubinemia, Hipoglikemi,
Hipotensi, Aritmia.

Belum ada laporan mengenai efek terhadap APGAR skor. Hal yang
palingpenting, follow up jangka panjang pada anak-anak yang terpapar ritodrin
tidakmenunjukkan efek buruk terhadap pertumbuhan.
Penggunaan klinis beta-adrenergik secara luas selama 45 tahun
belummemastikan adanya efek-efek signifikan terhadap fetus dan neonates
.
B. PERANAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID SEBAGAI
TOKOLITIK
Efek-efek Terhadap Ibu
Bila dibandingkan dengan magnesium sulfat atau ritodrin, efek samping
maternalindomethacin lebih minimal dan jarang terjadi. Kemungkinan efek
yang paling seringterjadi adalah iritasi gastrointestinal termasuk mual, sakit
lambung, heartburn, danmuntah yang berkaitan dengan terapi oral obat ini.
Antasida dapat membantu bilagejala-gejala ini terjadi. Akan tetapi, kebanyakan
pasien dapat mentoleransiindomethacin oral dan hanya mengalami sedikit efek
samping.
Karena aspirin dapat berefek pada perdarahan, Lent dkk meneliti efek
pemakaianindomethacin sebagai tokolitik terhadap sistim koagulasi ibu, dan
menyimpulkanbahwa tidak ada efek terhadap proses koagulasi. Akan tetapi,
terjadi perubahan yangmenonjol dan bersifat akut pada masa perdarahan ibu,
sehingga meningkatkan resikoterjadinya perdarahan yang banyak saat
persalinan. Bila seorang wanita melahirkanketika masih dalam terapi obat
tersebut atau jika mempunyai indikasi fetal maupunmaternal untuk tindakan
operasi, maka dokter harus memeriksa waktu perdarahan danmengenali adanya
resiko perdarahan. Walaupun perdarahan postpartum termasukresiko maternal,
efek samping ini jarang terjadi karena kadar obat dalam darahmenurun dengan
cepat ketika obat dihentikan.

6
Terapi indomethacin yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi
ginajal padaibu. Interaksi serius dapat terjadi bila obat diberikan bersama
dengan golonganaminoglikosid. Pemantauan fungsi ginjal dianjurkan bila obat
yang potensialnefrotoksik digunakan bersamaan atau segera setelah penggunaan
indomethacin.Waktu rata-rata pemulihan fungsi ginjal adalah 5 hari. Timbulnya
insufisiensi ginjalakut pada ibu mungkin berhubungan dengan kombinasi antara
perubahan aliran darahginjal dengan adanya restriksi cairan.
Indomethacin yang digunakan bersama-sama β bloker menyebabkan
hipertensiyang berat pada ibu. Bagaimana mekanisme OAINS ini menyebabkan
hipertensi tidakdiketahui, tetapi perlu hati-hati dan dihindari pemakaiannya pada
wanita-wanitadengan preeklampsi. Indomethacin juga bersifat antipiretik.
Penggunaannya dapatmenutupi demam yang timbul akibat korioamnionitis
subklinis. Perdarahan rektaldapat terjadi akibat pemberian berulang
indomethacin suppositoria, terapi oral setelahdosis awal dapat mencegah efek
samping tersebut pada ibu, sedangkan pemberiansacara perrektal dapat
mencegah efek samping pada system gastrointestinal pada ibu.Pemberian
indomethacin secara vaginal pada penderita dengan selaput ketuban yangmasih
intak sudah dilakukan dan tidak menunjukkan timbulnya komplikasi. Cara
pemberian ini tidak dianjurkan terutama pada pasien dengan pecahnya
ketubansebelum waktu. Bukti eksperimental pada binatang percobaan
menunjukkan bahwaindomethacin tidak berefek terhadap oksigenasi fetal atau
aliran darah fetal-maternal.Perfusi uteroplasenta juga tidak terganggu, demikian
pula tekanan darah dan denyutjantung ibu. Penggunaan indomethacin selama
lebih dari 7 hari, berkaitan dengantimbulnya depresi, pusing, dan psikosis dan
sering sakit kepala.

