Anda di halaman 1dari 31

ENSEFALITIS

PENDAHULUAN

Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme,


misalnya viral, bakteri, Spirochaeta, fungus, protozoa,dan metazoa ( cacing ).Penyebab yang
tersering dan terpenting adalah virus, karena itu sering disebut ensefalitis virus. Virus dapat
masuk ke tubuh pasien melalui kulit saluran nafas, dan saluran cerna. Pada keadaan
permulaan timbul demam, tetapi belum ada kelainan neurologis. Virus akan terus
berkembang biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan akhirnya diikuti kelainan
neurologist. 1
Ensefalitis atau yang lebih sering disebut sebagai viral ensefalitis adalah peradangan
pada otak yang biasanya disebabkan oleh virus. Proses peradangannya jarang terbatas pada
jaringan otak saja tetapi hampir selalu mengenai selaput otak, maka dari itu lebih tepat bila
disebut meningoensefalitis. Ensefalitis mencakup berbagai variasi dari bentuk yang paling
ringan sampai dengan yang parah sekali seperti koma dan kematian. Ensefalitis diagnosisnya
dapat ditegakkan hanya melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan otak. Namun dalam
prakteknya diklinik, diagnosis sering dibuat berdasarkan manifestasi-manifestasi neurologis
dan temuan-temuan epidemiologis, tanpa bantuan bahan histologis. 1
Diagnosis ensefalitis akut dicurigai pada pasien dengan demam dan terdapat
perubahan kesadaran dengan tanda-tanda disfungsi serebral difus. Secara umum, infeksi
pada susunan saraf pusat merupakan penyebab tersering dari ensefalitis akut. Herpes Simplex
Virus (HSV), Varicella Zoster Virus (VZV), Epstein-Barr Virus (EBV), mumps, measles, dan
enterovirus merupakan penyebab sebagian kasus ensefalitis viral akut pada imunokompeten..
Pada penelitian disebutkan bahwa VZV merupakan virus tersering menyebabkan ensefalitis,
seperti meningitis dan mielitis, diikuti oleh HSV dan enterovirus (masing-masing 11%), dan
virus Influenza A (7%). Tuberkulosis, penyakit Ricketts, dan tripanosomiasis Afrika
merupakan penyebab penting non-viral pada meningoensefalitis akut. 6
Virus yang paling sering ditemukan adalah virus herpes simpleks. Virus Herpes
simpleks (VHS) terdiri dari 2 tipe,yaitu VHS tipe 1 dan VHS tipe 2. VHS tipe 1
menyebabkan ensefalitis terutama pada anak dan orang dewasa, sedangkan VHS tipe 2
menyebabkan infeksi pada neonatus. 2
Ensefalitis juga dapat terjadi akibat infeksi bakteri seperti Staphylococcus aureus,
Streptococcus, E. Coli, M. tuberculosa, dan T. pallidum. Tiga bakteri yang pertama
1
merupakan penyebab ensefalitis bakterial akut yang menimbulkan pernanahan pada korteks
serebri sehingga terbentuk abses serebri. Ensefalitis bakterial akut sering disebut ensefalitis
supuratif akut. Selain itu terdapat juga beberapa penyebab lain ensefalitis yaitu Infeksi
protozoa tertentu seperti Toxoplasma, infeksi Spirochaeta jenis Treponema pallidum
( ensefalitis sifilis), dan infeksi akibat cacing jenis Trikinela spiralis yang kadang-kadang
menyebabkan ensefalitis. 9

EPIDEMIOLOGI

Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) pada jurnal pediatrics in
review yang menggunakan National Hospital Discharge Survey mengestimasi perawatan inap
di RS yang disebabkan oleh ensefalitis di AS, dimana per tahun ditemukan kasus 7.3/100.000
dengan data rata- rata per tahun lebih dari 200.000 hari perawatan inap di RS, dan 1.400
kematian. Insiden tertinggi terjadi pada anak- anak dibawah usia 1 tahun dengan kasus
13.7/100.000 dan orang dewasa diatas 65 tahun dengan kasus 10.6/100.000 per tahun. Karena
keterbatasan data sehingga kriteria diagnostik spesifiknya pun terbatas. Dalam analisis
National Hospital Discharge, didapatkan data penyebab ensefalitis 60% adalah tidak
diketahui, dan dari yang diketahui didapatkan penyebab tersering adalah herpes virus,
varisela dan arbovirus. 5
Menurut Centers for Disease Control sekitar 20.000 kasus dari ensefalitis viral akut
dilaporkan di Amerika. Kematian mencakup 5-20% dari penderita keseluruhan dan gejala
sisa seperti deteriorasi mental, defek amnesia, perubahan kepribadian dan hemiparese terlihat
pada sekitar 20%. Namun secara keseluruhan hal ini tidak dapat menggambarkan angka
kejadian terhadap kematian maupun kelainan neurologis yang khusus dari masing-masing
jenis virus. 10
Menurut statistik dari 214 ensefalitis 54% (115 orang) dari penderitanya ialah anak-
anak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus herpes simpleks 31%, yang disusul
oleh virus ECHO 17%. Statistik lain mengungkapkan bahwa ensefalitis primer yang
disebabkan oleh virus yang dikenal mencakup 19%. Ensefalitis primer dengan penyebab yang
tidak diketahui dan ensefalitis para infeksiosa masing-masing mencakup 40% dan 41% dari
semua kasus ensefalitis yang telah diselidiki. 8

   

2
ETIOLOGI 1)
Klasifikasi yang diajukan oleh Robin berdasarkan etiologi virus:
1. Infeksi virus yang bersifat epidemik
a. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
b. Golongan virus ARBO : Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis,
Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer
encephalitis, Murray valley encephalitis.
2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain yang
dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
3. Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela, pasca
vaksinia, pasca mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi
traktus respiratorius yang tidak spesifik.10
Meskipun di Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus ensefalitis, tetapi baru
Japanese B encephalitis yang ditemukan.

Viral:
•    Virus DNA: herpes simplex virus (HSV-1, HSV-2), virus herpes lainnya (HHV-6, EBV,
VZV, cytomegalovirus) dan adenovirus (sebagai contoh serotipe 1,6,7,12,32)
•    Virus RNA: virus influenza (serotipe A), enterovirus (serotipe 9,71), virus polio, measles,
rubella, mumps, rabies, arbovirus (contoh: Japanese B encephalitis virus, lymphotic
choriomeningitis virus, Eastern, Western dan Venezuelan equine encephalitis virus), retro
virus(ColoradoickFevervirus),danretrovirus(HIV)

Bakterial:
Mycobacterium tuberculosis, Mycoplasma pneumoniae, Listeria monocytogenes, Borrelia
burdgorferi (lyme disease), Tropheryma whippeli (Whipple’s disease), lepstospira, brucella,
legionella, Salmonella typhii (typhoid fever), nocardia, actinomyces, Treponema pallidum
(meningovascular syphilis) dan seluruh penyebab meningitis bakterial (piogenik).

Rickettsia:
•    Rickettsia rickettsii (Rocky Mountain Spotted Fever), Rickettsia typhii (endemic typhus)
•    Rickettsia prowazekii (epidemic typhus), Coxiella burnetii (Q fever).

