PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki luas daerah tanaman kelapa yaitu 10% (700.000 ha) dari
luas daerah setiap provinsi. Penyebaran pohon kelapa meliputi wilayah Sumatera,
Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Kelapa (Cocos nucifera)
adalah anggota tunggal dalam marga Cocos dari suku aren-arenan atau Arecaceae.
Daunnya berpelepah, panjangnya dapat mencapai 3 - 4 meter lebih dengan sirip-
sirip lidi yang menopang tiap helaian. Buahnya terbungkus dengan serabut dan
batok yang cukup kuat sehingga untuk memperoleh buah kelapa harus dikuliti
terlebih dahulu. Kelapa yang sudah besar dan subur dapat menghasilkan 2 - 10 buah
kelapa setiap tangkainya . Tumbuhan ini dimanfaatkan hampir semua bagiannya
oleh manusia sehingga keberadaannya dianggap sebagai tumbuhan serbaguna,
terutama bagi masyarakat pesisir. Kelapa juga adalah sebutan untuk buah yang
dihasilkan tumbuhan ini (Hadi dkk, 2014).
Di Provinsi Riau keberadaan tanaman kelapa sangat berlimpah. Terdapat
sekitar 41.530,09 ha kebun kelapa di sepanjang pesisir pantai Kabupaten Rokan
Hilir serta Kabupaten Indragiri Hilir (BPDAS Kepulauan Riau, 2015). Selain itu
jumlah sabut kelapa muda di Provinsi Riau sangatlah melimpah hal ini dapat dilihat
dari tiap ruas jalan di Riau banyaknya pedagang air kelapa muda.
Bagian buah kelapa muda yang dimanfaatkan hanya terbatas pada air dan
daging buahnya saja sedangkan bagian serabut kelapa belum banyak
pemanfaatannya secara efektif dan bernilai ekonomi. Pemanfaatan sabut kelapa
muda masih sangat minim menjadi produk lain yang bernilai jual tinggi. Pembuatan
produk fermentasi dari serabut kelapa muda ini sebagai bahan baku alternatif
(bioetanol) didasarkan pada kandungan serat selulosa yang terkandung didalamnya
(Rusila dkk, 2012).
Bioetanol memiliki banyak kelebihan, selain ramah lingkungan,
penggunaannya sebagai bahan bakar kompor terbukti lebih hemat dan efisen dalam
proses pembakaran. Bietanol merupakan cairan hasil proses fermentasi gula dari
sumber zat karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Produksi bioetanol
1
2
dari tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat dilakukan melalui proses
konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa). Pada hidrolisis asam dikenal ada dua
metode yaitu SHF (Separate Hydrolysis and Fermentation) dan SSF (Simultaneous
Sacarification and Fermentation ) (Kusumawati dan Wiwik, 2015).
Bioetanol adalah senyawa yang berasal dari makhluk hidup, dalam hal ini
berupa bahan nabati. Bioetanol adalah bahan bakar alternatif yang diolah dari
biomassa, yang dapat menurunkan emisi CO2 hingga 18% (Fatmawati dan
Agustriyanto, 2015). Bioetanol dapat dibuat melalui proses hidrolisis dan
fermentasi. Bioetanol dapat dihasilkan dari gula sederhana, pati, dan selulosa.
Bioetanol merupakan zat cair, berbau khas, tidak berwarna, mudah menguap dan
terbakar serta dapat bercampur dalam air.
Ni’mah dkk (2015) melakukan penelitian terhadap limbah serat kelapa sawit
yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk generasi kedua bioetanol karena
mengandung 57,9% selulosa. Serat kelapa sawit dipotong dengan ukuran 0,5-1 cm.
Lalu pretreatment menggunakan pelarut asam dengan memanaskan pada 100 °C
selama 1 jam diatas hot plate. Padatan kemudian dilarutkan dengan larutan H2SO4
(2% v/v) hingga 500 ml dan dihidrolisisis selama 120 menit dengan variasi suhu
dari 115 °C, 120 °C, 125 °C. Kadar etanol tertinggi 2,858% (v/v) saat suhu yang
digunakan 120 oC.
Manik (2019) melakukan proses produksi glukosa dari daun sawit dilakukan
dengan berbagai tahapan yaitu persiapan bahan baku, proses acid pretreatment,
analisis bahan baku dan pretreatment, hidrolisis dan analisis hasil. Acid
pretreatment dilakukan dengan suhu 80ᴼC, waktu 60 menit dengan pelarut asam
sulfat 0,5%. Hidrolisis dilakukan dengan cara mencampurkan asam sulfat 60% dan
asam fosfat dengan perbandingan 30:70, dimana konsentrasi asam fosfat (60%,
65%, dan 70%) dan rasio substrat (hasil pretreatment) dengan pelarut (1:2, 1:3, dan
1:4) menjadi variabel bebas. Hidrolisis dilakukan dengan cara pencampuran pelarut
dengan substrat dan dibiarkan selama 16 jam pada suhu ruang, selanjutnya
ditambahkan akuades dan dimasak pada suhu 100 ᴼC selama 2 jam. Hasil penelitian
ini diperoleh yield terbesar pada asam fosfat 60% dan rasio substrat pelarut 1:2
sebesar 27,31% dan kadar glukosa yang diperoleh sebesar 2731,0406 ppm atau
mg/L.
Devitria dan Fatmi (2018) melakukan penelitian produksi bioetanol dengan
menggunakan substrat berupa limbah tandan kosong kelapa sawit. Mikroba yang
digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae. Dari hasil penelitian diperoleh kadar
bioetanol didapatkan sebesar 0,642% pada fermentasi selama 4 hari dan 5,61% pada
fermentasi selama 6 hari.
Pada penelitian ini akan digunakan substrat biomassa yakni sabut kelapa
muda untuk memperoleh bioetanol dengan menggunakan Saccharomyces
cerevisiae. Variabel berubah yang divariasikan adalah konsentrasi dari NaOH
(dan ), perbandingan volume (H2SO4 dan H3PO4) dan H2SO4 3 % saat proses
hidrolisis serta waktu pengambilan sampel yakni 1, 2, 3, 4 dan 5 hari.
5