Anda di halaman 1dari 33

PERUNDANG UNDANGAN DI BIDANG PRODUKSI OBAT

Pembimbing: Dr.Sisilia TRD,S.Si,M.Si,Apt.

OLEH :

KELOMPOK 5

1. DAHLIA PUSPITASARI (PO713251191.057)


2. SITI MUARIFAH MUCHSIR (PO713251191.091)
3. NABILA FEBRIYANTI (PO713251191.074)

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR


JURUSAN FARMASI
LATAR BELAKANG

Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus


diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaaan UUD 1945. Pembangunan kesehatan
diarahkan guna tercapainya kesadaran,kemauan dan kemampuan untuk
hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat Mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal.

Pemangunan kesehatan yang menyangkut uoaya promotif, preventif,


kuratif dan rehabilatif, harus dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan
kesinambungan serta dilaksanakan bersama oleh pemerintah dan
masyarakat. Peran serta aktif masyarakat, termasuk swasta, harus sejalan
gengan kebijakan pemerintah dan peraturan perundang undangan berlaku,
agar tidak terjadi benturan antar kepentingan atau penyampingan yang
menhambat jalannya pembangunan.
PRODUKSI
Produksi dalam industri farmasi harus mengikuti pedoman yang tertera
dalam CPOB sehingga menghasilkan produk obat yang senantiasa
memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan
penggunaannya. Hal hal yang harus diperhatikan dalam proses produksi
meliputi pengadaan bahan awal, pencemaran silang , penimbangan dan
penyerahan, pengembalian, pengolahan, kegiatan pengemasan, pengawasan
selama proses produksi, dan karantina bahan jadi.

CPOB
CPOB atau Cara pembuatan Obat yang Baik merupakan bagian dari
sistem pemastian mutu (Quality asurance/QA) yang mengatur dan
memastikan obat diproduksi dan mutunya dikendalikan secara konsisten
sehingga produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang telah
ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaan produk disamping persyaratan
lainnya (misalnya persyaratan izin edar),sehingga produk tersebut aman
dikonsumsi dan diterima oleh masyarakat.

PRODUKSI
Produksi adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan,
mengolah, membuat, mengemas, dan/atau mengubah bentuk sediaaan
farmasi dan alat kesehatan.

Hal hal yang harus diperhatikan dalam produksi


a. Pengadaan Bahan Awal
Pengadaan bahan awal hendaklah hanya dari pemasok yang telah di
setujui dan memenuhi spesifikasi yang relevan.
b. Pencegahan pencemaran silang
Tiap tahap proses, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap
pencemaran mikroba dan pencemaran lain.
c. Penimbangan dan Penyerahan
Penimbangan dan penyerahan bahan awal,bahan pengemas, produk,
antara dan produk ruahan dianggap sebagai bagian dari siklus
produksi dan memerlukan dokumentasi yang lengkap.
d. pengolahan
Semua bahan yang dipakai didalam pengolahan hendaklah diperiksa
sebelum dipakai dan semua harus dinyatakan bersih.
e. Pengembalian
Semua bahan awal dan bahan pengemas yang dikembalikan ke
gudang penyimpanan hendaklah didokumentasikan dengan benar.
f. Kegiatan pengemasan
Kegiatan Pengemasan berfungsi mengemas produk ruahan menjadi
produk jadi.
g. Pengawasan selama proses produksi
Pengawasan selama proses hendaklah mencakup :
1. Semua parameter produk, volume atau jumlah isi produk
dipriksa pada saat awal dan selama proses pengolahan atau
pengemasan
2. Kemasan akhir diperiksa selama proses pengemasan dengan
selang waktu yang teratur untuk memastikan keseuaianya
dengan yang ditetapkan dalam proses pengemasan induk.
h. Karantina produk jadi
Karantina Produk Jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum
penyerahan ke gudang dan siap untuk didistribusikan.
SURAT KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN

NOMOR : 245/MEN.KES/SK/V/1990

TENTANG

KETENTUAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN PEMBERIAN

IZIN USAHA INDUSTRI FARMASI

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka pelaksanaan peraturan pemerintah


nomor 13 tahun 1987 tentang izin usaha industri dan
keputusan presiden nomor 16 tahun 1987 tentang
penyederhanaan pemberian izin usaha industri dan untuk
memberikan landasan bagi pelaksanaannya pemberian izin
usaha industri farmasi;

b. bahwa untuk itu perlu dikeluarkan surat keputusan


tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pemberian izin
usaha industri farmasi .

Mengingat :

1. Undang-undang nomor 9 tahun 1960 tentsng pokok-


pokok kesehatan
2. Undang undang nomor 7 tahun 1963 tentang farmasi
3. Undang undang farmasi nomor 9 tahun 1976 tentang
narkotika
4. Undang undang nomor 5 tahun 1984 tentang
perindustrian
5. Undang undang obat keras (st.1997 No.541)
6. Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 17 tahun
1986 tentang kewenangan,pengaturan,pembinaan dan
pengembangan industri
7. Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 13
tahun 1987 tentang izin usaha industri;
8. Keputusan presiden republik indonesia nomor 15 tahun
1984 tentang susunan organisasi departemen ;
9. Keputusan presiden republik indonesia nomor 16 tahun
1987 tentang penyederhanaan pemberian izin usaha
industri ;
10. Keputusan presiden republik indonesia nomor 64/M
tahun 1988 tentang pembentukan kabinet pembangunan
V;
11. Intruksi presiden republik indonesia nomor 5 tahun 1984
tentang pedoman penyederhanaan dan pengendalian
perizinan dibidang usaha ;
12. Surat keputusan menteri kesehatan nomor
434/Men.Kes/SK/VI/87 tentang penetapan jenis jenis
industri dalam rangka penyederhanaan izin usaha industri
13. Surat keputusan menteri kesehatan nomor
43/Men.Kes/SK/11/1988 tentang pedoman cara
pembuatan obat yang baik;

