Anda di halaman 1dari 8

3.

Masalah Perbankan

Dalam pembahasan ini, masalah yang akan kami bahas adalah masalah yang kerap terjadi dan
dialami oleh bank umum, yaitu Permasalahan Kredit Macet dan Masalah Likuiditas.

 Kredit Macet (Non Performing Loan)

Kredit macet adalah suatu keadaan dimana debitur baik perorangan atau perusahaan tidak
mampu membayar kredit bank tepat pada waktunya.
Dari data di atas dapat diketahui bahwa hampir setiap jenis penerima kredit memiliki NPL, atau
rasio debitur tidak mampu membayar kredit yang telah diberikan.

Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 6 / 10 / PBI / 2004 tanggal April 2004 mengenai Sistem
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL)
yakni sebesar 5%. Rumus perhitungan untuk NPL adalah sebagai berikut:

Rasio NPL = (Total NPL / Total Kredit) x 100 %

NPL menjadi indikator dalam menilai kinerja suatu bank. Jika NPL rendah, maka bank tersebut
terbilang sehat. Jika NPL tinggi maka resiko yang dipikul oleh bank tersebut tinggi. Jika NPL
mereka diatas batas yang sudah ditargetkan sebelumnya maka bank tersebut bisa dibilang
bermasalah.  
Jika NPL terlalu tinggi diatas batas yang ditargetkan, keberlangsungan bank tersebut bisa
terancam. Itu sebabnya bank senantiasa menjaga agar nilai NPL-nya selalu berada pada angka
yang rendah jika ingin terus beroperasi. NPL ini bukan dinilai dari kinerja bank saja, namun
terutama dari para debiturnya. Hal yang menjadi fokus utama kredit macet seringkali terjadi di
kalangan para debitur. Hal ini dapat dihindari apabila debitur memiliki inisiatif untuk
mengembalikan dana yang ada sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Faktor pendukung terjadinya NPL

1. Ketiadaan keinginan untuk membayar kredit dari debitur


2. Kebijakan dari pemerintah dan Bank Indonesia
3. Kondisi perekonomian

Usaha BI menanggulangi kredit macet

Salah satu usaha BI dalam menanggulangi kredit macet, terutama bagi pengguna kartu kredit
diatur dalam PBI (Peraturan BI) No.14/2/PBI/2012 tentang APMK (Alat Pembayaran
Menggunakan Kartu)

 Pemegang kartu utama minimal harus 21 tahun atau telah kawin dan minimum berusia
17 tahun atau telah kawin untuk kartu tambahan.
 Minimum pendapatan pemegang kartu adalah Rp 3 juta per bulan.
 Maksimal plafon kredit adalah 3 kali pendapatan per bulan dan penerapannya berlaku
secara industri.
 Calon pemegang kartu yang pendapatan per bulannya kurang dari Rp10 juta dikenakan
pembatasan plafon serta pembatasan perolehan kartu kredit maksimum dari 2 penerbit.
 Calon pemegang kartu yang pendapatan per bulannya Rp 10 juta ke atas tidak
dikenakan pembatasan jumlah plafon dan kartu dari 2 penerbit sehingga analisis kredit
sepenuhnya diserahkan kepada Bank.
 Maksimum bunga kartu kredit 3 persen per bulan.

Selain melalui kebijakan memperketat syarat pemberian kredit, Bank Indonesia juga dapat
mengatasi masalah

Kredit macet terbukti dapat membahayakan perekonomian suatu negara. Hal tersebut terjadi di
Korea Selatan pada 2003. Korea Selatan mengalami krisis ekonomi karena hutang kartu kredit
yang sangat besar jumlahnya. Di tahun 2003, Negara Korea Selatan menghadapi situasi NPL
yang pelik dimana jumlah total balance kartu kredit mencapai $100 billion, jumlah kartu kredit
yang diterbitkan adalah 105 juta kartu yang artinya rata rata setiap orang dewasa di Korea
Selatan memiliki 4.6 Kartu. Rasio antara hutang dan disposable income untuk setiap rumah
tangga mencapat 130%. Artinya, secara rata rata untuk setiap keluarga hutang sudah 30%
lebih besar dari pendapatan yang disposable. Jumlah kredit macet kartu kredit mereka
mencapai 13.5%, bahkan 30% menurut sumber yang lain, dibandingkan 4.09% di Amerika
Serikat di waktu yang sama. 
CAR (Capital Adequacy Ratio)

CAR (Capital Adequacy Ratio) merupakan rasio kecukupan modal yang menunjukkan
kemampuan perbankan dalam menyediakan dana yang digunakan untuk mengatasi
kemungkinan risiko kerugian.