Efek Terhadap Janin dan Neonatus


Indomethacin telah ditemukan berkaitan dengan adanya morbiditas pada
bayibaru lahir, terutama jika terapi tokolitik tidak berhasil dan bayi dilahirkan
prematuratau obat digunakan lebih dari 2 hari. Laporan-laporan ini dan lainnya
menunjukkanbahwa bila terapi indomethacin ini melebihi 48 jam, maka terjadi
peningkatan resikobagi neonatus untuk mengalami enterokolitis nekrotikans,
perdarahanintraventrikuler, peningkatan resiko displasia bronkhopulmoner,
gagal napas,disfungsi ginjal, dan insiden yang lebih tinggi untuk terjadinya
penutupan duktusarteriosus yang dini akibat indomethacin setelah lahir.
Konstriksi duktus arteriosus, oligohidramnion, merupakan efek samping yang
paling serius berkaitan denganpenggunaan obat ini.
Indomethacin telah dicurigai menyebabkan konstriksi duktus arteriosus
fetal,konstriksi parsial duktus akibat indomethacin belum didokumentasikan
oleh beberapapeneliti, walaupun penelitian yang lain telah menemukan
kejadiannya yang ternyatacukup sering mendekati 50%. Konstriksi duktus pada
neonatus bersifat reversibel danakan hilang bila terapi indomethacin dihentikan.
Semakin banyak bukti yangmenunjukkan bahwa konstriksi duktus jarang terjadi
sebelum 34 minggu, tetapifrekuensinya meningkat seiring bertambahnya usia

7
kehamilan. Walaupun dosisefektif terkecil yang digunakan, konstriksi duktus
tidak bergantung pada kadar obatdalam serum fetal. Penutupan prematur duktus
arteriosus dapat menyebabkanhipertensi pulmonal primer pada neonatus yang
dapat berakibat fatal.
Bila persalinan terjadi dalam 48 jam sejak pemberian indomethacin atau
terapimelebihi 48 jam, akan menyebabkan peningkatan resiko morbiditas
neonatal.Indomethacin dan penghambat sintetase prostaglandin lainnya
termasuk Ibuprofenbersifat melawan efek hambatan prostaglandin terhadap
hormon antidiuretik yangakan mengakibatkan berkurangnya urin output janin
dan volume cairan amnion. Obatini dapat kurang atau sama efeknya terhadap
konstriksi duktus dan volume cairanamnion.
Sama seperti seluruh obat yang diberikan pada ibu, ahli neonatologi dan
dokteranak harus waspada terhadap bayi baru lahir yang terpapar dengan
indomethacin danharus dipertimbangkan efek obat terutama pada bayi prematur.
Karena resiko utamayang berupa hipertensi pulmonal pada bayi baru lahir
setelah tokolitik indomethacinmeningkat dengan terapi yang memanjang,
tampaknya bijaksana untuk membatasipenggunaannya hingga 24-48 jam untuk
menghindari atau mengurangi insidenkomplikasi yang terjadi pada janin dan
neonatus. Juga direkomendasikan bahwaterapi hanya terbatas pada usia
kehamilan 32-34 minggu.

C. PERANAN MAGNESIUM SULFAT (MgSO4) SEBAGAI TOKOLITIK


Efek Terhadap Ibu
Elliot merupakan salah satu dari yang pertama kali menggambarkan efek
sampingmaternal yang dapat timbul pada pasien yang menerima magnesium
sulfat untukmenghambat persalinan prematur. Pada 355 pasien dengan
diagnosis persalinanprematur yang diterapi dengan magnesium sulfat setelah
dirujuk dari rumah sakitlain, efek samping muncul pada 7% pasien, dan 2%
diantaranya perlu dihentikanpemberiannya. Komplikasi yang terlihat berupa
edema pulmonal, nyeri dada, nauseaberat atau kemerahan, mengantuk, dan
pandangan kabur. Namun, secara keseluruhan,efek samping terhadap ibu jarang
terjadi. Pada studi ini, magnesium sulfat jugadianggap sebagai obat yang
berhasil, murah dan relatif non toksik dengan efeksamping yang sedikit. Banyak
penyelidik telah mengkonfirmasi penemuan ini,membuat magnesium sulfat
menjadi obat tokolitik yang umum digunakan.
Efek samping yang paling signifikan dari terapi magnesium sulfat
adalahberkembangnya edema pulmonal. Elliot menemukan insiden sebesar
1,1% padapasien yang menerima tokolitik magnesium sulfat. Resiko ini lebih
kecil padamagnesium sulfat jika dibandingkan dengan β-adrenergik agonis.
Edema pulmonalmerupakan komplikasi yang serius dan berpotensi mematikan
akibat komplikasiterapi tokolitik. Armson mengevaluasi dinamika ibu-janin
selama terapi tokolitikdengan kedua obat ini, menyimpulkan bahwa retensi
natrium tampaknya menjadipenyebab utama ekspansi volume plasma pada
pasien. Ekspansi volume selama terapimagnesium sulfat mungkin berkaitan