3
Fungal:
Cryptococcosis, coccidioidomycosis, histoplasmosis, North American Blastomycosis,
candidiasis

Parasit:
Human African Trypanosomiasis, Toxoplasma gonsii, Nagleria fowleri, Echinococcus
granulosus,schistosomiasis

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Virus dapat menyebabkan kerusakan neural SSP melalui invasi langsung dan akibat
multiplikasi aktif virus (ensefalitis primer atau infeksius) atau melalui mekanisme respon
autoimun jaringan SSP terhadap antigen virus pada infeksi sistemik ( acute disseminated
encephalomyelitis - ADEM). 6

Virus menyebar ke SSP melalui dua mekanisme utama :

(1) Penyebaran hematogen


Setelah masuk ke tubuh, virus bermultiplikasi secara lokal kemudian dapat terjadi
viremia dan bersarangnya virus diretikulo-endotelial sitem (RES); terutama dihati.
Limpa, kelenjar limfe, dan kadang-kadang muskulus. Dengan berlanjutnya replikasi,
viremia sekunder memungkinkan bersarangnya virus diorgan lain termasuk SSP.
Pada umumnya virus dapat dicegah masuk kejaringan SSP oleh sawar darah otak.
Virus dibersihkan dalam darah oleh sistem retikuolendotelial, teteapi bila terjadi
viremia masif atau terdapat keadaan lain yang menguntungkan virus, maka virus akan
masuk SSP melalui pleksus koroideus, migrasi fagosit yang terinfeksi, replikasi virus
dalam sel endotel atau transfer pasif melalui sawar darah otak. 6

(2) Penyebaran neuronal


Penyebaran neuronal (lebih jarang) terjadi melaui saraf perifer dan kranial. Virus
masuk jaringan SSP secara sentripetal melalui transmisi aksonal sepanjang
endoneurium, sel Schwann dan fibrosit sraf. Penyebaran neuronal dapat terjadi pada
rabies, herpes simpleks, VZV, dan virus polio. HSV dapat menyebar ke SSP melalui

4
neuron olfaktorius dimukosa hidung, kemudian melaui N.olfaktorius terjadi sinaps
dibulbus olfaktorius diotak.
Virus tertentu lebih menyenangi sel otak tertentu, misalnya virus polio
menyukai sel motorik, rabies menyukai sel limbik dan mumps menyukai sel
ependimal. Korteks serebral, terutama lobus temporal sering mengalami kerusakan
berat oleh virus herpes simpleks; arbovirus cendrung melibatkan seluruh otak;
sedangkan predileksi kelainan pada rabies ialah pada daerah basal otak. Keterlibatan
medula spinalis, akar saraf dan saraf perifer bervariasi. 6

Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh :

 Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang
biak
 Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi,
kerusakan vascular, dan paravaskular.
 Reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten.

Biasanya ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok :

1. Ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok herpes
simpleks,virus influenza, ECHO ( Enteric Cytophatic Human Orphan ), Coxsackie,
dan virus arbo.
2. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya.
3. Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit
virus yang sudah dikenal seperti rubeola, varisela, herpes zoster, parotitis epidemika,
mononukleosis infeksiosa dan lain-lain. 4

Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi virus,
kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat menghambat
multiplikasi virus. Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu
menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Pada
beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu dengan sistem imun
yang lemah, merupakan faktor resiko utama. 6

5
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui peredaran
darah atau melalui sistem neural (Virus Herpes Simpleks, Virus Varisella Zoster). Setelah
melewati sawar darah otak, virus memasuki sel-sel neural yang mengakibatkan fungsi-fungsi
sel menjadi rusak, kongesti perivaskular, dan respons inflamasi yang secara difus
menyebabkan ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih (alba).
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran sel saraf yang
hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh, virus herpes simpleks
mempunyai predileksi pada lobus temporal medial dan inferior. 2
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum jelas
dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural secara langsung
dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.

Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah.Infeksi primer
biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja.Biasanya subklinis atau berupa somatitis,
faringitis atau penyakit saluran nafas. Kelainan neurologis merupakan komplikasi dari
reaktivasi virus.Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam ganglia trigeminal. Beberapa
tahun kemudian,rangsangan non spesifik menyebabkan reaktivasi yang biasanya
bermanifestasi sebagai herpes labialis. 2
Pada ensefalitis bakterial, organisme piogenik masuk ke dalam otak melalui peredaran
darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus. Penyebaran melalui peredaran darah
dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran
langsung dapat melalui tromboflebitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah dan sinus

6
paranasalis. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak. Biasanya terdapat di
bagian substantia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses peradangan
ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah dan agregasi
leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan tadi timbul edema,
perlunakan dan kongesti jaringan otak disertai peradangan kecil. Di sekeliling abses terdapat
pembuluh darah dan infiltrasi leukosit. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk
ruang abses. Mula-mula dindingnya tidak begitu kuat, kemudian terbentuk dinding kuat
membentuk kapsul yang konsentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit PMN, sel-sel
plasma dan limfosit. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam
ventrikulus atau ruang subarakhnoid yang dapat mengakibatkan meningitis. Proses radang
pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan otak saja, juga sering mengenai jaringan selaput
otak. Oleh karena itu ensefalitis virus lebih tepat bila disebut sebagai meningo ensefalitis. 4
Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi lengket. Sel-sel
darah yang lengket satu sama lainnya dapat menyumbat kapiler-kapiler dalam otak.
Akibatnya timbul daerah-daerah mikro infark. Gejala-gejala neurologist timbul karena
kerusakan jaringan otak yang terjadi. Pada malaria serebral ini, dapat timbul konvulsi dan
koma. Pada toxoplasmosis kongenital, radang terjadi pada pia-arakhnoid dan tersebar dalam
jaringan otak terutama dalam jaringan korteks. 4
Sangatlah sukar untuk menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada postmortem.
Kecuali pada kasus-kasus non viral seperti malaria falsifarum dan ensefalitis fungal, dimana
dapat ditemukan indentifikasi morfologik. Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai
pada rabies (badan negri) atau virus herpes (badan inklusi intranuklear). 4

MANIFESTASI KLINIS 1
Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis secara umum sama
berupa Trias ensefalitis yang terdiri dari :
 Demam
 Kejang
 Penurunan kesadaran

7
Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat.
Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan. Masa
prodormal berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing,
muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat, kemudian diikuti oleh
tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung distribusi dan luasnya lesi pada neuron. 7
Pada bayi, terdapat jeritan, perubahan perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang-
kejang. Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal atau hanya twitching saja. Kejang
dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebrum yang beraneka ragam dapat timbul sendiri-
sendiri atau bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan sebagainya. Gejala
batang otak meliputi perubahan refleks pupil, defisit saraf kranial dan perubahan pola
pernafasan. Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan mencapai meningen.
Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat membantu diagnosis. 4
Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat meradang
gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan tangan, rigiditas pada
lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus. Rabies memberi gejala pertama
yaitu depresi dan gangguan tidur, suhu meningkat, spastis, koma pada stadium paralisis. 9
Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau subakut.
Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7 hari.
Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan kepribadian dan
gangguan daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Kejang
dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran menurun sampai koma dan letargi. Koma adalah
faktor prognosis yang sangat buruk, pasien yang mengalami koma sering kali meninggal atau
sembuh dengan gejala sisa yang berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan
hemiparesis. Beberapa kasus dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku
kuduk dan papil edema. 2
Mycoplasma pneumoniae (MP) juga diketahui merupakan penyebab infeksi
pernafasan pada anak-anak dan dewasa, akan tetapi hanya 0,1% dari infeksi MP yang dapat
menyebabkan komplikasi neurologi seperti ensefalitis, meningitis, dan myelitis, dengan
penularan secara langsung ke sistem saraf pusat maupun tidak langsung seperti toxin-
mediated. Dengan gejala klinis yang menyerupai ensefalitis pada umumnya yaitu demam,
sakit kepala, muntah, dan kejang, dan penurunan kesadaran, dan gejala klinis infeksi saluran
pernafasannya dapat asimptomatik. 4

8
Pada ensefalitis supuratif akut yang berkembang menjadi abses serebri akan timbul
gejala-gejala sesuai dengan proses patologik yang terjadi di otak. Gejala-gejala tersebut ialah
gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu nyeri
kepala yang kronik progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun. Tanda-
tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses. 9
Gejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian yaitu gejala neurologis dan gejala
mental. Gejala-gejala neurologis diantaranya kejang-kejang yang datang dalam serangan-
serangan, afasia, apraksia, hemianopsia, kesadaran mungkin menurun, pada stadium akhir
timbul gangguan-gangguan motorik yang progresif. 9

DIAGNOSA
Memastikan diagnosis ensefalitis didasarkan atas, gambaran klinis, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan virologis, dan pemeriksaan penunjang lain seperti EEG,
pencitraan, biopsi otak, dan polymerase chain reaction (PCR). Walaupun tidak begitu
membantu, gambaran cairan serebrospinal dapat pula dipertimbangkan. 7

 Anamnesis
- Identitas ( Nama, Umur, Jenis kelamin )
- Keluhan utama
- Riwayat penyakit terdahulu
- Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
- Riwayat penyakit keluarga

 Pemeriksaan Fisik
Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun dan kejang. Kejang
dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, dapat
timbul terpisah atau bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan
sebagainya.

