Anda di halaman 1dari 16

POLITIK MAKNA

Oleh Clifford Geertz

I
Salah satu hal yang setiap orang tahu tapi tak seorang pun sungguh dapat
memikirkan bagaimana membuktikannya adalah bahwa suatu politik negara
mencerminkan desain kebudayaannya. Pada satu taraf, pernyataan itu sudah
barang tentu - apakah politik orang Prancis ada di lain tempat kecuali di Prancis?
Namun, hanya menyatakan itu dapat meragukan. Sejak tahun 1945, Indonesia telah
menyaksikan revolusi, demokrasi parlementer, perang saudara, otokrasi
presidensial, pembantaian massal, dan pemerintahan militer. Di manakah desain
dalam semua itu?
Di antara arus peristiwa-peristiwa yang membentuk kehidupan politis dan
jaringan kepercayaan-kepercayaan yang mencakup sebuah kebudayaan sulitlah
menemukan sebuah istilah menengah. Di satu pihak, segala sesuatu kelihatan
seperti sebuah kekacauan skemaskema dan kejutan-kejutan; di lain pihak, seperti
geometri tentang penilaian-penilaian yang mapan. Apa yang menyusul kekacauan
peristiwa macam itu sampai ke sebuah tatanan sentimen amatlah kabur, dan
bagaimana merumuskannya bahkan lebih kabur lagi. Melampaui itu semua, usaha
untuk mempertalikan kebutuhan-kebutuhan politik dan kebudayaan adalah sebuah
pandangan yang kurang ketat tentang politik dan sebuah pandangan yang kurang
estetis tentang kebudayaan.
Dalam beberapa esai yang terhimpun dalam Culture and Politics in Indonesia,
semacam rekonstruksi teoretis yang perlu untuk menghasilkan perubahan
perspektif macam itu dikerjakan, terutama dari sisi kebudayaan oleh Benedict
Anderson dan Taufik Abdullah, terutama dari sisi politis oleh Daniel Lev dan G.
William Liddle, kurang lebih seimbang dari kedua sisi oleh Sartono Kartodirdjo. 1
Apakah pokok bahasannya mengenai hukum atau organisasi partai, gagasan orang
Jawa tentang kekuasaan atau gagasan orang Minangkabau tentang perubahan,
konflik etnis atau radikalisme pedesaan, usahanya sarna, yaitu: membuat
kehidupan politis Indonesia dapat dimengerti dengan melihatnya, bahkan pada hal
yang paling ganjil, seperti yang ditunjukkan oleh seperangkat konsep-konsep -
ideal-ideal, hipotesis-hipotesis, obsesi-obsesi, putusan-putusan - yang berasal dari
keprihatinan-keprihatinan yang jauh melampauinya, dan memberi kenyataan pada
konsep-konsep itu dengan melihatnya mempunyai eksistensinya tidak dalam dunia
bentuk-bentuk mental tertentu yang samar-samar melainkan dalam kelangsungan
konkret perjuangan yang memihak. Kebudayaan di sini bukanlah kultus-kultus dan
adat-adat istiadat, melainkan struktur-struktur makna untuk membentuk
1
Lihat C. Holt, ed., Culture and Politics in Indonesia (Ithaca, 1972), yang di dalamnya esai ini pertama kali muncul
sebagai sebuah "Penutup", hIm. 319-336.
pengalaman mereka; dan politik bukanlah kudeta-kudeta dan konstitusi-konstitusi,
melainkan salah satu arena pokok. Di dalam arena itu struktur-struktur itu dibuka
untuk umum. Kedua kenyataan itu dengan demikian diberi bingkai lagi,
menentukan hubungan di antara keduanya menjadi suatu usaha yang dapat
diramalkan, walaupun hampir tidak merupakan usaha yang sederhana.
Alasan bahwa usaha itu tidak sederhana, atau entah bagaimana khususnya
merupakan petualangan, adalah bahwa hampir tak ada peralatan teoretis untuk
mengarahkan usaha itu; seluruh bidang itu - akan kita sebut apakah bidang itu?
analisis tematis? - terpadu pada sebuah etikimpresisi. Kebanyakan usaha untuk
menemukan konsep-konsep kultural umum yang terlihat dalam konteks-konteks
sosial khusus cukup hanya bersifat mengajak belaka, menghadap-hadapkan
serentetan observasi-observasi konkret dan menarik (atau membaca dalam) unsur
lazim itu dengan pengaruh kepandaian berbicara. Argumen eksplisit jarang karena
sejauh desain ditolak hampir tak ada istilah-istilah untuk membungkusnya, dan
orang ditinggali dengan sekumpulan anekdot-anekdot yang dihubung-hubungkan
dengan insinuasi, dan dengan sebuah perasaan bahwa walaupun banyak yang telah
disentuh sedikit yang sudah dirnengerti.2
Pakar yang mau menghindari impresionisme yang disempurnakan ini lalu
harus membangun tangga-tangga teoretisnya sekaligus mengarahkan analisisnya.
Itulah sebabnya para pengarang dalam buku [Holt] itu memiliki pendekatan-
pendekatan yang berbe-dabeda seperti itu - mengapa Liddle bergerak keluar dari
konflik-konflik kelompok dan Anderson dari seni dan sastra; mengapa teka-teki
Lev merupakan politisasi atas pranata-pranata legal, daya tahan milenarisme
kerakyatan dari Sartono, perpaduan konservatisme sosial dan dinamisme ideologis
dari Abdullah. Kesatuannya di sini bukanlah topik dan juga bukan argumen,
melainkan gaya analitis - perpaduan tujuan dan persoalan metodologis yang
memerlukan pencapaian tujuan itu.
Persoalannya banyak, termasuk soal-soal definisi, verifikasi, kausalitas,
keterwakilan (representativeness), objektivitas, pengukuran, komunikasi. Tetapi
pada dasarnya soal-soal itu menjadi satu soal: bagaimana memberi bingkai suatu
analisis makna - struktur-struktur konseptual yang dipakai para individu untuk
menguraikan pengala man - yang sekaligus akan cukup tak langsung untuk
memberi keyakinan dan cukup abstrak untuk menyampaikan teori. Semua ini
adalah keperluan-keperluan yang setara; memilih yang satu demi yang lain
menghasilkan diskriptivisme kosong atau generalitas hampa. Tetapi semua ini juga,
sekurang-kurangnya pada permukaan, masuk ke dalam arah-arah yang
berlawanan, karena semakin orang meminta detail-detail semakin ia dibatasi pada
kekhususan-kekhususan kasus langsung, semakin orang mengabaikan detail-detail
itu semakin ia kehilangan persentuhannya dengan dasar argumen-argumennya.
Menemukan bagaimana melepaskan diri dari paradoks ini - atau lebih tepat lagi,
2
Barangkali pelaksana yang terkemuka dan juga yang paling tidak kompromis dari pendekatan parataktik untuk
mengaitkan politik ke kebudayaan adalah Nathan Leites. Lihatlah khususnya A Study of Bolshevismnya (Glencoe, III.,
1953), dan The Rules of Game in Paris (Chicago, 1969).
karena orang tak pernah sungguh-sungguh lepas darinya, bagaimana bertahan
dalamnya - adalah apa yang secara metodologis dibicarakan oleh analisis tematis.
Dan sebagai akibatnya hal itulah yang, melampaui penemuan-penemuan
khusus mengenai pokok-pokok khusus, dibahas buku [Holt] itu. Tiap-tiap studi
berjuang untuk menarik generalisasi-generalisasi luas dari contoh-contoh khusus,
untuk merasuk secara cukup dalam ke dalam detail untuk menemukan sesuatu
yang lebih daripada detail itu. Strategi-strategi yang diambil untuk melaksanakan
ini sekali lagi berbeda-beda, namun upaya untuk membuat susunan-susunan
pembahasan sempit itu melampaui dirinya adalah sama. Situasinya adalah
Indonesia; tetapi tujuannya, masih cukup jauh untuk menopang ambisi itu, adalah
sebuah pemahaman mengenai bagaimana setiap bangsa memahami politik yang
dibayangkannya.

