Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

CHARACTER BUILDING

PEMULUNG DAN ANAK JALANAN SERTA KEMISKINAN DI


INDONESIA

1. M ANDRA RIZKI PULUNGAN 201710115245


2. LEONARDI PUTERA 201710115248
3. IMMANUEL HASIHOLAN LIANTO 201710115249
4. ARDIANSYAH 201710115250
5. DANI AMANDA RAMADHAN 201710115252
6. HALIMAH 201710115253
7. AULIA TRI ARTANTI ` 201710115254

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan Makalah “ Pemulung dan Anak
Jalanan serta Kemiskinan di Indonesia ” ini dengan baik dan tepat waktu. Kami 
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.

Berkaitan dengan makalah ini kami banyak mendapatkan bantuan dan


bimbingan dari berbagai pihak yang diterima oleh kami baik secara langsung
maupun tidak langsung. Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini.

Akhir kata kami mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat


bagi kita semua, aamiin.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar              

Bab I.   Pendahuluan                                   

I.1 Latar Belakang Masalah               

I.2 Rumusan Masalah                       

I.3.Tujuan Penelitian                                                                            

Bab II.Landasan Teori

          II.1 Definisi dan Batasan Anak Jalanan

          II.2 Pengelompokkan Anak Jalanan

          II.3 Faktor-faktor yang Menyebabkan Adanya Anak Jalanan

          II.4 Solusi untuk Mengatasi Anak Jalanan             

Bab III.Pembahasan                

Bab IV.Penutup   

          IV.1 Kesimpulan

          IV.2 Saran                     

Daftar Pustaka   
BAB I

PENDAHULUAN

I.1     Latar Belakang Masalah

Fenomena anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang


kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang
menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan
jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak
pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak
jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah
saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-
haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat,
beradab dan bermasa depan cerah.

Pada tahun 2014 jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 8.000 orang,
pada tahun 2015 jumlah mereka mencapai lebih dari 12.000 jiwa. Dan pada
tahun 2016, ketika pertama kali dilakukan pendataan secara nasional, ditemukan
ada sekitar 240.000 anak jalanan di 12 kota besar di Indonesia. Angka yang
fantastik jika sekarang pada tahun 2017 ini angka tersebut mengalami kenaikan
lagi. Padahal, Pemprov DKI menjadikan penekanan jumlah anak jalanan
sebagai salah satu agenda kerja prioritas tahun lalu. Oleh karena itu, sebagai
sesama manusia sudah selayaknyalah kita membuat suatu kontribusi yang dapat
membantu anak-anak kurang beruntung tersebut dengan cara apapun yang dapat
kita usahakan sebagai suatu penghormatan terhadap sesama manusia ciptaan-
Nya.

Pemerintah nampaknya harus bekerja lebih keras, mengingat dalam UUD


1945 pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara”. Artinya sesungguhnya mereka yang hidup terlantar (termasuk anak
jalanan) juga harus menjadi perhatian negara. Ironisnya pemerintah seolah
angkat tangan dalam menangani anak jalanan. Malah terkadang pemerintah
melakukan razia baik untuk gepeng (gelandangan dan pengemis) ataupun anak
jalanan. Padahal sebenarnya hal itu bukanlah solusi, karena akar dari
permasalahan anak jalanan itu sendiri adalah kemiskinan. Jadi kalau ingin tidak
ada anak jalanan ataupun gelandangan dan pengemis pemerintah harusnya
memikirkan cara mengangkat mereka dari kemiskinan. Mengangkat mereka
dari kemiskinan adalah hal yang sulit, alternatif lain dengan cara meningkatkan
pendidikan pada anak jalanan, karena mereka juga memiliki hak yang sama
dengan anak-anak lain.