MEMUTUSKAN
Mencabut :
1. Surat keputusan menteri kesehatan Nomor
90/Kab/B.VII/71 tentang peraturan tentang produksi
obat,kelengkapan dan perlengkapan pabrik farmasi.
2. Surat keputusan menteri kesehatan nomor 2819/A/SK/71
tentang peraturan tentang persyaratan kelengkapan dan
perlengkapan pabrk farmasi
3. Surat keputusan menteri kesehatan nomor
79/IV/Kab/B.VII/73 tentang peraturan tentang produksi
obat,kelengkapan,dan perlengkapan,pabrik farmasi
terbatas

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG


KETENTUAN TATA CARA PELAKSANAAN PEMBERIAN
IZIN USAHA INDUSTRI FARMASI

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

1. Dalam keputusan menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Obat jadi adalah sediaan atau panduan bahan bahan yang siap
digunakan untuk mempengaruhi atau meyelidiki sistem fisiologi
atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosa,pencegahan,penyembuhan,pemulihan,peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi
2. Bahan baku obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun
tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan
standar mutu sebagai bahan farmasi
3. Industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku
obat
4. Obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak berhak
berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku; obat
tidak terdaftar;dan obat yang kadar zat berkhasiatnya
menyimpang lebih dari 20% dari batas kadar yang ditetapkan
5. Menteri adalah menteri kesehatan
6. Direktur jenderal adalah direktur jenderal pengawasan obat dan
makanan
7. Pengawasan kantor wilayah adalah kepala kantor wilayah
departemen kesehatan propinsi
8. Balai pemeriksaan obat dan makanan adalah unit pelaksanaan
teknis direktorat jenderal pengawasan obat dan makanan di
propinsi
2. Jenis dan komoditi industri farmasi adalah sebagaimana yang
tercantum dalam surat keputusan menteri kesehatan nomor
434/men.kes/sk/VI/1987.
Pasal 2

1. Obat termasuk obat jadi dan bahan baku obat harus dikendalikan
secara ketat agar tidak disalahgunakan atau digunakan salah.
2. Obat palsu dilarang di produksi,disimpan dan disalurkan

Pasal 3

Perusahaan industri farmasi wajib memperoleh izin usaha industri


farmasi

Pasal 4

1) Untuk memperoleh izin usaha industri farmasi diperlukan tahap


persetujuan prinsip
2) Persetujuan prinsip di berikan kepada pemohon untuk dapat langsung
melakukan persiapan persiapan dan usaha pembangunan,
pengadaan,pemasangan intalasi peralatan,dan lain lain yang
diperlukan termasuk produksi percobaan dengan memperhatikan
ketentuan perundang undangan di bidang obat
3) Izin usaha industri farmasi diberikan kepada pemohon yang telah siap
berproduksi sesuai persyaratan CPOB sebagai mana dimasud dalam
pasal 1 ayat (1) dan (2)
4) Industri farmasi yang melakukan penambahan kapasitas produksi atau
penambahan bentuk sediaan tidak memerlukan izin perluasan.

Pasal 5

1) Izin usaha industri farmasi berlaku untuk seterusnya selama


perusahaan industri farmasi yang bersangkutan berproduksi
2) Izin usaha industri farmasi untuk perusahaan penamaan modal
asing,masa berlakunya diberikan sesuai dengan ketentuan dalam
undang undang nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal Asing
dan peraturan pelaksanannya

Pasal 6

1) Bagi perusahaan industri farmasi yang baru jenis produksinya tidak


termasuk didalam daftar negatif penanaman modal diberikan izin
usaha industri farmasi
2) Bagi perusahaan industri farmasi yang baru yang hasil produksinya
dimaksudkan untuk sasaran ekspor, diberikan izin usaha industri
farmasi meskipun jenis industri tersebut termasuk dalam daftar negatif
penanaman modal.

BAB II

PELIMPAHAN WEWENANG PEMBERIAN


IZIN USAHA INDUSTRI FARMASI

Pasal 7

1) Izin usaha industri farmasi diberikan oleh menteri


2) Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin usaha industri
farmasi kepada direktur jenderal

Pasal 8

Pelimpahan wewenang dalam pemberian izin usaha industri


farmasi dari menteri kepada ketua badan koordinasi penanaman modal
bagi industri yang penanaman modalnya dilakukan dalam rangka undang
undang nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal Asing dan
undang undang nomor 6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam
negeri,ditetapkan tersendiri oleh menteri
BAB III

PERSYARATAN USAHA INDUSTRI FARMASI

Pasal 9

Usaha industri farmasi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Dilakukan oleh PERUM,badan hukum berbentuk peseroan


terbatas atau koperasi
b. Memiliki rencana investasi
c. Memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP)

Pasal 10

1) Industri farmasi obat jadi dan bahan baku obat wajib memenuhi
persyaratan cara pembuatan obata yang baik (CPOB) sesuai dengan
ketentuan surat keputusan menteri kesehatan Nomor :
43/Men.kes/SK/II/1988
2) Industri farmasi obat jadi dan bahan baku obat wajib mempekerjakan
secara tetap sekurang kurangnya 2 (dua) orang apoteker warga negara
indonesia masing masing sebagai penanggung jawab produksi dan
penanggung jawab pengawasan mutu sesuai persyaratan CPOB
3) Obat jadi yang di produksi oleh perusahaan industri farmasi hanya
dapat diedarkan setelah memperoleh persetujuan sesuai dengan
ketentuan perundang undangan yang berlaku