II

Indonesia merupakan tempat yang istimewa untuk membahas penyelidikan


macam itu. Sebagai ahli-waris tradisi polinesia, India, Islam, Cina, dan Eropa,
Indonesia barangkali memiliki lebih banyak simbol keagamaan setiap satu kaki
persegi daripada tanah-tanah luas lain mana pun yang membentang di dunia ini,
dan lagi pula Indonesia dalam diri Soekarno (yang kelirulah mengira
keluarbiasaannya selain kejeniusannya) seorang yang sangat berkobar-kobar
maupun amat berbakat untuk mengumpulkan simbol-simbol itu ke dalam menjadi
sebuah Staat religion yang pan-doktriner untuk Republik yang baru-dibentuk itu.
"Sosialisme, Komunisme, penjelmaan-penjelmaan Wisnu Murti," sebuah suratkabar
mengobarkan angkatan bersenjata pada tahun 1912: "Hancurkanlah kapitalisme,
yang disokong oleh imperialisme yaitu budaknya! Allah memberi Islam kekuatan
sampai berhasil."3 "Saya adalah seorang penganut Karl Marx...5aya juga seorang
beragama," Soekarno menyatakan beberapa dasawarsa kemudian;" Saya adalah
tempat pertemuan semua aliran dan ideologi. Saya telah memadukan, memadukan,
dan memadukan semua itu sampai akhirnya semuanya itu menjadi Soekarno yang
ada sekarang."4
Namun, di lain pihak, kepadatan dan keanekaragaman dari acuan simbolis
telah membuat kebudayaan Indonesia sebuah pusaran kata-kata dan gambaran-
gambaran yang ke dalamnya lebih daripada satu pengamat yang secara sembrono
ditelan begitu saja.5 Dengan demikian banyaknya makna yang terletak tersebar-
sebar di sekitarnya nyaris mustahil menyusun sebuah argumen yang
3
Dikutip (dari Utusan Hindia) dalam B. Dahm, Sukarno and the Struggle for Indonesian Independence (Ithaca,
1969), him. 39.
4
Dikutip dalam L. Fischer, The Story of Indonesia (New York, 1959), hIm. 154. Untuk pernyataan yang serupa dari
pidato publik Soekarno, lihatlah Dahm, Sukarno and the Struggle, hIm. 200.
5
Untuk contoh, lihatlah H. Luethy, "indonesia Confronted," Encounter 25 (1965): 80-89; 26 (1966): 75-83, sejalan
dengankomentar saya "Gilakah orang Jawa?" del" "Reply" dari Luethy, ibid., Agustus 1966, hIm. 86-90.
menghubungkan peristiwa-peristiwa politis dengan salah satu ketegangan
kebudayaan Indonesia yang sama sekali kurang memiliki kemasukakalan. Dalam
arti yang satu, melihat pantulan-pantulan kebudayaan di dalam kegiatan-kegiatan
politis sangatlah mudah di Indonesia; tetapi cara ini hanya membuat isolasi atas
hubungan-hubungan yang persis yang lebih sukar lagi. Karena di dalam taman
metafor-metafor ini, hampir setiap hipotesis yang melihat perbedaan sebuah
bentuk pemikiran dalam sebuah tindakan memiliki sebuah logika tertentu yang
memperkembangkan hipotesis-hipotesis yang mempunyai kebenaran dan juga
merupakan soal menangkal godaan-godaan daripada soal mengejar kesempatan-
kesempatan.
Godaan utama untuk ditangkal adalah melompat ke kesimpulan-keslmpulan
dan pertahanan utama terhadapnya secara eksplisit adalah melacaki kaitan-kaitan
sosiologis antara tema-tema kultural dan perkembangan-perkembangan politis,
lebih daripada bergerak secara deduktif dari yang satu ke lainnya. Gagasan-gagasan
- yang berslfat religius, moral, praktis, estetis - seperti yang tak pernah lelah
ditegaskan Max Weber di antara tokoh-tokoh lain, harus dilaksanakan oleh
kelompok-kelompok sosial yang kuat agar memiliki efek-efek sosial yang kuat.
Seseorang hams memuja, merayakan, membela, dan memaksakan gagasan-gagasan
itu. Gagasan-gagasan itu harus diinstitusionalisasikan agar dapat menemukan tidak
hanya sebuah eksistensi intelektual di dalam masyarakat, melainkan, katakanlah,
sebuah eksistensi material juga. Peperangan ideologis yang memorakporandakan
Indonesia selama dua puluh lima tahun yang lewat mesti dilihat, seperti yang
begitu sering dilakukan, bukan sebagai pertentangan-pertentangan mentalitas-
mentalitas yang berlawanan - "mistisisme" Jawa lawan "pragmatisme" Sumatra,
sinkretisme" India lawan "dogmatisme "Islam - melainkan sebagai isi sebuah
perjuangan untuk menciptakan sebuah struktur institusional untuk negeri itu
sehingga cukup banyak warganegaranya merasa cukup cocok untuk
membiarkannya berfungsi.
Ratusan ribu orang yang mati karena politik menguji fakta bahwa tak di satu
tempat pun ada cukup warganegara yang melakukan itu, dan dapat dipersoalkan
sejauh mana mereka melakukan itu sekarang. Menata sebuah campur-aduk
kebudayaan menjadi sebuah pemerintahan yang dapat berjalan lebih daripada soal
menemukan sebuah agama sipil yang campur-aduk untuk mengaburkan
keanekaragamannya. Penataan itu membutuhkan entah penetapan pranata-
pranata politis yang di dalamnya kelompok-kelompok yang bertentangan dapat
dipuaskan dengan aman, atau eliminasi semua kelompok kecuali satu dan
panggung politis. Tak satu pun dari kedua hal itu, sebegitu jauh, lebih dari sekedar
hasil sampingan di Indonesia. Negeri itu tak dapat mengelak dari totalitarianisme
maupun konstitusionalisme. Lebih-lebih lagi, hampir setiap institusi dalam
masyarakat itu, seperti: angkatan bersenjata, birokrasi, pengadilan, perguruan
tinggi, pers, partai, agama, desa, telah tersapu oleh getaran-getaran besar nafsu
ideologis yang tampaknya tak punya tujuan atau pun arah. Kalau Indonesia
memberi kesan menyelumh tertentu, hal itu karena sebuah state manque, sebuah
negara yang, karena tak dapat menemukan suatu bentuk politis yang cocok bagi
watak rakyatnya, khawatir tersandung dari penemuan institusional yang satu ke
yang berikutnya.
Sebagian besar masalah tentunya adalah bahwa negeri itu lebih bersifat
kepulauan daripada yang ada dalam geografi. Sejauh negeri itu menunjukkan suatu
watak yang dapat dilihat, negeri itu merupakan sebuah negeri yang terpecah-pecah
dengan kontras-kontras dan kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Ada perbedaan-
