Laporan Pendahuluan Rssa
Laporan Pendahuluan Rssa
Oleh :
ISMI KAMELIA
2019.04.036
BANYUWANGI
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Surgical Ruang 28 RSSA Malang
Oleh :
ISMI KAMELIA
2019.04.036
(............................................) (..............................................)
Kepala Ruangan
(..........................................)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
(Institute of Health Science)
) BANYUWANGI
Jl. LetkolIstiqlah No. 109 Telp.(0333) 421610 / Fax. (0333) 425270
Website : http://stikesbanyuwangi.ac.id/
TANDA
NO HARI/TANGGAL REVISI
TANGAN
A. Konsep Teori
1. Definisi
Leukimia merupakan penyakit terjadinya poliferasi (pertumbuhan sel imatur)
sel leukosit yang abnormal dan ganas, serta sering di sertai adanya leukosit dengan
jumlah yang berlebihan yang dapat menyebabkan terjadinya anemia trombositopenia .
(Hidayat,2006).
Leukemia mieloid akut atau acut myeloid leukaemia (AML) merupakan
keganasan pada sumsum tulang yang berkembang secara cepat pada jalur
perkembangan sel myloid. ( Safitri,2005).
Leukemia mieloid akut (LMA) merupakan suatu penyakit yang di tandai
dengan transformasi neoplastik dan gangguan deferensi sel- sel progeritor dari seri
myeloid (Sutoyo dan Setyohadi, 2006).
Acut Myeloid Leukemia merupakan suatu bentuk kelainan sel hematopoetik
yang dikarakteristikkan dengan adanya poliferasi berlebihan dari sel myeoleid yang di
kenal dengan myeloblas (Roger, 2010).
2. Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini. Menurut
hasil penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih meningkatkan risiko
timbulnya penyakit leukemia.
a. Host
1) Umur, jenis kelamin, ras
Insiden leukemia secara keseluruhan bervariasi menurut umur. LMA terdapat
pada umur 15-39 tahun. Insiden leukemia lebih tinggi pada pria dibandingkan
pada wanita. Tingkat insiden yang lebih tinggi terlihat di antara Kaukasia
(kulit putih) dibandingkan dengan kelompok kulit hitam. Leukemia
menyumbang sekitar 2% dari semua jenis kanker. Orang dewasa 10 kali
kemungkinan terserang leukemia daripada anak-anak.
2) Faktor Genetik
Insiden leukemia pada anak-anak penderita sindrom down adalah 20 kali lebih
banyak daripada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan
leukemia akut. Insiden leukemia akut juga meningkat pada penderita dengan
kelainan congenital. Pada sebagian penderita dengan leukemia, insiden
leukemia meningkat dalam keluarga. Kemungkinan untuk mendapat leukemia
pada saudara kandung penderita naik 2-4 kali.
b. Agent
1) Virus
Pada manusia, terdapat bukti kuat bahwa virus merupakan etiologi terjadinya
leukemia. HTLV (virus leukemia T manusia) dan retrovirus jenis cRNA, telah
ditunjukkan oleh mikroskop elektron dan kultur pada sel pasien dengan jenis
khusus leukemia/limfoma sel T.
2) Sinar Radioaktif
Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat
menyebabkan leukemia. Angka kejadian LMA jelas sekali meningkat setelah
sinar radioaktif digunakan.
3) Zat Kimia
Zat-zat kimia (misal benzene, arsen, pestisida, kloramfenikol, fenilbutazon)
diduga dapat meningkatkan risiko terkena leukemia. Benzena telah lama
dikenal sebagai karsinogen sifat karsinogeniknya menyebabkan leukemia,
benzena diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Paparan benzena
kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom
dan leukemia.
4) Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor risiko untuk berkembangnya leukemia.
Rokok mengandung leukemogen yang potensial untuk menderita leukemia
terutama LMA.
5) Lingkungan (pekerjaan)
Banyak penelitian menyatakan adanya hubungan antara pajanan pekerjaan
yaitu petani dan peternak terhadap kejadian leukemia. (Jabbour dkk, 2006).