Di ibukota Jakarta pun bahkan sampai ada perda yang mengatur  tentang
pemberian uang di jalanan kepada anak-anak jalanan yaitu Perda No 8 tahun
2007 tentang Ketertiban Umum yang dalam pelaksanaannya masih belum
sesuai dengan harapan, bahkan hingga saat ini masih banyak pro dan kontra.
“Namun akan kita usahakan agar semuanya tepat sasaran. Tujuannya
melindungi anak-anak tersebut dan juga pengendaranya,” jelas Supeno, Kepala
Biro Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta. Hal ini senada dengan apa yang
diungkapkan oleh Ketua Satgas PA Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI), Muhammad Ichsan mengatakan, harus ada solusi konkret dari
pemerintah terkait pengentasan anak-anak jalanan dengan cara menempatkan
petugas Satpol PP, dan memonitor masyarakat yang memberikan uang kepada
anak-anak di jalanan. “Satpol PP harus memberikan sanksi kepada yang
memberikan uang kepada mereka. Karena uang yang diberikan itu yang
membuat mereka bertahan di jalanan. Kalau mau memberikan jangan di
jalanan,” tegasnya seperti dilansir situs berita Jakarta.
I.2     Rumusan Masalah

Pembahasan mengenai anak jalanan dan solusi untuk penanganannya,


akan dibatasi pada hal-hal berikut:

1. Apa saja faktor munculnya anak jalanan?


2. Apa saja solusi yang tepat untuk problem anak jalanan?

I.3     Tujuan Penelitian

Kami melakukan penelitian ini dengan mengangkat tema “Anak Jalanan”,


dengan judul “Pengaruh Lingkungan Terhadap Anak Jalanan”, bertujuan untuk:

1. Dapat mengenali anak jalanan secara pendekatan.

2. Mengetahui latar belakang munculnya anak jalanan.

3. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan munculnya

    anak jalanan.

4. Mencari tahu solusi yang tepat untuk menangani problem anak jalanan.
BAB II

PEMBAHASAN

II.1  Definisi dan Batasan Anak Jalanan

Departemen Sosial RI mendefinisikan, “anak jalanan adalah anak yang


sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran
di jalanan atau tempat-tempat lainnya”. UNICEF memberikan batasan tentang
anak jalanan, yaitu : Street child are those who have abandoned their homes,
school and immediate communities before they are sixteen years of age, and
have drifted into a nomadic street life (anak jalanan merupakan anak-anak
berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah
dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-
pindah di jalan raya (H.A Soedijar, 1988 : 16).

Hidup menjadi anak jalanan bukanlah sebagai pilihan hidup yang


menyenangkan, melainkan  keterpaksaan yang harus mereka terima karena
adanya sebab tertentu. Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena
yang menuntut perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah anak-
anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional
yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan
dunia jalanan yang keras dan cenderung  berpengaruh negatif bagi
perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini
berdampak kuat pada aspek sosial. Di mana labilitas emosi dan mental mereka
yang ditunjang dengan penampilan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif
oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan
pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah masyarakat yang harus
diasingkan.
Pada taraf tertentu stigma masyarakat yang seperti ini justru akan memicu
perasaan alineatif  mereka yang pada gilirannya akan melahirkan
kepribadian introvert, cenderung sukar mengendalikan diri dan asosial. Padahal
tak dapat dipungkiri bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa untuk masa
mendatang.

II.2  Pengelompokkan Anak Jalanan

Himpunan mahasiswa Pemerhati Masyarakat Marjinal Kota


(HIMMATA) mengelompokan anak jalanan menjadi dua kelompok, yaitu anak
semi jalanan dan anak jalanan murni. Anak semi jalanan diistilahkan untuk
anak-anak yang hidup dan mencari penghidupan dijalanan, tetapi tetap
mempunyai hubungan dengan keluarga. Sedangkan anak jalanan murni
diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan menjalani kehidupannya di jalanan
tanpa punya hubungan dengan keluarganya (Asmawati, 2001 : 28 ).

 Menurut Tata Sudrajat (1999:5) anak jalanan dapat dikelompokan menjadi 3


kelompok berdasarkan hubungan dengan orang tuanya, yaitu :Pertama, Anak
yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di jalanan
(anak yang hidup dijalanan / children the street). Kedua,anak yang berhubungan
tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya
seminggu sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau tiga bulan sekali biasa
disebut anak yang bekerja di jalanan (Children on the street). Ketiga, Anak
yang masih sekolah atau sudah putus sekolah, kelompok ini masuk kategori
anak yang rentan menjadi anak jalanan ( vulnerable to be street children).

