Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai oleh
inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan
saluran napas yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan yang
sesuai. Meskipun pengobatan efektif telah dilakukan untuk menurunkan
morbiditas karena asma, keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat
telah sesuai.
Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan
penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di
Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok.
Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima
belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban
global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi
penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di
sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan
bahkan kematian (1).
Asma memiliki tingkat fatalitas yang rendah namun jumlah kasusnya
cukup banyak ditemukan dalam masyarakat. Badan kesehatan dunia (WHO)
memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma, jumlah ini
diperkirakan akan terus bertambah sebesar 180.000 orang setiap tahun.
Berdasarkan hasil suatu penelitian di Amerika Serikat hanya 60% dokter ahli
paru dan alergi yang memahami panduan tentang asma dengan baik,
sedangkan dokter lainnya 20-4-%. Tidak mengherankan bila tatalaksana asma
belum sesuai dengan yang diharapkan. Di lapangan masih banyak dijumpai
pemakaian obat anti asma yang kurang tepat dan masih tingginya kunjungan
pasien ke unit gawat darurat, perawatan inap, bahkan perawatan intensif.
Hampir separuh daei seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan
melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal ini
disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman
yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA) (2).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi
asma di masyarakat, namun tanpa peran serta masyarakat tentunya tidak akan
dicapai hasil yang optimal. Apoteker dalam hal ini dapat membantu
penanganan penyakit asma dengan mengarahkan pasien yang diduga
menderita asma untuk memeriksakan dirinya, memotivasi pasien untuk patuh
dalam pengobatan, memberikan informasi dan konseling serta membantu
dalam pencatatan untuk pelaporan (1).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah terapi asma yang diberikan sudah sesuai dengan penatalaksanaan
pasien asma?
2. Apakah pasien mengalami drug related problem terhadap obat yang
diberikan selama pengobatan?
3. Apakah terapi obat yang diberikan mencapai outcome yang diharapkan?

C. TUJUAN
1. Apoteker dapat memberikan terapi yang sesuai dengan tatalaksana yang
ditetapkan untuk pasien asma
2. Mencegah atau menghilangkan sehingga tidak terjadi drug related
problem pada pasien
3. Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan mencapai hasil outcome
terapi yang baik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PATOFISIOLOGI
1. Etiologi dan Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil
dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan
sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita
asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma
intermiten maupun asma persisten. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hiperesponsif (heperaktifitas) jalan napas yang menimbulkan
gejala episodic berulang berupa sesak napas, mengi, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama pada malam hari dan/atau dini hari. Episodik
tersebut berkaitan dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi
dan seringkali bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan (1)

2. Faktor Risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu antara lain (1) :
a. Predisposisi genetic asma
b. Alergi
c. Hiperaktifitas bronkus
d. Jenis kelamin
e. Rasa tau etnik
Faktor lain yang merupakan faktor risiko asma adalah faktor lingkungan
antara lain:
a. Alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik,
allergen binatang, jamur, tepung sari bunga
b. Sensitisasi (bahan) lingkungan kerja
c. Asap rokok
d. Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
e. Infeksi pernapasan (virus)
f. Perubahan cuaca
g. Obesitas
Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara
dingin, histamine dan metkolin. Secara skematis mekanisme terjadinya
asma digambarkan sebagai berikut:

Gambar II.1 Skema mekanisme terjadinya asma (2).