BAB IV

TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN DAN PEMBERIAN


IZIN USAHA INDUSTRI FARMASI

Pasal 11

1) Pengajuan permohonan persetujuan prinsip untuk penderian usaha


industri farmasi disampaikan kepada direktur jenderal dengan
mempergunakan contoh formulir modal POM-1
2) Setelah permohonan diterima secara lengkap dalam waktu 12 (dua
belas ) hari kerja direktur jenderal mengeluarkan persetujuan prinsip
dengan mempergunakan contoh formulir modal POM-2 atau
menolaknya dengan mempergunakan contoh formulir modal POM-3
3) Persetujuan prinsip diberikan dengan memperhatikan daftar negatif
penanaman modal
4) Persetujuan prinsip berlaku selama jangka waktu 3 (tiga) tahun
kecuali untuk hal tertentu yang berkaitan dengan oihak yang
bersangkutan,dapat diperpanjang oleh direktur jenderal selama
lamanya 1 tahun
5) Persetujuan prinsip dapat diubah sesuai permohonan dari yang
bersangkutan
6) Persetujuan prinsip batal dengan sendirinya apabila selambat lambat
nya 3 ( tiga ) tahun pemohon tidak melaksanakan kegiatan
pembangunan fisik,dengan memperhatikan ketentuan di maksud
dalam ayat (8)
7) Pada saat perusahaan industri farmasi mulai membangun fisik
pabriknya, yang bersangkutan dapat menyampaikan surat
permohonan impor mesin mesin dan peralatan pengendalian
pencemaran
8) Dalam melaksanakan persetujuan prinsip,perusahaan yang
bersangkutan menyampaikan informasi kemajuan pembangunan
proyek setiap 1 tahun sekali kepada direktur jenderal dengan
mempergunakan contoh formulir modal POM-4

Pasal 12

1) Permohonan izin usaha industri farmasi diajukan oleh pemohon


kepada direktur jenderal melalui kepala kantor wilayah dengan
mempergunakan contoh formulir model POM-5
2) Permohonan izin usaha industri farmasi yang diajukan setelah
pembangunan fisik industri selesai dan siap melaksanakan kegiatan
produksi komersial
3) Kepala kantor wilayah atau pejabat yang ditujukannya selambat
lambatnya dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima
permohonan harus telah menugaskan kepala balai pemeriksaan obat
dan makanan untuk melakukan pemeriksaan setempat pada industri
farmasi yang bersangkutan mengenai kesiapan dalam melakukan
produksi komersial dengan mempergunakan contoh formulir model
POM-6
4) Kepala bali pemeriksaan obat dan makanan selambat lambatnya
dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak setelah penugas dari kepala
kantor wilayah wajib melaporkan hasil pemeriksaan kepada kantor
wilayah dengan mempergunakan contoh formulir model POM-6a
5) Kepala kantor wilayah selambat lambatnya dalam waktu 6 (enam)
hari kerja setelah menerima hasil pemeriksaan dari kepala balai
pemeriksaan obat dan makanan wajib melaporkannya kepada direktur
jenderal dengan menggunakan contoh formulir model POM-6b
6) Dalam hal ini pemeriksaaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
tidak dilaksanakan,pemohon yang bersangkutan dapat membuat surat
pernyataan siap berproduksi dengan direktur jenderal dengan
tembusan kepada kepala kantor wilayah setempat.
7) Dalam jangka waktu 12 hari kerja setelah diterima dokumen
dimaksud dalam ayat (4) atau pernyataan dimaksud dalam ayat
(7),direktur jenderal mengeluarkan izin usaha industri terbukti usaha
industri farmasi atau menundanya dengan pernyataan tertulis,apabila
terbukti industri farmasi yang bersangkutan belum siap
berproduksi,dengan menggunakan contoh formulir model POM-7a

BAB V

PENUNDAAN DAN PENOLAKAN TERHADAP PERMOHONAN

IZIN USAHA INDUSTRI FARMASI

Pasal 13

1) Terhadap permohonan izin usaha industri farmasi yang ternyata


lokasi industrinya tidak sesuai dengan yang tercantum dalam
persetujuan prinsip,maka direktur jenderal dalam jangkau waktu
30(tiga puluh) hari kerja mengeluarkan surat penolakan di sertai
dengan Alasan alasannya dengan mempergunakan contoh formulir
model POM-7b
2) Terhadap permohonan izin usaha industri farmasi yang diterima dan
ternyata masih belum memenuhi salah satu hal sebagai berikut :
a. Bangunan untuk industri farmasi belum memenuhi
persyaratan untuk pelaksanaan cara pembuatan obat yang
baik;
b. Tenaga apoteker belum tersedia;
c. Belum memenuhi persyaratan yang dimaksud dalam
melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber
daya alam serta timbulnya kerusakan dan pencemaran
terhadap lingkungan hidup khusus untuk kegiatan usaha
industri yang diwajibkan memiliki penyajian informasi
lingkungan (PIL) dan atau analis dampak lingkungan
(ANDAL)

Maka direktur jenderal dalam jumlah 12 hari kerja mengeluarkan


surat penundaan disertai dengan alasan alasannya dengan
mempergunakan contoh formulir model POM-7a
Pasal 14

1) Terhadap surat penundaaan bagaimana dimaksud dalam pasal


13 ayat (2) ,perusahaan industri farmasi diberi kesempatan
untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat
lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
diterimanya surat penundaan

BAB VI

INFORMASI INDUSTRI FARMASI

Pasal 15

Perusahaan telah memperoleh izin usaha industri farmasi wajib


menyampaikan laporan industri secara berkala mengenai kegiatan usahanya:

a. Sekali dalam 6 (enam) bulan meliputi jumlah dan nilai produksi


masing masing produk yang dihasilkan dengan mempergunakan
contoh formulir model POM-8,dengan surat pengantar seperti
contoh formulir model SP I/POM-8 untuk industri farmasi.
b. Sekali dalam 1 (satu) tahun dengan mempergunakan contoh formulir
model SP I/POM-9/untuk industri farmasi

Pasal 16

1) Informasi industri farmasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 15


disampaikan kepada direktur jenderal dengan tembusan kepada
kantor wilayah
2) Informasi yang dimaksud dalam pasal 15 wajib disampaikan
selambat lambatnya satu bulan setelah masa laporan yang
bersangkutan yaitu tanggal 1 januari dan tanggal 1 juli.