Sementara itu menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999 ; 22-24)


anak jalanan  dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu :

1. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya (children of the
street). Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas
jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus.
Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka
mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua.
Umumnya mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan
solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka. 

2. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah
anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Mereka seringkali
diindentikan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur kepada
orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingg sore
hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung, dan
kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan
saudara atau teman-teman senasibnya. 

3. Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal


dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan sebelum atau sesudah sekolah.
Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu
orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling menyolok
adalah berjualan koran.

4. Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan


untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah
lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti
orang dewasa (orang tua ataupun saudaranya) ke kota. Pekerjaan mereka
biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli
panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung.

Secara garis besar terdapat dua kelompok anak jalanan, yaitu : 1). Kelompok
anak jalanan yang bekerja dan hidup di jalan. Anak yang hidup di jalan
melakukan semua aktivitas dijalan, tidur dan menggelandang secara
berkelompok. 2). Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan (masih pulang
ke rumah orang tua). 
II.3  Faktor-faktor yang Menyebabkan Adanya Anak Jalanan

 Banyak faktor yang kemudian diidentifikasikan sebagai penyebab tumbuhnya


anak jalanan. Parsudi Suparlan berpendapat bahwa adanya orang gelandangan
di kota bukanlah semata-mata karena berkembangnya sebuah kota, tetapi justru
karena tekanantekanan ekonomi dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang
kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberikan
kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota (Parsudi Suparlan,
1984 : 36).

Menurut Saparinah Sadli (1984:126) bahwa ada berbagai faktor yang saling
berkaitan dan berpengaruh terhadap timbulnya masalah gelandangan, antara
lain: faktor kemiskinan (struktural dan pribadi), faktor keterbatasan kesempatan
kerja (faktor intern dan ekstern), faktor yang berhubungan dengan urbanisasi
dan masih ditambah lagi dengan faktor pribadi seperti tidak biasa disiplin, biasa
hidup sesuai dengan keinginannya sendiri dan berbagai faktor lainnya.

Hasil penelitian Hening Budiyawati, dkk. (dalam Odi Shalahudin, 2000:11)


menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak pergi ke jalanan
berdasarkan alasan dan penuturan mereka adalah karena:

1) Kekerasan dalam keluarga.

2). Dorongan keluarga.

3). Ingin bebas.

4). Ingin memiliki uang sendiri.

5). Pengaruh teman. 

Beragam faktor tersebut yang paling dominan menjadi penyebab munculnya


anak jalanan adalah faktor kondisi sosial ekonomi di samping karena adanya
faktor broken home serta berbagai faktor lainnya.
II.4  Solusi untuk Mengatasi Anak Jalanan

Menurut Nugroho ada tiga pendekatan untuk mengatasi masalah anak jalanan,
yaitu:

1.     Pendekatan Penghapusan (abolition)

Lebih mendekatkan pada persoalan struktural dan munculnya gejala anak


jalanan. Anak jalanan adalah produk dari kemiskinan, dan merupakan akibat
dari bekerjanya sistem ekonomi politik masyarakat yang tidak adil. Untuk
mengatasi masalah anak jalanan sangat tidak mungkin tanpa menciptakan
struktur sosial yang adil dalam masyarakat. Pendekatan ini lebih menekankan
kepada perubahan struktur sosial atau politik dalam masyarakat, dalam rangka
melenyapkan masalah anak jalanan.

