Anda di halaman 1dari 10

ALIRAN FILSAFAT ESSENSIALISME, PERENIALISME,

DAN EKSISTENSIALISME
MAKALAH

Dipersentasikan Untuk Memenuhi tugas kelompok

“Filsafat Pendidikan”

Disusun oleh kelompok IV

HAbib Abdurrahman : 2018.2273

Al Amin Ritonga : 2018.2252

Dosen pengampu :

Syafrul Nalus, M.Pd

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN

ILMU AL-QUR’AN SUMATERA BARAT

TAHUN 1441 H/2020 M


A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Filsafat pendidikan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke akar-
akarnya mengenai pedidikan. Para filsuf melalui filsafat pendidikannya berusaha menggali ide-
ide baru tentang pendidikan, yang menurut pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran
kewajaran pesrta didik maupun ditinjau dari latar geografis, sosiologis maupun budaya suatu
bangsa. Dari sudut pandang keberadaan manusia akan menimbulkan aliaran perenialis, realis,
empiris, naturalis dan eksistensialis. Sedangkan dari sudut geografis, sosiologis dan budaya akan
menimbulkan aliran essensialis, tradisionalis, progresivis dan rekontruksionis.

Berbagai aliran filsafat tersebut diatas member dampak trciptanya konsep-konsep atau teori-
teori pendidikan yang beragam. Masing-masing konsep akan mendukung masing-masing filsafat
pendidikan itu. Dalam membangun teori-teori pendidikan, filsafat pendidikan juga mengingatkan
agar teori-teori itu diwujudkan diatas kebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Dengan
kata lain, teori-teori pendidikan harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah.

2. Rumusan Masalah
a. Aliran filsafat essensialisme
b. Aliran filsafat perenialisme
c. Aliran filsafat eksistensialisme.

1
B. PEMBAHASAN
1. Aliran Essensialisme

Essensialisme muncul pada zaman Renaissans, dengan ciri-ciri utamanya yang berbeda
dengan Progressivisme. Perbedaan ini terutama dalam memberikan dasar berpijak mengenai
pendidikan yang penuh fleksibelitas, di mana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak
ada keterikatan dengan doktrin tertentu. Bagi Essensialisme, pendidikan yang berpijak pada
dasar pandangan itu mudah goyah dan kurang terarah. Karena itu essensialisme memandang
bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasandan tahan lama,
sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.1

Essensialisme didasari atas pandangan Humanisme yang merupakan reaksi terhadap


hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah dan materialistik. Selain itu juga diwarnai.
oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran Idealisme dan Realisme. Essensialisme
menghendaki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai-nilai yang esensial, yaitu yang
telah teruji oleh waktu, bersifat menuntun dan telah turun menurun dari zaman ke zaman, dengan
mengambil zaman renaisanse sebagai permulaan.

Pandangan filsafat pendidikan Essensialisme dapat ditelusuri dari aliran filsafat yang
menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama, karena kebudayaan lama telah
banyak melakukan kebaikan untuk manusia. Kebudayaan lama dimaksud telah ada semenjak
peradaban umat manusia terdahulu, terutama semenjak zaman Renaissance mulai tumbuh dan
berkembang dengan megahnya. Kebudayaan lama melakukan usaha untuk menghidupkan
kembali ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kesenian zaman Yunani dan Romawi kuno.
Essensialisme merupakan gerakan pendidikan yang bertumpu pada mazhab fllsafat Idealisme
dan Realisme. Pada aliran Idealisme pendidikan diarahkan pada upaya pengembangan
kepribadian anak didik sesuai dengan kebenaran yang berasal dari atas yaitu dari dunia
supranatural, yaitu Tuhan. Sedangkan aliran fllsafat Realisme berpendapat bahwa upaya
pendidikan harus diarahkan pada upaya menguasai pengetahuan yang sudah mantap sebagai
hasil penelitian ilmiah yang dituangkan secara sistimatis dalam berbagai disiplin atau mata
pelajaran.2

1
M Noorsyam, (1978), Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang: IKIP Malang, h.34-35
2
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005. H.26

2
Dalam rangka mempertahankan pahamnya itu, khususnya dari persaingan dengan paham
Progressivisme, tokoh-tokoh Essensialisme mendirikan suatu organisasi yang bernama
“Essentialist Committee for the Advancement of Education” pada tahun 1930. Melalui
organisasinya inilah pandangan-pandangan Essensialisme dikembangkan dalam dunia
pendidikan. Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa Essensialisme mempunyai pandangan
yang dipengaruhi oleh paham Idealisme dan Realisme, maka konsep-konsepnya tentang
pendidikan sedikit banyak ikut diwarnai oleh konsep-konsep Idealisme dan Realisme. Tujuan
umum aliran Essensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi
pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu
menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi Essensialisme merupakan semacam
miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka
dalam sejarah perkembangannya, kurikulum Essensialisme menerapkan berbagai pola
kurikulum, seperti pola Idealisme, Realisme dan sebagainya.3 Sehingga peranan sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan social
yang ada di masyarakat.

Tokoh aliran pendidikan Essensialisme, William C. Bagley, memandang pendidikan


sebagai proses utama dalam penanaman fakta-fakta, melibatkan rentangan mata pelajaran yang
relatif sempit yang merupakan inti belajar yang efektif. Filsuf-filsuf besar Idealisme peletak
dasar asas-asas Essensialisme yaitu Plato (zaman klasik), dan Idealisme modern adalah Leibniz,
Immanuel Kant, Hegel, dan Schopenhauer.4 Filsuf-filsuf besar Realisme pada zaman klasik
peletak dasar Essensialisme adalah Aristoteles dan Democritos. Sedangkan Realisme modern
adalah Thomas Hoobes, John Locke, G. Barkeley, dan David Hume.5

2. Aliran Perennialisme

Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced learner's
Dictionary of Current English diartikan sebagai "continuing throughout the whole year" atau

3
Muhammad Noor Syam, op. cit., h.153
4
Wahyudin Dinn dkk, (2008), Pengantar Pendidikan, Edisi pertama, cetakan ketiga, Jakarta: Universitas
Terbuka H. 15
5
Ibid

3
"Lasting for a very long time". Dari makna yang terkandung dalam kata itu aliran Perennialisme
mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat kekal abadi.6 Aliran filsafat Perenialisme menegaskan bahwa pendidikan diarahkan pada
upaya pengembangan kemampuan intelektual anak didik melalui pemberian pengetahuan yang
bersifat abadi, universal, dan absolut.7

Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modem telah menimbulkan
banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini
perennialisme memberikan jalan keluar berupa "kembali kepada kebudayaan masa lampau
regressive road to culture. Oleh sebab itu Perennialisme memandang penting peranan
pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada
kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan yang telah terpuji ketangguhannya.
Sikap kembali pada masa lampau bukanlah berarti nostalgia sikap yang membanggakan
kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asas abad silam yang juga diperlukan
dalam kehidupan abad modern. Asas yang dianut Perennialisme bersumber pada filsafat
kebudayaan yang berkiblat dua, yaitu (a) Perennialisme yang theologies bernaung di bawah
supremasi gereja Katolik, dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas-dan (b)
Perennialisme sekuler berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.

Perenialisme berpendapat bahwa untuk mengatasi gangguan kebudayaan, diperlukan


usaha untuk menemukan dan mengamankan lingkungan sosiokultural, intelektual dan moral, dan
inilah yang menjadi tugas filsafat dan filsafat pendidikan. Adapun jalan yang ditempuh adalah
dengan cara regresif yakni kembali kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar tingkat
pada zaman kuno dan abad pertengahan. Prinsip umum yang ideal itu berhubungan dengan nilai
ilmu pengetahuan, realita dan moral yang mempunyai peranan penting dan pemegang kunci bagi
keberhasilan pembangunan kebudayaan pada abad ini. Prinsip yang bersifat eksiomatis ini tidak
terikat Waktu dan tetap berlaku dalam perjalanan sejarah.

Di bidang pendidikan, Perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya: Plato,


Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai adalah manifestasi dari pada hukum universal yang abadi dan sempuma, yakni

6
Ibid, h.27
7
Abuddin Nata, loc.cit, h. 26.

4
ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif
dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah "membina pemimpin yang sadar
dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan.

Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan dan
pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar supaya
kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato itu
dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan. Bagi
Aristoteles, tujuan pendidikan adalah "kebahagiaan". Untuk mencapai tujuan pendidikan itu,
maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang. Seperti halnya
prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles, tujuan pendidikan yang dimulai oleh Thomas Aquinas
adalah sebagai "Usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas"
aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar-memberi bantuan pada anak didik
untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya. Prinsip-prinsip pendidikan
Perenialisme tersebut perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti
pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi dan pendidikan orang
dewasa.

3. Aliran Eksistensialisme

Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian


terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua.8
Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang
bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang
dimiliki dan dihadapinya. Sebagai aliran filsafat, Eksistensialisme berbeda dengan filsafat
Eksistensi. Paham eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri,
sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu : "filsafat yang
menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral".9 Maka, di sini letak kesulitan
merumuskan pengertian eksistensialisme-sebagai aliran filsafat. Bahkan para filosof
Eksistensialisme sendiri tidak memperoleh perumusan yang sama tentang Eksistensialisme itu
perdefinisi. Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang muncul di Jerman setelah perang

8
Fernando R Molina, (1969), The Sources of Eksistentialism As Philophys, Prentice Hall : New Jersey, h.1
9
Fuad Hassan, (1974), Kita dan Kami, Jakarta : Bulan Bintang, h.7-8

5
dunia I dan berkembang di Perancis setelah perang dunia II. Bermula dari reaksi terhadap
esensialisme Hegel, yang memandang bahwa konstruksi dipahami sebagai suatu lintasan dari
sesuatu yang tidak eksis (No existence, not being) kepada ‘sesuatu yang eksis’. Kierkegaard
menentang pandangan tersebut dengan menyatakan tentang kebenaran subjektif, yaitu suatu
bentuk penegasan keunikan dan sesuatu yang konkrit dan nyata sebagai sesuatu yang berlawanan
dengan yang abstrak.10 Konsep tersebut merupakan perlawanan terhadap usaha untuk
mengkonstruksi gambaran tentang dunia dengan memakai konsep kecukupan intelek pada
dirinya sendiri. Apa pun yang eksis menjadi sesuatu yang dihadapi secara yakin sebagai sesuatu
yang lebih aktual dibanding dengan sesuatu yang dipikirkan. Eksistensialisme muncul sebagai
reaksi terhadap pandangan materialisme. Paham materialisme ini memandang bahwa pada
akhirnya manusia itu adalah benda, layaknya batu atau kayu, meski tidak secara eksplisit.
Materialisme menganggap hakekat manusia itu hanyalah sesuatu yang material, betul-betul
materi. Materialisme menganggap bahwa dari segi keberadaannya manusia sama saja dengan
benda-benda lainnya, sementara eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan
benda lain itu tidaklah sama. Manusia dan benda lainnya samasama berada di dunia, tapi
manusia itu mengalami beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia menyadari dirinya ada
di dunia. Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai subjek, artinya sebagai yang
menyadari, sedangkan benda-benda yang disadarinya adalah objek. Eksistensialisme juga lahir
sebagai reaksi terhadap idealisme. Idealisme dan materialisme adalah dua pandangan filsafat
tentang hakekat yang ekstrem. Materialisme menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada,
tanpa menjadi subjek, dan hal ini dilebih-lebihkan pula oleh paham idealisme yang menganggap
tidak ada benda lain selain pikiran. Idealisme memandang manusia hanya sebagai subjek, dan
materialisme memandangnya sebagai objek. Maka muncullah eksistensialisme sebagai jalan
keluar dari kedua paham tersebut, yang menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek.
Manusia sebagai tema sentral dalam pemikiran.

Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional.11 Secara umum eksistensialisme


merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat
pada masa Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya
pandangan spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran,

10
Paul Roubiczek, (1966), Existentialism For and Against, Cambridge University Press, h.10
11
Ibid

6
penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa
tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan,
juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu
dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia
yang bereksistensi.

Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum eksistensialisme atau penganut aliran ini
seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to.12
adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya. Pandangannya tentang
pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and Education, bahwa
eksistensialisme tidak menghendaki.

12
Fuad Hasan, op.cit., h.71

7
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Aliran essensialisme berpandangan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.
Pandangan ini dapat diterapkan dalam dunia pendidikan Islam dengan cara kurikulum sekolah
bersifat humanistik danbersifat internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan
kaum aristocrat.
Aliran parennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan
norma-norma yang bersifat kekal abadi. Tujuan utama aliran ini dalam pendidikan adalah
"membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek
kehidupan.
Aliran eksistensialisme berpandangan suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak
logik atau tidak ilmiah dengan menolak segala bentuk kemutlakan rasional. aliran ini hendak
memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang isalami, dan tidak
mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif.

2. SARAN
Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku penyusun tentunya mengalami banyak kekeliruan.
Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, dikarenakan kami masih dalam tarap
pembelajaran. Maka dari itu kami selaku penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangun sehingga kami lebih baik di masa mendatang.

8
DAFTAR PUSTAKA

Noorsyam M, (1978), Pengantar Filsafat Pendidika., Malang: IKIP Malang.


Soedomo M, (1990), Aktualisasi Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam Dalam Pembangunan
Nasional, Malang : IKIP.
Barnadib Imam, (1997), FlIsafat Pendidikan, Cet. IX, Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP.
Muslih Mohammad, (2010), Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Penerbit Belukar.
Nasution Harun, (1973), Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
Gie The Liang, (1991), Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty.
http://kumpulanmakalahdanartikelpendidikan.blogspot.com/2011/01/aliranesensialisme-dalam-
filsafat.html (diakses 30 Maret 2020 pukul 21:27 WIB)
http://setyomulyono.blogspot.com/2013/06/makalah-filsafat-pendidikanaliran_9.html (diakses
30 Maret 2020 pukul 23:10 WIB)

Anda mungkin juga menyukai