Anda di halaman 1dari 8

April 23, 2009} Culture Shock

Banyak pengalaman dari orang-orang yang menginjakan kaki pertama kali di luat
negeri, walaupun sudah siap, tetap merasa terkejut begitu sadar bahwa disekelilingnya
banyak orang asing di sekitarnya. Orang biasanya akan merasa terkejut atau kaget begitu
mengetahui bahwa lingkungan di sekitarnya telah berubah.

Orang terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya, dan orang cenderung
suka dengan familiaritas tersebut. Familiaritas membantu seseorang mengurangi tekanan
karena dalam familiaritas, orang tahu apa yang dapat diharapkan dari lingkungan dan
orang-orang di sekitarnya. Maka, .ketika seseorang meninggalkan lingkungannya yang
nyaman dan masuk dalam suatu lingkungan baru, masalah komunikasi akan dapat terjadi.

Sangat wajar, apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami
kesulitan dan tekanan mental. Seperti yang dikatakan Nolan: “lingkungan baru membuat
tuntutan-tuntutan dimana kita tidak tahu respon yang tepat, dan respon yang kita berikan
tidak menunjukkan hasil yang dikehendaki.” Smith dan Bond juga menawarkan
penjelasan yang lebih spesifik mengenai masalah yang timbul karena perpindahan tempat
a/l: terpisah dari jaringan sebelumnya yang mendukung, perbedaan iklim, meningkatnya
masalah kesehatan, perubahan sumber daya secara material dan teknis, kekurangan
informasi tentang rutinitas sehari-hari, dan hal-hal lainnya.

Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan
ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar/
kejutan budaya/ culture shock.

Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau
dipindahkan ke lingkungan yang baru. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang
disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambing-lambang dalam pergaulan social.
Misalnya kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan
orang, kapan dan bagaimana kita memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menolak
dan menerima undangan, dsb. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin berbentuk kata-kata,
isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh
sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil. Bila seseorang memasuki suatu budaya
asing, semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari
air. Orang akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan kecemasan. Pertama-
tama mereka akan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan dan
mengecam lingkungan itu dan menganggap kampung halamannya lebih baik dan terasa
sangat penting. Orang cenderung mencari perlindungan dengan berkumpul bersama
teman-teman setanah air, kumpulan yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan
emosional yang disebut stereotip dengan cara negatif. Misalnya, “Orang-orang Amerika
Latin yang malas” “Orang Indonesia yang anarkis”, dsb. Pernah ada seorang Belanda dan
beberapa orang Jepang yang mengalami kasus serupa ketika berkunjung ke Indonesia,
mereka sama-sama mengalami diare akibat memakan masakan Indonesia. Mereka hanya
bisa menerima makanan dari restorant-restorant berlisensi barat seperti Hartz, Pizza Huts,
dll, atau restorant Jepang. Orang Belanda tersebut langsung melakukan stereotip bahwa
makanan di Indonesia kurang higenis.

Sojourneys dan Settlers

Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourney) dengan orang yang


mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti yang
dikatakan oleh Bochner: karena respek mereka terhadap pengalaman kontak dengan
budaya lain berbweda, maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada daalm proses
membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojourneys berada dalam
landasan sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi, antara turis dalam sehari,
sampai pelajar asing dalam beberapa tahun.

Definisi Culture Shock

Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama


Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap
yang muncul dari kehilangan semua lambing dan symbol yang familiar dalam hubungan
social, termasuk didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi
keseharian, misalnya: bagaiman untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu,
kapan dan di mana kita tidak perlu merespon.

Banyak definisi dari para ahli tentang gegar budaya, namun pada initinya, jika
kami menyimpulkan, gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang
dalam rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang
ada tidak sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih
mendasarkan gegar budaya sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan
pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang
yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum
ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk pada agama baru, sekolah baru, lingkungan
kerja baru, dsb. Contohnya ada seorang Australia yang mengunjungi sahabat penanya di
Malaysia dan tinggal di rumah sahabatnya itu untuk sementara waktu, dia terkejut seputar
kamar mandi dan toilet. Kmar mandi yang berupa ruangan sempit dengan makuk besar
berisi air dingin dan sebuah gayung sementara toiletnya hanya berupa ruang kecil dimana
dipojokannya ada lubang kecil di dasar lantainya. Orang tersebut mengalami kesulitan
karena dirinya terbiasa dengan kamar mandi modern, dengan bathtub dan shower serta air
hangat. Ada orang Indonesia yang mendapat beasiswa study di Paris, merasa kurang
nyaman melihat perilaku-perilaku mesra para lesbi dan gay yang ditunjukan secara vulgar
di sekitarnya. Dia tidak terbiasa dengan pasangan homogen di Indonesia karena
komunitas marginal tersebut lebih tertutup dan mendapat perlakuan diskriminatif oleh
banyak pihak di Indonesia. Sementara di Paris dan beberapa negara liberal, komunitas
mereka adalah independen dan bebas. Berciuman dan bermesraan di depan umum pun
tidak dianggap suatu perbuatan memalukan.

