Anda di halaman 1dari 5

MATERI INISIASI 5

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Inisiasi ke-5 ini adalah ringkasan materi tentang Tindakan atau perbuatan pemerintah;
unsur-unsur Keputusan/Ketetapan; syarat sahnya Keputusan/Ketetapan; dan
Keputusan/Ketetapan yang cacat .

Dalam Hukum Administrasi Negara Indonesia, produk hukum pemerintah yang


dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) adalah dalam bentuk Keputusan.
Namun, Keputusan tersebut masih bisa dibedakan lagi yaitu berupa peraturan dan
ketetapan.
Apabila suatu keputusan pemerintah mengikat umum, mengikat setiap orang dalam suatu
wilayah hukum atau keputusan pemerinytah yang berlaku umum yang tidak
teridentifikasi orangnya, maka keputusan pemerintah itu bersifat “peraturan” atau dalam
Bahasa asingnya bersifat “regeling”. Contohnya, Keputusan Presiden No.17/1977 tentang
Tunjangan Jabatan Hakim Pada Mahkamah Agung Maupun Pada Pengadilan Umum.
Sedangkan keputusan yang bersifat ketetapan atau “beschikking” adalah keputusan yang
berlaku dan mengikat seseorang tertentu yang telah diketahui identitasnya, seperti
Keputusan Presiden yang mengangkat Tito Karnavian menjadi Kepala Kepolisian
Republik Indonesia.

Indikator suatu keputusan disebut sebagai peraturan adalah selain ditujukan untuk umum,
keputusan itu bersifat abstrak artinya tidak ditentukan secara detail baik proses
pelaksanaan keputusan tersebut maupun bagaimana menjalankan keputusan tersebut.
Selain itu keputusan yang tidak mempunyai jangka waktu masa berlaku atau dengan kata
lain keputusan tersebut berlaku secara terus menerus, menandakan bahwa keputusan itu
adalah peraturan. Selain itu juga, tujuan keputusan itu diterbitkan adalah untuk mengatur
masyarakat banyak. Oleh karena keputusan itu merupakan peraturan maka jika terjadi
sengketa setelah diterbitkannya peraturan tersebut, maka lembaga penyelesaiannya ada di
Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat 2 huruf b Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sedangkan indikator suatu keputusan dikatakan ketetapan adalah selain ditujukan


terhadap individu tertentu, keputusan itu bersifat konkrit yang artinya tujuan
diterbitkannya keputusan tersebut jelas dan terperinci. Di samping itu, keputusan yang
berupa ketetapan mempunyai jangka waktu berlaku yang apabila masa berlakunya habis
maka dapat digantikan dnegan yang baru. Dilihat dari tujuannya maka ketetapan adalah
untuk menetapkan suatu hal tertentu atas pihak yang terdapat dalam ketetapan tersebut.
Berbeda dengan peraturan yang lembaga penyelesaiannya berada di pengadilan umum,
maka lembaga penyelesaian suatu ketetapan ada di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN)

1
Jadi keputusan itu selalu peraturan apabila isinya mengikat secara umum dan keputusan
selalu ketetapan apabila isinya hanya berlaku dan mengikat seseorang atau individu saja.
Akan tetapi peraturan itu tidak selalu keputusan sebab keputusan itu dapat merupakan
peraturan dapat pula merupakan ketetapan.

A. Peraturan Perundang-undangan (Regeling)

Pasal 2 angka 2 Undang-Undnag Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN secara tegas mengatakan bahwa
keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum tidak termasuk
keputusan TUN dalam arti beschikking, yang berarti bahwa terhadap badan atau pejabat
TUN yang mengeluarkan keputusan yang merupakan pengaturan yang bersifat umum
tidak dapat digugat dihadapan hakim PTUN. Adapun jenis peraturan yang bersifat umum
adalah sebagai berikut :

1. Peraturan-peraturan kebijaksanaan (beleidregels/policy rules). contohnya


Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-342/MEN/1986
yang memuat kebijaksanaan pengaturan tata cara penanganan/penyelesaian
pemutusan hubungan kerja (PHK) pada perusahaan-perusahaan berstatus Badan
Usaha Milik Negara (BUMN).

2. Rencana (het plan), contohnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53


Tahun 1989 tentang Kawasan Industri dimana perusahaan kawasan industri
diwajibkan untuk terlebih dahulu mengajukan persiapan penyediaan tanah,
perencanaan, pemyusunan rencana, tapak tanah, dan sebagainya sebelum
dikeluarkan persetujuan prinsip bagi perusahaan kawasan industri tersebut.