ROA (Return On Assets)

ROA (Return On Assets) merupakan rasio yang mengukur kemampuan perbankan dalam
menghasilkan profit atau laba (bisa disebut profitabilitas) dengan cara membandingkan laba
bersih dengan sumber daya atau total aset yang dimiliki.
LDR (Loan to Deposits Ratio)

LDR (Loan to Deposits Ratio) adalah rasio yang mengukur kemampuan bank dalam memenuhi
kewajiban jangka pendek (bisa disebut likuiditas) dengan membagi total kredit terhadap total
Dana Pihak Ketiga (DPK).

BOPO (Belanja Operasional terhadap Pendapatan Operasional)

BOPO (Belanja Operasional terhadap Pendapatan Operasional) merupakan rasio yang


menggambarkan efisiensi perbankan dalam melakukan kegiatannya. Belanja operasional
adalah biaya bunga yang diberikan pada nasabah sedangkan pendapatan operasional adalah
bunga yang didapatkan dari nasabah. Semakin kecil nilai BOPO artinya semakin efisien
perbankan dalam beroperasi.

NIM (Net Interest Margin)

NIM ini adalah ratio yang digunakan untuk mengetahui kemampuan manajemen bank dalam hal
terutama dalam hal pengeolaan aktiva produktif sehingga bisa menghasilkan laba bersih.

 Masalah Likuiditas

Kemampuanperusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeksecara terus


menerus disebut dengan likuiditas. Untuk mengukur likuiditas digunakan Loan to Deposit
Ratio(LDR) dalam perbankan. Batas aman Loan to Deposit Ratio yang tinggi menunjukkan
lembaga keuangan tersebut dalam kondisi illikuid atau perusahaan tidak mampu memenuhi
kewajibannya, sebaliknya tingkat rasio yang rendah menunjukkan bank dalam kondisi likuid
atau perusahaan mampu memenuhi kewajiban tersebut.

Pertumbuhan kredit menggambarkan tingkat perkembangan volume kredit yang disalurkan


kepada pihak ketiga yang mampu memberikan peningkatan profitabilitas suatu lembaga
keuangan dan meningkatkan kinerja lembaga keuangan. Jika pertumbuhan dan dana pihak
ketiga tiap tahunnya meningkat, maka akan berpengaruh pada profitabilitas. Semakin
banyak jumlah dana pihak ketiga yang dihimpun oleh bank merupakan salah satu
ukuran keberhasilan bank menurut fungsinya sebagai penghimpun dana masyarakat.

Pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang berdampak
pada pelonggaran likuiditas perbankan akan cukup bila pertumbuhan kredit 2020 tidak dipatok
terlalu tinggi.

Seperti diketahui, Bank Indonesia kembali menurunkan GWM 50 basis poins (bps) belum lama
ini, mulai berlaku efektif pada 2 Januari 2020.

Secara umum, menurut Piter, BI sebagai bank sentral memiliki kendali untuk mendorong
konsumsi domestik, yaitu dengan meningkatkan permintaan melalui pelonggaran likuiditas.
Piter menyoroti setiap kebijakan yang digelontorkan oleh BI.

 Pertama, peningkatan ketersediaan likuiditas dengan menawarkan repo Surat Berharga


Negara (SBN) kepada bank.
 Kedua, efisiensi pembayaran ritel melalui perluasan layanan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI).
 Ketiga, kebijakan BI mendorong pasokan transaksi valas berjangka di dalam negeri atau
Domestic Non Deliverable Forward (DNDF).
 Keempat, peningkatan implementasi penyelenggara transaksi di pasar uang dan pasar
valas.
 Terakhir, kebijakan perluasan elektronifikasi pada transaksi operasi keuangan pemerintah.
Pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang berdampak
pada pelonggaran likuiditas perbankan akan cukup bila pertumbuhan kredit 2020 tidak dipatok
terlalu tinggi.

Seperti diketahui, Bank Indonesia kembali menurunkan GWM 50 basis poins (bps) belum lama
ini, mulai berlaku efektif pada 2 Januari 2020.

Anda mungkin juga menyukai