BAB VII

PENYALURAN PRODUK INDUSTRI FARMASI

Pasal 17

Industri farmasi yang telah mendapat izin usaha industri farmasi wajib
menyalurkan dan memasarkan produknya sesuai ketentuan perundang
undangan yang berlaku
BAB VIII

PENCABUTAN IZIN PRODUK INDUSTRI FARMASI

Pasal 18

Izin usaha industri farmasi dapat dicabut dalam hal :

a. Perusahaan farmasi yang telah mendapat izin usaha industri farmasi


melakukan pemindahtanganan hak milik izin usaha industri farmasi
farmasi dan perluasan tanpa memiliki izin sesuai dengan ketentuan
dalam surat keputusan ini dan atau
b. Perusahaan industri farmasi yang telah mendapat izin usaha industri
farmasi tidak menyampaikan informasi industri secara berturut turut
3 (tiga) kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang
benar; dan atau;
c. Perusahaan industri farmasi yang telah mendapat izin usaha industri
farmasi melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari menteri;dan atau
d. Perusahaan industri farmasi yang telah mendapat izin usaha industri
farmasi dengan segaja memproduksi obat jadi atau bahan baku obat
yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku,obat
palsu,dan atau;
e. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam izin usaha industri farmasi yang
telah ditetapkan dalam surat keputusan ini.

Pasal 19

1) Obat jadi yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam


pasal 23 ayat (d) diatas adalah obat obat yang tidak memenuhi
persyaratan mutu dan atau tidak memenuhi persyaratan penandaan
2) Bahan baku yang tidak memenuhi syarat sebagaiman dimaksud
dalam pasl 23 ayat (d) diatas adalah bahan baku yang tidak
memenuhi persyaratan mutu dan atau yang berasal dari sumber yang
tidak syah

Pasal 20

1) Pelaksanaan pencabutan izin usaha industri farmasi sebagaimana


dimaksud dalam pasal 18,dilakukan setelah dikeluarkan :
a. Peringatan secara tertulis kepada perusahaan industri farmasi
sebanyak tiga kali berturut turut dengan tenggang waktu
masing masing 2 (dua) bulan dengan mempergunakan contoh
formulir model POM-10
b. Pembekuan izin usaha industri farmasi dalam jangka waktu 6
(enam) sejak dikeluarkannya penetepan pembekuan kegiatan
industri farmasi dengan mempergunakan contoh formulir
model POM-11.
2) Pejabat yang berwenang umtuk mencabut izin usaha industri farmasi
adalah direktur jenderal
3) Pembekuan izin usaha industri farmasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dicairkan kembali apabila perusahaan industri
farmasi telah memenuhi persyaratan yang disyaratkan sesuai
ketentuan dalam surat keputusan ini.

BAB IX

KETENTUAN PIDANA

Pasal 21

Terhadap perusahaan industri farmasi yang melanggar ketentuan yang


berlaku dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan undang undang nomor
9 tahun 1976 tentang narkotika,ordonansi obat keras nomor 419 tahun 1949
dan ordonansi bahan berbahaya nomor 377 tahun 1949 serta ketentuan
perundang undangan lainnya yang berlaku disamping sanksi administrasi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 18.

BAB X

PEMBINAAN

Pasal 22

1) Pembinaan terhadap perusahaan industri farmasi yang telah


mendapat izin usaha industri farmasi dilaksanakan oleh direktur
jenderal kepala kantor wilayah
2) Pembinaan dimaksud dalam ayat (1) meliputi pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijaksanaan umum dibidang industri farmasi dan obat
obatan yang diterapkan oleh menteri,.
3) Perusahaan industri farmasi harus terbuka untuk diperiksa proses
produksi dan penyaluran produknya jika dipandang perlu oleh
pejabat departemen kesehatan yang ditunjuk berdasarkan surat
penugasan direktur jenderal atau kepala kantor wilayah.
BAB XI
KETENTUAN LAIN

Pasal 23

Izin usaha industri farmasi yang dikeluarkan berdasarkan surat keputusan


berlaku pula bagi gudang atau tempat penyimpanan yang berada dalam
kompleks usaha industri yang bersangkutan yang digunakan untuk
menyimpan peralatan ,perlengkapan,bahan baku,bahan penolong dan bahan
jadi untuk keperluan kegiatan usaha industri farmasi.

Pasal 24

1) Perusahaan farmasi yang telah mendapat izin usaha industri farmasi


yang melakukan pemindatanganan hak milik atas usaha industri
farmasi atau pemindahan lokasi industri diwajibkan memiliki
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari direktur jenderal
2) Perusahaan industri farmasi yang telah mendapat izin usaha industri
farmasi yang melakukan perusahaan terhadap nama,alamat atau
penanggung jawab perusahaan wajib memberitahukan secara tertulis
kepada direktur jenderal

Pasal 25

Sesuai dengan izin usaha industri farmasi yang diperolehnya,perusahaan


industri farmasi wajib;
a. Melaksanakan uapaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya
alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran
terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri farmasi yang
dilakukannya;
b. Melaksanakan uapaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan
alat.bahan baku dan bahan penolong,proses serta hasil produksinya
termasuk pengangkutannya dan keselamatan kerja
c. Melaksanakan analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
yamg berlaku bagi jenis jenis industri yang telah ditetapkan dan
kewajiban untuk melakukannya setelah memperoleh izin usaha
industri farmasi.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 26

Persetujuan prinsip yang telah dimiliki pada saat mula berlakunya surat
keputusan ini,dinyatakan tetap berlaku sebagai salah satu tahap untuk
memperoleh izin usaha industri farmasi berdasarkan surat keputusan ini.