Reaksi pada culture shock

Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya,
dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rwekasi-reaksi yang mungkin terjasi, antara
lain:

1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.


2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
6. rindu pada teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh
8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka

Tingkat-tingkat Culture shock (u-curve)

Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan
jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang
biasanya melewati 4 tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan
dalam bentuk kurva u, sehingga disebut u-curve.

Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva
U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi
individu sebelum memasuki budaya baru

Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai
berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll.
Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode
krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan
dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak
sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.

Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada
tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya
menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai
dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen
kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll).
Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai dengan
rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan bahwa, untuk dapat hidup
dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya
terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.

Deddy Mulyana menyebut gegar budaya sebagai suatu penyakit yang mempunyai
gejala dan pengobatan tersendiri. Beberapa gejala gegar budaya adalah buang air kecil,
minum, makan dan tidur yang berlebih-lebihan, takut kontak fisik dengan orang-orang
lain, tatapan mata yang kosong, perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk terus
bergantung pada penduduk sebangsanya, marah karena hal-hal sepele, reaksi yang
berlebihan terhadap penyakit yang sepele, dan akhirnya, keinginan yang memuncak
untuk pulang ke kampung halaman.

Derajat gegar budaya yang mempengaruhi orang berbeda-beda. Ada beberapa


orang yang tidak dapat tinggal di negara asing. Namun, banyak pula yang berhasi
menyesuaikan diri dengan lingkunagan barunya. Deddy Mulyana juga memaparkan
tahapan-tahapan penyesuaian orang terhadap lingkungan barunya yang hampir mirip
dengan tahapan sebelumnya. Tahap pertama yang disebut tahap ‘bulan madu’
berlangsung dalam beberapa minggu sampai 6 bulan dimana kebanyakan orang senang
melihat hal-hal baru. Orang masih bersemangat dan beritikad baik dalam menjalin
persahabatan antarbangsa. Tahap kedua dimulai ketika orang mulai menghadapi kondisi
nyata dalam hidupnya, ditandai dan dimulai dengan suatu sikap memusuhi dan agresif
terhadap negeri pribumi yang berasal dari kesulitan pendatang dalam menyesuaikan diri.
Misalnya kesulitan rumah tangga, kesulitan transportasi dan fakta bahwa kaum pribumi
tak menghiraukan kesulitan mereka. Pendatang menjadi agresif kemudian bergerombol
dengan teman-teman sebangsa dan mulai mengkritik negeri pribumi, adat-istidatnya, dan
orang-orangnya. Tahap ketiga pendatang mulai menuju ke kesembuhan dengan bersikap
positif terhadap penduduk pribumi. Tidak lagi menimpakan kesulitan-kesulitan yang
dialami sebagai salah penduduk pribumu atas ketidanyamanan yang dialaminya tetapi
mulai menanggulanginya, “ini masalahku dan aku harus menyelesaikannya”. Pada tahap
keempat, penyesuaian diri hampir lengkap. Pendatang sudah mulai menerima adat-
istiadat itu sebagai cara hidup yang lain. Bergaul dalam lingkungan-lingkungan baru
tanpa merasa cemas, walau kadang masih ada ketegangan sosial yang nantinya seiring
dalam pergaulan sosialnya ketegangan ini akan lenyap. Akhirnya pendatang telah
memahami negeri pribumi dan menyesuaikannya, hingga akhirnya, ketika pulang ke
kampung halaman pun kebiasaan di negeri pribumi tersebut akan dibawa-bawa dan
dirindukan.
Culture Shock (dan bagaimana menghadapinya?)
Sewaktu muda, saya tinggal dan bekerja selama tiga tahun di Jepang. Dalam banyak sisi,
tiga tahun tersebut memberi saya pengalaman yang penuh informasi dan membentuk
kepribadian saya, terlebih karena saya mengalami sendiri yang namanya gegar budaya
atau culture shock, bagaimana rasanya, dan bagaimana mengatasinya.

Culture shock atau gegar budaya adalah hal yang nyata. Ia terjadi di mana saja, sangat
terasa dan biasanya datang tiba-tiba. Makanya disebut shock!

Budaya negara asal kita tertanam secara mendalam di masa kecil. Kita tidak perlu
melakukan hal khusus apapun untuk memperoleh budaya ini. Cukuplah kita tumbuh
dewasa dan bergaul dalam masyarakat, bertemu teman dari negara dan budaya yang
sama, mengikuti perkembangan terbaru di bidang mode, teknologi dan berita hangat
lainnya. Budaya seringkali didefinisikan sebagai “cara orang melakukan berbagai hal di
suatu wilayah”, dan ini berlaku untuk seluruh budaya di sebuah negara, wilayah atau
bahkan kampung kecil, serta budaya dalam berbisnis. Budaya adalah sekumpulan
peraturan, seringkali tak tertulis, yang mengatur perilaku kita.