8
dengan overhidrasi intravena. Ekspansi atauoverload cairan merupakan
mekanisme utama untuk terjadinya edema pulmonalselama terapi tokolitik.
Ginjal merupakan jalur eksresi utama dari magnesium. Jikatimbul fungsi ginjal
yang buruk, atau rata-rata infus magnesium terlalu tinggi, makahipermagnesia
dengan sekuele yang signifikan dan serius tidak hanya untuk pasiennamun juga
untuk janinnya dapat timbul. Efek samping termasuk penurunan reflekspatella,
depresi pernafasan, perubahan konduksi miokardium, henti nafas, dan
hentijantung. Pada pasien yang menerima magnesium sulfat intravena, kadar
magnesiumserum dan keseimbangan cairan harus diawasi ketat.
Henti nafas dapat muncul pada pasien dengan miastenia gravis dan
diterapidengan magnesium sulfat. Karena resiko ini, pasien dengan miastenia
gravis harusnyatidak menerima baik magnesium sulfat atau β-adrenergik agonis
sebagai obattokolitik.

Efek Terhadap Janin dan Neonatus


Sebagian besar, penggunaan terapi infus magnesium sulfat intravena
hanyamemiliki resiko yang sedikit terhadap janin dan neonatus.23 Terapi
tokolitik magnesium sulfat terbukti aman dan bermanfaat terhadap janindan ibu.
Namun, perubahan tulang yang terlihat melalui rontgen terlihat padaneonatus
dari pasien yang menerima infus magnesium sulfat jangka panjang (lebihdari 1
minggu). Perubahan-perubahan ini termasuk abnormalitas tulang
secararadiografi seperti perubahan dari tulang panjang, penipisan tulang
parietal, danmineralisasi tulang yang abnormal.
Laporan kasus telah menyatakan bahwa beberapa obat, ketika digunakan
denganmagnesium sulfat, dapat mengakibatkan komplikasi. Penggunaan
magnesium sulfatdengan gentamisin dan aminoglikosida lain telah
menyebabkan potensiasi kelemahanneuromuskuler, selain itu magnesium yang
ditambah nifedipin dapat menyebabkanefek hipotensif yang bermakna karena
potensiasi nifedipin terhadap aksipenghambatan neuromuskular dari
magnesium.
Ketika magnesium sulfat digunakan dengan hati-hati sebagai obat
tokolitik, efeksampingnya terhadap ibu, janin dan neonatus biasanya sedikit dan
tidaklah serius ataumerusak.

D. PERANAN CALCIUM CHANNEL BLOCKER (NIFEDIPINE) SEBAGAI


TOKOLITIK
Efek Terhadap Ibu
Nifedipin menghasilkan hipotensi sistemik dengan menyebabkan
vasodilatasiperifer. Obat ini telah digunakan dalam terapi hipertensi selama
kehamilan atau postpartum. Secara klinis, ketika digunakan untuk terapi
persalinan prematur, obat inimemiliki efek terhadap kardiovaskular yang
minimal.
Ferguson melaporkan tokolitik nifedipin berhubungan dengan hemodilusi
yangdapat meningkatkan resiko edema pulmonal non kardiogenik. Obat ini