perbedaan regional (persengketaan retoris orang Minangkabau dan kerumitan
reflektif orang Jawa, misalnya); ada perbedaan-perbedaan "etnis" iman-dan-adat
bahkan di antara kelompok-kelompok yang berhubungan dekat, seperti dalam
"periuk mendidih" Sumatra Timur; ada konflik kelas yang tercermin dalam isi
gerakan nativistis dan konflik-konflik panggilan hati-nurani (vocational) yang
tercermin di dalam perjuangan untuk mendapatkan sebuah sistem legal yang dapat
bekerja. Ada minoritas-minoritas rasial (Cina dan Papua); minoritas-minoritas
agama (Kristen dan Hindu); minoritas-minoritas lokal (Jakarta, Batak, Surabaya,
Madura). Semboyan nasionalis,"Satu Bangsa, Satu Negara, Satu Bahasa," mempakan
sebuah harapan, bukanlah sebuah deskripsi.
Akan tetapi harapan bahwa slogan itu menunjuk kenyataan tidak harus tidak
masuk akal. Kebanyakan bangsa-bangsa yang lebih besar di Eropa berkembang
dari sebuah heterogenitas kebudayaan yang hampir tidak kurang jelasnya. Kalau
orang-orang Tuska dan Sisilia dapat tinggal bersama di dalam negara yang sarna
dan memahami diri mereka sebagai rekan-rekan setanah-air yang alamiah, orang-
orang Jawa danMinangkabau juga dapat begitu. Lebih daripada sekedar fakta
mengenai keanekaragaman internal, kenyataan itu telah mempakan penolakan
pada semua taraf masyarakat untuk menerima heterogenitas ini sehingga
menghalangi usaha Indonesia untuk menemukan bentuk politis yang efektif.
Keanekaragaman itu telah disangkal sebagai fitnah penjajah, disesalkan sebagai
peninggalan feodal, dikaburkan dengan sinkretisme-sinkretisme timan, sejarah
tendensius, dan fantasi-fantasi utopis, semen tara sepanjang masa pertempuran
kelompok-kelompok yang lebih sengit yang melihat saingan-saingannya satu sarna
lain tidak hanya untuk kekuatan politis dan ekonomis, namun untuk hak
mendefinisikan kebenaran, keadilan, keindahan dan moralitas, hakikat sejati
kenyataan, membabi-buta tak terpimpin oleh institusi-institusi politis resmi.
Dengan berlaku seolah-olah homogen dalam kebudayaan seperti Jepang atau
Mesir dan bukannya heterogen seperti India atau Nigeria, Indonesia (atau lebih
tepatnya, saya kira, elite Indonesia) telah berupaya menciptakan politik makna
yang bersifat anarkhis di luar struktur-struktur pemerintahan sipil yang mapan.
Politik makna ini bersifat anarkhis dalam arti harfiah tidak dikuasai (unruled),
tidak dalam arti po puler tidak diatur (unordered). Sebagaimana masing-masing
esai dalam buku [Holt] itu memperlihatkan caranya sendiri, apa yang di lain temp
at telah saya sebut "perjuangan untuk yang nyata", usaha untuk menerapkan pada
dunia sebuah konsep khusus tentang bagaimanakah kenyataan itu pada dasarnya
dan bagaimanakah dengan demikian orang wajib bertindak, karena segala ketidak-
mampuan untuk menjadikannya ekspresi institusional yang dapat bekerja,
bukanlah semata-mata suatu kekacaubalauan semangat dan prasangka belaka.
Usaha itu memiliki sebuah bentuk,lintasan, dan kekuatan dari dirinya sendiri.
Proses-proses politis semua bangsa lebih luas dan lebih dalam daripada
institusi -institusi formal yang dirancang untuk menata proses-proses tersebut.
Beberapa keputusan yang paling kritis mengenai arah kehidupan publik tidaklah
dibuat dalam parlemen-parlemen dan presidium-presidium. Keputusan-keputusan
itu dibuat dalam bidang-bidang yang belum diformalisasikan dari apa yang oleh
Durkheim disebut "hati nurani kolektif" (atau "kesadaran"; pemakaian dwi-arti
dari conscience tidak tersedia dalam bahasa Inggris). Akan tetapi di Indonesia pola
kehidupan resmi dan kerangka-kerja sentimen rakyat temp at adanya pola itu
menjadi begitu terpotong-potong sehingga kegiatan-kegiatan pemerintahan,
walaupun sangat penting, bagaimanapun tampak hampir dikesampingkan, sebagai
rutinisme-rutinisme belaka yang dipecahkan lagi dan lagi oleh ledakan-Iedakan
tiba-tiba dari arus politis di balik layar (orang hampir ingin mengatakan, tertindas)
di mana sebenarnya negeri itu berjalan.
Peristiwa-peristiwa yang dapat dimengerti dalam kehidupan publik, fakta-
fakta politis dalam arti sempit, memang hampir-hampir mengaburkan arus politis
ini untuk disingkapkan. Sejauh mencerminkan arus politis di balik layar itu, sampai
tuntas, peristiwaperistiwa tersebut mencerminkannya secara sangat miring dan
tak langsung, sebagaimana impian-impian mencerminkan hasrat-hasrat atau
kepentingan-kepentingan ideologi-ideologi; menelitinya lebih mirip menafsirkan
sebuah konstelasi simtom-simtom daripada menelusurirantai penyebab-penyebab.
Studi-studi di dalam buku [Holt] dengan demikian mendiagnosis dan menaksir,
lebih daripada mengukur dan memprediksi. Fragmentasi dalam sistem partai
memperlihatkan sebuah intensifikasi kesadaran-diri etnis; pelemahan hukum
formal, pembaruan kembali komitmen untuk metode-metode untuk mendamaikan
pihak-pihak yang berselisih. Di balik kebingungan-kebingungan moral para pelaku
modernisasi di provinsi terdapat kompleksitas-kompleksitas dalam pandangan-
pandangan tradisional tentang sejarah kesukuan; di balik sifat meledak-ledak dari
protes pedesaan, terdapat keterpesonaan dengan gambaran-garnbaran besar
tentang perubahan; di balik pementasan Demokrasi Terpimpin, terdapat konsep-
konsep kuno tentang sumber-sumber kekuasaan. Karena digabungkan, latihan-
latihan dalam eksegesis politis ini mulai menyingkapkan garis-garis besar yang
memusingkan tentang apa yang sesungguhnya merupakan Revolusi Indonesia:
suatu usaha untuk membangun sebuah negara modern yang berhubungan dengan
hati-nurani para warganegaranya; sebuah negara yang dengannya mereka, dalam
kedua arti kata itu, dapat sampai kepada sebuah pemahaman. Salah satu dari hal-
hal yang betul dilakukan Soekarno, walaupun sebenarnya ia memiliki sesuatu yang
agak berbeda dalam pikirannya, adalah bahwa Revolusi ini tidak selesai.
III