Kalau anda seperti saya, pindah dari Inggris ke Jepang, maka andapun akan terkaget-
kaget melihat betapa berbedanya tata cara di kedua tempat! Reaksi pertama saya adalah
bersemangat. Saya merasa seperti seorang penjelajah yang sedang memasuki sebuah
dunia baru yang mengagumkan. Saya mencoba bahasa baru, lokasi baru, teknologi baru,
dan standar-standar baru dalam hal berpakaian, transportasi, perilaku…segalanya penuh
dengan hal-hal menarik dan berbagai kemungkinan. Inilah tahap satu culture shock.
Tahap di mana anda merasa bersemangat. Tahap ini bisa berlangsung selama beberapa
hari atau beberapa bulan.

Setelah beberapa lama, andapun mulai beradaptasi. Hal-hal yang sebelumnya terlihat
menarik mulai terasa normal atau bahkan mulai terasa menyebalkan. Pada kasus saya,
saya menemukan bahwa setelah mencoba beberapa bulan, saya baru menyadari bahwa
saya benar-benar tidak suka makanan Jepang. Saya lupa betapa hebatnya sistem
perkereta-apian di Jepang dan ramahnya pelayanan di toko-toko. Saya justru sibuk
mencari berbagai cara supaya saya tidak harus makan sushi, sashimi, rumput laut, telur
mentah, dan mie yang hambar. Saya benar-benar tidak suka (dulu dan sekarang!). Saya
tak habis pikir kenapa membuang-buang makanan untuk menghasilkan menu yang sama
sekali tidak enak (buat saya!). Saya juga mulai terganggu karena penampilan saya yang
jelas-jelas “orang asing” membuat saya terlihat berbeda di tengah orang banyak, apalagi
karena masyarakat Jepang selalu memandangi orang yang asing bagi mereka. Tahap
ketidakpuasan ini berlangsung selama lebih dari enam bulan bagi saya.

Sesudahnya muncullah tahapan yang lebih seimbang. Saya mulai menerima bahwa ada
beberapa aspek dalam budaya baru ini yang memang mengesankan, tapi ada juga yang
menyebalkan, dan bahwa kita bisa saja memperoleh kehidupan yang seimbang dan
menyenangkan di antaranya. Anda akan mulai berhenti merasa kesal akibat hal-hal yang
tidak anda suka dan tidak bisa anda ubah, dan anda secara sadar menghargai aspek-aspek
yang berguna bagi anda. Menurut perkiraan saya, tahapan penerimaan ini bisa
berlangsung selama bertahun-tahun.

Sayangnya, masih ada satu lagi tahapan culture shock yang harus anda hadapi. Tahap ini
disebut “re-entry shock” atau shock ketika anda kembali ke negara asal. Ketika anda
pulang ke negara asal anda, baik untuk kunjungan singkat atau pindah permanen,
perbedaan antara kebudayaan di negara asal dan kebudayaan baru yang telah anda
adaptasi akan mengakibatkan shock yang sama berulang. Hal-hal yang anda kenal baik
dari masa kecil anda mulai sulit anda kenali. Beberapa di antaranya menyenangkan: suara
orang bicara dalam bahasa asli anda, bertemu dengan sanak saudara. Tapi pasti akan ada
hal-hal tertentu yang sebelumnya anda remehkan dan kini mulai terasa sulit dipercaya,
kurang teratur, atau primitif. Pengalaman saya, setelah saya tinggal di Jepang selama 3
tahun, Inggris terasa sangat kurang teratur, kurang aman, dan kualitas pelayanan di
berbagai toko dan alat transportasi umum sangat buruk. (Ini di akhir tahun 1970an, lho.
Suasananya sudah jauh lebih baik sekarang!). Tapi toh tetap saja menyenangkan rasanya
bisa bergabung dengan orang banyak tanpa terlihat berbeda, tanpa dipandangi seperti
sesuatu yagn asing. Saya juga bisa membeli baju yang pas ukurannya! Sampai sekarang,
saya masih merasakan gegar budaya ini, meskipun dalam skala kecil.

Itulah telaah singkat mengenai culture shock. Nah, bagaimana cara menghadapinya?
Kabar baiknya adalah bahwa anda sudah memulai proses menghadapinya. Membaca
tentang sebuah masalah sudah merupakan langkah awal untuk mempersiapkan anda
menghadapinya dalam kenyataan. Semakin banyak anda membaca, terutama khusus
mengenai tempat yang akan anda datangi, maka akan semakin mudah bagi anda untuk
mencapai tahap penerimaan terhadap budaya baru. Besarnya kejutan yang anda alami
tergantung dari mana anda datang, dan ke mana anda pergi. Jadi, akan sangat berguna
kalau anda bisa bicara dengan orang-orang yang memahami apa saja perbedaan yang ada
di kedua budaya, dan bagaimana memilih perbedaan-perbedaan penting yang perlu
persiapkan.

Kalau anda tinggal di Jakarta, dan sedang mempersiapkan atau ingin tinggal di luar
negeri untuk bekerja atau belajar, bicaralah kepada tim Aim. Meraka bisa membantu
meminimalisir kejutan yang anda rasakan, dan mendorong anda memasuki tahap
penerimaan dengan cepat. Di situlah sasaran anda; tahap di mana anda akan santai,
produktif, dan tidak stress. Semoga berhasil!

Anda mungkin juga menyukai