Pasal 27

1) Ketentuan bagi pemberian izin usaha industri farmasi untuk


perusahaan penananaman modal dalam negeri dan perusahaan
penanaman modal asing sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 akan
ditetapkan kemudian dengan memperhatikan ketentuan pada surat
keputusan ini.
2) Tata cara pelaksanaan pemberian izin usaha industri farmasi bagi
perusahaan penanaman modal dalam negeri dan perusahaan
penanaman modal Asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ysng
berlaku pada saat ditetapkannya surat keputusan ini dinyatakan tetap
berlaku sampai diadakan pengubahan

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 28

Surat keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya,memerintahkan pengumuman surat


keputusan ini dengan menempatkannya dalam berita Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di : jakarta
Pada tanggal : 28 Mei 1990
MENTERI KESEHATAN
Ttd
DR.ADHYATMA,MPH
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diangnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi,
untuk manusia.
2. Bahan obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat
yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu
sebagai bahan baku farmasi.
3. Industri farmasi adalah bahan usaha yang memiliki izin dari materi
kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.
4. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan
obat, yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas,
produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai
diperoleh obat untuk didistribusikan.
5. Cara pembuatan obat yang baik, yang selanjutnya disingkat CPOB
adalah cara pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan agar
mutuobat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan
penggunaannya.
6. Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian,
penelitian (assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping
atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat.
7. Kepala Badan Pengawas Obat dab Makanan, yang selanjutnya disebut
Kepala Badan adalah Kepala Badan ang tugas dan tanggung jawabnya
dibidang pengawas obat dan makanan.
8. Direktur jenderal adalah direktur jenderal pada Kementrian Kesehatan
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan kefarmasian
dan alat kesehatan.
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang kesehatan.

BAB II
IZIN INDUSTRI FARMASI
Bagian Kesatuan
Umum
Pasal 2
1. Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh
industri farmasi.
2. Selain industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instalasi
Farmasi Rumah Sakit dapat melakukan proses pembuatan obat untuk
keperluan pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang
bersangkutan.
3. Instalasi Farmasi Rumah Sakir sebagai mana dimaksud pada ayat (2)
harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan
dengan sertifikat CPOB.
Pasal 3
1. Industri Farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat
dan/atau bahan obat untuk :
a. Semua tahap dan/atau
b. Sebagian tahapan.
2. Industri farmasi yang melakukan kegiatan proses pembuatan obat
dan/atau bahan obat untuk sebagian tahapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b harus berdasar penelitian dan pengembangan yang
meng menyangkut produk sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
3. Produk hasil penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dilakukan proses pembuatan sebagian tahapan oleh
industri farmasi di Indonesia.
Pasal 4
1. Setiap pendirian Industri farmasi wajib memperoleh izin Industri
farmasi Direktur Jenderal.
2. Industri farmasi yang membuat obat dan/atau bahan obat yang termasuk
dalam golongan narkotika wajib memperoleh izin khusus untuk
memproduksi narkotika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 5
1. Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi sebagaimana
dimaksud dalampasal 4 ayat (1) terdiri atas:
a. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas.
b. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat.
c. Memiliki Nomor Pokok wajib pajak.
d. Memiliki secara tetap paling sdkit 3 (tiga) orang apoteker Warga
Negara Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab
pemastian mutu, produksi, dan pengawasa mutu, dan
e. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, bai langsuk atau tidak
langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan
dibidang kefarmasian.
2. Dikecualikan dari persyaratan sebagai mana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b, bagi pemohon izin industri farmasi milik Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara republik Indonesia..
Pasal 6
1. Untuk memperoleh izin industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip.
2. Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal.
3. Dalam hal permohonan persetujuan prinsip dilakukan oleh industri
penanaman Modal Dalam Negeri, pemohon harus memperoleh Surat
Persestujuan penanaman Modal dari instansi yang menyelenggarakan
urusan penanaman modal sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
4. Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Direktur Jenderal setelah pemohon memperoleh pesetujuan Rencana
Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan.
5. Dalam hal permohonan persetujuan prinsip telah diberikan, pemohon
dapat langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan,
pemasangan, dan instalasi peralatan, termasuk produksi percobaan
dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7

Setiap pendirian industri farmasi wajib memenuhi ketentuan sebagaimana


diatur dalam peraturan perundang undangan dibidang tata ruang dan
lingkungan hidup.

Pasal 8

1) Industri farmasi wajib memenuhi syarat CPOB


2) Pemenuhan persyaratan CPOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan sertifikat CPOB
3) Sertifikat CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang memenuhi
persyaratan
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara sertifikasi
CPOB diatur oleh kepala Badan.

Pasal 9

1) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


pasal 8 ayat (1),industri farmasi wajib melakukan farmakovigilans
2) Apabila dalam melakukan farmakovigilans sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) industri farmasi menentukan obat dan/ atau bahan obat
hasil produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan,khasiat /kemanfaatan dan mutu,industri farmasi wajib
melakukan hal tersebut kepada kepala Badan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai farmakovigilans diatur oleh kepala
Badan.

Pasal 10

1) Pembuatan sediaan radiofarmaka hanya dapat dilakukan oleh


industri farmasi dan/atau lembaga setelah mendapat pertimbangan
dari lembaga yang berwenang di bidang atom
2) Pembuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan CPOB
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan sediaan radiofarmaka
diatur oleh Menteri.

