Anda di halaman 1dari 5

Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama / Mahakamah Syari’ah

1. Asas Personalisis Keislaman

Asas personalitas keislaman diatur UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, pasal 2. Penjelasan umum anlinea ketiga dan Pasal
49, terbatas perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.

Ketentuan yang melekat pada UU No. 50 Tahun 2009 tentang asas personalitas
keislaman adalah sebagai berikut :

1. Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.


2. Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infak, sedekahdan ekonomi syar’iyah.
3. Hubungan hukum yang melandasi berdasarkan pada hukum Islam.

Sedangkan mengenai perkara perceraian, yang diguakan sebagai ukuran menentukan


berwenang tidaknya Pengadialan Agama adlah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan
dilangsungkan.

Letak asas personalitas keislaman berpatokan pada saat terjadi hubungan hukum, artinya
patokan menentukan keislaman sesorang didasarkan pada faktor formil tanpa mempersoalkan
kualitas keislaman yang bersangkutan yang ditentukan oleh dua syarat:

a. Pada saat terjadinyab hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama islam
b. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu berdasarkan Hukum Islam.

2. Asas Ishlah (Upaya Perdamaian)

Upaya perdamaian diatur dalam pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo.
Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tentang perkawina jo. Pasal 65
dan pasal 82 (1 dan 2) UU No.. 7 tahun 1989 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam UU No.
50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agamajo. Pasal 115 KHI dan jo. SEMA No. 01 Tahun 2008
tentang Meidasi.

Isalam menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan dengan melalui pendekatan


“ishlah”. Maka dari itu, Hakim dalam Peradilan Agama menjalankan fungsi “mendamaikan”.
Dalam suatu putusan yang adil pasti ada yang kalah dan ada yang menang.

Hasil perdamaian yang didasarkan atas kesadaran dari kedua belah pihak yang
bersengketa haruslah sama-sama menang dan sama-sama kalah, sehingga mereka mereka
kembalih pulih dalam suasana rukun dan damai dalam persaudaraan.
Peran hakim dalam mendamaikan para pihak yang berperkara adalah terbatas sampai pada
menganjurkan, menasehati, menjelaskan, dan memberi bantuan dalam perumusan format dan isi
perdamaian sepanjang hal tersebutdiminta oleh para pihak, sehingga hasil perdamaian
merupakan hasil kesepakatan antara kedua belah pihak. Upaya perdamaian dalam sidang
Pengadilan Agama adalah bersifat “imperatif”, khisisnya dalam perkara perceraian. Usaha hakim
dalam perkara ini merupakan beban yang diwajibkan oleh hukum kepada hakim untuk
mendamaikan selama perkara beleum diputus.

3. Asas Terbuka Untuk Umum

Diatur dalam Pasal 59 (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam UU
No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama jo. Pasal 13 ayat (1,2 dan 3) UU No. 48 tahun 2009.
Tidak dilakukan pemeriksaan terbuka untuk umum mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Sidang Peradilan agama adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang


menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang
memerintahkan bahwa sidang secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan sidang tertutup.
Adapun pemerikasaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dalam sidang tertutup
adalah berkenaandengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan/atau cerai gugat, Pasal 68 (2)
UU No. 7 tahun 1989 yang isinya tidak diubahn dalam UU No. 59 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama.

Tujuan dari asas ini adalah untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam
bidang peradilan serta untuk memjamin objktivitas peradilan. Maksudnya adalah, apabila
putusan itu tidak dinyatakan terbuka untuk umum, berarti putusan itu tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum, kevuali apabila ditentukan oleh undang-undang atau apabila
berdasarkan alasan-alasan yang penting, yang dimuat dalam berita acara oersidangan yang
diperintahkan oleh hakim ketua majelis, persidangan dapat dilakukan dengan ruang sidang
tertutup untuk umum.