9
 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan hematologi
Pada pemeriksaan hematologi sering menunjukan leukositosis dengan
predominasi limfosit dan peninggian laju endap darah (LED)

2. Cairan serebro-spinal
CSS pada penyakit virus SSP biasanya menunjukan pleiositosis mononuklear
(5-500 sel/mm3). Jenis sel pada awal perjalanan penyakit sering polimorfonuklear
(PMN) yang kemudian akan didominasi sel mononuklear. Perubahan jenis sel ini
akan terlihat pada 2 sampel CSS yang diambil dengan perbedaan waktu sedikitnya 8-
12 jam. 7
Kadar protein cendrung normal atau sedikit meningkat (biasanya <200mg/dl),
tetapi dapat sangat tinggi bila kerusakan otaknya luas seperti pada ensefalitis HSV.
Kadar glukosa biasanya normal walaupun pada beberapa infeksi, seperti mumps dan
HSV, kadar glukosa dapat menurun sampai 25-50 mg/dl, tetapi jarang sampai
dibawah 20 mg/dl. Sebanyak 5-15% penderita ensefalitis HSV, CSSnya normal
diawal perjalanan penyakit. 7
Pungsi lumbal tidak dilakukan bila terdapat edema papil. Bila dilakukan
pemeriksaan cairan serebrospinalis maka dapat diperoleh hasil berupa biasanya cairan
jernih, jumlah sel 50 – 200 dengan dominasi limfosit. Kadar protein kadang – kadang
meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas normal. Tekanan LCS dapat normal
atau meningkat. 7

3. Elektroensefalografi
EEG sangat membantu diagnosis pada ensefalitis herpes simpleks bila
ditemukan gambaran perlambatan fokal di daerah temporal atau frontotemporal.Lebih
sering EEG hanya memperlihatkan perlambatan umum yang menunjukkan disfungsi
otak menyeluruh. Pada ensefalitis virus yang disebabkan oleh herpes simpleks tipe 1,
gambaran EEG berupa aktivitas gelombang tajam periodik di temporal dengan latar
belakang fokal atau difus. 7

4. Pemeriksaan CT scan atau MRI kepala menunjukkan gambaran edema otak.

10
Manfaat pemeriksan pencitraan terutama bukan dalam menetukan penyebab
meningoensefalitis, tetapi dalam menilai tingkat kerusakan SSP. Dalam hal ini
MRI lebih unggul daripada CT scan. Sensitivitas MRI juga melebihi CT scan
dalam mendeteksi lesi pada ensefalomielitis diseminata akut yang berupa
demielinisasi multifokal dimassa putih serebrum, serebelum, dan batang otak. 7

5. Pemeriksaan diagnostik khusus


Isolasi virus dalam cairan serebrospinal secara rutin tidak dilakukan karena
sangat jarang menunjukkan hasil yang positif. Titer antibodi terhadap VHS dapat
diperiksa dalam serum dan cairan serebrospinal. Titer antibodi dalam serum
tergantung apakah infeksi merupakan infeksi primer arau infeksi rekuren. Pada infeksi
primer, antibodi dalam serum menjadi positif setelah 1 sampai beberapa minggu,
sedangkan pada infeksi rekuren kita dapat menemukan peningkatan titer antibodi
dalam dua kali pemeriksaan, fase akut dan rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat
pada fase rekonvalesen merupakan tanda bahwa infeksi VH sedang aktif. Harus
diiongat bahwa peningkatan kadar antibodi serum belum membuktikan disebabkan
oleh VHS. Titer antibodi dalam cairan serebrospinal merupakan indikator yang lebih
baik, karena hanya diproduksi bila terjadi kerusakan sawar darah otak, akan tetapi
kemunculan antibodi dalam cairan serebrospinal sering terlambat, dan baru dapat
dideteksi pada hari ke 10-12 setelah permulaan sakit. Hal ini merupakan kendala
terbesar dalam menegakkan diagnosis EHS, dan hanya berguna sebagai diagnosis
retrospektif. Penggunaan perbandingan antara titer antibodi serum dan cairan
serebrospinal < 20 tidak memeperbaiki sensitivitas diagnosis dalam 10 hari sakit. 10

 Teknik diagnostik yang tersedia diantranya pemeriksaan serologik, biakan


sel, imunohistologik dan biologi molekuler (PCR).
Polymerase chain reaction (PCR) sekarang menjadi baku emas untuk
mengevaluasi ensefalitis atau meningoensefalitis HSV dengan mendeteksi
DNA HSV didalam CSS. Spesifisitas PCR pada ensefalitis HSV mendekati
100%, sedangkan sensitivitasnya berkisar antara 75-95%. PCR juga dapat
dipakai untuk diagnosis cepat infeksi dengan CMV, enterovirus, human
herpes virus, virus varicella-Zoster dan HIV.

11
 Enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) yang dapat mendeteksi
antibodi imunoglobin M (IgM) dalam CSS, snsitif dan spesifik pada
penderita yang diduga menderita ensefalitis Japanese.

DIAGNOSIS BANDING

Meningitis yang disebabkan bakteri yang paling sering menginvasi sistem saraf pusat
yaitu H. Influenza tipe B, S. Pneumoniae, dan N. Meningitidis. Pada meningitis biasanya
ditemukan rangsang meningeal, walaupun pada bayi terkadang tidak ditemukan. Meningitis
tuberkulosa juga merupakan diagnosa banding, dengan perjalanan penyakit yang sangat
lambat. Pada pemeriksaan fisiknya dapat ditemukan limfadenopati, dan tanda rangsang
meningeal. Pada funduskopi dapat ditemukan papil pucat, tuberkuloma di retina, dan adanya
nodul di koroid. Uji tuberkulin dapat juga membantu diagnosa. 9
Infeksi bakteri parameningeal juga, seperti abses otak dimana radang bernanah pada
jaringan otak, juga dapat mempunyai tanda-tanda yang sama dengan ensefalitis, dan
gangguan non infeksi juga perlu dipikirkan pada diagnosa banding ensefalitis, seperti
keganasan, perdarahan intrakranial. Untuk itu pembuatan foto adalah penting untuk diagnosa
proses ini. 10

PENATALAKSANAAN

Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien koma
yaitu mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral atau
parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam basa darah. 4

Terapi suportif :

12
Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan mengusahakan jalan nafas
tetap terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian oksigen, pemasangan respirator bila henti
nafas, intubasi, trakeostomi), pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa darah. Untuk pasien dengan
gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorok, dilakukan drainase postural dan
aspirasi mekanis yang periodik. 9