Masalah klasik tentang legitimasi - bagaimanakah beberapa orang sampai


dipercaya dengan hak untuk menguasai orang-orang lainnya - khususnya terus
muncul kembali dalam sebuah negara tempat dominasi kolonial yang berlangsung
lama menciptakan sebuah sistem politis yang bersifat nasional dalam cakupan tapi
tidak dalam corak. Karena sebuah negara harus bekerja lebih daripada
menjalankan hak-istimewa dan membela diri terhadap penduduknya sendiri,
tindakan-tindakannya harus tampak berkesinambungan dengan orang-orang yang
memandang-diri memiliki negara itu, para warganegaranya - dalam arti tertentu
yang ditinggikan, diperluas, sehingga seolah-olah menjadi tindakan-tindakan
mereka. Ini bukan hanya soal konsensus. Seorang manusia tidak harus setuju
dengan tindakan-tindakan pemerintahannya untuk melihat dirinya sebagai sesuatu
yang terwujud dalam tindakan-tindakan itu lebih daripada harus rnenyetujui
tindakan-tindakannya sendiri untuk rnengakui bahwa ia sendiri, sayangnya, telah
rnelaksanakan tindakan-tindakan itu. Ini adalah soal ketidaklangsungan, soal
rnengalarni apa yang "dilakukan" negara sebagai sesuatu yang selayaknya berjalan
dari suatu"kita" yang dekat dan jelas. Sejumlah tertentu sulapan psikologis
senantiasa diperlukan pad a pihak pernerintah dan rakyat dalarn hati dalam
kasus-kasus yang terbaik. Akan tetapi bila sebuah negara diperintah selama dua
ratus tahun atau lebih oleh orang-orang asing, sulapan itu masih lebih sulit lagi,
sekalipun setelah orang-orang asing itu diganti.
Tugas politis yang kelihatan seberat kermerdekaan dicapai untuk - rnengakhiri
dominasi kekuatan-kekuatan luar, menciptakan calon-calon permimpin,
merangsang pertumbuhan ekonomis, dan menopang sebuah rasa kesatuan
nasional- memang telah berubah menjadi itu dan lagi sejak kemerdekaan telah
diperoleh. Akan tetapi tugas-tugas itu telah digabungkan dengan tugas lainnya, lalu
secara kurang jelas digambarkan dan secara kurang sadar diakui sekarang, yaitu
tugas menghalau pengaruh asing dari institusi-institusi pemerintahan modern.
Banyak dari penyebaran-simbol (symbol-mongering) yang berlangsung di bawah
rezirn Soekarno, dan yang lebih telah dimoderasikan daripada diakhiri di bawah
para penerusnya, rnerupakan sebuah upaya setengah-sengaja untuk menutup
jurang antara negara dan masyarakat yang, kalau tidak sama sekali diciptakan
pemerintahan kolonial, telah sangat diperlebar olehnya. Slogan-slogan yang
semakin nyaring, gerakan-gerakan, monumen-monumen, dan demonstrasi-
demonstrasi yang rnencapai puncak intensitas yang nyaris histeris pada tahun
enam-puluhan, bagaimanapun sebagian, dirancang untuk membuat negara-
kebangsaan itu tampak priburni. Karena negara itu tidak bersifat pribumi,
ketidakpercayaan dan kekacauan naik ke atas bersama, dan Soekarno dihancurkan,
bersama dengan rezimnya, dalarn keruntuhan yang terjadi.
Akan tetapi bahkan tanpa faktor pemerintahan kolonial yang menyulitkan,
negara modern tampaknya bertentangan dengan tradisi setempat di dalam sebuah
negeri seperti Indonesia, hanya jika karena konsep negara itu sendiri sebagai
instrumen khusus untuk koordinasi segala segi kehidupan publik tidak memiliki
pasangan realnya di dalam tradisi seperti itu. Para penguasa tradisional, dan tidak
hanya di Indonesia, bila mereka dapat rnelaksanakannya dan begitu ingin, dapat
menjadi despotis, sewenang-wenang, mementingkan-diri, tidak tanggap,
eksploitatif, atau sangat lalim (walaupun, di bawah pengaruh pandangan Cecil B.
DeMille ten tang sejarah, sejauh mereka biasanya melebih-lebihkan); namun
mereka tak pernah membayangkan diri mereka sendiri, atau juga para
warganegara mereka tidak pernah rnembayangkan mereka, sebagai eksekutif-
eksekutif sebuah negara yang samna sekali kompeten. Kebanyakan mereka
memerintah untuk memproklamasikan status mereka, melindungi (atau bila
mungkin, meluaskan) hak-hak istimewa mereka, dan melaksanakan gaya hidup
mereka; dan sejauh mereka mengatur soal-soal yang melampaui jangkauan
langsung mereka - yang biasanya sangat sedikit - mereka melakukan itu hanya
dengan menjiplak, sebagai sebuah pantulan dari keprihatinan-keprihatinan yang
lebih bersifat stratifikatoris daripada persis bersifat politis. Pandangan bahwa
negara merupakan sebuah mesin yang fungsinya adalah menata kepentingan
umum masuk ke dalam konteks semacarn itu sebagai sebuah gagasan yang ganjil.
Sejauh reaksi rakyat diperhatikan, akibat-akibat keasingan itu sudah biasa:
sejurnlah keingintahuan, sejumlah ketakutan, harapan yang rnemuuncak, dan
sejumlah besar teka-teki. Terhadap kebingungan macam itulah pemakaian simbol
oleh Soekarno adalah, sebuah tanggapan yang sia-sia; tetapi berbagai persoalan
yang didiskusikan di dalam [Holt] itu lain, kurang dibuat-buat sehingga tidak
berlangsung sebentar. Di dalam soal-soal itu, orang dapat rnelihat dalarn detail
konkret apa yang dengan kasar dikonfrontasikan dengan prospek sebuah
pemerintahan pusat yang komprehensif dan aktivistis - apa yang telah disebut de
Jouvenel "negara rumah-kekuasaan" - yang dirnaksudkan untuk suatu bangsa yang
dulu tuan-tuan tapi bukan pengelola-pengelola. 6 Konfrontasi sernacam itu berarti
bahwa konsep-konsep yang diterima mengenai keadilan, kekuasaan, protes,
otensitas, identitas (dan juga tentu, sebagai tuan rurnah dari konsep-konsep lain
yang tidak dibahas eksplisit oleh esai-esai ini) semuanya dilemparkan ke dalam
bahaya oleh tuntutan-tuntutan, atau tampaknya, dari kenyataan nasional efektif di
dalam dunia kontemporer. Dislokasi konseptual pengajuan persoalan tentang
kerangka-kerangka moral yang paling lazim dan pengertian intelektual dan sangat
banyak pergeseran sensibilitas yang bergerak terus - rnembentuk pokok yang
sesuai untuk studi-studi kebudayaan tentang politik negara baru. "Apa yang
dibutuhkan negeri ini," suatu ketika Soekarno berkata, dengan gelora sikretisme
linguistis yang khas," adalah ke-up-to-date-an". la tidak sungguh memberi apa yang
dibutuhkan itu, hanya meJ;l1beri isyarat ke arahnya, tetapi isyarat-isyarat itu
merupakan isyarat-isyarat yang cukup grafis untuk meyakinkan hanya orang-orang
Indonesia yang paling provinsial yang tidak hanya telah diubah oleh bentuk tapi

