Anda di halaman 1dari 37

TUGAS RESPONSI

INFEKSI TROPIK

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

Oleh:
Andrew Halim 0510710011
Happy Kurnia P 0510710066
M. Dhanny I 0510710091
Rakhmawati Diyana 0510710106

Pembimbing:

Dr. Didi Chandrakusuma, SpPD

LAB/SMF PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2010

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit

infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue

tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori

“A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang

mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD,

khususnya pada anak. (Gibbon, 2002; WHO 2001) Data Departemen Kesehatan RI

menunjukkan padatahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan

jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case

fatality rate sebesar 1,01% (2007). (Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI,2007)

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD)

pertama kali ditemukan di Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1956 serotipe virus

dengue yaitu DEN 1,2,3 berhasil diisolasi dari pasien DHF di Filipina, juga pada

1958 di Bangkok, thailand saat terjadi epidemik DHF. Selama tiga dekade berikutnya

DHF (dan juga DSS/Dengue shock Syndrome) juga ditemukan di Kamboja, Cina,

India, Indonesia, Malaysia, Maladewa, Myanmar, Singapura, Srilanka, Vietnam, dan

daerah-daerah pasifik lainnya (WHO, 2002).

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) seringkali berkaitan dengan sanitasi

lingkungan yang buruk, perumahan yang minim, dan cadangan air yang tidak

2
memadai (WHO,2002). Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada

peningkatan dan penyebaran kasus DHF, antara lain, pertumbuhan penduduk yang

tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, Tidak efektifnya kontrol

vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan Peningkatan sarana transportasi.

Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor

nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada

penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat

penyakit ini. (Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Departemen Kesehatan RI,2007)

Epidemik DHF merupakan masalah mayor kesehatan masyarakat di negara-

negara tropis dan sub-tropis di Asia Tenggara, Pasifik Barat, Latin, dan Amerika

Tengah. Diperkirakan seetiap tahun terdapat 500.000 kasus DHF yang membutuhkan

penanganan di rumah sakit, sebagian besar adalah anak-anak. Tanpa penanganan

yang tepat, kasus kematian pada DHF dapat mencapai 20%, tetapi dengan terapi

suportif intensif modern angka tersebut dapat turun hingga kurang dari 1% saja

(WHO, 2006).

Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DHF, prinsip utama

dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.

(Suhendro, 2006). Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran

klinis, dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan

secara efektif dan efisien. Oleh sebab itu penulis memilih DHF sebagai tema

responsi kasus ini, untuk lebih memahami diagnosa dan penatalaksanaan penyakit ini

dalam suatu kasus DHF di RSSA Malang.

3
1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah responsi kasus ini adalah:

1. Bagaimanakah diagnosa DHF?

2. Bagaimanakah penatalaksanaan DHF?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan responsi kasus ini adalah:

1. Untuk mengetahui diagnosa sindroma metabolik.

2. Untuk mengetahui penatalaksanaan sindroma metabolik.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dengue Fever adalah gejala demam akut selama 2-7 hari (biasanya dengan 2

puncak demam) dengan dua atau lebih manifestasi klinis berikut:

1. Nyeri kepala

2. Nyeri retro -orbital

3. Myalgia/arthralgia

4. Rash

5. Manifestasi perdarahan (petechiae dan tourniquet positif)

6. Leukopenia

Pada anak-anak, DF biasanya ringan. Pada sebagian dewasa, DF dapat disertai nyeri

tulang yang sangat dan dalam proses penyembuhannya dapat berhubungan dengan

kelemahan badan jangka panjang dan depresi (WHO, 1999).

Dengue Haemorrhagic Fever adalah kemungkinan kasus dengue dengan

kecenderungan perdarahan yang terbukti oleh satu atau lebih dari hal-hal berikut ini:

1. Tourniquet test positif

2. Petechiae, ecchymosis, atau purpura

3. Perdarahan dari mucosa (paling sering adalah epistaxis dan perdarahan gusi),

daerah injeksi, atau dari tempat lain

4. Haematemesis atau melena

5
5. Trombositopenia (teombosit < 100.000/ul)

6. Plasma leakage karena peningkatan permeabilitas membran yang dibuktikan

oleh satu atau lebih dari manifestasi di bawah ini:

– Peningkatan hematokrit >20%

– Penurunan hematokrit >20% dengan terapi cairan, dibandingakn dengan

hematokrit awal

– Tanda-tanda plasma leakage (efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia)

(WHO,1999).