Bagian Kedua
Tata cara pemberian Persetujuan Prinsip

Pasal 11
1) Permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada direktur jenderal
dengan tembusan kepada kepala Badan dan Kepala dinas kesehatan
Provinsi dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
formulir 1 terlampir
2) Sebelum pengajuan permohonana persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1),pemohon wajib mengajukan permohonan
persetujuan rencana induk pembangunan (RIP) kepada kepala Badan
dengan menggunaka contoh sebagaimana tercantum dalam formulir
2 terlampir.
3) Persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) diberikan oleh
kapala Badan paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
kerja sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diterima dengan menggunakan Contoh sebagaimana tercantum
dalam formulir 3 Terlampir.
4) Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam pada
ayat (1) ditujukan dengan kelengkapan sebagai berikut :
a. Fotokopi akta pendirian badan hkum yang sah sesuai
ketentuan peraturan perundang undangan
b. Fotokopi kartu tanda penduduk/indentitas direksi dan
komisaris perusahaan;
c. Susan direksi dan komisaris;
d. Pernyataan direksi dan komisaris tidak perna terlibat
pelanggaran peraturan perundang undangan dibidang
farmasi;
e. Fotokopi sertifikat tanah/bukti kepemilikan tanah;
f. Fotokopi surat izin tempat usaha berdasarkan undang
undang gangguan (HO);
g. Fotokopi surat tanda daftar perusahaan;
h. Fotokopi surat izin usaha perdangangan;
i. Fotokopi nomor pokok wajib pajak;
j. Persetujuan lokasi dari pemerintah daerah provinsi;
k. Persetujuan rencana Induk Pembangunan (RIP) dari kepala
Badan;
l. Rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;
m. Asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing
masing apoteker penanggung jawab produksi,apoteker
penanggung jawab pengawasan mutu,dan apoteker
penanggung jawab pemastian mutu,dan
n. Fotokopi surat pengangkatan bagi masing masing apoteker
penanggung jawab produksi,apoteker penanggug jawab
pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab
pemastian mutu dari pimpinan perusahaan.
5) Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal Paling lama
dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima dengan menggunakan
contoh sebagaiman tercantum dalam formulir 4 terlampir atau
menolaknya dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam formulir 5 terlampir.
6) Pemohon izin usaha industri farmasi dengan status penanaman
Modal dalam negeri yang telah mendapatkan surat persetujuan
penanaman modal dari instansi yang menyelenggarakan urusan
penanaman modal,wajib mengajukan permohonan persetujuan
prinsip sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
ini.

Pasal 12
1) Persetujuan prinsip berlaku selama 3 (tiga) Tahun.
2) Persetujuan prinsip dapat diubah berdasarkan permohonan dari
pemohon izin industri farmasi yang bersangkutan.
3) Dalam hal tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian
pembangunan fisik, atas permohonan pemohon, jangka waktu 3
(tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
oleh Direktur Jenderal untuk paling lama 1 (satu) tahun.
4) Pada saat pemohon izin industri farmasi mulai melakukan
pembangunan fisik, yang bersangkutan dapat menyampaikan surat
permohonan impor mesin mesin dan perlatan lainnya termasuk
peralatan pengendalian perncemaran sesusai ketentuan peraturan
perundang undangan.
5) Selama melaksanakan pembangunan fisik, yang bersangkutan wajin
menyampaikan laporan informasi kemajuan pembangunan fisik
setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kapada kepala Badan dan kepala dinas Kesehatan Propinsi
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam formulir
6 terlampir
6) Persetujuan prinsip batl demi hukum apabila setelah jangka waktu 3
(tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/ atau setelah
jangka waktu 1 (satu) tahun perpanjangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3),pemohon belum menyelesaikan pembangunan
fisik,dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5).
Bagian Ketiga
Permohonan Izin Industri Farmasi

Pasal 13
1) Pemohon yang telah selesai melaksanakan setiap persetujuan Prinsip
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 dapat mengajukan izin
distribusi farmasi
2) Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh
direktur utama dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu
dengan kelengkapan sebagai berikut :
a. Fotokopi persetujuan prinsip industri farmasi;
b. Surat persetujuan penanaman modal untuk Industri farmasi
dalam rangka penanaman Modal Asing atau penanaman
Modal Dalam Negeri;
c. Daftar peralatan dan mesin mesin yang digunakan;
d. Jumlah tenaga kerja dan kualifikasinya;
e. Fotokopi sertifikat upaya prngelolaan lingkungan dan upaya
pemantauan lingkungan/Analisis mengenai Dampak
Lingkungan;
f. Rekomendasi kelengkapan administrasi izin industri farmasi
kepada dinas kesehatan provinsi;
g. Rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB dari kepala
Badan;
h. Daftar pustaka wajib seperti farmakope indonesia edisi
Terakhir;
i. Asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing
masing apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan
apoteker penanggung jawab pemastian mutu;
j. Fotokopi surat pengangkatan bagi masing masing apoteker
penanggung jawab produksi,apoteker penanggung jawab
pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab
pemastian mutu dari pimpinan perusahaan;
k. Fotokopi ijazah dan surat registrasi apoteker (STRA) dari
masing masing apoteker penanggung jawab pamastian mutu,
dan
l. Surat pernyataan komisaris dan direksi tidak perna
terlibat,baik langsung atau tidak langsung dalam
pelanggaran perundang undangan dibidang kefarmasian.
3) Permohonan izin industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
kepala Badan dan kaepala dinas kesehatan provinsi stempat dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam formulir 7
terlampir.
4) Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya
tembusan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),kepada
kepala badan melakukan audit pemenuhan persyaratan CPOB
5) Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya
tembusan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 3,kepala
dinas kesehatan provinsi melakukan verifikasi kelengkapan
persyaratan administratif.
6) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan
memenuhi persyaratan CPOB,kepada Badan mengeluarkan
rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB kepala Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada kepala dinas kesehatan provinsi
dan pemohon dengan menggunakan Contoh sebagaimana tercantum
dalam formulir 8 telampir.
7) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan
memenuhi kelengkapan persyaratan administratif,kepala dinas
kesehatan provinsi mengeluarkan rekomendasi pemenuhan
persyaratan administratif kepada Direktur Jenderal dengan tembusan
kepada kepala badan dan pemohon dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam formulir 9 terlampir
8) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak setelah
menerima rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan
ayat (7) serta persyaratan lainnya,direktur Jenderal menerbitkan izin
usaha industri farmasi dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam formulir 10 terlampir.