Terapi kausal :
Pengobatan anti virus diberikan pada ensefalitis yang disebabkan virus, yaitu dengan
memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8 jam selama 10-14 hari. Preparat asiklovir
tersedia dalam 250 mg dan 500 mg yang harus diencerkan dengan aquadest atau larutan
garam fisiologis. Pemeberian secara perlahan-lahanm diencerkan menjadi 100 ml larutan,
diberikan selama 1 jam. Efek sampingnya adalah peningkatan kadar ureum dan keratinin
tergantung kadar obat dalam plasma. Pemberian asiklobir perlahan-lahan akan mengurangi
efek samping. Bila selama pengobatan terbukti bukan infeksi Virus Herpes Simpleks, maka
pengobatan dihentikan.
Pada pasien yang terbukti secara biopsi menderita Ensefalitis Herpes Simpleks dapat
diberikan Adenosine Arabinose 15mg/kgBB/hari IV, diberikan selama 10 hari. Pada beberapa
penelitian dikatakan pemberian Adenosisne Arabinose untuk herpes simpleks ensefalitis
dapat menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%.
Terapi Ganciklovir merupakan pilihan utama untuk infeksi citomegali virus. Dosis
Ganciklovir 5 mg/kgBB dua kali sehari.kemudian dosis diturunkan menjadi satu kali, lalu
dengan terapi maintenance.
Pemberian antibiotik parenteral tetap diberikan sampai penyebab bakteri
dikesampingkan, dan juga untuk kemungkinan infeksi sekunder. Pada ensefalitis supurativa
diberikan:
- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.
Preparat sulfa (sulfadiasin) untuk ensefalitis karena toxoplasmosis. 6

Terapi Simptomatik :
Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Tergantung dari
kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang diberikan ialah diazepam 0,3-0,5 mg/Kg

13
BB/ hari dilanjutkan dengan fenobarbital. Perlunya diperiksa kadar glukosa darah, kalsium,
magnesium harus dipertahankan normal agar ancaman konvulsi menjadi minimum.
Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan surface cooling dengan menempatkan es
pada permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan leher,
ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan diatas kepala. Dapat juga diberikan
antipiretikum seperti parasetamol dengan dosis 10-15mg/kgBB, bila keadaan telah
memungkinkan pemberian obat peroral.
Untuk mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2 mg/kgBB/hari IM dibagi 3 dosis
dengan cairan rendah natrium, dilanjutkan dengan pemberian 0,25-0,5mg/kgBB/hari. Bila
terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan manitol 0,5-2 g/kgBB IV
dalam periode 8-12 jam.
Nyeri kepala dan hiperestesia diobati dengan istirahat, analgesik yang tidak mengandung
aspirin dan pengurangan cahaya ruangan, kebisingan, dan tamu. 8

Terapi rehabilitatif:
Upaya pendukung dan rehabilitatif amat penting sesudah penderita sembuh.
Inkoordinasi motorik, gangguan konvulsif, strabismus, ketulian total atau parsial, dan
gangguan konvulsif dapat muncul hanya sesudah jarak waktu tertentu. Fasilitas khusus dan
kadang-kadang penempatan kelembagaan mungkin diperlukan. Beberapa sekuele infeksi
dapat amat tidak kentara. Karenanya evaluasi perkembangan saraf dan audiologi harus
merupakan bagian dari pemantauan rutin anak yang telah sembuh dari mengoensefalitis virus,
walaupun mereka tampak secara kasar normal. 6

KOMPLIKASI

Pada ensefalitis viral akut yang cukup banyak terjadi adalah peningkatan tekanan
intrkranial, infark serebral, trombosis vena serebral, syndrome of inappropriate secretion of
antidiuretic hormone, pneumonia aspirasi, perdarahan saluran cerna bagian atas, infeksi
saluran kemih dan koagulopati intravaskular diseminata. Sequele dari ensefalitis viral akut
bergantung pada usia, etiologi ensefalitis dan keparahan gejala klinis. 4

PROGNOSIS

14
Prognosis ensefalitis virus sangat bervariasi tergantung pada usia, keadaan medik
yang mendasarinya, virulensi virus, kompetensi imun penderita dan tersedianya terapi
antivirus spesifik. 7
Kebanyakan anak sembuh secara sempurna dari infeksi virus pada sistem saraf
sentral, walaupun prognosis tergantung pada keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, dan
umur anak. Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim, prognosis
jelek, dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik, psikiatrik, epileptik,
penglihatan, ataupun pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan walaupun beberapa
kepustakaan menyarankan bahwa penderita bayi yang menderita ensefalitis virus mempunyai
hasil akhir jangka panjang lebih jelek daripada nak yang lebih tua, data baru membuktikan
bahwa observasi ini tidak benar. walaupun sekitar 10% anak sebelum usia 2 tahun dengan
infeksi virus menampakkan komplikasi akut seperti kejang, tekanan intrakranial naik, atau
koma, hampir semua hasil akhir neurologis jangka lama baik. 4
Pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simpleks yang tidak diobati sangat
buruk dengan kematian 70-80% setelah 30 hari dan menignkat menjadi 90% dalam 6 bulan.
Pengobatan dini dengan asiklovir akan menurunkan mortalitaas menjadi 28%. Gejala sisa
lebih sering ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan
pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, demikian juga koma; pasien
yang mengalami koma seringkali menggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat. 1

15
Japanese Encephalitis

Japanese Encephalitis (JE) adalah suatu penyakit yang menyerang susunan saraf pusat
(otak, medula spinalis,meningen), yang disebabkan oleh JEV yang ditularkan oleh binatang
melalui gigitan nyamuk. Penyakit JE termasuk Arbovirosis (arthropod borne viral disease)
yaitu penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh artopoda. Untuk dapat
berlangsungnya penyakit Arbovirosis diperlukan adanya resevoir (sumber infeksi) dan
vektor. Sebagian penyakit arbovirosis resevoir utamanya adalah manusia dan vektornya
nyamuk. Salah satu contoh adalah JE dengan resevoir utamanya babi dan vektornya nyamuk
culex. 3
Hewan vertebrata yang bertindak sebagai resevoir pada JE terutama babi dan yang
lainnya adalah sapi, kuda, kerbau, kambing, tikus, ayam, kucing. Virus ini jarang
menyebabkan penyakit pada hewan, kecuali secara langsung disuntikan secara langsung pada
susunan saraf pusat. Artropoda yang bertindak sebagai vektor adalah nyamuk Culex,
Anopheles, Aedes. Virus ini dapat berkembang biak dalam jaringan arthopoda tanpa
menimbulkan penyakit dan artropoda tersebut akan menderita infeksi seumur hidup setelah
menghisap darah vertebra yang menderita viremia. 3

EPIDEMIOLOGI
JE adalah penyakit infeksi virus yang penyebarannya sangat berkaitan dengan
keadaan lingkungan. Penyakit ini ditemukan dihampir seluruh wilayah Asia, mulai dari Asia
Timur yaitu Jepang dan Korea, sampai ke Asia Selatan, seperti India dan Sri Langka, serta
Asia Tenggara, termasuk kepulauan Indonesia, bahkan sampai ke negara bagian Northern
Territory di Australia. Pada JE, sebagai vektor penyebar virus adalah nyamuk yang biasa
ditemukan di sekitar rumah. Nyamuk ini biasanya mengigit pada sore dan malam hari.
Daerah persawahan, yang terutama pada musim tanam selalu digenangi air, diduga
16
berhubungan dengan timbulnya daerah endemis JE. Selain itu pada musim hujan populasi
nyamuk akan meningkat sehingga memudahkan transmisi penyakit. 3

Penyakit ini menyerang semua umur, namun di India lebih banyak menyerang anak,
di Thailand, Taiwan, demikian pula di Denpasar, proposi umur terbanyak menderita JE
masing- masing 5-9 tahun, 2-5 tahun dan 2-3 tahun. Di jepang semula JE menyerang anak
tetapi kemudian orang dewasa lebih banyak diserang. 5
Bukan hanya nyamuk Culex yang berperan pada penyebaran penyakit JE, sebagai
host (penjamu) untuk perkembangbiakan virus diperlukan hewan lain sebelum virus tersebut
menginfeksi manusia. Babi (resevoir) merupakan amplifier terbaik bagi perkembangbiakan
virus JE tetapi antibodi JE juga ditemukan pada sapi, kerbau, kuda, kambing, domba,
anjing,dan unggas. 3
Sehubungan dengan itu, maka angka endemitas yang tinggi ditemukan dihampir
seluruh provinsi di indonesia, dimana umumnya masyarakat hidup berdekatan dengan hewan
ternak mereka. Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh subdit zoonosis Ditjen PPM-PL,
Depkes RI dalam kurun waktu tahun 1993-2000, terlihat bahwa spesimen positif JE pada
manusia ditemukan di 14 propinsi yang tersebar diseluruh indonesia (Bali, Riau, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Lampung, NTB, sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, NTT,
Papua). 3
Sebagai penyakit zoonis kehidupan JEV sangat memerlukan hewan vertebra seperti
babi sebagai resevoir dan nyamuk Culex sebagai vektornya. Infeksi pada manusia timbul
secara kebetulan terutama pada orang yang tinggal dekat dengan resevoir dan vektornya
cukup banyak misalnya di pedeaan, didaerah pertanian yang memakai irigasi pengairan. 3