3. Presentasi Klinis
a. Asma Kronik
Gejala yang ditimbulkan pada penderita asma kronik antara lain
dyspnea, dada sesak, batuk (biasanya terjadi pada malam hari), dan
mengi. Gejala ini muncul biasanya akibat beraktivitas atau setelah
olahraga yang berat atau bahkan dapat muncul secara spontan atau
pada situasi yang disebabkan oleh adanya allergen (3).
Tanda lain yang dapat timbul termasuk mengi pada saat ekspirasi
pada auskultasi; batuk kering dan atopi (misalmnya rhinitis alergi atau
eczema). Gejala asma dapat bervariasi dari gejala asma kronik harian
hingga hanya gejala asma intermiten. Interval atau jeda waktu antara
gejala dapat beberapa hari, minggu, bulan ataupun tahun. Tingkat
keparahan ditentukan oleh fungsi paru-paru, gejala, gangguan tidur
pada malam hari karena gejala asma, dan gangguan aktivitas sebelum
terapi. Gejala yang dialami pasien dapat berupa hanya gejala
intermittent ringan sehingga tidak dibutuhkan terapi obat atau pasien
dapat mengalami gejala yang membutuhkan terapi obat seperti β 2
agonis. (3).
b. Asma Berat Akut
Asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya perubahan
dari keadaan asma kronis menjadi asma akut dimana terjadi inflamasi,
adanya edema pada jalur nafas, akumulasi mucus, dan bronkospasme
yang parah yang dihasilkan karena penyempitan pada jalur napas.
Pasien mungkin mengalami kesulitan dalam bernapas, mengeluh
dyspnea berat, sesak napas, sesak pada dada dan dada seperti terbakar.
Pasien mungkin hanya dapat mengucapkan beberapa patah kata setiap
nafas. Gejala seperti ini biasanya tidak responsive terhadap tindakan
biasa (dengan mengirup β agonis). Tanda-tanda yang muncul temasuk
mengi pada saat ekspirasi dan inspirasi pada auskultasi: batuk kering,
takipnea, takikardia, pucat atau sianosi dan dada dengan hiperinflasi
retraksi intercostal dan supraklavikular. Bunyi nafas mungkin
berkurang dengan adanya obstruksi berat (3).

4. Diagnosis (2)
Diagnosis asma yang tepat terhadap penderita asma sangatlah penting,
sehingga penyakit ini dapat ditangani sebagaimana mestinya. Mengi
(wheezing) dan/atau batuk kronik berulan merupakan titik awal untuk
menegakkan diagnosis. Secara umum untuk menegakkan diagnosis asma
diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
a. Anamnesis
Pada pemeriksaan anamnesis ada beberapa hal yang harus ditanyakan
dari pasien asma antara lain:
1) Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang
dini hari?
2) Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk
setelah terpajan allergen atau polutan?
3) Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (commond cold)
merasakan sesak di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan
(10 hari atau lebih)?
4) Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah
melakukan aktifitas atau olahraga?
5) Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah
pemberian obat pelega (bronkodilator)?
6) Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan
musim/cuaca atau suhu ekstrim (tiba-tiba)?
7) Apakaha ada penyakit alergi lainnya (rhinitis, dermatitis atopi,
konjunktivitis alergi)?
8) Apakah dalam keluarga ada yang menderita asma atau alergi?

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai
didapatkannya kelainan. Perlu diperhatikan tanda tanda asma dan
penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang paling sering ditemukan
adalah mengi, namun pada sebagian pasien asma tidak didapatkan
mengi diluar serangan. Begitupula pada asma yang sangat berat mengi
dapat tidak terdengar (silent chest), biasanya papsien dalam keadaan
sianosis dan kesadaran menurun.
Secara umum, pasien yang sedang mengalami serangan asma dapat
ditemukan hal-hal sebagai berikut, sesuai derajat serangan:

1) Inspeksi
Pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat,
retraksi sela iga, retraksi epigastrum, retraksi suprasternal), dan
sianosis.
2) Palpasi
Biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat
terjadi palsus paradoksus
3) Perkusi
4) Auskultasi
Ekspirasi memanjang, mengi dan suara lendir

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk penegakkan diagnosis
asma antara lain:
1) Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
2) Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate
meter
3) Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
4) Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hiperaktivitas
bronkus
5) Uji alergi (tes tusuk kulit/skin prick test) untuk menilai ada
tidaknya alergi
6) Foto toraks, pemerikasaan ini dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit selain asma