3. Patofisiologi
Patogenesis utama LMA adalah adanya gangguan pematangan yang menyebabkan
proses diferensi sel-sel mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi
akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan
menyebabkan terjadinya gangguan hematopoesis normal yang akhirnya akan
mengakibatkan sindrom kegagaln sumsum tulang (bone marrow failure syndrome)
yang di tandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya
anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat akan
sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda pendarahan serta
adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi. Selain itu sel-
sel blast yang terbentuk juga akan dapat bermigrasi keluar sumsum tulang atau
berinteraksi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak, sistem saraf
pusat sehingga dapat merusak organ-organ syaraf tersebut. Pada hematopoesis normal
myeloblast merupakan sel myeloid yang belum matang yang normal dan secara
bertahap akan tumbuh menjadi sel darah putih dewasa. Namun pada AML myeloblast
mengalami perubhan genetik atau mutasi sel yang mencegah adanya deferensi sel dan
mempertahankan keadaan sel yang imatur, selain itu mutasi sel juga menyebabkan
terjadinya pertumbuhan tidak terkendali sehingga menyebabkan penungkatan sel blast
(Sutoyo dan Setyohadi, 2006).
4. Phatway
Hematopoesis terhambat,
trombosit, leokosit, eritrosit
normal , leokosit imatur
Infiltrasi
Resiko Infeksi
Prod SDM Trombosit
Terganggu openia
6. Klasifikasi
AML terbagi atas berbagai macam subtipe. Hal ini berdasarkan morfologi,
diferensiasi dan maturasi sel leukemia yang dominan dalam sumsum tulang, serta
penelitian sitokimia. Mengetahui subtipe AML sangat penting, karena dapat
membantu dalam memberikan terapi yang terbaik. (wakui, et al, 2008)
7. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang untuk AML.
a. Morfologi
Aspirasi sumsum tulang merupakan bagian dari pemeriksaan rutin untuk diagnosis
AML. Pulasan darah dan sumsum tulang diperiksa dengan pengecatan May-
Grunwald-Giemsa atau Wright-Giemsa. Untuk hasil yang akurat, diperlukan
setidaknya 500 sel Nucleated dari sumsum tulang dan 200 sel darah putih dari
perifer.7,8 Hitung blast sumsum tulang atau darah ≥ 20% diperlukan untuk
diagnosis AML, kecuali AML dengan t(15;17), t(8;21), inv(16), atau t(16;16)
yang didiagnosis terlepas dari persentase blast.
b. Immunophenotyping
Pemeriksaan ini menggunakan flow cytometry,sering untuk menentukan tipe sel
leukemia berdasarkan antigen permukaan. Kriteria yang digunakan adalah ≥ 20%
sel leukemik mengekpresikan penanda (untuk sebagian besar penanda).
c. Sitogenetika
Abnormalitas kromosom terdeteksi pada sekitar 55% pasien AML dewasa.
Pemeriksaan sitogenetika menggambarkan abnormalitas kromosom seperti
translokasi, inversi, delesi, adisi.
d. Sitogenetika molekuler
Pemeriksaan ini menggunakan FISH (fluorescent in situ hybridization) yang juga
merupakan pilihan jika pemeriksaan sitogenetika gagal. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi abnormalitas gen atau bagian dari kromosom seperti RUNX1-
RUNX1T1, CBFB-MYH11, fusi gen MLL dan EV11, hilangnya kromosom 5q
dan 7q.
e. Pemeriksaan imaging
Pemeriksaan dilakukan untuk membantu menentukan perluasan penyakit jika
diperkirakan telah menyebar ke organ lain.Contoh pemeriksaannya antara lain X-
ray dada, CT scan, MRI.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien AML adalah berupa terapi suportif, simtomatis, dan
kausatif. Tujuan dari terapi AML adalah untuk menghancurkan sel-sel leukimia dan
membirakan sumsum tulang untuk berfungsi secara normal lagi. Terapi suportif
dilakukan untuk menjaga balance cairan melalui infus dan menaikkan kadar Hb
pasien melalu tranfusi. Pada AML, terapi suportif tidak menunjukkan hasil yang
memuaskan. Sedangkan terapi simptomatis diberikan untuk meringankan gejala klnis
yang muncul seperti pemberian penurun panas. Yang paling penting adalah terapi
kausatif, dimana tujuannya adalah menghancurkan sel-sel leukemik dalam tubuh
pasien AML. Terapi kausatif yang dilakukan yaitu kemoterapi.