9
tidak memilikiefek terhadap elektrolit plasma. Nifedipin yang digunakan
dengan magnesium sulfatmenghasilkan blokade neuromuskular dan jika timbul,
akan terlihat kelemahan ototyang berat, yang dapat dikoreksi jika magnesium
dihentikan. Magnesium adalah obatpenghambat neuromuskuler dan efek ini
dapat diperoleh juga dengan pemakainnifedipin. Laporan-laporan kasus
mengenai interaksi obat ini dapat dijumpai, namunkemunculan interaksi jarang
dijumpai. Hipotensi yang signifikan muncul ketikakedua obat ini digunakan
bersamaan sehingga harus hati-hati jika menggunakanpenyekat kanal kalsium
dengan magnesium sulfat.
Meskipun penyekat kalsium hanya digunakan pada studi-studi
penyelidikan dimasa lalu, obat ini digunakan secara luas. Ketika digunakan
secara klinis, jarangdijumpai efek samping yang signifikan terhadap ibu, namun
dapat dijumpaitakikardia, kemerahan pada kulit, sakit kepala, pusing, nausea,
vasodilatasi, danhipotensi yang jarang terjadi pada pasien hipovolemik, yang
dapat diterapi secaraefektif dengan mengurangi dosis obat. Hepatotoksisitas
maternal yang diinduksi olehobat telah dilaporkan ketika nifedipin digunakan
untuk terapi persalinan prematursehingga mengakibatkan dihentikannya
pemberian obat ini. Hal ini jarang munculnamun tes fungsi hepar awal dan
periodik mungkin diindikasikan untuk dilakukanketika nifedipin digunakan
untuk periode yang lama
.
Efek Terhadap Janin dan Neonatus
Meskipun beberapa fakta memperlihatkan bahwa penyekat kanal
kalsiummenjanjikan beberapa harapan sebagai obat tokolitik karena efek
samping terhadapibu yang lebih sedikit, beberapa perhatian muncul menyangkut
efeknya terhadap janin. Studi-studi hewan dengan berbagai spesies yang
dilaporkan telahmemperlihatkan adanya penurunan aliran darah uteroplasenta,
tekanan darah,hiperkapnia, asidosis, hipoksemia, dan kematian janin. Studi-
studi hewan baru-baruini telah diiringi dengan pengamatan terhadap janin
wanita hamil.
Namun, hanya terdapat studi-studi klinis yang dipublikasikan dalam
jumlah yangterbatas yang menggunakan penyekat kanal kalsium. Obat ini
mencapai kepopuleransebagai obat tokolitik lini kedua ketika terapi lini pertama
gagal. Tidak terdapatmorbiditas janin atau neonatus yang signifikan dari
penggunaan klinis nifedipinsebagai obat tokolitik. Namun, studi-studi lebih
lanjut diperlukan karena jarangnyadata yang tersedia sebelum obat
direkomendasikan untuk dapat digunakan lebih luas.Untuk saat ini, obat ini
tampaknya diindikasikan dan bermanfaat ketika obat yang laingagal. Di masa
depan, obat ini dapat merupakan obat tokolitik yang bernilai danbermanfaat
dengan efek samping yang lebih sedikit.
E. PERANAN ANTAGONIS OKSITOSIN SEBAGAI TOKOLITIK
Efek Samping
Efek samping yang dilaporkan sampai saat ini dan telah dibandingkan
dengangolongan beta agonis seperti nyeri dada (1% vs 5%), palpitasi (2% vs