PATOGENESIS
Segera setelah Culex yang infektif mengigit manusia yang rentan, virus menuju
sistem getah bening sekitar tempat gigitan nyamuk (kelenjar regional) dan berkembang biak,
kemudian masuk ke peredaran darah dan menimbulkan viremia pertama. Viremia ini sangat
ringan dan berlangsung sebentar. Melalui aliran darah virus menyebar ke organ tubuh seperti
susunan saraf pusat dan organ ekstraneural. Didalam organ ekstraneural inilah virus
berkembang biak, hanya saja tidak diketahui dengan pasti organ ekstraneural tersebut. Virus
dilepaskan masuk ke dalam peredaran darah menyebabkan viremia kedua yang bersamaan
dengan penyebaran infeksi dijaringan dan menimbulkan gejala penyakit sistemik. 3
17
Bagaimana cara virus dapat menembus sawar darah otak tidak diketahui dengan pasti,
namun diduga setelah terjadinya viremia virus menembus dan berkembang biak pada sel
endotel vaskuler dengan cara endositosis, sehingga dapat menembus sawar darah otak.
Setelah mencapai jaringan susunan saraf pusat, virus berkembang didalam sel dengan cepat
pada retikulum enndoplasma yang kasar serta badan golgi dan setelah itu menghancurkannya.
Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitas sel neuron, glia dan endotel meningkat,
mengakibatkan cairan diluar sel mudah masuk kedalam sel dan timbullah edema sitotoksik.
Adanya edema dan kerusakan susunan saraf pusat ini memberikan maniesfeetasi kilnis
berupa ensefalitis. Area otak yang terkena dapat pada thalamus, ganglia basalis, batang otak,
serebelum, hipokampus dan korteks serebral. 3
Disisi lain JEV sebagai virus yang tergolong neurotropik mungkin dapat
menimbulkan kerusakan jaringan saraf dengan jalan seperti apa yang terjadi pada virus
neurotropik lainnya, yaitu setelah masuk virus ke tubuh manusia terutama setelah viremia
yang kedua, tubuh manusia membentuk kompleks antigen antibodi antivirus. Antibodi ini
bereaksi dengan antigen membentuk kompleks antigen antibodi yang beredar dalam darah
dan masuk ke susunan saraf pusat. Didalam susunan saraf pusat menimbulkan proses
inflamasi dengan akibat timbulnya edema dan selanjutnya terjadi anoksia, yang pada
akhirnya terjadi kematian sel susunan saraf pusat yang luas. 4

MORTALITAS DAN MORBIDITAS

18
Rasio laki- laki: perempuan yang terinfeksi adalah 1,5:1 untuk gejala simtomatik, dan
hanya 1 dari setiap 250 infeksi akan memberikan gejala simtomatik. Dalam 1 tahun terdapat
33- 50% pasien dengan gejala simtomatik meninggalkan gejala sisa neurologis berupa
kejang, parase saraf kranial atau motorik, atau kelainan gerakan. Mortalitas dengan
penanganan intensif sebesar 5- 10%, bahkan dinegara berkembang tingkat mortalitas dapat
mencapai 35%, diseluruh dunia dilaporkan 10.000 kematian setiap tahunnya. 8

MANISFETASI KLINIS

Gejala klinis JE tidak berbeda secara klinis dengan ensefalitis yang disebabkan oleh
virus lain. Namun bervariasi tergantung dari berat ringannya kelainan saraf pusat, umur dan
lain- lain. Spektrum penyakit dapat berupa hanya demam disertai nyeri kepala, meningitis
aseptik, dan meningoensefalitis. Masa inkubasi 4-14hari, setelah itu perjalanan penyakit akan
melalui 4 stadium klinis yaitu:

Stadium prodormal
Terjadinya penyakit ini agak cepat. Stadium prodormal berlangsung 2-3hari dimulai
dari keluhan sampai timbulnya gejala terserangnya susunan saraf pusat. Gejala yang sangat
dominan adalah demam, nyeri kepala, dengan atau tanpa mengigil. Gejala lain berupa
malaise, anoreksia, keluhan dari traktus respiratory seperti batuk, pilek dan keluhan
gastrointestinal seperti mual, muntah, nyeri didaerah epigastrium. Nyeri kepala dirasakan
didahi atau seluruh kepala, biasanya hebat dan tidak bisa dihilangkan dengan pemberian
analgesik. Demam selalu ada dan tidak mudah diturunkan dengan obat antipiretik. Namun
mungkin saja pasie JE hanya mengalami demam ringan atau gangguan pernafasan ringan. 3

Stadium akut
Stadium akut dapat berlangsung 3-4 hari, ditandai dengan demam tinggi yang tidak
turun dengan pemberian antipiretik. Apabila selaput otak telah terinfeksi dan membengkak
maka pasien akan merasakan nyeri dan kekakuan pada leher. Pasien mulai merasakan
dampak dari pembengkakan jaringan otak dan peningkatan tekanan intrakranial.
Gejala TIK meninggi berupa gangguan kesimbangan dan koordinasi, kelemahan otot-
otot, tremor, kekakuan pada wajah (wajah seprti topeng), nyeri kepala, mual, muntah, kejang,
penurunan kesadaran dari apatis hingga koma. Iritasi meningens berupa kuduk kaku,
biasanya timbul 1-3 hari swetelah sakit. Demam tetap tinggi, kontinu dan lamanya demam
19
dari permulaan penyakit berlangsung 7-8hari. Otot- otot kaku dan terdapat pula kelemahan
otot. Kelemahan otot menyeluruh timbul pada minggu ke-2 atau minggu ke- 3, bila
berlangsung hebat dan luas kadang- kadang memerlukan istirahat lama, bahkan dapat
menetap sampai kebanyakan gejala lain mereda. Kelainan saraf central , paresis, refleks deep
tendon meningkat atau menurun dan refleks patologis babinsky positif. 3
Pada kasus ringan mulai penyakitnya perlahan- lahan, demam tidak tinggi, nyeri
kepala ringan, demam akan menghilang pada hari ke-6 atau hari ke-7 dan kelainan neurologik
menyembuh pada akhir minggu ke-2 setelah mulainya penyakit. Pada kasus berat,
awitanpenyakit sangat akut, kejang menyerupai epilepsi , hiperpireksia, kelainan neurologik
yang progresif, penyulit kardiorespirasi dan koma, diakhiri dengan kematian pada hari ke- 7
dan ke-10 atau pasien hidup dan membaik dalam jangka waktu yang lama, kadang- kadang
terkena penyulit bakteri dan meninggalkan gejala sisa permanen. 3
Tanda yang agak khas dari JE adalah terjadinya perubahan gejala susunan saraf pusat
yang cepat, misalnya penderita hiperefleksi diikuti dengan hiporefleksi. Status kesadaran
pasien dapat bervariasi dari disorientasi , delirium, somnolen dan koma. Dapat disertai
oliguria, diare dan bradikardi relatif. Pada stadium ini pemeriksaan pada cairan serebrospinal
menunjukan leukositosis yang pada awalnya didominasi oleh sel PMN tetapi setelah
beberapa hari limfositosis. Albuminuria sering ditemukan. Apabila penderita dapat melalui
stadium ini, maka demam akan turun pada hari sakit ke-7 dan gejala akan menghilang pada
hari ke-14. Apabila tidak, demam akan tetap tinggi dan gejala memburuk. Pada kasus yang
fatal, perjalanan penyakit berlangsung cepat, penderita mengalami komadan meninggal
dalam 10hari. 3