6
B. de Jounevel, On Power (Boston, 1962).
juga ciri pemerintahan dan mereka, sebagai akibatnya, harus membuat beberapa
penyesuaian mental.7

IV
Macam perubahan sosial pikiran ini sebagian besar lebih mudah untuk
dirasakan daripada didokumentasikan, tidak hanya karena manifestasi-
manifestasinya sedemikian beraneka-ragam dan tidak langsung, melainkan karena
sedemikian ragu-ragu, dilemparkan ke ketidakpastian dan kontradiksi. Untuk
setiap kepercayaan, praktik, cita-cita, atau institusi yang dikeenam sebagai
terbelakang, orang, sering orang yang sama dan bangsa yang sama, diperingati
sebagai hakikat sejati kesezamanan. Karena setiap orang diserang sebagai asing,
orang, lagi seringkali orang yang sama, dipuja-puja sebagai suatu ungkapan sakral
jiwa nasional.
Dalam soal-soal seperti itu, tak ada kemajuan sederhana dari "tradisional" ke
"modern", melainkan sebuah gerakan berputar, tak teratur, tidak metodis yang
sering berubah menjadi pemilikan kembali emosi-emosi masa lampau sebagai
sesuatu yang memungkiri mereka.
Beberapa dari para petaninya Sartono membaca masa depan mereka di dalam
mitos-mitos abad pertengahan, beberapa dalam visi-visi Marxis, beberapa dalam
keduanya. Para pengacara Lev ragu-ragu antara skala-skala keadilan formal yang
dingin dan paternalisme pohon beringin yang mengayomi. Karier kewartawanan
yang ditelusuri Abdullah sebagai sebuah contoh reaksi masyarakatnya terhadap
tantangan modernisme, menyunting restorasi "adat Minangkabau sejati" sekaligus
jalan masuk segera "kedalam jalan kemajuan". Di Jawa, Anderson menemukan
teori-teori "arkhais-magis" dan "rasional maju" tentang kekuasaan yang ada
berdampingan; di Sumatra, Liddle menemukan lokalisme dan nasionalisme yang
maju pari passu.
Fakta yang tak dapat dibantah, yang umumnya disangkal ini bahwa akan
seperti apapun kurva kemajuan, kurva itu tidak coeok dengan formula bagus mana
pun - melumpuhkan setiap analisis tentang modernisasi yang bertolak dari
pengandaian bahwa fakta itu terdiri dari penggantian yang bersifat pribumi dan
usang dengan yang diimpor dan tak ketinggalan zaman. Tidak hanya di Indonesia,
melainkan di seluruh Dunia Ketiga - di seluruh dunia - orang semakin ditarik ke
sebuah tujuan ganda: untuk memantapkan diri dan menjaga langkah, atau lebih
lagi, di dalam abad kedua-puluh ini.
Sebuah hubungan yang tegang dari konservatisme kebudayaan dan
radikalisme politis ada pada syaraf nasionalisme negara baru, dan tak ada tempat
yang lebih mencolok daripada di Indonesia. Apa yang dikatakan Abdullah mengenai
7
Kutipan ini dari surat-surat Soekarno yang menyerang Islam tradisional yang ditulis sementara ia berada dalam
pembuangan penjara di Flores, Surat-surat dari Endeh, surat kesebelas, Agustus 18, 1936, dalam K. Goenadi dan
H.M. Nasution, ed., Di bawah Bendera Revolusi 1 (Djakarta, 1959): 340.
Minangkabau - bahwa penyesuaian dengan dunia dewasa ini memerlukan "revisi
terus-menerus atas pengertian modernisasi,"termasuk" sikap-sikap baru terhadap
tradisi itu sendiri dan pencarian [tanpa akhir] sebuah basis modernisasi yang
cocok" - dikatakan, dengan cara tertentu, di seluruh tiap-tiap esai itu. Apa yang
dinyatakan esai-esai itu bukanlah sebuah kemajuan linear dari gelap ke terang,
melainkan sebuah pendefinisian lagi terus-menerus tentang di mana "kita" (para
petani, para pengacara, orang-orang Kristen, orang Jawa, Indonesia...) telah berada,
sekarang berada, dan masih harus pergi ke mana lagi - gambaran-gambaran
sejarah kelompok, watak, evolusi, dan tujuan yang harus muncul untuk
diperebutkan.

Di Indonesia, belokan mundur sekaligus maju seperti itu telah jelas sejak
permulaan gerakan nasionalis dan hanya tumbuh lebih jelas sejak saat itu. 8 Sarekat
Islam, organisasi pertama yang sungguh-sungguh besar (keanggotaannya
membengkak terus dan kira-kira empat-ribu di tahun 1912 sampai mendekati
empat ratus ribu orang di tahun 1914), seketika menimbulkan daya tarik pada para
mistikus visioner, para puritan Islam, para radikal Marxis, para pembaru kelas-
dagang, para aristokrat paternal, dan para petani mesianis. Ketika huru-hara ini
terjadi karena sebuah partai yang hancur, sebagaimana terjadi di tahun dua-
puluhan, partai ini tidak terpecah menjadi sayap "reaksioner" dan "progresif" dari
mitologi revolusioner, melainkan menjadi suatu keseluruhan rentetan-rentetan
faksi-faksi, gerakan-gerakan, ideologi-ideologi, klab-klab, persekongkolan-
persekongkolan - apa yang oleh orang-orang Indonesia disebut aliran - yang
berusaha mengikat salah satu bentuk modermsme pada salah satu untaian tradisi.
Warga yang "berpengetahuan" ("enlightened"), seperti: para fisikawan, para
pengaeara, guru-guru, anak-anak para pegawai sipil, berusaha mengawinkan Timur
yang "spiritual" dan Barat yang "dinarnis" dengaJl memadukan sejenis estetisme
kultis dengan program peningkatan massa yang evolusioner, noblesse oblige. Para
guru pengajian di pedesaan berusaha mengubah sentimen-sentimen antiKristen
menjadi sentimen-sentimen anti-kolonial, dan mengubah diri mereka sendiri
menjadi ikatan-ikatan antara aktivisme kota dan kesalehan desa. Para modernis
Muslim pad a saatyang sarna mencoba memurnikan iman rakyat dari tambahan-
tambahan heterodoks dan melaksanakan sebuah program pembaruan so sial dan
ekonornis yang sesuai dengan Islam. Kaum revolusioner sayap kiri berusaha