1.     Pendekatan Perlindungan (protection)

Mengandung arti perlunya perlindungan bagi anak-anak yang terlanjur menjadi


anak jalanan. Karena kompleksnya faktor penyebab munculnya masalah
kemiskinan, maka dianggap mustahil menghapus kemiskinan secara tuntas.
Untuk itu anak-anakyang menjadi korban perlu di lindungi dengan berbagai
cara, misalnya:melalui perumusan hukum yang melindungi hak-hak anak.
Fungsionalisasi lembaga pemerintah, LSM dan lembaga-lembaga sosial lainnya.
Perlindungan ini senada dengan pendapat pemerintah melalui departemen
sosial, praktisi-praktisi LSM dan UNICEF di mana tanggal 15 Juni 1998
membentuk sebuah lembaga independent yang melakukan perlindungan pada
anak. Yaitu lembaga perlindungan anak (LPA) membentuk LA tersebut
didasarkan pada prinsip dasar terbentuknya embrio LPA, yaitu:1) Anak di
fasilitasi agar dapat melaporkan keadaan dirinya.2) Menghargai pendapat
anak.3) LPA bertanggung jawab kepada masyarakat bukan kepada
pemerintah.4) Accountability Menurut Nugroho, sisi negatif dari pendekatan
perlindungan tersebutadalah strategis perlindungan hanya akan menjadi ajang
kepentingan para elitdan tokoh masyarakat sehingga berimplikasi pada tidak
tuntasnyapenyelesaian problem anak jalanan. Produk-produk hukum yang
dirumuskan sebagai wujud bagi perlindungan terhadap anak.

1.     Pendekatan Pemberdayaan (empowerment)

Menekankan perlunya pemberdayaan bagi anak jalanan. Pemberdayaan ini


bermaksud menyadarkan mereka yang telah menjadi anak jalanan agar
menyadari hak dan posisinya dalam konteks social, politik ekonomi yang abadi
di masyarakat. Pemberdayaan biasanya di lakukan dalam bentuk pendampingan.
Yang berfungsi sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator bagi anak jalanan.
Pemberdayaan ini dikatakan berhasil jika anak jalanan berubah menjadi kritis
dan mampu menyelesaikan permasalahannya secara mandiri.

Selain itu ada cara lain yang mampu mengatasi masalah anak jalanan, yaitu
sebagai berikut:

1.     Melakukan pembatasan terhadap arus urbanisasi (termasuk arus masuknya


anak-anak) ke Jakarta, dengan cara operasi yustisi, memperkuat koordinasi
dengan daerah asal, pemulangan anak jalanan ke daerah asal dll.
2.     Melakukan identifikasi terhadap akar permasalahan guna menyelesaikan
masalah anak jalanan tersebut dengan menyentuh pada sumber
permasalahannya. Sebagai contoh: banyak diantara anak jalanan yang menjadi
tulang punggung keluarganya. Jika ini yang terjadi, maka pemerintah tidak bisa
hanya melatih, membina atau mengembalikan si anak ke sekolah. Tapi lebih
dari itu, pemerintah harus melakukan pendekatan dan pemberdayaan ekonomi
keluarganya.
3.     Mengembalikan anak jalanan ke bangku sekolah.
4.     Memberikan perlindungan kepada anak jalanan tanpa terkecuali. UU nomor 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyatakan bahwa perlindungan anak
perlu dilakukan dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera.
5.     Menciptakan program-program yang responsif terhadap perkembangan anak,
termasuk anak jalanan.
6.     Melakukan penegakan hukum terhadap siapa saja yang memanfaatkan
keberadaan anak-anak jalanan.
7.     Membangun kesadaran bersama bahwa masalah anak jalanan sesungguhnya
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga,
dan orang tua.