10
16%), takikardi(6% vs 76%), hipotensi (3% vs 6%), dyspneu (0,3% vs 7%),
mual (12% vs 16%),muntah ( 7% vs 22%) dan sakit kepala (10% vs 19%) serta
satu kasus dengan edemapulmonum yang mana wanita tersebut juga mendapat
terapi tokolitik salbutamolselama 7 hari dibandingkan dengan grup β agonis
terdapat 2 orang yang menderitaedema pulmonum.
Insidensi terjadinya efek samping kardiovaskular pada pemakaian
atosibandibandingkan ritodrin jauh lebih rendah (4% dibanding 84,8%,
p<0,001). Rata-ratapenurunan nadi pada pemakaian atosiban, hanya sedikit dan
tidak bermakna (dari 88x/m, menjadi 84 x/m). Pada pemakaian ritodrin terdapat
peningkatan nadi yang nyatapada 6 jam pertama pemberian tokolitik (dari 87
x/m menjadi 117 x/m), sesudahterapi selesai nadi menurun namun masih
melebihi nadi awal (105 x /m, p<0,0001).Pada pemakaian ritodrin dan atosiban
tidak didapatkan kematian janin, kematian neonatall yang terjadi pada keduanya
sama, namun tidak disebabkan oleh efek daripemberian obat tetapi akibat
imaturitas (<26 minggu). Kejadian bradikardia dan fetaldistress pada kedua
kelompok sama, sedangkan denyut jantung janin pada kelompokatosiban
menurun tidak bermakna (dari 142 kali/menit menjadi 138 kali/menit),
padaritodrin meningkat dari 142 kali/menit menjadi 155 kali/menit (p<0,0001).
Antagonis oksitosin mempunyai efek inhibisi pada pengeluaran air susu
padahewan menyusui. Akan tetapi, efek samping pada masa post partum hampir
tidak adakarena waktu paruhnya yang relatif pendek (16,4 + 2,2 menit pada
wanita yang tidakhamil) dan sifatnya yang reversibel. Pengaturan sentral
reseptor-reseptor uterus yangberhubungan dengan paparan jangka panjang
terhadap atosiban belum diketahui.Atosiban tidak mengubah sensitivitas
miometrium kehamilan terhadap oksitosin.
3. PENDARAHAN
3.1. Patofisiologi
A. Endometrium dan Fisiologi Menstruasi
Endometrium terdiri dari dua zona yang berbeda, lapisan fungsional dan
lapisan basal. Lapisan basal yang terletak di bawah lapisan fungsional adalah
lapisan yang berhubungan langsung dengan miometrium dan lapisan ini kurang
responsif terhadap hormon. Lapisan basalis berfungsi sebagai reservoir untuk
regenerasi lapisan fungsional setelah terjadinya menstruasi. Sebaliknya, lapisan
fungsional melapisi rongga uterus, mengalami perubahan dramatis selama siklus
menstruasi dan akhirnya luruh selama menstruasi.Pada akhir siklus menstruasi,
kadar progesteron menurun drastis dan mengakibatkan
pelepasan lyticmatrixmetalloproteinases (MMP). Enzim ini merusak stroma dan
susunan vaskular dari lapisan fungsional. Perdarahan dan peluruhan dari lapisan
inilah yang disebut dengan menstruasi. Agregasi trombositlah yang kemudian
mengontrol pengeluaran darah. Selain itu, arteri yang tersisa di endometrium
juga mengalami vasokonstriksi untuk membatasi perdarahan lebih lanjut.
B. Kekacauan Stimulasi Siklus Hormon Seks
Pada pasien dengan perdarahan uterus abnormal terjadi kekacauan
stimulasi siklus hormon seks yang diatur oleh perkembangan folikel yang diikuti

11
oleh ovulasi dan pembentukan korpus luteum dan degenerasinya jika tidak
terjadi kehamilan.
C. Patofisiologi Perdarahan Uterus Abnormal pada Siklus Ovulasi
Pada siklus ovulasi, perdarahan uterus abnormal dapat disebabkan oleh
terganggunya kontrol lokal hemostasis dan vasokonstriksi yang berguna untuk
mekanisme membatasi jumlah darah saat pelepasan jaringan endometrium haid.
Berbagai molekul yang berguna untuk mekanisme kontrol tersebut, antara lain
yaitu endotelin, prostaglandin, VEGF, MMPs, enzim lisosom, dan fungsi
tomobosit. Beberapa keadaan lain yang dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan uterus abnormal pada siklus ovulasi adalah korpus luteum persisten
dan insufisiensi korpus luteum.
D. Patofisiologi Perdarahan Uterus Abnormal pada Siklus Anovulasi
Pada siklus anovulasi, perdarahan uterus abnormal disebabkan stimulasi
estrogen berlebihan (unopposed estrogen) pada endometrium. Endometrium
mengalami proliferasi berlebih tetapi tidak diikuti dengan pembentukan jaringan
penyangga yang baik karena kadar progesteron rendah. Endometrium menjadi
tebal tapi rapuh, jaringan endometrium lepas tidak bersamaan dan tidak ada
kolaps jaringan sehingga terjadi perdarahan yang tidak teratur. Penyebab
anovulasi bermacam-macam mulai dari belum matangnya aksis hipotalamus-
hipofisis-ovarium, sampai suatu keadaan yang mengganggu aksis tersebut.
Sindroma ovarium polikistik merupakan salah satu contoh keadaan yang
mengganggu aksis tersebut.
E. Patofisiologi pendarahan postpartum
Patofisiologi dari perdarahan postpartum disebabkan oleh beberapa faktor,
namun sebelum membahas mengenai patofisiologi, perlu diketahui bahwa
selama masa kehamilan volume darah ibu meningkat hingga 50% atau setara
dengan 4-6 liter. Volume plasma mengalami peningkatan hingga melebihi kadar
total sel darah merah (redbloodcell / RBC), sehingga menimbulkan kesan
penurunan konsentrasi hemoglobin dan penurunan jumlah hematokrit.
Peningkatan volume darah ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
perfusiuteroplasenta serta agar dapat menggantikan volume perdarahan yang
akan terjadi pada saat proses persalinan.
F. Fisiologi Penghentian Perdarahan pada Persalinan
Pada saat persalinan terjadi, plasenta akan terpisah secara spontan dari
tempat implantasinya beberapa menit setelah bayi lahir. Dibalik tempat
melekatnya plasenta terdapat pembuluh-pembuluh darah uterus yang melintas di
antara serat-serat otot miometrium. Selama proses melahirkan, otot-otot ini akan
mengalami kontraksi dan retraksi. Proses kontraksi dan retraksi akan
mengkompresi pembuluh-pembuluh darah tersebut sehingga perdarahan dapat
berhenti. Hal ini ini sering kali disebut sebagai “jahitan fisiologis” atau
mekanisme pertahanan tubuh pada wanita hamil tanpa penyulit ataupun
komplikasi.
G. Kegagalan Mekanisme Fisiologi

12
Pada keadaan-keadaan tertentu, mekanisme “jahitan fisiologis” bisa saja
tidak terjadi, hal ini dikarenakan terdapat gangguan pada tonus uteri atau disebut
atoniauteri, dimana proses kontraksi dan retraksi tidak berjalan dengan baik dan
maksimal. Sehingga pembuluh-pembuluh darah pada uterus tidak terkompresi
dan perdarahan tidak dapat dihentikan. Atoniauteri merupakan penyebab
tersering perdarahan postpartum. Selain itu, proses kontraksi dan retraksi yang
tidak berjalan dengan baik juga dapat mengganggu proses pelepasan plasenta
secara utuh sehingga pada akhirnya akan menyebabkan keadaan yang kita kenal
sebagai retensio plasenta. Pada kasus trauma jalan lahir, jumlah pembuluh darah
di jalan lahir meningkat selama kehamilan, sehingga adanya trauma akan
menimbulkan perdarahan yang lebih signifikan dibandingkan pada wanita tidak
hamil. Perdarahan postpartum juga dapat terjadi pada kasus dimana implantasi
plasenta tidak normal, misalnya pada plasenta akreta atau plasenta previa. Pada
plasenta previa, letak plasenta yang rendah akan menyebabkan gangguan
kontraksi uterus. Pada plasenta akreta, implantasi plasenta terlalu dalam hingga
ke miometrium, sehingga pada saat plasenta lepas, perlukaan akan mencapai
miometrium dan menyebabkan perdarahan yang lebih banyak.
H. Patofisiologi DBD
Fenomena patofisiologi utama DBD adalah meningginya permeabilitas
dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Plasma merembes selama perjalanan
penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada
masa renjatan. Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya
plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit
menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma
ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang sering ditemukan.
Trombositopenia diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit dan depresi
fungsi megakariosit. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap
sebagai penyebab utama terjadinya pendarahan pada DBD. Selain
trombositopenia, kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan
penderita DBD.
Perdarahan kulit pada penderita DBD umumnya disebabkan oleh faktor
kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan perdarahan
masif terjadi akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks lagi, yaitu
trombositopenia, gangguan faktor pembekuan dan kemungkinan besar oleh
faktorDisseminatedIntravascular Coagulation.
Patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD belum diketahui
dengan pasti sehingga teori yang masih dianut sampai saat ini adalah
thesecondaryheterologousinfectionhypothesis. Teori tersebut menyatakan bahwa
DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali
mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam waktu 6
bulan sampai 5 tahun.

13
Pada infeksi dengue terbentuk antibodi yang terdiri atas imunoglobulin G
yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu
enhancingantibody dan neutralisingantibody. Dikenal 2 tipe antibodi
berdasarkan virion determinantspecificity yaitu kelompok monoklonal reaktif
yang mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus dan antibodi
yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi
virus. Antibodi non-netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan
menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat
memacu replikasi virus. Dasar utama hipotesis ialah meningkatnya reaksi
immunologis.
Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD. Oleh
rangsang monosit yang telah terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue,
limfosit manusia dapat mengeluarkan interferon (IFN) alfa dan gamma. Pada
infeksi sekunder oleh virus dengue serotipe berbeda dengan infeksi pertama,
limfosit T CD4berproliferasi dan menghasilkan IFN alfa. IFN alfa itu
merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit
memproduksi mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.
3.2. Mekanisme Kerja Obat
 Hemostatik Lokal
Yang termasuk dalam golongan ini dapat dibagi lagi menjadi beberapa
kelompok berdasarkan mekanisme hemostatiknya.
A. Hemostatik serap
 Mekanisme kerja :
Menghentikan perdarahan dengan pembentukan suatu bekuan buatan
atau memberikan jalaserat-serat yang mempermudah bila diletakkan
langsung pada permukaan yang berdarah . Dengan kontak pada permukaan
asing trombosit akan pecah dan membebaskan factor yang memulai proses
pembekuan darah.
 Contoh obat :
Spongelatin, oksisel ( selulosa oksida ) Spon gelatin, dan oksisel dapat
digunakan sebagai penutup luka yang akhirnya akan diabsorpsi. Hal ini
menguntungkan karena tidak memerlukan penyingkiran yang
memungkinkan perdarahan ulang seperti yang terjadi pada penggunaaan
kain kasa .Untuk absorpsi yang sempurna pada kedua zat diperlukan waktu
1- 6 jam. Selulosa oksida dapat mempengaruhi regenerasi tulang dan dapat
mengakibatkan pembentukan kista bila digunakan jangka panjang pada
patah tulang. Selain itu karena dapat menghambat epitelisasi,selulosa
oksida tidak dianjurkan untuk digunakan dalam jangkapanjang. Busa fibrin
insani yang berbentuk spon, setelah dibasahi dengan tekanan sedikit dapat
menutupi dengan baik permukaan yang berdarah.
B. Astringen
 Mekanisme kerja :

14
Zat ini bekerja local dengan mengendapkan protein darah sehingga
perdarahan dapat dihentikan, sehubungan dengan cara penggunaannya zat
ini dinamakan juga stypic.
 Contoh obat:
Antara lain feri kloida, nitras argenti, asam tanat.
C. Koagulan
 Mekanisme kerja :
Obat kelompok ini pada penggunaan lokal menimbulkan hemostatis
dengan 2 cara yaitu dengan mempercepat perubahan protrombin menjadi
trombin dan secara langsung menggumpalkan fibrinogen.
 Contoh Obat :
Russell’s viper venom yang sangat efektif sebagai hemostatik local dan
dapat digunakan umpamanya untuk alveolkus gigi yang berdarah pada
pasien hemofilia. Untuk tujuan ini kapas dibasahi dengan larutan segar 0,1
% dan ditekankan pada alveolus sehabis ekstrasi gigi, zat ini tersedia
dalam bentuk bubuk atau larutan untuk penggunaaan lokal. Sediaan ini
tidak boleh disuntikkan IV, sebab segara menimbulkan bahaya emboli.
D. Vasokonstriktor
 Mekanisme Kerja :
Epinefrin dan norepinefrin berefek vasokontriksi , dapat digunakan
untuk menghentikan perdarahan kapiler suatu permukaan.
 Cara pemakaian :
Penggunaanya ialah dengan mengoleskan kapas yang telah dibasahi
dengan larutan 1: 1000 tersebut pada permukaan yang berdarah.
 Hemostatik Sistemik
Dengan memberikan transfuse darah, seringkali perdarahan dapat dihentikan
dengan segera. Hasil ini terjadi karena penderita mendapatkan semua faktor
pembekuan darah yang terdapat dalam darah transfusi. Keuntungan lain transfusi
ialah perbaikan volume sirkulasi. Perdarahan yang disebabkan defisiensi faktor
pembekuan darah tertentu dapat diatasi dengan mengganti/ memberikan faktor
pembekuan yang kurang.
A. Faktor anti hemoflik(faktor VIII) dan cryoprecipitated anti Hemophilic
Factor
 Efek samping
Cryoprecipitated antihemofilik factor mengandung fibrinogen dan
protein plasma lain dalam jumlah yng lebih banyak dari sediaaan
konsentrat faktor IIIV, sehingga kemungkinan terjadi reaksi
hipersensitivitas lebih besar pula. Efek samping lain yang dapat timbul
pada penggunaan kedua jenis sediaan ini adalah hepatitis virus, anemi
hemolitik, hiperfibrinogenemia,menggigil dan demam.
 Cara pemakaian
Kadar faktor hemofilik 20-30% dari normal yang diberikan IV
biasanya digunakan untuk mengatasi perdarahan pada penderita hemofilia.