8
Untuk sejarah nasionalisme Indonesia, yang tentangnya pernyataan-pernyataan saya di sini hanyalah komentar sambil lalu saja,
lihatlah J.M. Pluvier, Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische Beweging in Indonesie in de Jaren 1930 tot 1942. (The
Hague, 1953): A.K. Pringgodigdo, Sedjarah Pergerakan Rakyat Indonesia (Djakarta, 1950); D.M.G..Koch, Om de Vrijheid
(Djakarta, 1950); Dahrn, Sukarnoand the Struggle; G. MeT. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, 1952); H.
Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945
mengidentifikasikan kolektivisme desa dan ketidakpuasan petani dan perjuangan
kelas, yang bersifat politis; kelompok-kelompok mirip kasta dari orang-orang Indo
berusaha memperdamaikan identitas Belanda dan Indonesia mereka dan
menyediakan alasan untuk kemerdekaan multirasial; para cendekiawan yang
berpendidikan Barat berupaya menghubungkan diri mereka kembali dengan
realitas Indonesia dengan memilih sikap-sikap pribumi, anti-feodal (dan pada taraf
tertentu anti-Jawa) demi kepentingan-kepentingan sosialisme demokratis. Di mana
saja orang melihat, pada hari-hari yang bergelora kebangkitan nasional (ca.1912-
1950), seseorang sedang menyesuaikan gagasan-gagasan maju dan sentimen-
sentimen kekeluargaan untuk membuat berbagai kemajuan kelihatan kurang
memecah-belah dan pola adat-istiadat tertentu agak penting.
Heterogenitas kebudayaan Indonesia dan pemikiran politis modernnya lalu
bersaing satu sama lain untuk menghasilkan sebuah situasi ideologis di mana
sebuah kesepakatan yang sangat umum pada satu taraf - bahwa negeri ini secara
bersama harus merebut puncak-puncak modernitas sambil berpegang teguh, juga
secara bersama, pada unsur-unsur hakiki warisannya - dilawan pada taraf lain oleh
sebuah ketidaksepakatan yang meluas mengenai arah apa yang harus direbut dari
puncak-puncak itu dan ciri-ciri hakiki mana. Sesudah Kemerdekaan, fragmentasi
elit dan sektor-sektor aktif dari penduduk di sepanjang garis-garis itu diselesaikan
sebagai masyarakat yang dikelompokkan kembali menjadi famille d' esprit yang
bersaing, beberapa besar, beberapa kecil, beberapa di antaranya, yang tidak hanya
sibuk memerintah Indonesia melainkan mendefinisikannya.
Demikianlah, suatu ketidaksesuaian yang melumpuhkan muncul di tengah-
tengah kerangka-kerja ideologis yang di dalamnya institusiinstitusi resmi negara
yang akan menjadi rumah kekuasaan itu dibangun dan dilaksanakan dan yang di
dalamnya seluruh formasi politis dari apa yang akan menjadi negara itu terbentuk;
di antara integralisme “campuran, campuran, campuran” dan Demokrasi
Terpimpin, Pancasila, Nasakom, dan semacamnya, dan, kompartmentalisasi "periuk
mendidih" sentimen rakyat.9 Kontras itu tidak sekedar merupakan kontras pusat
dan pinggira -- integralisme di Jakarta, kompartmentalisme di provinsi-provinsi;
melainkan kontras itu tampak, dalam bentuk yang tidak begitu berbeda, pada
semua taraf sistem politis. Dari warung-warung kopi di desa tempat para petaninya
Sartono meletakkan rencana-rencana sederhana mereka ke rak-rak Lapangan
Merdeka tempat “kementrian-kementrian “-nya Anderson meletakkan rencana-
rencana besar mereka, kehidupan politis berlangsung di jalan bertingkat-dua yang
mengherankan, yang di dalamnya suatu persaingan, lagi tidak hanya demi

9
Untuk ideologi negara dari Republik sampai pertengahan tahun enam pu Ii ill III lihatlah H. Feith, "Dynamic of
Guided Democracy," dalam RT. McV' , I,d Indonesia (New Haven, 1963), hIm. 309-409; untuk pemecah-mecahan
raky .11, I' I Jay, Religion and Politics in Rural Central Java, Southeast Asia Studies, Cultura I R(' I II " I Series no. 12
(New Haven, 1963); G.W.5kinner, ed., Local, Ethnic and Nalipl//I/ Loyalties in Village Indonesia, Southeast Asia
Studies, Cultural Report Seri S 110, H (New Haven, 1959); dan RW. Liddle, Ethnicity, Party, and National
Integi'll/it/II (New Haven, 1970). Iklim politis yang sakit yang lantas tercipta 'dapat dira, 1111 dalam perdebatan-
perdebatankontituante thun 1957-1958; lihatlah Tentang aS11I Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante, 3 jilid
[Djakarta (?), 1958 (?)].
kekuasaan melainkan demi kekuasaan atas kekuasaan berlangsung - hak untuk
menspesifikasikan haluan negara, atau malah kedaeradaan resmi belaka diperoleh
- terbungkus di dalam banyak istilah perjuangan bersama, identitas historis, dan
persaudaraan nasional.
Demikianlah, kehidupan politis berlangsung dengan cara ini sampai 1 Oktober
1965. Kudeta yang gegabah itu dan kebiadaban yang mengikutinya - barangkali
seperempat jut a orang tewas dalam tiga atau empat bulan - membuka secara blak
-blakan, membeberkan, mementaskan, dan menghidupkan kekacauan kultural yang
telah dihasilkan lima puluh tahun perubahan politis. 10 Gelombang klik-klik
nasionalis segera meliputi panggung lagi, karena orang lebih tak dapat menatap
palung daripada matahari. Akan tetapi sekarang dapat ada segelintir orang
Indonesia yang tidak tahu bahwa betapapun gelapnya, palung itu ada di sana, dan
mereka bertarung di tepi pa lung itu, suatu perubahan kesadaran yang dapat
terbukti sebagai langkah yang paling jauh ke arah suatu mentalitas modern yang
telah mereka buat.

Apa pun yang mungkin diinginkan para ilmuwan sosial, ada beberapa
fenomena sosial yang dampaknya langsung dan mendalam bahkan menentukan,
tetapi yang nilai pentingnya tak dapat ditakslr secara efektif sampai baik setelah
fenomena itu terjadi; dan salah satu dari fenomena ini tentu merupakan ledakan
kekerasan dalam negeri yang hebat. Dunia Ketiga telah menyaksikan sejumlah
ledakan ledakan ini lebih dari dua puluh lima tahun kemunculannya - pemisahan
India, pemberontakan Kongo, Biafra, Yordania. Akan tetapi tak satupun yang dapat
lebih menghancur-leburkan daripada yang teradi di Indonesia, atau juga tak ada
yang lebih sulit untuk dievaluasi seperti yang terjadi di sana. Sejak bulan-bulan
10
10. Perkiraan kematian adalah perkiraan dari John Hughes, The End of Sukarno (London, 1968), hlm. 189.
Perkiraan-perkiraan meliputi dari 50.000 sampai sejuta orang; takseorang punsungguh-sungguh tahu, dan
pembunuhanitu berdasarkan sebuah skala yang demikian besa~ sehingga kiranya bodohlah memperdebatkan
jumlahnya. Perhitungan Hughes atas kudeta, penganiayaan, dan pengangkatan Soeharto, meskipun tidaksangat
analitis, barangkali dapat dipercaya danseimbang dengan perhitungan yang ada. Untuk diskusi-diskusi linnya, dari
berbagai sudut pandang, lihatlah R. Shaplen, Time Out of Hand (New York, 1969); D.5. Lev, "Indonesia 1965: The
Year of the Coup." Asian Survey 6, no.2 (1966): 103-110; W.F.Wertheim, "Indonesia Before and After the Untung
Coup." Pacific Affairs 39 (1966): 115-127; B. Gunawan, Kudeta: Staatsgreep in Djakarta (Meppel, 1968); J. M. van
der Kroef, "Interpretations of the 1965 Indonesian Coup: A Review of the Literature," Pacific Affairs ~3, no. 4 (1970-
1971): 557-577; E. Utrecht, Indonesie's Nieuwe Orde: Ontbinding en Herkolonisatie (Amsterdam, 1970); H.P. Jones,
Indonesia: The Possible Dream (New York, 1971); 1. Rey, "Dossier on the Indonesian Drama," New Left Review
(1966): 26-40; A.c. Brackman, The Communist Collapse in Indonesia (New York, 1969). Menurut pendapat saya,
kepustakaan tentang kudeta, kanan, kiri, dan tengah, telah dirusak oleh pemusatan perhatian yang berlebihan pada
peranan yang pasti dari Soekarno dan Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa-peristiwa langsung dari plot itu
(bukannya isu-isu yang tidak penting, melainkan lebih penting untuk memahami saat itu daripada untuk memahami
negeri itu) demi maknanya bagi perkembangan kesadaran politis Indonesia.
akhir 1965 yang mencekam itu, semua pakar tentang Indonesia, dan khususnya
mereka yang mencoba memasuki watak negeri itu, berada di dalam situasi yang
tidak mengenakkan untuk mengetahui bahwa suatu trauma batin yang hebat telah
menggoncangkan subjek mereka tapi tidak tahu, lebih daripada kabur, apa yang
telah menjadi efek-efeknya. Perasaan bahwa sesuatu yang tidak terduga dan tak
sungguh diketahui telah teradi, menghantui esai-esai [dalam buku Holt], membuat
esai esai itu kadang-kadang terbaca seperti agon dari sebuah drama dengan krisis
yang dilenyapkan. Tetapi ini tak menolong; krisis itu masih terjadi. 11
Tentu, beberapa efek lahiriahnya jelas. Partai Komunis Indonesia, berdasarkan
klaimnya sebagai partai ketiga terbesar di dunia, sekurang-kurangnya selama ini,
secara hakiki telah dihancur-leburkan. Ada pemerintahan militer. Soekarnolah
yang pertama-tama dimobilisasikan, lalu, dengan itu dikendalikan, dengan
keutamaan orang Jawa yang teguh yang disebut halus, diberhentikan, dan sejak itu
meninggal dunia. "Konfrontasi" dengan Malaysia sudah berakhir. Situasi ekonomi
jelas-jelas telah diperbaiki. Keamanan dalam negeri, dengan biaya banyak sekali
penahanan politis, sebenarnya mulai tercipta di seluruh negeri itu untuk pertama
kalinya semenjak Kemerdekaan. Kenekadan terang-terangan dari apa yang kini
disebut "Orde Lama" telah diganti dengan kenekadan diam-diam dari "Orde Baru'.
Tetapi pertanyaan "Apa yang telah berubah?", bila mengacu pada kebudayaan,
masih merupakan pertanyaan yang membingungkan. Sudah barang tentu, suatu
malapetaka sebesar itu, khususnya seperti yang kebanyakan terjadi di desa-desa di
antara orang-orang desa, hampir tak dapat membiarkan negeri itu diam, namun
mustahillah mengatakan sejauh mana dan seberapa permanennya negeri itu telah
digerakkan. Emosi-emosi secara ekstrem tahap demi tahap, jika secara sangat kuat,
muncul ke permukaan di Indonesia. “Buaya cepat tenggelam” kata mereka, "tapi
muncul pelan-pelan”. Baik tulisan-tulisan tentang politik Indonesia maupun politik
itu sendiri sekarang ini diliputi rasa tidak percaya yang berasal dari penantian
munculnya buaya itu.
Akan tetapi di dalam sejarah perjuangan-perjuangan politis yang sebanding
(dan bila orang melihat sejarah dunia modern, perjuangan-perjuangan itu cukup
mudah ditemukan), beberapa hasilnya tampaknya lebih umum daripada yang lain-
lainnya. Barangkah yang paling umum adalah berhentinya saraf, berkurangnya
rasa kemungkinan. Pembersihan-pembersihan darah besar-besaran seperti perang
saudara di Amerika atau Spanyol kerap kali membenamkan kehidupan politis ke
semacam rasa panik yang hebat yang kita hubungkan secara lebih umum dengan
trauma psikis: obsesi dengan tanda-tanda, kebanyakan khayalan, bahwa “kejadian
itu kiranya akan terjadi lagi”; kesempurnaan larangan-larangan yang
11
11. Fakta bahwa tak seorang pun meramalkan penganiayaan-penganiayaan kadangkadang ditunjukkan sebagai
contoh kegagalan ilmu sosial. Banyak studi memang menekankan banyak ketegangan dan potensi untuk kekerasan
dalam masyarakat Indonesia. Lagi pula, siapa saja yang meramalkan bahwa seperempat juta atau lebih orang dibantai
dalam tiga bulan di sawah-sawah dianggap, dan betul, sebagai sesuatu yang memiliki pikiran yang agak kacau. Apa
yang dikatakan ini mengenai rasio yang dihadapkan dengan bukan-rasio adalah suatu soal yang rumit; tetapi apa yang
tidak dikatakan adalah bahwa rasio tak berdaya karena bukan clairvoyant.
rumit,.ke~an~akan simbolis, untuk melihat bahwa kejadian itu tak akan terjadi
lagi; dan keyakinan yang tak tergoyahkan, kebanyakan reaksi mendalam, bahwa
kejadian itu bagaimanapun akan berlangsung - semua sisanya, barangkali,
berdasarkan pada keinginan setengah-disadari bahwa kejadian itu terjadi demikian
dan terlaksana begitu. Bagi sebuah masyarakat, seperti bagi seorang individu,
suatu malapetaka bathiniah, khususnya bila hal itu berlangsung di dalam proses
usaha perubahan secara serius, dapat menjadi baik kekuatan yang secara halus
menimbulkan ketagihan maupun kekuatan yang seeara mendalam menyebabkan
kekakuan.
Ini khususnya terjadi demikian (dan di sini analogi - yang, karena bencana-
bencana publik membias melalui kehidupan privat, tidak seluruhnya merupakan
sebuah analogi - dengan tanggapan individu terus berjalan) bila kebenaran tentang
apa yang teqadi dikaburkan oleh kisah-kisah yang mempesona, dan nafsu-nafsu
dibiarkan tumbuh subur dalam kegelapan. Diterima apa adanya, sedahsyat yang
terjadi, peristiwa-peristiwa tahun 1965 dapat membebaskan negeri itu dari
banyak ilusi-ilusi yang dibiarkan begitu saja, dan terkhusus ilusi bahwa penduduk
Indonesia diangkut seperti orang pada arah menurut garis-lurus ke modernitas,
atau bahwa, malah dengan diarahkan oleh Qur’an, Dialektika, Suara Keheningan,
atau Rasio Praktis, gerakan macam itu mungkin. Ditolak, dengan sarana sintesis
ideologis lainnya yang dipersiapkan, ingatan yang setengah-ditekan tentang
peristiwa-peristiwa itu akan melanggengkan dan memperlebar seeara tak
terhingga jurang antara prosesproses pemerintahan dan perjuangan untuk
menemukan kenyataan.
Dengan biaya yang tak terhingga, dan biaya yang tak perlu dibayar, pada orang
luar orang-orang Indonesia tampak kini telah membuktikan bagi diri mereka
sendiri, dengan kekuatan yang 'meyakinkan, kedalaman perbedaan pendapat,
ambivalensi, dan disorientasi mereka. Apakah pembuktian itu dalam kenyataan
telah meyakinkan orang-orang dalam, yang untuk mereka penyingkapan-
penyingkapan tentang diri mereka sendiri mau tak mau pasti mengerikan, adalah
soal lain; memang hal itu merupakan persoalan pokok politik Indonesia pada
momen sejarah ini. Untuk segala keadaan sebelum topan badai itu, studi-studi
dalam buku [Holt] itu, jika tidak merupakan sebuah jawaban, sekurang-kurangnya
menyumbangkan apa yang dimaksud dengan kebolehjadian-kebolehjadian itu.
Betapa hebatnya suatu kekuatan penghancur dari penganiayaan-penganiayaan
itu, bagan konseptual yang di dalamnya negeri itu telah berjalan tak bisa berubah
secara radikal, hanya jika dalam-dalam tertanam di dalam kenyataan struktur
sosial dan ekonomis Indonesia, dan kenyataan itu belum tertanam dalam bagan itu.
Jawa masih luar biasa dipadati orang, ekspor hasil-hasil pokok masih merupakan
sumber pokok pertukaran dengan luar negeri, masih senantiasa ada banyak pulau,
bahasa, agama, dan kelompok etnis (bahkan, sekarang Irian Barat ditambahkan,
menjadi lebih lagi), dan kota-kota masih penuh oleh para cendekiawan tanpa
tempat, kota-kota para pedagang tanpa modal, dan desa-desa para petani tanpa
tanah.12
Para pengacaranya Lev, para pembaharunya Abdullah, para politikusnya
Liddle, para petaninya Sartono, dan para fungsionarisnya Anderson, dan juga para
tentara yang kini menjaga mereka, menghadapl serangkalan masalah-masalah yang
sama dengan kira-kira serangkaian alternatif -alternatif yang sama dan persediaan
prasangka-prasangka yang sama seperti yang mereka hadapi sebelum malapetaka
itu. Kerangka pemikiran mereka bisa berbeda - sesudah peristiwa-peristiwa
mengerikan semacam itu sukar dipercaya kalau tak berbeda - namun masyarakat
tempat mereka terkungkung dan struktur-struktur makna yang memberinya
informasi sebagian besar sama. Interpretasi-interpretasi kultural atas politik kuat
sejauh bisa menjaga kelangsungan, dalam arti intelektual, peristiwa-peristiwa
politis; dan kemampuan interpretasi-interpretasi itu untuk melakukannya
tergantung pada sejauh mana dengan baik didasarkan secara sosiologis, tidak pada
koherensi internalnya, tidak pada kemasukakalan retorisnya, atau daya tarik
estetisnya. Bila interpretasi-interpretasi itu diletakkan dengan tepat, apa pun yang
terjadi memperkuat kembaIi interpretasi-interpretasi itu; bila tidak, apa saja yang
terjadi meledakkannya.
Jadi apa yang tertulis [dalam buku Holt], kalau tidak bersifat prediktif, masih
dapat diuji. Nilai dari esai-esai ini -- para pengarangnya dapat atau tidak setuju
dengan interpretasi-interpretasi saya atas penemuan-penemuan mereka -- sejauh
itu akan kurang dltentukan oleh kecocokan esai-esai itu dengan fakta yang menjadi
sumbernya, walaupun kecocokan itulah yang pertama-tama akan menarik
perhatian kita, daripada oleh kenyataan apakah esei-esai itu menerangi perjalanan
masa depan politik Indonesia. Seban akibat-akibat yang selanjutnya tampak pada
dasawarsa terakhir, kita akan mulai melihat apakah apa yang telah dikatakan di
sini tentang kebudayaan Indonesia masuk akal atau keliru, apakah memungkmkan
kita untuk melukiskan apa yang terjadi atau membiarkan kita tegang untuk
memahami apa yang kita pikirkan itu. Sementara itu, kita bersama orang-orang
lainnya hanya dapat menunggu buaya itu, mengingatnya, ketika sebatang tongkat
untuk semacam keangkuhan moral yang entah orang-orang Amerika atau
Indonesia pada saat ini rasakan, apa yang dikatakan oleh Jakob Burckhardt, yang
barangkali pantas disebut sebagai pendiri analisis tematis, pada tahun 1860
tentang pekerjaan yang meragukan dari bangsa-bangsa yang menilai:

12
12. Barangkali semestinya dikemukakan bahwa parameter-parametereksternal belum juga sangat banyak berubah
- Cina, Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Soviet masih kurang lebih pada keadaan mereka, dan demikianlah, untuk
~oal itu adalah istilah-istilah perdagangan. Jika apa yang disebut faktor-faktor luar tampak diabaikan demi apa yang
disebut faktor-faktor dalam [dalam buku Holt], hal itu bukan karena faktor-faktor itu dianggap tidak penting,
melainkan karena agar dapat memiliki efek-efek lokal faktor-faktor itu pertama-tama harus mempunyai ekspresi-
ekspresi lokal, dan setiap usaha untuk menelusuri faktor-faktor itu dengan melampaui ekspresi-ekspresi itu ke sumber-
sumbernya, dalam studi-studi mengenai skala ini, akan segera tak terkendali.
Kiranya mungkinlah menunjukkan banyak kontras dan macam-macam
perbedaan di antara bangsa-bangsa yang berlainan, tetapi menemukan
keseimbangan dari keseluruhan itu tidak terdapat dalam tilikan manusia.
Kebenaran terakhir mengenai ciri, hati-nurani, kesalahan suatu bangsa
selamanya tetap rahasia; hanya jika karena alasan bahwa cacad-cacadnya
memiliki sisi lain, di mana cacad-cacad itu muncul kembali sebagai
kekhususan-kekhususan atau malah sebagai keutamaan-keutamaan. Kita harus
membiarkan mereka yang menemukan kenikmatan dalam hujaman celaan-
celaan yarig menyakitkan atas semua bangsa-bangsa, semau mereka. Bangsa
Eropa dapat menganiaya, tetapi untungnya tidak menilai satu sarma lain. Suatu
bangsa yang besar, yang terjalin oleh peradabannya, prestasi-prestasinya, dan
keberuntungan-keberuntungannya dengan seluruh kehidupan dunia modern,
dapat mengabaikan baik para pembelanya maupun para penuduhnya. Bangsa
itu hidup dengan atau tanpa persetujuan para teoretikus.13

13
13. J. Buckhardt, The Civilization of the Renaissance in Italy (New York, 1954); aslinya (1860), hIm. 318.

Anda mungkin juga menyukai