Dengue Shock Syndrome (DSS) adalah semua kriteria DHF ditambah dengan

tanda-tanda kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan nadi yang cepat dan lemah,

pulse pressure yang sempit (≤ 20 mm Hg), hipotensi, kulit basah & dingin, dan

lemah (WHO, 1999).

Gambar 2.1 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue

2.2 Epidemiologi

6
Dengue adalah penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk dengan

penyebaran yang paling cepat. Dalam 50 tahun terakhir insidennya terus meningkat

pada daerah-daerah endemiknya, bahkan menyebar ke daerah-daerah lain yang

sebelumnya belum terjamah. Diperkirakan terdapat sekitar 50 juta infeksi dengue dan

2,5 miliar penduduk yang tinggal di daerah endemik (WHO, 2009).

Gambar 2.2 Area berisiko transmisi DF

Di Indonesia, dimana lebih dari 35% penduduknya tinggal di daerah urban,

pada tahun 2007 dilaporkan terjadi 150.000 kasus demam berdarah dengue

(merupakan angka tertinggi) dengan lebih dari 25.000 kasus berasal dari Jakarta dan

Jawa Barat. Kasus kematian dilaporkan mencapai 1% (WHO, 2009).

7
2.3 Etiologi

2.3.1 Virus Dengue

Penyebab penyakit adalah virus Dengue. Virus ini termasuk kelompok

Arthropoda Borne Viruses (Arbovirosis). Virus dengue (DEN) adalah virus RNA

beruntai tunggal virus yang memiliki 4 serotipe (DEN-1 hingga DEN -4).

yaitu ;

1. Dengue 1 diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.

2. Dengue 2 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.

3. Dengue 3 diisolasi oleh Sather

4. Dengue 4 diisolasi oleh Sather.

Keempat type virus tersebut telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia

dan yang terbanyak adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan

Dengue type 3 merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang

berat. (Siregar, 2004)

Dengue virus matang berbentuk bulat dengan diameter 50 nm dan

mengandung banyak kopian dari 3 protein struktural, membran host, dan genom

RNA beruntai tunggal. Genom diikat oleh protease inang dan virus dalam 3 protein

Struktural (kapsid, C, PRM, prekursor Membran, M, protein dan amplop, E) dan 7

Protein non Struktural (NS) (WHO, 2009). Genotipe yang berbeda (virus yang

sangat terkait dalam sekuens nukleotida) telah diidentifikasi dalam setiap serotipe,

menyoroti variabilitas genetik luas dari serotipe dengue, virus yang "cocok" untuk

kedua manusia dan vektor antara lain, "Asia" genotipe DEN-2 dan DEN-3 yang

sering dikaitkan dengan penyakit berat yang menyertai infeksi dengue sekunder.

8
2.3.2 Vektor

Berbagai serotipe dari virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan

nyamuk Aedes yang terinfeksi, terutama Aedes aegypti. Nyamuk ini merupakan

spesies tropis dan subtropis didistribusikan secara luas di seluruh dunia, kebanyakan

di antara lintang 35° LU dan 35° LS. Batas geografis ini kira-kira sesuai untuk musim

dingin isoterm dari 10° C. Aedes aegypti relatif jarang di atas 1.000 meter, karena

suhu yang lebih rendah. Tahapan yang belum dewasa ditemukan di habitat yang

berisi air, terutama di wadah buatan manusia erat berkaitan dengan tempat tinggal

dan sering di dalam ruangan. Sebuah studi menyatakan bahwa kebanyakan

AedesAegypti betina dapat menghabiskan masa hidup mereka di dalam atau di sekitar

rumah di mana mereka muncul sebagai nyamuk dewasa.

Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan

dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan

bintikbintik putih pada bagian badan, kaki, dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti

jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya.

Sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah

manusia dari pada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang

hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai petang hari

(16.00- 17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali

untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat

infektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah , nyamuk ini hinggap

(beristirahat) di dalam atau diluar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah

9
benda-benda yang tergantung dan biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab.

Disini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Selanjutnya nyamuk betina

akan meletakkan telurnya didinding tempat perkembangbiakan, sedikit diatas

permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari

setelah terendam air. Jentik kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi

nyamuk dewasa.

Wabah dengue juga disebabkan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan

beberapa spesies dari Aedes scutellaris kompleks. Masing-masing spesies ini

memiliki ekologi tertentu, perilaku dan distribusi geografis. Pada dekade belakangan

ini Aedes albopictus telah menyebar dari Asia ke Afrika, Amerika dan Eropa,

terutama dibantu oleh perdagangan internasional ban bekas di mana telur

didepositkan ketika ban-ban berisi air hujan. Telur dapat tetap bertahan selama

berbulan-bulan tanpa adanya air.

2.4 Patogenesis

Penyakit Demam Berdarah Dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.

Nyamuk ini mendapat virus Dengue sewaktu mengigit mengisap darah orang yang

sakit Demam Berdarah Dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat virus

dengue. Seseorang yang didalam darahnya mengandung virus dengue merupakan

sumber penularan penyakit demam berdarah. Virus dengue berada dalam darah

selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit

nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk kedalam lambung

nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan

10
tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah

mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain

(masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk

sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes Aegypti yang telah mengisap

virus dengue itu menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi

karena setiapkali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan

mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak

membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang

lain. (Siregar, 2004)

Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue

adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan

hipotesis immune enhancement (Chen, dkk. 2009).

11
Gambar 2.3 Hipotesis infeksi sekunder

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, sebagai akibat

infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik

pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan

menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi

limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini

mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi

sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas

dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti

dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan

dalam rongga serosa (Chen, dkk. 2009).

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak

langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai

risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang

telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi

yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag.

Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang

kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga

mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Chen, dkk. 2009).

2.5 Diagnosis

12
Infeksi keempat serotipe virus dengue (DEN 1, 2, 3 and 4) dapat

asimptomatik, menuju ke dengue fever (DF), atau dengue haemorrhagic fever (DHF)

dengan plasma leakage yang dapat menimbulkan syok hipovolemik, dengue shock

syndrome (DSS) (WHO, 1999).

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal

ini terpenuhi:

1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.

2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji rumpele leed positif;

petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan

melena.

3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).

4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:

a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan

jenis kelamin.

b. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

c. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,

hiponatremia.

(Chen, dkk. 2009)

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD menurut WHO 1997, yaitu:

1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan adalah uji torniquet.

13
2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran

lain.

3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,

tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di

sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.

4. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

(Chen, dkk. 2009)

Gambar 2.4 Patogenesis dan spektrum klinis DBD

Tabel 2.1 Grading pada Dengue Haemorrhagic Fever (WHO, 1999)

14
DHFgrade Gejala Laboratoris
I Demam, dengan dua atau lebih gejala: Trombositopenia < 100.000

nyeri kepala, nyeri retro-orbita, Peningkatan hematokrit ≥

myalgia/arthralgia. 20%

Ditambah dengan tes tourniquet

positif.
II Demam, dengan dua atau lebih gejala: Trombositopenia < 100.000

nyeri kepala, nyeri retro-orbita, Peningkatan hematokrit ≥

myalgia/arthralgia. 20%

Ditambah dengan perdarahan spontan


III Demam, dengan dua atau lebih gejala: Trombositopenia < 100.000

nyeri kepala, nyeri retro-orbita, Peningkatan hematokrit ≥

myalgia/arthralgia. 20%

Ditambah dengan tes tourniquet positif

dan/atau perdarahan spontan, dan

tanda-tanda kegagalan sirkulasi (nadi

cepat & lemah, hipotensi, dan

kelemahan).
IV Shock dengan tekanan darah yang Trombositopenia < 100.000

tidak terukur dan nadi tidak teraba. Peningkatan hematokrit ≥

20%

2.6 Pemeriksaan Penunjang

15
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,

jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif

disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya

dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai

dijumpai mulai hari ke 3 demam. Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan

atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan

hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang

dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin (Chen, dkk. 2009).

Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui

pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga

jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai gold standart adalah metode isolasi virus.

Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama

(lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini,

seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi

genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction

(RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih

cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal

serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif

semu (Chen, dkk. 2009).

Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi,

yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM

terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat

16
sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG

mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi

mulai hari ke 2 (Chen, dkk. 2009).

Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah

pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1

(NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue.

Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen

NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode

ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai

hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi

sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan

memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena

berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1

sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer (Chen, dkk. 2009).

Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)

dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks

kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua

hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG (Chen, dkk.

2009).

2.7 Diferensial Diagnosis

Pada demam fase awal, diferensial diagnosis yang didapat diantaranya adalah

akibat infeksi virus, bakteri, ataupun parasit. Yang sulit dibedakan dengan DHF

17
adalah demam Chikungunya. Pada hari ketiga atau keempat, pemeriksaan laboratoris

harus telah dilakukan untuk dapat menegakkan diagnosis sebelum timbul gejala syok.

Bila syok terjadi, maka otomatis akan mengugurkan diferensial diagnosis demam

chikungunya. Adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi juga membedakan DHF

dengan penyakit lain seperti syok karena endotoksin dari infeksi bakteri atau

meningococcaemia (WHO, 2002).

Tabel 2.2 Kriteria Diferensial Diagnosis untuk DHF dan Chikungunya

(WHO,2002)

Kriteria DHF (%) Chikungunya (%)


Lama demam:

- 2-4 hari 23,6 62,5

- 5-7 hari 59,0 31,2

- > 7 hari 17,4 6,3


Manifestasi perdarahan:

- Tes tourniquet positif 83,9 77,4

- Ptechiae 46,5 31,3

- Confluent rash 10,1 0,0

- Epistaxis 18,9 12,5

1,5 0,0
- Perdarahan gusi
11,8 0,0
- Hematemesis/melena
Hepatomegali 90,0 75,0
Syok 35,2 0,0

18
2.8 Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.

Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran

plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.

Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah

pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris (Chen, dkk. 2009).

Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya

terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses

kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke

intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain

pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang,

pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi

pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai (Chen, dkk. 2009).

Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada

trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang

cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna.

Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat

simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat

antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan

pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum) (Chen, dkk. 2009).

Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD

dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi

dalam 5 kategori, sebagai berikut:

19
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 2.3)

2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar 2.4)

3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 2.5)

4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa

5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 2.6)

(Chen, dkk. 2009)

Gambar 2.5 Penanganan tersangka DBD tanpa syok

Gambar 2.6 Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

20
Gambar 2.7 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

21
Gambar 2.8 Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

22
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya

pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan

kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi

cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada

dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid

dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada

terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan

lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam

penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan

relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki

efek alergi yang minimal (Chen, dkk. 2009).

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan

efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid

adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.

Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah.

Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kgBB) akan menyebabkan efek

penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum

didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan

perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5

ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang

interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan

penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi

23
yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan

bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik (Chen, dkk. 2009).

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan

yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma

(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang

intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi

jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang

mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati,

dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek

samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch). Penelitian cairan

koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom syok dengue (DSS) pada pasien anak

dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan

hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang menilai

efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD

derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi

(Chen, dkk. 2009).

Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran

plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada

kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan

(maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis,

kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak

kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-

nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata

24
kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-

5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan

untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan

awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang

perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis.

Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan

diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah

hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-

benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan

telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil,

pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai

kemungkinan terjadinya perdarahan internal (Chen, dkk. 2009).