Stadium sub akut

Pada stadium sub akut, gejala gangguan susunan saraf pusat berkurang namun
seringkali pasien menghadapi masalah pneumonia ortostatik, ISK dan dekubitus. Gangguan
fungsi saraf dapat menetap, seperti paralisis spastik, hipotrofi otot, sebagai akibat perawatan
lama dan pemasangan kateter urin, fasikulasi, gangguan saraf kranial dan gangguan
ektrapiramidal. 3

Stadium konvalesens

20
Stadium konvalesens berlangsung lama dan ditandai kelemahan, letargi, ganguan
koordinasi, tremor dan neurosis. Berat badan dapat sangat menurun. Stadium ini dimulai saat
menghilangnya inflamasi yaitu pada saat suhu kembali normal. Gejal neurologik bisa
menetap dan cenderung membaik. Bila penyakit JE berat dan berlangsung lama maka
penyembuhannya lebih lambat, tidak jarang sisa gangguan neurologik berlangsung lama.
Pasien menjadi kurus dan kurang gizi. Gejala sisa yang sering dijumpai ialah gangguan
mental berupa emosi tidak stabil, paralisis upper atau lower motor neuron. 3

Sekuele atau gejala sisa

Sekuele atau gejala sisa ditemukan pada 5- 70%kasus, umumnya padaanak usia
dibawah 10 tahun, dan pada bayi akan lebih berat. Kekerapan terjadinya sekuele berhubungan
langsung dengan beratnya penyakit. Sekuele tersebut dapat berupa gangguan pada:
1. Sistem motorik : motorik halus (72%), kelumpuhan (44%), gerakan abnormal (8%)
2. Perilaku : agresif (72%), emosi tak stabil (72%), gangguan perhatian(55%), depresi
(38%)
3. Intelektual : abnormal (72%), retardasi(22%)
4. Fungsi neurologi lain: gangguan ingatan (46%), afasia (38%), epilepsi (20%),
paralisis saraf kranial(16%) dan kebutaan (2%).

Seleksi kasus JE berdasarkan kriteria WHO (1979), dikutip dari lubis:


 Demam lebih dari 380C
 Gejala rangsang meningeal (kaku kuduk, Laseque, kernique, Brudzinsky I dan II)
 Gejala rangsang korteks (kejang, gerakan involunter)
 Gangguan keesadaran (disorientasi, delirium, somnolen sampai koma)
 Gangguan saraf otak (terutama N.IX dan N.X berupa suara pelan dan parau)
 Gejala piramidal ( kelumpuhan) dan ektrapiramidal (kekakuan otot dan gerakan
involunter)
 Cairan otak jernih, protein positif, glukosa , 100mg/dl) 3

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

21
A. Pemeriksaan darah

Pemeriksan darah akan ditemukan anemia dan leukositosis ringan, rata- rata
13.000/mL, polimorffonuklear lebih banyak daripada mononuklear,
trombositopenia ringan dan peningkatkan laju endap darah. Natrium serum darah
dapat menurun karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak adekuat. 7
B. Pemeriksaan cairan serebrospinal

Pada pemeriksaan cairan serebrospinal tampak jernih sampai opalense, tergantung


dari jumlah leukosit, pleositosis bervariasi antara 20- 50.000/mL. Pada beberapa
hari pertama tampak neutrofil dan limfosit, tetapi setelah itu tampak limfosit
dominan, kadar glukosa normal atau menurun, sedangkan kadar protein
meningkat 50- 100 mg/dL. Cairan serebrospinal jarang mengandung virus kecuali
pada kasus- kasus berat dan fatal. 7

C. Uji serologi

Adanya lebih satu flavivirus yang bersirkulasi secara bersamaan dalam darah
dengan antibodi yang dapat bereaksi silang, menimbulkan tantangan bagi uji
serologi untuk dapat mendeteksi JE, dan membedakannya dengan flavivirus lain.
Uji diagnostik baku untuk JE adalah pemeriksaan IgM Capture dengan cara
ELISA (Enzime Linked Imunno Sorbent Assay) dari serum atau cairan
serebrospinal. Sensitivitasnya mendekati 100%, bila kedua bahan tersebut
diperiksa. Beberapa reaksi silang dapat timbul dari flavivirus lain misalnya virus
dengue, virus West Nile dan pasca vaksinasi JE dan demam kuning .

2. PEMERIKSAAN KONFIRMASI
A. Isolasi virus

Isolasi JE jarang didapat dari darah dan cairan serebrospinal tetapi lebih sering
dari jaringan otak. Dari darah JEV dapat diisolasi selama stadium akut, sedangkan
dari CSS virus dapat diisolasi pada permulaan ensefalitis. Bila pada otopsi
didapatkan jaringan otak segar, JEV cukup banyak dapat diperoleh dari kasus
yang meninggal pada minggu pertama sakit. Spsesimen jaringan otak diinokulasi
intraserebral pada mencit yang baru lahir dan kemudian harus diidentifikasikan

22
dengan uji serologik dengan anti serum yang telah diketahui. Isolasi JEV untuk
kepentingan diagnostik kurang praktis biasany dilakukan untuk penelitian. 10

B. Pemeriksaan RT- PCR

Deteksi RNA virus JE dapat dilakukan dengan menggunakan Reverse


transcription PCR amflification (RT- PCR). Pada metode ini terlebih dahulu
dilakukan transkripsi terbalik RNA sasaran menjadi DNA komplemen kemudian
dilakukan amplikasi. Dengan menggunakan oligonukleotida yang spsesifik JE
cara ini dapat mendeteksi RNA virus JE dalam jumlah yang sangat sedikit.
Kelemahan metode ini adalah sangat mahal serta memerlukan teknik dan
peralatan yang rumit. Deteksi RNA virus hanya bermanfaat bila dilakukan pada
fase viremia, karena bila viremia telah berakhir, maka RT-PCR akan memberikan
hasil negatif.spesisimen untuk pemeriksaan ini bisa dari darah atau cairan
serebrospinal dan dilakukan pada minggu pertama sakit. 10

DIAGNOSIS BANDING

Manisfestasi klinis JE dapat pula ditemukan pada penyakit lain terutama yang
berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat, yaitu malaria serebral, meningitis bakteri,
meningitis aseptik, kejang demam, ensefalitis oleh flaviviruslain, rabies, sindrom reye, dan
enselofati toksik. 3
Beberapa diagnosis banding dapat disingkirkan dengan adanya tanda atau gejala yang
khas atau pemeriksaan khusus, misalnya :
 Meningtis TBC : uji mantoux positif, biakan BTA dari cairan serebrospinal positif
 Meningitis Bakterial: cairan serebrospinal purulen
 Herpes zoster : kelumpuhan saraf kranial satu sisi
 Leptospirosis: ikterus, hepatosplenomegali