Pasal 14
1) Terhadap permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6 ayat (2),pemberian persetujuan Rencana Induk
Pembangunan (RIP) sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat
(2),dan permohonan izin industri farmasi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 13 ayat (1) dikenai biaya sebagaimana penerimaan
negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
undangan
2) Dalam hal permohonan atas persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditolak,maka biaya yang telah dibayarkan tidak dapat
ditarik kembali.

BAB III
PENYELENGGARAAN

Pasal 15
Industri farmasi mempunyai Fungsi:
a. Pembuatan obat dan/atau bahan obat;
b. Pendidikan dan pelatihan;dan
c. Penelitian dan pengembangan

Pasal 16
1) Izin usaha Industri Farmasi berlaku untuk seterusnya selama industri
farmasi yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi
ketentuan peraturan perundang undangan.
2) Industri farmasi yang akan melakukan perubahan bermakna terhadap
pemenuhan persyaratan CPOB,baik untuk perubahan kapasitas
dan/atau fasilitas produksi wajib melapor dan mendapat persetujuan
sesuai ketentuan peraturan perundang undangan.

Pasal 17
1) Setiap perubahan alamat di lokasi yang sama atau perubahan alamat
dan pindah lokasi,perubahan penaggung jawab , atau nama industri
harus dilakukan perubahan izin.
2) Perubahan terhadap akte pendirian terbatas harus dilaporkan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada kepala Badan dan kepala
dinas kesehatan provinsi.

Pasal 18
1) Industri Farmasi yang melakukan perubahan alamat dan pindah
lokasi wajib mengajukan permohonan perubahan izin kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada kepala Badan dan kepala
dinas kesehatan provinsi setempat dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam formulir 11 terlampir.
2) Tata cara permohonan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13.

Pasal 19
1) Industri farmasi yang melakukan perubahan penanggung
jawab,alamat di lokasi yang sama,atau nama industri ,wajib
mengajukan permohonan perubahan izin kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan kepada kepala badan dinas kesehatan provonsi
setempat dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam 12 terlampir.
2) Ketentuan mengenai permohonan perubahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengikuti tata cara permohonan izin sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13 ayat (3),ayat (5),ayat (7),dan ayat (8).
3) Direktur Jenderal setelah menerima rekomendasi dari kepala dinas
kesehatan provinsi mengeluarkan perubahan izin.

Pasal 20
1) Industri farmasi dapat menghasilkan obat dan dapat
mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung
kepada pedagang besar farmasi,apotek,instalasi farmasi rumah
sakit,pusat kesehatan masyarakat,klinik,dan toko obat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang undangan.
2) Industri farmasi yang menghasilkan bahan obat dapat
mendistribusikan atau manyalurkan hasil produksinya langsung
kepada pedagang besar bahan baku farmasi,dan instalasi farmasi
rumah sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Pasal 21
1) Industri farmasi daoat membuat obat secara kontrak kepada industri
farmasi lain yang telah metetapkan CPOB.
2) Industri farmasi pemberi kontrak wajib memiliki izin industri
farmasi dan paling sedikit memiliki 1 (satu) fasilitas produksi
sediaan yang telah memenuhi persyaratan CPOB.
3) Industri farmasi pemberi kontrak dan industri farmasi penerima
kontrak bertanggung jawab terhadap keamanan,khasiat/
kemanfaatan,dan mutu obat.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan obat kontrak ditetapkan
oleh kepala badan.

Pasal 22
1) Industri farmasi dapat melakukan perjanjian dengan perorangan atau
badan usaha yang memiliki hak kekayaan intelektual dibidang obat
dan/atau bahan obat untuk membuat obat dan/atau bahan obat.
2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat
ketentuan bahwa izin edar obat yang di perjanjikan dimiliki oleh
industri farmasi.

BAB IV
PELAPORAN

Pasal 23
1) Industri farmasi wajib menyampaikan laporan industri secara berkala
mengenai kegiatan usahanya:
a. Sekali dalam 6 (enam) bulan,meliputi jumlah dan nilai
produksi setiap obat atau bahan obat yang dihasilkan dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercabtum dalam formulir
13 terlampir; dan
b. Sekali dalam 1 (satu) tahun dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam formulir 14 terlampir.
2) Laporan industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
kepala badan.
3) Laporan industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a disampaikan paling lambat tanggal 15 januari dan tanggal 15 juli.
4) Laporan industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b disampaikan paling lambat 15 januari.
5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaporkan
secara elektronik
6) Direktur Jenderal daoat mengubah bentuk dan isi formulir laporan
sesuai kebutuhan.

BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 24
1) Pembinaan terhadap pengembangan industri farmasi dilakukan oleh
Direktur Jenderal.
2) Pedoman mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 25

1) Pengawasan terhadap industri farmasi sebagaimana diatur dalam


peraturan ini dilakukan oleh kepala Badan.
2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tenaga pengawas dapat melakukan pemeriksaan dari:
a. Memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam
kegiatan pembuatan,penyimpanan,pengangkutan, dan
perdangangan obat dan bahan obat utuk memeriksa, meneliti,
dan mengambil contoh segala sesuatu yang digunakan dalam
kegiatan pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, dan
perdangangan obat dan bahan obat.
b. Membuka dan meneliti kemasan obat dan bahan obat;
c. Memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat
keterangan mengenai kegiatan pembuatan, penyimpanan,
pengangkutan, dan perdagangan obat dan bahan obat,
termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut ;
dan/atau
d. Mengambil gambar (foto) seluruh atau sebagian fasilitas dan
perlatan yang digunakan dalam pembuatan, penyimpanan,
pengangkutan, dan/ atau perdagangan obat dan bahan obat.