25
BAB III

DATA MEDIS PASIEN

3.1 Identitas

Nama Lengkap : Tony Rangga Pinsawan

Tanggal lahir : 16 Agustus 1991

Umur : 19 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Perumahan GPA J31 Ngijo, Karangploso, Malang

Telp : 085230149xxx

Pekerjaan :-

Status : Belum menikah

Pendidikan : SMA

Etnis/suku : Jawa

Agama : Islam

MRS : 20 Februari 2010

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis dan heteroanamnesis dari ibu pasien)

Keluhan utama : Panas (demam)

Pasien mengeluh demam sejak 4 hari sebelum MRS. Demam datang secara

tiba-tiba pada malam hari, disertai menggigil dan berkeringat. Demam dirasakan

terutama pada malam hari, demam naik-turun.

26
Pasien juga mengeluh mual setiap kali mencoba makan dan minum, perut

kembung, dan nyeri, sehingga nafsu makan pasien turun. Mual dan muntah terjadi

hingga 15x. 3 hari setelah MRS nafsu makan sudah mulai meningkat.

Pasien juga mengalami konstipasi 3 hari sebelum MRS, setelah 1 hari MRS

pasien dapat BAB sebanyak 2x dengan feces yang keras. 2 hari setelah MRS pasien

diare 3x/hari, dengan volume + 200cc (1 gelas), warna coklat, cair lebih banyak

daripada ampas. BAK pasien sering, hingga 15x/hari, volume sedikit-sedikit, warna

kuning.

Pasien juga mengeluh pegal dan nyeri pada persendian.

Pasien juga mengeluh sakit (tidak nyaman) pada daerah belakang mata, dan

mata menjadi merah dan berair. Mata merah dan berair mereda 3 hari setelah MRS.

Pasien juga mengeluh sakit kepala.

Terdapat riwayat perdarahan gusi berdarah saat mulai MRS, epistaxis tidak

ada.

3 hari setelah MRS pasien juga mengeluh kulit menjadi kemerahan dan sedikit

menonjol yang merata pada daerah lengan dan tungkai, namun tidak panas dan tidak

gatal.

Riwayat keluarga atau tetangga yang mengalami gejala sakit serupa disangkal.

Riwayat pernah pergi ke daerah endemis malaria juga disangkal.

Riwayat Pengobatan Sebelumnya

Pasien mengkonsumsi Amoxicillin 2x1 tablet dan Paracetamol 2x1 tablet

yang dibeli bebas, setelah minum obat, panas turun tetapi tidak pernah normal. Pasien

27
pergi ke Puskesmas 4 hari setelah demam, periksa laboratorium, kemudian langsung

dirujuk ke RSSA. Tidak diberi obat dari puskesmas.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengeluh sering mengalami faringitis yang berulang, terutama bila

setelah makan jajanan sembarangan.

Riwayat alergi

Pasien mengalami alergi terhadap telur, mie instan, dan ayam. Manifestasi

alergi berupa benjolan-benjolan (bisul) dan gejala gatal-gatal yang timbul pada wajah,

punggung, dan badan.

Riwayat imunisasi

Menurut ibu pasien, pasien telah mendapatkan imunisasi lengkap.

Riwayat Pribadi

Hobi : Bermain bola basket

Olahraga : Basket

Kebiasaan makan : Tahu, tempe, daging, mie instan, telur, ayam (walaupun

alergi), makan tidak tepat waktu, jarang minum.

Merokok : Tidak merokok

Minum alkohol : Tidak minum alkohol

28
3.3 Pemeriksaan Fisik

Kesan sakit : Sedang

Gizi : Cukup

Tinggi badan : 170 cm

Berat badan : 65 kg

BMI : 22,49 kg/m2

Kesadaran : Composmentis

GCS : 456

Tanda vital : Tensi 90/60 mmHg

Nadi 103 x/mnt

RR 20 x/mnt

Tax 39,20C

Kulit : Rash berwarna merah (+) pada tangan dan kaki, merata

(glove & stocking)

Kepala-Leher : JVP R+2 cmH2O pada < 30o

Telinga : tidak didapatkan kelainan

Hidung : tidak didapatkan kelainan

Mulut- Tenggorokan : tidak didapatkan kelainan

Mata : Conjunctiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Thoraks : Pengembangan dada simetris, nafas spontan adekuat

Stem fremitus D = S

P s/s A v/v Rh - /- Wh -/-

s/s v/v -/- -/-

29
s/s v/v -/- -/-

Jantung : Iktus invisible, palpable di ICS V MCL sinistra

RHM ~ SL dextra

LHM ~ iktus

S1 S2 single, murmur (-)

Abdomen : Flat, soefl, BU (+) N

Hepar: hepar tidak teraba, liver span 8 cm

Lien: lien tidak teraba, traube space tympani

Punggung : Mobilitas baik, kelainan bentuk (-)

Ekstremitas : Edema -/-

-/-

Neurologi : Berdiri dan gaya berjalan dbn, tremor (-), kelemahan (-)

Bicara : Lancar, afasia (-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang

30
3.4.1 Darah Lengkap

Lab. 20 Februari 2010 21 februari 2010 22 Februari

2010
Leukosit 2200 2400 2300 2600 3200 2900 2700
Hb 15,2 13,9 13,0 12,8 13,0 13,0 10,4
PCV 47,0 41,3 37,7 37,1 37,6 34,5 30,2
Trombosi 45.000 36.000 43.000 49.000 68.000 65.000 250.000

t
GDA 143
Ureum 18,5
Creatinin 0,94
PPT 11,4

(12,7)
APTT 38,9

(27,4)
Dengue (+) (+)

IgG
Dengue (+) (+)

IgM
Natrium 123 132
Kalium 3,99 3,14
Chlorida 96 107

3.4.2 Urine Lengkap

22 februari 2010

pH 9

BJ 1.015

Protein -

Nitrit -

31
Darah -

Epitel +

Silinder -

Leukosit 0-1/lpb

Eritrosit 0-2/lpb

Kristal -

Bakteri -

3.5 Penatalaksanaaan

Tanggal pDx pTx


20 Februari - DL serial/8 jam - IVFD Ringer Lactat 30 tpm

2010 - Faal hemostasis - Diet TKTP 2100 kcal/hari

- Kimia darah - Total bed rest


Dengue - Bilirubin total- - Surface cooling
Fever with direct-indirect - Inj. Ranitidin 2x50 mg iv
warning sign
- Chest X-ray - Inj. Metoclopramide 3x10 mg
(group B)
- Faal hemostasis iv

post tranfusi - Paracetamol 3x500 mg po

- Adona drip 1 ampul dalam

500cc RL  20 tpm

- Observasi tanda-tanda

perdarahan

- Tranfusi FFP 4 labu


- IgG dan IgM anti - IVFD RL grojok 600 cc dalam

32
dengue (besok) 2 jam (300 cc/jam)  asses VS,

tanda overload  KU

membaik, lanjutkan RL 60 tpm

93-4 jam)  asses ulang  bila

KU baik lanjutkan RL 40 tpm

- Paracetamol 3x500 mg po

- Inj. Metoclopramide 3x10 mg

iv

- Ranitidin tunda dulu

- Diet lunak TKTP

pMo:

- DL serial/8 jam

- BP, N, RR, GCS

- Tanda-tanda bleeding
21 Februari - DL/8 jam - IVFD RL 30 tpm

2010 - Serum elektrolit

S: kembung,

mual
22 Februari - Urine lengkap - IVFD RL 30 tpm

2010 - DL serial/8 jam - Diet TKTP 2100 kcal/hari

- Inj. Metoclopramide 3x10mg iv

- Paracetamol 3x500 mg po

33
- Omeprazole 2x20 mg po

pMo:

- Tanda-tanda bleeding
23 Februari - SGOT/SGPT - IVFD RL 30 tpm

2010 - DL serial/8 jam - Diet TKTP 2100 kcal/hari

- Inj. Metoclopramide 3x10 mg

iv

- Paracetamol 3x500 mg po

- Omeprazole 2x20 mg po

- Inj xillo:della 1:1

- Surface cooling

- Rencana KRS

34
BAB IV

PEMBAHASAN

35
BAB V

PENUTUP

36
DAFTAR PUSTAKA

37

Anda mungkin juga menyukai