23
Ensefalitis Herpes Simplek

Insiden HSE mencapai 2000 kasus setiap tahunnya di USA. HSV-1 meliputi lebih
dari 90% kasus HSE pada anak dan dewasa. HSV-2 terbanyak terjadi pada neonatal dan
orang dewasa tertentu. Tidak seperti HSV-1, HSV-2 merupakan penyebab umum meningitis
aseptik (biasanya pada pasien dengan herpes genital primer). Keduanya sering dihubungkan
dengan meningitis rekuren (meningitis Mollaret). Ensefalitis herpes simplek (HSE)
disebabkan oleh virus herpes simplek dan merupakan ensefalitis yang tersering menimbulkan
kematian. Angka kematian 70% dan hanya 2,5% pasien kembali normal bila tidak diobati.
EHS mendapat perhatian khusus karena dapat diobati, keberhasilan pengobatan ensefalitis
herpes simplek tergantung pada diagnosis dini dan waktu memulai pengobatan. Virus herpes
simplek tipe 1 umumnya ditemukan pada anak, sedangkan tipe 2 banyak ditemukan pada
neonatus. 1
HSE pada neonatal disebabkan penyebaran infeksi HSV-2 pada bayi baru lahir saat
melewati genital. Secara patologi, HSE merupakan ensefalitis dengan proses nekrotis akut,
dan predileksi di frontotemporal, cinguli dan korteks insular. Tidak terdapat gejala dan tanda
yang spesifik maupun sensitif untuk HSE. Riwayat penyakit demam dan luka di labia tidak
selalu ada. Onset umumnya cepat dan gejala klinis progresif dalam beberapa hari. Perubahan
kepribadian sukar untuk diamati, kejang sering terjadi umumnya parsial kompleks dan jarang
berkembang menjadi umum. Defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, afasia, muncul jika
HSE tidak diobati, dan dapat berkembang menjadi koma. Pada suatu analisis klinik patologi
retrospektif terhadap 46 kasus HSE, gejala saat masuk RS adalah gejala menyerupai
24
influenza (48%), sakit kepala mendadak, penurunan kesadaran (52%), kaku kuduk (65%),
afasia atau bisu (46%), koma dalam (35%), peningkatan tekanan intrakranial (33%), gejala
neurologis fokal (89%), dan kejang (61%). Sepertiga kasus terjadi pada pasien dibawah 20
2
tahun dan setengah kasus terjadi pada pasien diatas 50 tahun.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Ensefalitis herpes simplek dapat bersifat akut atau subakut.
 Fase prodormal menyerupai influenza, kemudian diikuti dengan gambaran khas
ensefalitis (demam tinggi, kejang, penurunan kesadaran).
 Sakit kepala, mual, muntah, atau perubahan perilaku.

Pemeriksaan fisik
Kesadaran menurun merupakan berupa sopor koma sampai koma (40% kasus) dan gejala
peningkatan tekanan intrakranial. Hampir 80% memperlihatkan gejala neurologi fokal berupa
hemiparesis, paresis nervus kranialis, kehilangan lapang penglihatan, afasia dan kejang fokal.
Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper motor neuron
(spastis, hiperrefleks patologis, dan klonus). 8

7
Pemeriksaan penunjang
 Gambaran darah tepi tidak spesifik
 Pemeriksaan cairan serebrospinal memperlihatkan jumlah sel meningkat (90%) yang
berkisar antara 10- 1000 sel/mm3 dengan predominan limfosit. Pada 50% kasus dapat
ditemukan sel darah merah. Protein meningkat sedikit sampai 100mg/dL sedangkan
glukosa normal.
 Elektroensefalografi (EEG) dapat memperlihatkan gambaran yangg khas yaitu
periodic lateralizing epileptiform discharge atau perlambatan fokal di area temporal

25
atau frontotemporal. Sering juga EEG memperlihatkan gambaran perlambatan umum
yang tidak spesifik.
 Computed tomograpy (CT-Scan) kepala tetap normal dalam tiga hari pertama setelah
timbulnya gejala neurologi, kemudian lesi hipodens muncul di regio frontotemporal.
 Magnetic resonance imaging (MRI) dapat memperlihatkan lesi hiperdens di regio
temporal paling cepat 2hari setelah munculnya gejala. Dapat pula memperlihatkan
peningkatan intensitas signal pada daerah korteks dan substansia alba pada daerah
temporal dan lobus frontalis inferior.
 Polymerase chain reaction (PCR) likuor dapat mendeteksi titer antibodi virus herpes
simplek (VHS) dengan cepat. PCR menjadi positif segera setelah timbulnya gejala
dan pada sebagian besar kasus tetap positif segera setelah timbulnya gejala dan pada
sebagian besar kasus tetap positif selama 2minggu atau lebih.
 Pemeriksaan titer serum darah terhadap IgM- IgG HSV-1 dan HSV-2 dapat
menunjang diagnosis walaupun tidak dapat menyingkirkan diagnosis pasti.

Pada ensefalitis karena virus Herpes simpleks yang menjadi ciri khas ialah
progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam, dan muntah-
muntah, kemudian timbul gangguan kesadaran ( ”acute organic brain syndrome” ) yang cepat
memburuk sampai koma. Sebelum koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. 9

Penegakan diagnosis HSE merupakan kombinasi dari gejala klinis dan penemuan
laboratorium. Leukosit perifer dapat meningkat dengan pergeseran ke kiri. Sejumlah 50%
pasien HSE memiliki kelainan pada CT scan kepala tanpa kontras, dan 50% dari terdapat
midline shift. Ct scan kepala dalam 4-5 hari pertama gejala klinis sering kali normal. MRI
merupakan pemeriksaan pencitraan yang paling sensitif tidak saja untuk penegakan
diagnosis dini tapi juga untuk mengetahui letak dan seberapa luas lesi. Gambaran yang
terlihat pada MRI adalah adanya udem fokal pada daerah medial lobus temporal, permukaan
orbital dari lobus frontal, korteks insular, dan girus singuli .MRI merupakan pencitraan
pilihan dalam HSE dan dianjurkan sebagai pemeriksaan pertama setelah pemeriksaan fisik.
EEG seringkali abnormal dalam banyak kasus. LCS dapat normal atau terjadi peningkatan
tekanan, menunjukkan limfositosis pleositik (10-200 sel/mm3), glukosa normal dan
peningkatan protein (0,6 – 6 gr/L) pada beberapa kasus terdapat eritrosit pada LCS (10 – 500
sel/mm3) dan sedikit kasus menunjukkan hypoglycorrhacia (2 – 2,5 mmol/L). PCR pada LCS
100% spesifik dan sensitivitas melebihi 90%. Negatif palsu sangat jarang terjadi dan

26
umumnya disebabkan pengambilan LCS yang terlalu awal (24 – 48 jam pertama) atau terlalu
lambat (setelah 10 – 14 hari), setelah pemberian terapi acyclovir, terdapat
heparin/hemoglobin pada LCS atau jika proses penyimpanan dan pengiriman LCS ke

laboratorium terlalu lama.

27
Ensefalitis CMV

Cytomegalovirus (CMV) merupakan anggota keluarga virus herpes. Infeksi CMV


umumnya berjalan asimtomatik pada penderita dengan system imun tubuh yang baik, namun
apabila individu berada dalam kondisi imun belum matang (misalnya janin, bayi baru lahir),
tertekan (memakai obat immunosupressan), atau lemah (misalnya menderita kanker, human
immunodeficiency virus, dan lain-lain), dapat menimbulkan gejala klinik yang nyata dan
berat. Setelah infeksi yang pertama kali, virus tersebut dapat terus hidup dengan status "laten"
dalam tubuh penderita selama bertahun - tahun. Infeksi CMV bersifat sistemik, menyerang
berbagai organ tubuh dan dapat meningkatkan proses inflamasi, memacu respons autoimun,
terlibat dalam patogenesis aterosklerosis, memacu timbulnya dan mempercepat progresivitas
keganasan, menyebabkan infertilitas.

CMV dapat mengenai hampir semua organ dan menyebabkan hampir semua jenis infeksi.
Organ yang bisa terkena CMV adalah:

 Ginjal, sehingga disebut CMV nefritis


 Hati, sehingga disebut CMV hepatitis
 Jantung, sehingga disebut CMV myocarditis
 Paru-paru, sehingga disebut CMV pneumonitis
 Mata, sehingga disebut CMV retinitis
 Lambung, sehingga disebut CMV gastritis
 Usus, sehingga disebut CMV colitis
 Otak, sehingga disebut CMV encephalitis

CMV dapat menular melalui (pertukaran) cairan tubuh misal air seni, air liur, darah,
air mata, air mani, dan air susu ibu. Penularan virus ini berlangsung cepat tanpa tanda-tanda
atau gejala. Akibat dari terinfeksi CMV dapat ringan namun juga dapat amat berbahaya.
Gejala dapat bervariasi mulai dari amat berat hingga gejala minimal, bahkan ada juga yang
tanpa gejala. Karena dapat menyerang hampir semua organ, gejalanya sangat bervariasi
28
tergantung dari organ yang diserang. Biasanya CMV menyebabkan demam, penurunan
jumlah sel darah putih (leukopenia) dan letih- lesu. Gejalanya dapat ringan hingga berat.
Kreatinin dapat meningkat pada pasien cangkok ginjal dengan infeksi CMV. Infeksi pada
paru-paru menimbulkan sesak dan batuk. Pada sistem cerna seperti misalnya lambung dan
usus, infeksi CMV menyebabkan mual, muntah dan diare. Ensefalitis (otak) CMV dapat
menyebakan kejang, nyeri kepal, dan koma. Apabila penderita sedang hamil, CMV bisa
menginfeksi janin dan mengakibatkan gangguan pada organ tertentu janin. Virus CMV pada
wanita hamil dapat berakibat pada janin yang dikandungnya dengan manifestasi berbeda-
beda, misalnya kulit berwarna kuning, pembesaran hati dan limpa, kerusakan atau hambatan
pembentukan organ tubuh seperti mata, otak, gangguan mental, dan lain-lain tergantung
organ janin mana yang diserang. Umumnya janin yang terinfeksi CMV lahir prematur dan
berat badan lahir rendah. Virus CMV biasa menghinggapi pasien cangkok organ pasca
transplantasi karena biasanya para pasien ini diberikan obat-obatan yang menekan sistem
kekebalan tubuh. Pemberian obat ini dimaksudkan supaya sistem kekebalan tubuh pasien
operasi cangkok organ tidak menyerang organ baru yang dicangkokkan. Efek samping dari
penekanan sistem kekebalan tubuh ini adalah ketidakmampuan tubuh untuk melawan infeksi,
termasuk serangan CMV. Pada pasien dengan sistem kekebalan yang tertekan (rendah),
Penyakit yang berhubungan dengan CMV mungkin dapat lebih agresif. CMV hepatitis dapat
menyebabkan kegagalan hati secara tiba-tiba dan cepat. Penyakit lainnya terdapat pada
orang-orang yang menderita cytomegalovirus retinitis (radang pada retina mata) dan
cytomegalovirus colitis (radang usus besar). Kebanyakan infeksi yang ada tidak terdiagnosa
karena CMV seringkali menampakkan sedikit gejala, bahkan bisa juga tanpa gejala.
Diagnosis pasti CMV ditetapkan berdasarkan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain
Reaction) yang mendeteksi keberadaan DNA (materi genetik) virus CMV dalam darah.
Disamping itu, infeksi CMV juga ditetapkan dengan pemeriksaan kadar antibodi IgG dan
IgM.

Ensefalitis CMV jarang dijumpai pada subyek normal, namun sering terdapat pada
neonatus dan imunosupresi. Pada sebuah studi otopsi, 12% dari pasien terinfeksi HIV dan 2%
dari penerima transplantasi menderita ensefalitis CMV. Pada pasien dengan imunokompeten,
ensefalitis CMV biasanya self limiting, dengan gejala episode demam dan gejala klinis yang
non spesifik dari meningoensefalitis (sakit kepala, bingung, kejang, disfasia dan koma). LCS
menunjukkan gambaran pleositosis, peningkatan protein ringan dan kadar glukosa normal.
Kasus dimana terjadi bersamaan ensefalitis CMV dan HSV pernah dilaporkan pada penderita

29
dengan imunokompeten dan imunokompromais. Ensefalitis CMV umum ditemukan pada
penderita terinfeksi HIV, biasanya dalam infeksi CMV sistemik, radikulomielitis CMV, atau
retinitis. Kelainan neurologis yang khas adalah ventrikulo ensefalitis dan hampir separuhnya
bersamaan dengan ensefalopati akibat HIV, ensefalitis toxoplasmik atau limfoma sistem
saraf pusat primer. Gambaran klinis ensefalitis CMV pada imunosupresi umumnya
didominasi oleh kelemahan dan bingung yang dengan cepat dapat menjadi koma atau bahkan
meninggal. Pleositosis PMN pada LCS hanya terdapat pada pasien dengan disertai
radikulomielitis dimana pleositosis umumnya didominasi mononuklear. Kadar protein
umumnya tinggi (> 1 gr/L) dan kultur virus pada LCS negatif pada penderita AIDS dan
ensefalitis CMV. Sensitivitas PCR pada LCS untuk mendeteksi ensefalitis CMV 79% dengan
spesifisitas 95%. PCR sebagai alat diagnostik untuk ensefalitis CMV dianggap terlalu sensitif
sehingga dapat mendeteksi CMV pada pasien terinfeksi HIV yang tidak menderita ensefalitis.

Ensefalitis Virus Nipah

Ensefalitis virus nipah pertama kali ditemukan pada peternak babi di Malaysia
antara tahun 1998-1999 dan dijumpai pula pada para pekerja di Singapura. Contoh
LCS dari penderita menunjukkan paramyxovirus baru (disebut virus Nipah). Virus ini
mirip, namun tidak identik dengan virus hewan lain (virus Hendra) yang sebelumnya
telah menyerang kuda dan 3 pasien di Australia. Ensefalitis virus nipah adalah
ensefalitis epizoonotik berskala luas pertama yang ditransmisikan secara langsung
dari hewan ke manusia, tidak seperti ensefalitis zoonotik lainnya (sebagai contoh
ensefalitis Japanese, ensefalitis virus West Nile, ensefalitis virus Eastern equine),
yang membutuhkan vektor. Lebih dari 200 orang terkena di Malaysia dan wabah ini
merusak industri peternakan babi di negara ini. Babi yang terkena meninggal secara
mendadak dan tidak wajar. Pada manusia gejala didahului dengan riwayat kontak
langsung dengan babi di peternakan, masa inkubasi yang pendek (2 minggu),
penurunan keasadaran yang cepat, disfungsi batang otak prominen dan angka
kematian yang tinggi. Gejala klinis adalah mioklonus segmental, arefleksia, hipotoni,
dan disotonomia (hipertensi dan takikardi). Penemuan abnormal pada LCS mencapai
75% kasus, EEG menunjukkan gelombang lambat difus dengan abnormalitas fokal di
daerah temporal (75%), CT scan kepala umumnya normal dan MRI pada fase akut
menunjukkan lesi fokal yang tersebar luas di subkortikal dan area abu-abu.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Lazoff, M., et al, Encephalitis. Medscape Refference. 2011. Available from


http://emedicine.medscape.com/article/791896

2. Soedarmo, S.S.P., Herpes Simpleks. Dalam: Soedarmo, S.S.P.,Garna H. Infeksi&


Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI. 2010.143-154.

3. Saharso, D., Hidayati, S. N., Japanese Ensefalitis. Dalam: Soedarmo, S.S.P.,Garna H.


Infeksi& Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI. 2010.259-269

4. Hom, Jeffrey. Pediatric Meningitis and Encephalitis. Department of


Pediatrics/Emergency Service. 2011. New York University School of Medicine.
Available from http://emedicine.medscape.com/article/802760

5. Ebaugh, Franklin, G., Neuropsychiatric Sequelae of Acute Epidemic Encephalitis in


children. Journal of Attention Disorders. 2007. SAGE publication.

6. Prober Charles, G. Infeksi Sistem Saraf Pusat. Dalam: Dalam: Richard E, Behrman,
Robert M, Kliegman, Hal B, Jenson, Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition, USA:
Elsevier. 2007. Chapter 169.2

7. Sastroasmoro, S. Ensefalitis. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan


Anak. Jakarta: RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007

8. Yoserizal, M. Ensefalitis. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Jakarta:


2004.

9. Kumar, V., Abbas, A., Fausto, N., Robins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 7th
Edition. Elsevier. 2007;1372-1374

10. Lewis, P., Glacor, C., Encephalitis. American Academic of Pediatrics: Pediatrics in
Review. 2005:26;353-363

31

Anda mungkin juga menyukai