Pasal 26
1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan
sanksi administratif berupa;
a. Pelanggaran secara tertulis;
b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau
peirintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari
peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi
standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau
mutu;
c. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat jika terbukti tidak
memenuhi persyaratan kemanan,khasiat/ kemanfaatan, atau
mutu
d. Penghentian sementara kegiatan;
e. Pembekuan izin industri farmasi; atau
f. Pencabutan izin industri farmasi
2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d dapat dikenakan untuk seluruh kegiatan atau sebagian
kegiatan.
3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf d diberikan oleh kepala badan.
4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
dan huruf f diberikan oleh direktur Jenderal atas rekomendasi kepala
Badan.

Pasal 27
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya
pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak
pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi
dengan tanda pengenal dan surat perintah pemeriksaan.
Pasal 28
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga
adanya pelanggaran pidana di bidang obat dan/atau bahan obat,segera
dilakukan penyelidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur oleh kepala badan.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 30
1) Pada saat peraturan ini mulai berlaku,persetujuan prinsip yang telah
dimiliki tetap berlaku sebagai salah satu tahap untuk memperoleh
izin industri farmasi berdasarkan peraturan ini.
2) Permohonan izin industri farmasi yang telah diajukan sebelum
berlakunya peraturan ini tetap diproses berdasarkan keputusan
menteri kesehatan Nomor 245/Menkes/SK/X/1990 tentang ketentuan
dan tata cara pelaksanaan pemberian izin usaha industri farmasi.
3) Izin industri farmasi yang dikeluarkan berdasarkan keputusan
Menteri kesehatan Nomor 245/Menkes/SK/X/1990 tentang
ketentuan dan tata cara pelaksanaan pemberian izin usaha industri
farmasi masih tetap berlaku
4) Izin industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
diperbarui sesuai dengan persyaratan dalam peraturan ini paling
lama 2 (dua) tahun sejak tanggal pengundangan.

Pasal 31
Pada saat peraturan ini mulai berlaku,semua peraturan pelaksanaan dari
keputusan Menteri kesehatan Nomor 245/Menkes/SK/X/1990 tentang
ketentuan dan tata cara pelaksanaan pemberian izin usaha Industri Farmasi
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketetntuan dalam peraturan ini dan/atau belum diganti berdasarkan
ketentuan peraturan ini.

BAB VII
PENUTUP

Pasal 32
Pada saat peraturan ini berlaku,keputusan Menteri Kesehatan Nomor
245/Menkes/SK/X/1990 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan
pemberian izin usaha industri farmasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 33
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya,memerintahkan pengundangan perturan


ini dengan penempatannya dalam berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di jakarta
Pada tanggal 16 desember 2010

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ENDANG RAHAYU SEDYANINGSIH

Diundangkan di jakarta
Pada tanggal 31 desember 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPLIK INDOESIA

PATRALIAS AKBAR

BAB III
PRODUKSI

Pasal 5
Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki
izin sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku.

Pasal 6
Psikotropika golongan 1 dilarang diproduksi dan/ atau digunakan dalam
proses produksi.

Pasal 7
Psikotrpika yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat,harus memenuhi
standar dan/atau persyaratan farmakope indonesia atau buku standar
lainnya.
BAGIAN KEDUA
PRODUKSI

Pasal 11
(1) Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi narkkotika kepada
industri farmasi tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang undangan setelah dilakukan audit
oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(2) Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi Narkotika
sesuai dengan rencana dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
(3) Badan pengawas Obat dan Makanan Melakukan pengawasan
terhadap bahan baku,proses produksi,dan hasil dari produksi
Narkotika sesuai dengan renacana kebutuhan tahunan Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
(4) Ketentuan lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan
pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan

Pasal 12
(1) Narkotika Golongan 1 dilarang diproduksi dan/atau digunakan
dalam proses produksi,kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengentahuan dan teknologi.
(2) Pengawasan produksi Narkotika Golongan 1 untuk kepentingan
pengembangan ilmu dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara ketat Oleh Badan Pengawas obat dan Makanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi
dan/atau penggunaan dalam produksi jumlah yang sangat terbatas
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
Menteri.

BAB III
PRODUKSI

Pasal 5
Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki
izin sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku.
Pasal 6
Psikotropika golongan 1 dilarang diproduksi dan/ atau digunakan dalam
proses produksi.

Pasal 7
Psikotrpika yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat,harus memenuhi
standar dan/atau persyaratan farmakope indonesia atau buku standar
lainnya.

A. Obat
Menurut Permenkes RI Nomor 949/ Menkes/ VI/2000, Yang
Menjadi pertimbangan adalah Untuk melindungi masyarakat dari
peredaran obat jadi yang tidak memenuhi persyaratan khasiat,
keamanan, mutu dan kemanfaatannya.
Pengertian :
Dalam peraturan tersebut terdapat beberapa pengertisn ysng berkait
dengan pendaftaran obat, Antara lain.
 Obat jadi : adalah sediaan atau paduan bahan bahan termasuk
produk biologi dan kontrasepsi, yang siap digunakan untuk
mempengaruhi dan menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan,
penyambuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan.
 Obat jadi baru : adalah obat jadi dengan zat berkhasiat atau
bentuk sediaan/cara pemberian atau indikasi atau posologi
baru yang belum perna di setujui di indonesia.
 Obat Jadi Sejenis : adalah obat yang mengandung zat
berkhasiat sama dengan obat jadi yang sudah terdaftar.
 Obat Jadi Kontrak : adalah obat jadi yang pembuatannya
dilimpahkan kepada industri farmasi lain.
 Obat Jadi Impor adalah obat jadi hasil produksi industri
farmasi luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA

Drs.Azwar Daris,M.Kes, APT, ”Himpunan Peraturan Perundang


Undangan Kefarmasian”. Jakarta

Drs. Wisnu Katim, dkk,”Kumpulan Peraturan Perundang undangan Bidang


Narkotika Psikotropika dan bahan berbahaya”. Jakarta

Buku Undang undang Kesehatan II. Smk Farmasi Syekh Yusuf Al


makassari Gowa

Anda mungkin juga menyukai