3. Pemggunaan sarana-sarana hukum keperdataan, contohnya Instruksi Presiden


Nomor 1 Tahun 1988 tentang Tata cara Pengadaan Barang dan Jasa dimana
penetapan pemenang pelelangan ditentukan oleh badan atau pejabat yang
berwenang menurut besar nilai pengadaan barang dan jasa.

4. Perbuatan materiil (feitelijke handelingen/factual actions).

B. Ketetapan (beschikking).

“Beschikking” dalam pengertian bahasa Indonesia adalah keputusan atau penetapan


tertulis. Ada beberapa pendapat mengenai “beschikking” tersebut. Menurut Prayudi,
“beschikking” adalah perbuatan hukum sepihak yang bersifat administrasi negara
dilakukan oleh pejabat atau instansi penguasa (negara) yang berwenang dan berwajib
khusus untuk itu.

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan penetapan tertulis (beschikking)


karena dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

2
berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Unsur-unsur penetapan menurut defenisi A.M. Donner, adalah sebagai berikut :


1) Tindakan pemerintahan dalam jabatan;
Jabatan adalah subjek dalam Hukum Administrasi, secara umum di luar Hukum
Administrasi disebut fungsi. Jabatan adalah suatu lingkungan pekerjaan (tugas)
tetap dalam hubungan dengan keseluruhan tugas negara. Jadi dalam jabatan itu
tercakup kewenangan-kewenangan khusus, sehingga unsur “tindakan
pemerintahan dalam jabatan” tidak dapat ditafsirkan lain daripada tindakan dalam
bidang pemerintahan berdasarkan kewenangan khusus.
Dalam unsur ini tidak dipersoalkan apakah jabatan yang yang melakukan
tindakan hanya dari aparatur bidang eksekutif saja. Secara teoritis juga aparatur di
bidang perundang-undangan dan bidang peradilan dapat melakukan suatu
tindakan pemerintahan yang bersifat penetapan.

2) Secara sepihak dengan sengaja;


Memang dalam suatu penetapan, yang berlaku adalah keinginan Pemerintah
berdasarkan kewenangan khusus dalam jabatan. Pejabat yang memangku jabatan
bukanlah melaksanakan dan memperlakukan kemauan pribadinya, akan tetapi ia
melakukan kewajiban berdasarkan kewenangan jabatannya dan dalam hal ini ia
bertindak dengan sengaja didorong oleh kewajibannya sebagai pemangku jabatan.
Sering juga dalam Hukum Administrasi dipersoalkan, bahwa dalam suatu
“konsesi” (izin perusahaan besar pada pihak swasta oleh pemerintah),
umpamanya konsesi mengebor minyak di bumi Indonesia, tindakan yang
dilakukan pemerintah bukanlah suatu penetapan, akan tetapi ini adalah bersifat
perjanjian, sehingga yang berlaku bukan kemauan sepihak (Eenzijdig), akan tetapi
kemauan kedua belah pihak. Jadi menurut pandangan ini unsur “sepihak” seolah-
olah tidak tepat. Pandangan ini didasarkan atas azas pernyataan kehendak dalam
hukum perdata. Atas pandangan ini dapat diberikan tanggapan sebagai berikut:
Dalam suatu “konsesi”, keputusan memberikan konsesi itu tidaklah
didasarkan atas kemauan pribadi dari si pejabat, akan tetapi ini adalah
pelaksanaan dari kehendak berdasarkan kewajiban jabatan. Sifat kehendak dalam
konsesi dan dalam perjanjian dalam hukum perdata sangatlah berbeda. Hal ini
dapat dirasakan dalam suatu keputusan penolakan atas permohonan justisiabel
mengenai suatu konsesi. Keputusan Pemerintah, baik memberikan maupun
menolak suatu konsesi sama merupakan suatu penetapan. Dalam hal pemerintah
memutuskan memberikan suatu konsesi, pemerintah menetapkan syarat-syarat
dan fasilitas dalam “penetapan”, yang semuanya itu berdasarkan peraturan hukum
dan kewenangan jabatan dari instansi yang mengeluarkan penetapan.

3
3) Dalam suatu ikhwal tertentu;
Mengenai unsur ini, harus diingat perbedaan antara “penetapan” dan
“peraturan”. “Penetapan” berhubungan dengan suatu ikhwal yang konkrit pada
waktu melakukan penetapan, sedang “peraturan” mengenai hal-hal yang abstrak
untuk dihari yang akan datang, yang belum diketahui pada waktu mengambil
keputusan. Umpamanya: Menteri Dalam Negeri mengangkat A sebagai seorang
pejabat tinggi dengan gaji sejumlah tertentu. Ini adalah suatu “Penetapan”.
Akan tetapi apabila Menteri menetapkan, bahwa pejabat tinggi yang
menduduki jabatan seperti A akan menerima gaji Rp.5.000.000,- sebulan, maka di
sini dimaksud bahwa jabatan semacam ini akan mendapat imbalan gaji sejumlah
Rp.5.000.000,- sebulan, dalam hal ini keputusan tidak menunjuk kepada seorang
tertentu, akan tetapi keputusan ini lebih bersifat suatu pengaturan, sehingga kita
lebih sering memasukkannya dalam kategori “peraturan”.
Selanjutnya yang perlu menjadi perhatian bahwa penetapan tidak hanya
mengenai satu orang atau satu benda, perbuatan atau badan saja, akan tetapi dapat
lebih dari satu : asal orang/benda/perbuatan/badan yang bersangkutan tersangkut
dalam suatu ikhwal tertentu yang konkrit, di sini kita berhadapan dengan suatu
“penetapan”.

4) a. Menetapkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang sedang berjalan;
atau
b. Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum baru; atau
c. Menolak salah satu akibat yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
Unsur ini dapat disingkat dan disimpulkan sebagai unsur “menimbulkan
akibat hukum secara langsung”. Akibat hukum itu dapat merupakan sebagai
berikut :
a. Menetapkan dalam arti menguatkan suatu hubungan hukum/keadaan hukum
yang sedang berjalan (declatoir).
Contoh :
1. Keterangan tentang hubungan seorang anak dengan bapak atau ibunya
karena pengakuan atau adopsi.
2. Keterangan tentang umur seorang remaja, yang hendak melakukan
perkawinan.

b. Menimbulkan suatu hubungan hukum/keadaan hukum baru (constitutief).


Contoh :
1. Pemberian konsesi pada suatu perseroan terbatas untuk mengebor minyak
bumi.
2. Pengangkatan seorang pegawai.

4
c. Penolakan salah satu akibat hukum yang dimaksud huruf a dan b di atas.
Contoh :
1. Penolakan seorang pelamar untuk diangkat menjadi pegawai.
2. Penolakan izin konsesi, izin bangunan atau usaha.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian “penetapan”


(beschikking) yaitu bahwa penetapan itu adalah tindak hukum pemerintahan secara
sepihak, yang menimbulkan akibat hukum secara langsung dalam hal yang konkrit,
berdasarkan kewenangan khusus yang melekat pada jabatan.

C. Akibat-akibat Dari Penetapan Yang Tidak Sempurna Karena Tidak Memenuhi


Syarat-Syarat Formil Dan Materil.
Penetapan yang tidak memenuhi syarat formil dan materil dapat mempunyai
akibat sebagai berikut :
1) Penetapan menjadi batal;
2) Penetapan dapat dibatalkan atau dicabut kembali oleh instansi yang membuat
penetapan;
3) Penetapan, yang harus disahkan lebih dahulu oleh instansi atasan, tidak disahkan;
4) Ada kemungkinan kekurangan dalam penetapan tidak mempunyai pengaruh
mengenai sah berlkaunya, malahan dengan perbaikan/penambahan kekuarangan,
diperkuat sah berlakunya.

Yang dapat menyanggah sah berlakunya penetapan itu ialah :


a. Yang terkena oleh penetapan itu sendiri (yustisiabel), umpamanya : penolakan
suatu lamaran/permohonan konsesi.
b. Instansi lain di luar instansi yang membuat penetapan atau instansi
atasan/bawahan. Umpamanya : dalam hal mengambil kewenangan dari
instansi/dinas lain.
c. Instansi yang membuat penetapan sendiri dalam arti dapat mencabut kembali
penetapan sebelumnya karena ada kesalahan.

Sumber :
 Soemitro, Rachmat, 1987, Peradilan Tata Usaha Negara, Bandung: Eresco.
 Muchsan, 1992, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah
dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Anda mungkin juga menyukai