Pengemis dan pengamen jalanan seringkali dianggap sebagai “sampah


masyarakat”, karena baik pemerintah maupun masyarakat merasa terganggu
oleh kehadiran mereka yang lalu lalang di perempatan lalu lintas, di pinggir
jalan, di sekitar gedung perkantoran, pertokoan, dan banyak tempat-tempat lain
yang seringkali di jadikan tempat beroperasi. Belakangan ini pengemis,
pengamen, dan gelandangan semakin banyak berkeliaran di jalanan, terutama di
Jakarta dan kota-kota besar lainnya, termasuk kota Bekasi. Di kota Bekasi
sendiri misalnya, mereka beroperasi di terminal, stasiun, di pinggiran jalan atau
lampu merah. Pemuda, remaja, pasangan suami-istri, anak-anak, dan perempuan
renta semakin menyesaki ruang publik kita. Itulah yang menyebabkan sebagian
besar dari kita merasa sangat terganggu dengan keberadaan mereka yang hampir
ada di mana-mana dan membuat kita merasa tidak nyaman. Banyaknya
kriminalitas juga seringkali dikaitkan terutama dengan anak-anak jalanan,
karena mereka di beberapa kesempatan terlihat melakukan tindak-tindak
kriminalitas seperti pencopetan, perampasan, melakukan tindak kekerasan,
penodongan, pelecehan seksual, perkelahian, dan masih banyak kejahatan-
kejahatan lain yang rentan dilakukan oleh anak-anak jalanan. Mungkin hal-hal
tersebut yang akhirnya membuat pemerintah dan masyarakat menganggap
mereka sebagai “sampah masyarakat”.

Sering kita melihat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merazia
Anak-anak Jalanan dan Gelandangan untuk dibawa ke Dinas Sosial dengan
alasan dan dalih untuk ‘Di Bina dan Dididik’ secara baik sehingga mereka tidak
kembali ke jalan lagi. Namun yang terjadi di balik dalih pembinaan sosial
tersebut justru adanya tindak kekerasan, pelecehan dan pelanggaran hak-hak
anak yang dialami oleh anak-anak jalanan. Kejadian tersebut jarang terungkap
ke masyarakat karena anak-anak jalanan selaku korban tidak banyak yang
melakukan perlawanan apalagi hingga melapor ke pihak yang berwajib karena
mereka takut hal itu justru akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pada
saat kita pergi kita sering melihat banyak pengemis, pengamen, dan lain-lain.

Hal Itu merupakan salah satu akibat dari kemiskinan. Kemiskinan


memang saat ini masih belum ada solusinya, tetapi tampaknya Pemerintah
masih belum maksimal dalam menangani masalah kemiskinan. Dan itu bukan
hanya salah Pemerintah saja tetapi kita juga harus dapat mengatasi kemiskinan
tersebut, karena untuk mengubah kemiskinan harus dibutuhkan mental yang
bagus. Kemiskinan memang dapat mengganggu kesejahteraan masyarakat, dan
itu sangat tampak dari semakin banyaknya pengemis dan pengamen jalanan
dimana-mana yang kadang mengganggu kenyamanan kita. Mungkin
kemiskinan terjadi karena tidak dapat membiayai kehidupan secara langsung.
Dan itulah yang terjadi sekarang ini, bahwa kemiskinan sekarang ada dimana-
mana dan menyebabkan semakin bertambahnya ‘sampah masyarakat’.

23 Juli telah ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Momentum


seperti ini seharusnya bisa dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap silang-
sengkarutnya dunia anak yang terkebiri dan termarginalkan. Tak jarang anak-
anak dari keluarga tak mampu sering “dipaksa” untuk secepatnya menjadi
dewasa dengan beban tanggung jawab ekonomi keluarga secara berlebihan
sehingga mereka tak sempat menikmati masa kanak-kanak yang ceria dan
menyenangkan. Sudut-sudut kota pun sarat dengan keliaran anak-anak jalanan.
Ironisnya, tak sedikit aparat yang menilai kehadiran mereka sebagai sampah
masyarakat yang mesti dikarantina tanpa ada kemauan politik untuk
membebaskan mereka dari cengkeraman kemiskinan dan ketidakadilan.

Anak jalanan, agaknya masih menjadi salah satu problem klasik di


negara-negara berkembang, termasuk di negara kita. Kehadiran mereka di
sudut-sudut kota yang pengap dan kumuh bisa jadi sangat erat kaitannya dengan
jeratan kemiskinan yang menelikung orang tuanya. Masih jutaan keluarga di
negeri ini yang hidup di bawah standar kelayakan. Untuk menyambung hidup,
mereka dengan sengaja mempekerjakan anak-anak untuk berkompetisi di
tengah pertarungan masyarakat urban yang terkesan liar dan kejam. Kekerasan
demi kekerasan seperti mata rantai yang menempa sekaligus menggilas anak-
anak miskin hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang
terbelah. Tentu saja, kita tidak bisa bersikap apriori dengan mengatakan,
“Salahnya sendiri, kenapa miskin?” kalau saja mereka punya pilihan untuk
dilahirkan, sudah pasti tak ada seorang pun anak manusia yang ingin lahir dan
besar di tengah-tengah deraan kemiskinan orang tuanya.