15
Biasanya hemostatik dicapai dengan dosis tunggal 15-20 unit/kg BB.
Untuk perdarahan ringan pada otot dan jaringan lunak, diberikan dosis
tunggal 10 unit/kg BB. Pada penderita hemofilia sebelum operasi
diperlukan kadar anti hemofilik sekurang – kurangnya 50% dari normal,
dan pasca bedah diperlukan kadar 20-25 % dari normal untuk 7-10 hari.
B. kompleks Faktor X
 Efek samping
Trombosis,demam, menggigil, sakit kepala, flushing, dan reaksi
hipersensivitas berat (shok anafilaksis).
C. Vitamin K
 Mekanisme kerja :
Pada orang normal vitamin K tidak mempunyai aktivitas
farmakodinamik, tetapi pada penderita defisiensi vitamin K, vitamin ini
berguna untuk meningkatkan biosintesis beberapa faktor pembekuan darah
yang berlangsung di hati. Sebagai hemostatik, vitamin K memerlukan
waktu untuk dapat menimbulkan efek, sebab vitamin K harus merangsang
pembentukan faktor- faktor pembekuan darah lebih dahulu.
 Efek samping:
Pemberian filokuinon secara intravena yang terlalu cepat dapt
menyebabkan kemerahan pada muka, berkeringat, bronkospasme, sianosis,
sakit pada dada dan kadang menyababkan kematian.
D. Asam aminokaproat
 Mekanisme kerja:
Asam aminokaproat merupakan penghambat bersaing dari activator
plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan
menghancurkan fibrinogen/ fibrin dan faktor pembekuan darah lain. Oleh
karena itu asam amikaproat dapat mengatasi perdarahan berat akibat
fibrinolisisyang berlebihan.
 Efek samping
Asam aminokaproat dapat menyebabkan prutius,eriterna konjungtiva,
dan hidung tersumbat. Efk samping yang paling berbahaya ialah trombosis
umum, karena itu penderita yang mendapat obat ini harus diperiksa
mekanisme hemostatik.
E. Asam traneksamat
 Mekanisme Kerja :
a) Sebagai anti plasmin, bekerja menghambat aktivitas dari aktivator
plasminogen dan plasmin
b) Sebagai hemostatik, bekerja mencegah degradasi fibrin, meningkatkan
agregasi platelet
c) Memperbaiki kerapuhan vaskular dan meningkatkan aktivitas factor
koagulasi.
 Efek Samping
a) Gangguan gastrointestinal : mual, muntah, sakit kepala, anoreksia

16
b) Gangguan penglihatan, gejala menghilang dengan pengurangan dosis
atau penghentian pengobatan
Sediaan : Kapsul 250 mg, 500 mg
Injeksi 5 ml/250 mg dan 5 ml/500 mg
6. Karbazokrom Na Sulfonat (ADONA)
3.3. ADR (Adverse Drug Reaction)
 Efek samping prostaglandin :
Hiperstimulasai uterus, pireksia, infalamasi, Infalamasi, Sensitisasi terhaap
rasa nyeri, Diuresis+kehilangan elektrolit, Efek pada sistem syaraf pusat( tremor
merupakan efek samping yang jarang terjadi , Pelepasan hormon hipofise renin
steroid adrenal, Sakit persisten pada punggung bwah dan perut
 Efek samping oksitosin :
Spasme uterus ( pada dosis rendah , Hiper stimulasi uterus 9 membahayan
janin : kerusakan jaringan lunak /uterus ), Keracunan cairan dan hiporatremia
( pada dosis besar, Mual muntah, aritmia, anafilaksis, ruam kulit, aplasia
plasenta, emboli amnion, Kontraksi pembuluh darah tali pusat, Kerja
antidiuretik, Reaksi hipersensitifitas, Reaksi anafilaktik, Aritmia jantung,
Hematoma panggul.
 Efek samping lain yang dapat timbul pada penggunaan kedua jenis sediaan
ini adalah hepatitis virus, anemi hemolitik, hiperfibrinogenemia,menggigil dan
demam. Pemberian filokuinon secara intravena yang terlalu cepat dapt
menyebabkan kemerahan pada muka, berkeringat, bronkospasme, sianosis, sakit
pada dada dan kadang menyababkan kematian.

17

Anda mungkin juga menyukai