5. Klasifikasi Asma
Tingkat keparahan penyakit asma ditentukan oleh berbagai faktor, anatara
lain gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, ekserbasi, gejala
malam hari, pemberian obat inhalasi β2 agonis dan uji faal paru) serta
obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi
obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal
yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit, oleh karena itu
dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat
menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat
penting dalam penatalaksanaan pengobatannya.
Tabel II.1 Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada
orang dewasa (2).
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
Intermitten Bulanan APE ≥ 80%
-Gejala <1x/minggu ≤ 2 kali sebulan -VEP ≥ 80% nilai prediksi APE
-Tanpa gejala diluar ≥ 80% nilai terbaik
serangan -Variabiliti APE <20%
-Serangan singkat
Persisten ringan Mingguan APE > 80%
- Gejala >1x/minggu >2 kali sebulan - VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
- Serangan dapat APE ≥ 80% nilai terbaik
mengganggu - Variabiliti APE 20-30%
aktifitas dan tidur
Persisten sedang Harian APE 60-80%
- Gejala setiap hari >2 kali sebulan - VEP1 60-80% nilai prediksi
- Serangan APE 60-80% nilai terbaik
mengganggu - Variabiliti APE>30%
aktifitas dan tidur
- Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
Persisten Berat Kontinyu APE ≤ 60%
- Gejala terus Sering - VEP1 ≤ 60% nilai prediksi
menerus APE ≤ 60% nilai terbaik
- Sering kambuh - Variabiliti APE>30%
- Aktifitas fisik
terbatas
B. TATALAKSANA ASMA
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari atau dalam kata lain asma
terkontrol. Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi
penatalaksanaan asma akut/serangan dan penatalaksanaan asma jangka
panjang.
Tabel II.2 Algoritma Penatalaksanaan Asma di Rumah Sakit (2).
Penilaian awal
Riwayat dan pemeriksaan fisik
(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru
(APE atau VEP1. Saturasi, O2), AGDA dan pemeriksaan fisik lain atas indikasi

Serangan asma ringan Serangan asma sedang/berat Serangan asma


mengancam jiwa

Pengobatan Awal
 Oksigenasi dengan kanul nasal
 Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi) setiap 20 menit
dalam satu jam) atau agonis injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan
atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)
 Kortikosteroid sistemik
- Serangan asma berat
- Tidak ada respon segera dengan pengobatan bronkodilator
- Dalam kortikosterois awal

Penilaian ulang setelah 1 jam


Pemeriksaan fisis, saturasi O2 dan pemeriksaan lain atas indikasi

Respon baik Respon tidak sempurna Respon buruk dalam 1 jam


 Respon baik dan stabil  Resiko tinggi distress  Resiko tinggi distress
dalam 60 menit  Pem.fisis : gejala  Pem.fisis: berat, gelisah
 Pem fisik normal ringan-sedang dan kesadaran menurun
 APE > 70%  APE > 50% terapi  APE < 30%
prediksi/nilai terbaik <70%  PaCO2 < 45 mmHg
Dirawat di RS Dirawat di ICU
Pulang  Inhalasi agonis beta-2 +  Inhalasi agonis beta-2 +
 Pengobatan dilanjutkan antikolinergik antikolinergik
dengan inhalasi agonis  Kortikosteroid sistemik  Kortokosteroid IV
beta-2  Aminofilin drip  Pertimbangkan agonis
 Membutuhkan beta-2 injeksi SC/IM/IV
 Terapi oksigen
kortikosteroid oral  Aminofilin drip
pertimbangkan kanul nasal
 Edukasi pasien  Mungkin perlu intubasi
atau masker venture
dan ventilasi mekanik
 Pantau APE, Sat O2, nada,
kadar teofilin

Perbaikan Tidak perbaikan

Pulang
Bila APE>60% Dirawat di ICU
prediksi/terbaik. Tetap Bila tidak
berikan pengobatan oral perbaikan dalam 6-
atau inhalasi 12 jam
Pada kasus asma yang memburuk, dapat terjadi ekserbasi asma. Tatalaksana
pada asma ekserbasi berdasarkan GINA 2019 adalah sebagai berikut (4) :