Dari sisi latar belakang kehidupan keluarga yang sangat tidak nyaman
untuk tumbuh dan berkembang secara wajar, sesungguhnya tak ada tempat
untuk menyia-nyiakan anak-anak miskin yang terlunta-lunta hidup di jalanan.
Kehadiran mereka justru perlu diberdayakan dengan sentuhan lembut penuh
kemanusiawian. Namun, berkembangnya sikap latah dan kemaruk ingin
menjadi kaum borjuis dan bergaya hidup feodal secara instan agaknya telah
membakar dan menghanguskan nilai-nilai kemanusiawian itu. Alih-alih
menyantuni, gaya hidup borjuasi dan feodalistik itu, disadari atau tidak, justru
telah memosisikan anak-anak jalanan makin kehilangan kesejatian dirinya.
Kata-kata kasar dan perlakuan tak senonoh sudah menjadi hiasan hidup dalam
keseharian anak-anak jalanan. Orang-orang kaya yang seharusnya bisa
memberdayakan dan menggerakkan semangat hidup mereka justru makin
tenggelam dalam sikap hipokrit, pongah, dan kehilangan kepekaan terhadap
nasib sesama.

Kondisi itu diperparah dengan sikap negara yang belum sepenuhnya


mampu memberikan perlindungan memadai buat mereka. Melalui tangan-
tangan aparatnya, anak-anak jalanan justru digaruk dan dihinakan di atas mobil
bak terbuka; diarak dan dipertontonkan kepada publik. Sungguh, sebuah
perlakuan purba yang jauh dari nilai-nilai kesantunan masyarakat beradab.

Kini, ketika momentum HAN itu tiba, tak jugakah kita tergerak untuk
menjadikan anak-anak jalanan sebagai generasi masa depan yang punya hak
untuk hidup secara layak di bumi yang konon “gemah ripah loh jinawi” ini?
Sudah tak ada ruangkah bagi mereka untuk bersemayam di dalam rongga hati
kita hingga akhirnya mereka benar-benar harus kehilangan masa depan?

Setiap anak merupakan asset yang akan meneruskan cita-cita suatu


bangsa, untuk mencetak anak-anak yang kelak dapat menjadi tulang punggung
bangsanya harus dipersiapkan sejak dini melalui pemenuhan kebutuhan fisik,
mental maupun sosial yang sesuai dengan masa tumbuh kembangnya. Namun,
sejak terjadi krisi moneter yang melanda Indonesia, bnanyak anak-anak yang
terabaikan kebutuhannya. Salah satu fenomenanya adalah keberadaan anak
jalanan.

Anak jalanan atau biasa disingkat anjal adalah potret kehidupan anak-
anak yang kesehariannya sudah akrab di jalanan. Dan mungkin kita sudah tidak
asing tentang sosok ini, karena disetiap penjuru kota, kita dapat dengan mudah
menemukan mereka. Lalu apa sebenarnya yang terjadi dengan anak-anak ini?
Mereka yang tergolong kecil dan masih dalam tanggung jawab orang tuanya
harus berjuang meneruskan hidup sebagai anak jalanan dan terkadang mereka
menjadi sasaran tindak kekerasan dari orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Tapi ada juga sebagian orang tua yang dengan alasan untuk membantu
ekonomi keluarga, menganjurkan agar anak-anaknya untuk menghabiskan masa
kecilnya sebagai anak jalanan. Banyak faktor mengapa mereka menjadi anak
jalanan, disamping masalah ekonomi keluarga salah satunya adalah kurangnya
pendidikan. Usia mereka yang relatif masih kecil dan muda seharusnya masih
dalam tahap belajar dan merasakan sebuah pendidikan, tetapi mungkin karena
dengan alasan tertentu, mereka malah asyik menikmati hidup sebagai anak
jalanan dan tidak mementingkan sebuah pendidikan.