Terapi yang kini digunakan untuk pasien-pasien dengan AML adalah terapi
induksi, terapi konsolidasi dengan kemoterapi, dan transplantasi sel punca
hematopoietik. Karena penyakit ini berkembang dengan sangat cepat, maka pasien
yang sudah terdiagnosis harus segera diterapi. Terapi untuk AML dapat dibagi
menjadi 2 fase :
a. Terapi Induksi
Terapi induksi bertujuan untuk mencapai remisi komplit yang didefinisikan
sebagai blast dalam sumsum tulang 1.000/μL, dan trombosit ≥ 100.000/μL. Terapi
induksi biasanya menggunakan kombinasi 2 jenis obat kemoterapi (cystosine
arabinoside atau cytarabine dan anthracycline antibiotic). Untuk pasien usia 18-60
tahun terapi yang diberikan adalah: Tiga hari anthracycline (daunorubicin 60
mg/m2, idarubicin 10-12 mg/ m2, atau anthracenedione mitoxantrone 10-12
mg/m2 ), dan 7 hari cytarabine (100-200 mg/ m2 infus kontinu) atau dikenal
dengan “3 + 7” merupakan standar terapi induksi. Respons komplit tercapai pada
60-80% pasien dewasa yang lebih muda. Untuk pasien usia 60-74 tahun terapi
yang diberikan serupa dengan pasien yang lebih muda, terapi induksi terdiri dari 3
hari anthracycline (daunorubicin 45-60 mg/m2 atau alternatifnya dengan dosis
ekuivalen) dan 7 hari cytarabine 100-200 mg/m2 infus kontinu). Penurunan dosis
dapat dipertimbangkan secara individual. Pada pasien dengan status performa
kurang dari 2 serta tanpa komorbiditas, respons komplit tercapai pada sekitar 50%
pasien.1,2
Kedua jenis obat ini dimasukkan melalui CVC (Central venous catheter) atau
central line. Selama dilakukan terapi induksi, pasien juga diberikan allopurinol.
Allopurinol bukan obat kemoterapi. Obat ini diberikan untuk membantu
mencegah pembentukan kembali produk-produk sel leukimia yang sudah hancur
dan membantu ginjal untuk mengekskresikannya.
b. Terapi konsolidasi
Terapi konsolidasi atau pasca-induksi diberikan untuk mencegah kekambuhan dan
eradikasi minimal residual leukemia dalam sumsum tulang.Biasanya untuk
mencegah kekambuhan, digunakan regimen yang sama dan dosis kemoterapi
yang sama atau lebih tinggi seperti yang digunakan pada terapi induksi. Pada
beberapa kasus dimana risiko kekambuhannya tinggi, kemoterapi yang intensif
perlu untuk dilakukan berbarengan dengan transplantasi sel induk.
c. Tranplantasi sel induk
Untuk sebagian orang, dosis kemoterapi yang sangat tinggi atau radioterapi
dibutuhkan untuk menyembuhan dan efektif untuk menyembuhkan AML. Efek
sampingnya adalah kerusakan dari sumsum tulang dan sel induk darah rusak dan
perlu digantikan setelahnya. Pada kasus ini perlu dilakukan transplantasi sumsum
tulang dan sel induk darah perifer.
d. Tes Darah
Kebanyakan orang dengan leukemia myelogenous akut memiliki terlalu banyak
sel darah putih, tidak cukup sel darah merah dan tidak cukup trombosit. Kehadiran
sel-sel blast - sel-sel yang belum matang biasanya ditemukan di sumsum tulang
tetapi tidak beredar di dalam darah - adalah indikator lain dari leukemia
myelogenous akut..
9. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan kejadian
suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi.
1) Pengendalian Terhadap Pemaparan Sinar Radioaktif
Pencegahan ini ditujukan kepada petugas radiologi dan pasien yang
penatalaksanaan medisnya menggunakan radiasi. Untuk petugas radiologi
dapat dilakukan dengan menggunakan baju khusus anti radiasi, mengurangi
paparan terhadap radiasi, dan pergantian atau rotasi kerja. Untuk pasien dapat
dilakukan dengan memberikan pelayanan diagnostik radiologi serendah
mungkin sesuai kebutuhan klinik.
2) Pengendalian Terhadap Pemaparan Lingkungan Kimia
Pencegahan ini dilakukan pada pekerja yang sering terpapar dengan benzene
dan zat aditif serta senyawa lainnya. Dapat dilakukan dengan memberikan
pengetahuan atau informasi mengenai bahanbahan karsinogen agar pekerja
dapat bekerja dengan hati-hati. Hindari paparan langsung terhadap zat-zat
kimia tersebut.
3) Mengurangi frekuensi merokok
Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok perokok berat agar dapat berhenti
atau mengurangi merokok. Satu dari empat kasus LMA disebabkan oleh
merokok.Dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan tentang bahaya
merokok yang bisa menyebabkan kanker termasuk leukemia (LMA).
4) Pemeriksaan Kesehatan Pranikah
Pemeriksaan ini memastikan status kesehatan masing-masing calon mempelai.
Apabila masing-masing pasangan atau salah satu dari pasangan tersebut
mempunyai riwayat keluarga yang menderita sindrom Down atau kelainan gen
lainnya, dianjurkan untuk konsultasi dengan ahli hematologi.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menghentikan perkembangan penyakit atau
cedera menuju suatu perkembangan ke arah kerusakan atau ketidakmampuan.
Dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan pengobatan
yang cepat dan tepat.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier ditujukan untuk membatasi atau menghalangi perkembangan
kemampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut
yang membutuhkan perawatan intensif. Untuk penderita leukemia dilakukan
perawatan atau penanganan oleh tenaga medis yang ahli di rumah sakit. Salah satu
perawatan yang diberikan yaitu perawatan paliatif dengan tujuan
mempertahankan kualitas hidup penderita dan memperlambat progresifitas
penyakit. Selain itu perbaikan di bidang psikologi, sosial dan spiritual. Dukungan
moral dari orang-orang terdekat juga diperlukan.
B. Konsep Askep
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama, Umur, Jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggal dan
alasan MRS.
b. Keluhan Utama
Keluhan yang sering muncul pada pasien AML adalah badan terasa lemas dan
badan terasa nyeri.
c. Riwayat penyakit sekarang
Mengkaji perjalanan penyakit pasien saat ini dari awal gejala muncul dan
penanganan yang telah di lakukan hingga saat di lakukan pengkajian.
d. Riwayat penyakit dahulu
Perlu di kaji apakah pasein mempunyai riwayat penyakit yang berhubungan
dengan leukimia.
e. Riwayat penyakit keluarga
Perlu di kaji apakah dalam keluarga ada yang memiliki gejala penyakit yang
serupa dengan pasien.
f. Pola Kebiasaan :
1) Pola Nutrisi : biasanya nafsu makan pasien menurun karena mual muntah
dan satuts nutrisi yang buruk
2) Pola tidur/istirahat : pasien tidak dapat tidur nyenyak akibat nyeri yang di
rasakan.
3) Pola aktivitas : aktivitas pasien dan pergerakan pasien terbatas.
4) Pola eliminasi : biasanya tidak di temukan gangguan eliminasi pada
pasien AML
5) Pola Koping : koping pasin dan keluarga dalam mengatasi AML.
6) Konsep diri : keadaan psikologis pasien terhadap AML biasanya adalah
ansietas akibat kurangnya pengetahuan terhadap proses penyakit.
g. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breath) :
Biasanya pasien mudah lelah serta RR meningkat.
2) B2 (Blood) :
Biasanya pasien mudah mengalami perdarahan, hingga muncul takikardi.
3) B3 ( Brain) :
Biasanya pasien merasakan nyeri pada tulang atau sendi. Mengalami
penurunan kesadaran
4) B4 (Bladder) : -
5) B5 (Bowel)
Pasien sering mengalami penurunan nafsu makan, anoreksia, muntah,
perubahan sensasi rasa, penurunan berat badan, dan gangguan menelan, serta
faringitis. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya distensi abdomen,
penurunan bisisng usus, pembesaran limfa, pembesaran hepar akibat invasi
sel-sel darah putih yang berproliferasi secara abnormal, ikterus, stomatitis,
ulserasi oral, dan adanya pembesaran gusi akibat infeksi.
6) B6 (Bone) :
Biasanya pasien lemah
h. Pemeriksaan Penunjang
Laboatorium (Hematologi) :
Hemoglobin 13,3 g/dl
Eritrosit 4,4 jt/mm
Hematokrit 4,3 %
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko Infeksi b/d perubahan maturitas sel darah putih, peningkatan jumlah
meiloid immatur, dan imunosupresi.
b. Ketidak Efektifan Perfusi jaringan Perifer b/d Suplai O2 ke jaringan terganggu
c. Nyeri akut b/d infiltrasi pada hepar (hepatomegali) dan tulang.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tuuh b/d mual, muntah
e. Resiko Cidera b/d gangguan SSP.
f. Gangguan pola napas b/d dispnea dan letargi.
g. Resiko Syok Hipovolemik b/d pendarahan spontan
h. Resiko Pendarahan b/d Periodontitis.
3. Intervensi Keperawatan
a. Resiko Infeksi b/d perubahan maturitas sel darah putih, peningkatan jumlah
meiloid immatur, dan imunosupresi.