Maksud dari pemeriksaan persidangan terbka untuk umum adalah terbuka untuk siapa saj
yang ingin menghadiri, menyaksikan dan mendengar jalannya pemeriksaan persidangan, tanpa
mempersoalkan apakah mereka ada kepentingan atau tidak, terkecuali anak-anak yang dibawah
umur 15 tahun. (UU No. 8 Tahun 2981, pasal 153 ayat 5). Sebelum hakim mulai melakukan
pemeriksaan, maka dari itu harus memenuhi syarat formil yang lebih dahulu menyatakan dan
mengumumkan “persidangan untuk umum”

Adapun maksud dari pemeriksaan perkara perceraian tertutup untuk untuk umum
adalahuntuk menjaga kerahasiaan aib rumah tanggadan pribadi suami istri. Dalam pemeriksaan
perkara percerain yang dilakuka dalam sidang tertutup untuk umum, terdapat dua hal penting
yang harus diperhatikan:
(1) Ketentuan tertutup terhadap proses pemeriksaan perkara perceraian bersifat imperatif
(2) Putusan tetap diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, dengan cara, apabila
sudah sampai pada tahap pembacaan putusan maka sidang tertut, terhenti dan
berakhir, dan kembali ditegaskan asas persidangan terbuka untuk umum

Asas ini mperatif. Peralamggaran terhadap asas ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

4. Asas Equality

Asas equality dilingkungan Peradilan Agama diatur dalam Pasal 58 (1) UU No. 7 Tahun 1989,
yang pasal dan isinya tidak diubah menurut UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama jo.
Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Seiap orang yang berperkara
diluat persidangan adalah sama hak dan kedudukannya. Sehingga tidak ada perbedaan yang
bersifat “diskriminatif”, baik dalam diskriminasi normatif dan diskrimnasi kategoris.

Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap
penyelesaian perkara dipersidangan adalah:
a. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal
before the law”.
b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
c. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
 

5. Asas “Aktif” memberi bantuan


Asas aktif memberikan bantuan kepada pencari keadilan dilingkungan Peradilan Agama
adalah diatur dalam pasal 119 HIR/143 RBg. jo. pasal 58 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama jo. pasal 4 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Terlepas dari perkembangan praktik yamg cenderung mengarah kepada proses pemeriksaan
dengan “surat/tertulis”, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg. sebagai hukum
acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum, dengan ketentuan pasal 54 UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dinyatakan resmi berlaku untuk Pengadilan Agama,
menganut sistem pemeriksaan langsung dengan lisan serta tidak wajib para pihak dibantu atau
didampingi penasihat hukum.

Hukum bagi hakim untuk memberikan bantuan kepada para pihak dalam proses
lancarnya persidangan adalah bersifat imperatif (wajib) sepanjang mengenai masalah “formil”
dan tidak berkenaan dengan masalah “materiil” atau pokok perkara.

6.  Asas Ratio Decidendi ( Pertimbangan Hukum )


Segala putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dan perturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili, dan setiap putusan harus memuat
pertimbangan hukum yang didasarkan pada alasan-alasan penilaian (basic reason) dan dasar
hukum yang tepat dan benar.

Dalam buku Jimly Asshidiqie disebut juga dengan Motiverings Plicht (putusan disertai
alasan), yaitu diatur dalam pasal 25 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 jo. pasal 50 ayat 1 Tahun 2009,
menegaskan bahwa segala putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Dalil-dalil dan atau dasar hukum positif yang ada dimakudkan untuk pertanggung
jawaban dari sebuah keputusan yang telah dikeluarkan oleh Hakim dalam persidangan di
pengadilan, sehingga pihak lawan tidak akan mudah atau akan kesulitan untuk mencari celah-
celah atau kelemahan dari putusan yang telah dikeluarkan.

Dasar pertimbangan hukum dalam sebuah putusan secara yuridis normatif mengacu pada
pasal 184 ayat 1 HIR jo. pasal 195 ayat 1 RBg. alasan alasan penilaian dalam putusan mencakup
hal-hal yang bersifat rasional, aktual, dan mengandung nilai-nilai kemanusiaan, peradaban, dan
kepatutan.

7. Asas Memberi Bantuan Antar Pengadilan

Untuk kepentingan peradilan, semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang
diminta diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009. Sebab apabila tidak ada saling
memberi bantuan antar pengadilan, maka proses penyelesaian perkara akan berlarut-larut, dan
juga terhadap perkara yang telah diputus dimana salah satu pihak berada dilingkungan Peradilan
Agama lain, maka putusan tidak memiliki arti apa-apa

Anda mungkin juga menyukai