Bila kita melihat orang jalanan atau pengamen yang selalu yang ada di
benak kita adalah anak yang kotor, kumuh, dan nakal. Memang semua itu benar,
tapi ada suatu hal yang lebih berharga di balik semua itu. Anak jalanan atau
pengamen mempunyai suatu keistimewaan yang tidak kita miliki. Apa
keistimewaannya? Setiap hari mereka mampu melawan kekejaman kehidupan
hanya untuk satu tujuan yaitu mencari uang untuk hidup sehari. Walaupun yang
didapat sedikit namun mereka tetap bersyukur dan tak mengenal kata “putus
asa” untuk kembali berjuang pada hari-hari selanjutnya. Namun bagaimana
dengan kita?  Belum tentu kita sehebat itu. Oleh karena itu, hargailah mereka
karena sesungguhnya kita tidak tahu bagaimanakah kehidupan mereka
sesungguhnyaa itu
BAB III

PENUTUP

Permasalahan anak putus sekolah (anak jalanan) akan semakin rumit jika
dibiarkan saja. Semakin hari angka tersebut akan semakin tinggi, jika tidak
dilakukan upaya tegas dari pemerintah. Banyaknya anak putus sekolah dan
beralih menjadi anak jalanan sebab yang mendasar adalah masalah ekonomi
keluarga. Disini peran pemerintah sangat diperlukan, untuk menanggulanginya
pemerintah dapat menciptakan lapangan kerja, program kredit usaha rakyat atau
koperasi, memberikan keterampilan dan modal usaha agar para orang tua
bekerja dan mampu menyekolahkan anak mereka. Dan yang terpenting adalah
sosialisasi atau kampanye tentang arti penting pendidikan. Memberikan
pemahaman tentang arti penting dari generasi sekarang untuk masa depan
bangsa ini.

III.1 Kesimpulan

Kurang nya perhatian dari pemerintah untuk Anak jalanan sangat


berpengaruh pada kondisi psikis mereka, karena anak jalanan juga manusia
yang butuh bantuan bukan diasingkan. Peran orang tua juga sangat penting
dalam mendidik anak nya supaya mereka tidak terhasut dalam kehidupan anak
jalanan.

Kita tidak bisa menganggap bahwa anak jalanan adalah berandalan,


pengganggu, maling, dsb. Mereka hanya seseorang yang kurang perhatian dari
orang tua, masyarakat, dan pemerintah, iya memang ada anak jalanan yang
berandalan akan tetapi bukan berarti semua anak jalanan juga memiliki sifat
begitu.
III.2 Saran

Orang tua seharusnya mendidik anak nya dan memantau nya bukan hanya
sibuk mencari nafkah sehingga lupa dengan anaknya

Pemerintah jangan pura-pura buta soal anak jalanan, sebenarnya ini salah
pemerintah yang menaikan harga makanan, biaya sekolah, dll sehingga anak
jalan tidak sanggup untuk melanjutkan sekolahnya lagi

DAFTAR PUSTAKA

Ahira, Anne. Memfasilitasi Pendidikan bagi Anak Jalanan, (online),


(http://anneahira.com, diakses pada tanggal 7 april 2013, pukul 09.32 WIB).

Arief, Armai. 15 Juni 2004. Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan, (online),


(http://anjal.blogdrive.com, diakses pada tanggal 7 april 2013, pukul 11.07
WIB).

Hapsari, Endah. 09 April 2013. Awas, Kasih Uang ke Anak Jalanan Bisa


Kena Sanksi,(online), (http://republika.co.id, diakses pada tanggal 7 april 2013,
pukul 09.47 WIB).

Syaifudin. Ketidakberfungsian Lembaga Pemerintah terhadap Masalah


Putus Sekolah, (online), (http://edukasi.kompasiana.com, diakses pada tanggal
23 mei 2013, pukul 13.21 WIB).

Anda mungkin juga menyukai