BAB III

STUDI KASUS

A. KASUS PASIEN ASMA


Seorang wanita berumur 55 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan infeksi
saluran cerna. Infeksi dikerahui karena adanya organisme Staphylococcus
aureus sehingga antibiotik levofloksasin diberikan, selain itu wanita tersebut
telah menderita asma sejak kecil dan kondisi penyakit asmanya semakin
memburuk pada beberapa hari terakhir. Oleh dokter pengobatan asma yang
diberikan selama dirawat dirumah sakit adalah sebagai berikut:
1. Fluticasone/salmeterol (500 mcg/100 mcg per hari)
2. Prednisolone (10 mg per hari)
3. Theophylline (400 mg per hari)
4. Pranlukast (450 mg per hari)
Meskipun telah diberikan pengobatan, kondisi asmanya tidak membaik dan
mengalami dyspnea dan mengi yang berkelanjutan. Dokter melakukan uji
fungsi paru/ pulmonary function test (hasil terlampir) yang menunjukkan
adanya obstruksi paru sehingga dokter meningkatkan dosis prednisolone
menjadi 20 mg/hari. Setelah dilakukan peningkatan dosis prednisolone,
kondisi pasien tidak membaik (dyspnea dan mengi tetap ada) pasien juga
diketahui menderita hypoxia dan terjadi ekserbasi asma. Dokter
menambahkan pengobatan berupa
5. Omalizumab (300 mg per hari)
Namun, setelah pemberian omalizumab, kondisi pasien semakin memburuk
dan menunjukkan adanya atelectasis pada paru-paru sebelah kiri. Dokter
memutuskan menghentikan pemberian omalizumab dan meningkatkan dosis
prednisolone menjadi 120 mg/hari selama 3 hari dan diturunkan secara
bertahap menjadi 60, 40 dan 20 mg/hari dalam beberapa hari. Dokter juga
memberikan obat tambahan lain yang berupa
6. Penipenem/betamipron selama 2 minggu
7. Takrolimus (2 mg/hari)
Setelah pemberian tacrolimus atekletasis pasien menunjukkan perbaikan,
hypoxia dan dyspneanya pun semakin membaik dan pasien sudah dapat
berjalan dan bernafas tanpa bantuan oksigen sehingga dosis prednisolone
diturunkan menjadi 20 mg/hari. Pasien selanjutnya dipindahkan ke rumah
sakit lain untuk direhabilitasi.
Tabel II.3 Hasil pemeriksaan uji fungsi paru
Parameter Hasil
%FVC 119,7%
%FEV1 66,5%
%PEF 49,5%
Keterangan: FVC = Forced Vital Capacity
FEV1 = Forced Expiratory Volume in 1 second
PEV = Peak Expiratory Flow

Tabel II.4 Hasil Pemeriksaan laboratorium


Hematology Hasil
Sel darah Putih 14,500/mm3
Neutrophils 91,0%
Eosinophils 0,0%
Lymphocytes 6,0%
Monocytes 3,0%
Serology
Antinuclear antibodies Negatif
Immunoglobulin E 635 IU/mL
Aspergillus antigen (-)
Candida antigen (-)

(a) (b)
Gambar II.1 Hasil Pemeriksaan Radiograph dada menunjukkan (a) atelectasis; (b)
perbaikan setelah pemberian tacrolimus.
B. ANALISIS SOAP
Data Pasien Subyektif Objektif Profil Obat Assesment Plan Referensi

Ny. X
Umur : 55 Sesak dada, FVC = 119,7% Teofilin 400 mg/hari Dosis terlalu - Konsultasikan Pionas
tahun mengi PEF = 49,5% tinggi pada dokter
Berat Badan ; FEV1 = 66,5% - Penurunan
- dosis teofilin
Tinggi Badan : Teofilin 400 mg/hari Penggunaan - Konsultasikan GINA 2019
- obat terlalu lama pada dokter
- Teofilin tidak
dapat
digunakan
dalam jangka
waktu panjang
Prednisolone 120 Dosis terlalu - Konsultasikan PIONAS
mg/hari tinggi pada dokter
- Disarankan
tapering off
dosis
Atelektasis Omalizumab Reaksi obat - Konsultasikan PIONAS
yang tidak pada dokter
diinginkan - Disarankan
hentikan
secara
bertahap
Carbapenem Terapi tanpa - Konsultasikan GINA 2019
indikasi pada dokter
- Disarankan
hentikan
carbapenem
Fluticason/salmetero Terapi lebih - Konsultasikan Guideline
l efektif tersedia pada dokter KEMENKES
- Disarankan
penghentian
dan
penggantian
dengan
salbutamol
C. PENJELASAN ASSESMENT
BAB VI

KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai