Anda di halaman 1dari 10

Ahmad Zarkasih, Lc

Orang Awam Wajib Taqlid Kepada Ulama

Mon, 8 December 2014 00:00

Kira-kira apa yang dipahami seorang yang awam tatkala membaca terjemahan ayat-ayat berikut,
khususnya pada potongan ayat berikut ini :

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah. Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab
(Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka,
mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah
kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” ” (QS. Al An’am: 114).

Bisa jadi seorang awam yang membaca beberapa ayat di atas akan menyimpulkan bahwa, dasar hukum
yang berlaku dalam Islam hanyalah Al-Quran semata sebagaimana pemahaman orang-orang yang
mengingkari sunnah Nabi SAW.

“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. (QS. An
Nahl: 67).

Bisa jadi ia juga akan menyimpulkan bahwa khamer atau minuman yang memambukkan hukumnya
adalah halal bahkan merupakan salah satu rezeki yang baik dari Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (QS. Ali Imron:
130).

Bisa juga dia akan menyimpulkan bahwa memakan harta yang dihasilkan dari proses yang riba tidaklah
haram jika sedikit dan tidak berlipat ganda.

Padahal, bagi yang sedikit banyak membaca pendapat-pendapat ulama terkait ayat-ayat di atas, dapat
memastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan di atas adalah keliru.

A. Instrumen Dalam Memahami Al-Quran


Dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an, dibutuhkan banyak instrumen, yaitu berbagai ilmu penunjang.
Maksudnya agar kita mendapatkan pemahaman yang benar, sebagaimana diinginkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.

Di antaranya adalah kaedah-kaedah tafsir Al-Quran, asbabunnuzul, ilmu tentang as-saabiq dan al-laahiq,
an-nasikh dan al-mansukh, dalalah al-alfadz, al-manthuq dan al-mafhum, al-‘am dan al-khas, al-
muqayyad dan al-muthlaq, musthalah al-hadits dan lainnya.

Sebagai satu contoh, terkait ayat ke-114 dari surat Al-An'am. Ayat ini seringkali dipakai (dicomot) oleh
orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW untuk melegitimasi keyakinan mereka terkait sumber
hukum dalam Islam. Dimana mereka mengatakan bahwa hanya Al-Quran sajalah yang dapat menjadi
sumber atau standar hukum dalam Islam.

Sedangkan sunnah dan sumber lainnya tidak diperlukan. Alasannya, karena Al-Quran dianggap telah
merinci (mufashshal) semua masalah dan tidak memerlukan rincian lainnya.

Padahal jika mereka ingin jujur dan konsisten dalam keyakinannya, mereka pasti akan pula menjadikan
Sunnah Nabi sebagai dasar hukum yang juga dilegitimasi oleh Allah SWT dalam banyak ayat Al Qur’an,
sebagaimana pula pada ijma’ dan qiyas.

Atau jika mereka menggunakan konsep as-saabiq dan al-laahiq dalam membaca ayat di atas, pastilah
kesimpulan mereka bahwa Al Qur’an telah merinci setiap masalah agama bahkan dunia akan
terbantahkan dengan sendirinya.

Allah SWT berfirman:

“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara
dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak
(juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia
dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan
yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak
mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.

Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada
bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka
(syaitan) kerjakan.

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab
(Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka,
mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah
kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu (QS. Al An’am: 111-114).

Berdasarkan konsep as-saabiq (membaca korelasi sebuah ayat dengan ayat sebelumnya), kita dapat
menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Quran yang Allah turunkan dengan terperinci adalah
terkait dengan masalah ukhrawi atau masalah ghaib.

Sedangkan untuk masalah-masalah hukum seperti shalat, zakat, haji dan lainnya, Allah tidak
menurunkan penjelasannya secara rinci. Allah menugaskan rasul-Nya untuk menjelaskan rincian hukum-
hukum tersebut yang selanjutnya diteruskan oleh ulama-ulama yang mewarisi ilmu para rasul.

Allah SWT berfirman:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An Nahl: 44).

“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan
kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.” (An Nahl: 64).
Di samping itu, tidaklah mungkin terjadi kontradiksi/pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya,
sebagaimana ketetapan Allah SWT, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya
Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
(QS. An Nisa: 82).

Dalam konteks memahami nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits inilah, akhirnya para ulama menetapkan
bahwa wajib seorang yang awam, -yaitu orang-orang yang tidak memiliki kompetensi sebagai mujtahid
serta tidak memiliki ilmu-ilmu atau perangkat-perangkat untuk berijtihad-, untuk bertanya dan mengikuti
pendapat-pendapat ulama yang mumpuni dan diakui. Atau dalam literatur fiqih disebut dengan taqlid.
[1]

Bukankah dalam perkara dunia saja hal ini merupakan suatu yang lumrah terjadi. Seorang yang sakit
umumnya tanpa berpikir panjang akan menuruti saran-saran dokter untuk kesembuhannya. Hal yang
sama pun berlaku dalam masalah agama, bahkan dirasa lebih urgen, sebab dimensi agama mencakup
dunia dan akhirat.

Yang tentunya dibutuhkan kehati-hatian yang lebih agar amalan yang dilakukan sesuai dengan koridor
yang diinginkan oleh Allah dan Rasulnya.

B. Pengertian Taqlid

Secara bahasa kata taqlid ( ُ ‫ )التَّقْلِيد‬merupakan mashdar dari kata qallada ( َ ‫ )قَلَّد‬yang berarti mengikatkan
sesuatu dileher seseorang. [2].

Sedangkan secara istilah, setidaknya terdapat dua definisi berbeda terkait pengertian taqlid.

1. Pengertian Pertama

Definisi taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqih, yaitu:
ٍ ‫جة‬ ُ ِ‫ن غَيْر‬
َّ ‫ح‬ ِ ِ‫قَبُول قَوْل الْغَيْر‬
ْ ‫م‬

“Menerima/mengikuti perkataan orang lain yang (perkataannya) tidak bersifat hujjah.”

Seperti seorang yang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama. Sedangkan jika
perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah SAW atau perkataan ulama yang telah menjadi
ijma’ maka ia bukanlah sebuah taqlid. Sebab perkataan-perkataan tersebut merupakan hujjah.[3]

2. Pengertian Kedua

ِ‫معْرِفَةِ دَلِيلِه‬
َ ‫معَ عدم‬ ْ ْ ‫األ‬
َ ِ‫خذ ُ بِقَوْل الْغَيْر‬

“Mengambil perkataan/pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar/dalil dari perkataan tersebut.”

Seperti layaknya seorang awam atau anak kecil yang baru belajar tata cara shalat tanpa ia mengetahui
dalil-dalil dari amalan yang ia lakukan.

Definisi ini dinyatakan oleh beberapa ulama seperti imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan imam Asy
Syawkani untuk menetapkan tingkatan ittiba’ antara tingkatan ijtihad dan taqlid. Di mana mereka
mengatakan bahwa ittiba’ adalah mengambil pendapat orang lain sembari ia tahu dalil yang mendasari
pendapat ini.[4]

Hanya saja menurut penulis definisi yang kedua ini mengandung kelemahan dari beberapa sisi:

Pertama : Pendapat ini diambil oleh minoritas ulama, bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa telah
terjadi ijma’ di antara ulama bahwa manusia terbagi dua; mujtahid dan muqallid. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Ibnu Rusyd, Abu Hamid Al Ghazali dan imam Al Harawi.
Kedua : Terlepas seseorang mengatahui dalil yang mendasari pendapat seorang mujtahid atau tidak,
maka ia pada ada dasarnya tetaplah muqallid (bertaqlid) kepada mujtahid tersebut.

Sebab meskipun ia tahu dalil pendapatnya, tetaplah ia masih tidak mampu untuk menetapkan sebuah
dalil atas sebuah masalah yang dihadapi kecuali jika yang bersangkutan telah mencapai derajat mujtahid
yang dibuktikan dengan pengetahuannya yang mendalam terhadap perangkat-perangkat ijtihad
sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Al Ghazali ketika menjelaskan tentang syarat-syarat mujtahid :

“Harus mengetahui lengkap dalil-dalil syar’i (madarik asy syar’) yaitu dengan mengetahui dalil-dalil yang
membuahkan hukum dan mengetahui tata cara membuahkannya.

Adapun dalil yang membuahkan hukum ada empat: (1) Al Qur’an (2) As Sunnah (3) Al Ijma’ (4) Akal.
Sedangkan tata cara membuahkannya dengan empat ilmu, dua ilmu pokok yaitu (1) ilmu tentang cara
menetapkan dalil atas sebuah masalah (ushul fiqih) (2) ilmu bahasa Arab dan nahwu, dan dua ilmu
penyempurna yaitu (1) nasikh mansukh (2) ilmu musthalah hadits.” [5]

Ketiga : Atau bisa pula dua definisi di atas disingkronkan (al jam’u wa at tawfiq) dengan menyimpulkan
bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai mujtahid pada masalah yang ia dapat berijtihad di dalamnya
dan ia disebut pula sebagai seorang muqallid dalam masalah yang lain. Dan ini adalah maksud dari
ucapan ulama, “Sesungguhnya baik ijtihad maupun taqlid bisa saja terbagi-bagi”. [6]

Keempat : Selain itu, jika merujuk kepada definisi pertama bahwa taqlid adalah mengikuti ucapan ulama
yang pada dasarnya bukan merupakan hujjah, akan tetapi kita tahu bahwa ulama yang boleh diikuti
ucapannya adalah ulama yang mempunyai kapabilitas berijtihad dan kemampuan memamahi dalil-dalil
Al Qur’an dan As Sunnah secara luas, seperti empat imam mazhab; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy
Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Dan kita ber-husnu dzan (berprasangka baik) kepada mereka bahwa
pastilah pendapat-pendapat mereka didasari atas sebuah dalil.

Syaikh Waliyullah Ad Dahlawi berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya mengambil mazhab 4 (dalam
menjalankan agama) adalah maslahat yang besar dan berpaling darinya secara keseluruhan adalah
bencana yang besar.” [7]
‫أن هذه المذاهب األربعة المدونة قد اجتمعت األمة أو من يعتد به منها على جواز تقليدها إلى يومنا‬
‫هذا وفي ذلك من المصالح ما ال يخفى ال سيما في هذه األيام التي قصرت فيها الهمم وأشربت‬
‫النفوس الهوى وأعجب كل ذي رأي برأيه‬

“Sesungguhnya empat mazhab yang telah terkodifikasi ini telah disepakati oleh umat akan bolehnya
bertaqlid kepada mereka hingga hari ini. sebab di dalamnya terdapat kemaslahatan yang tidak diragukan
lagi, apalagi di saat banyak orang kehilangan semangat (dalam menuntut ilmu), takluknya jiwa oleh hawa
nafsu, dan setiap diri merasa ‘ujub (benar sendiri) dengan pendapatnya.”

C. Dalil-dalil Wajibnya Bertaqlid kepada Ulama

Dalam kitabnya, Alla Mazhabiyyah, DR. Said Ramadhan Al Buthi menyebutkan sejumlah dalil atas
wajibnya seorang yang awam bertaqlid kepada pendapat ulama yang mumpuni.

1. Firman Allah SWT:

‫ن‬ ُ َ ‫م اَل تَعْل‬


َ ‫مو‬ ْ ُ ‫ن كُنْت‬ َ ْ‫سأَلُوا أَه‬
ْ ِ ‫ل الذ ِّكْرِ إ‬ ْ ‫فَا‬

“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl:
43).

Dan sudah menjadi konsensus ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak
mengetahui hukum dan dalil sebuah masalah untuk ittiba’ (taqlid) kepada orang yang tahu. Dan
mayoritas ulama ushul fiqih berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang
kewajiban orang awam untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.

2. Ijma' Ulama

Sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasulullah SAW berbeda-
beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semuanya ahli fatwa (mujtahid).
Dan sudah jelas bahwa agama diambil dari semua shahabat, tetapi mereka ada yang mempunyai
kapasitas berijtihad dan itu relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah semua shahabat, serta
di antaranya juga ada mustafti atau muqallid dan shahabat yang termasuk golongan ini berjumlah sangat
banyak.

Dan seorang shahabat yang menjadi mufti tidak setiap menyebutkan hukum selalu memaparkan dalilnya
kepada si penanya.

Di samping itu, Rasulullah SAW juga mengutus seorang faqih dari kalangan shahabat ke pelbagai daerah
yang penduduknya tidak tahu menahu tentang hukum Islam kecuali akidah Islam dan keyakinan rukun-
rukunnya saja. Dan kemudian mereka mengikuti apa saja yang difatwakan oleh shahabat tersebut dan
mendorong mereka mengikutinya dalam praktik amaliyyah, ibadah, muamalah dan macam ragam
urusan halal dan haram.

Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa bab taqlid dan meminta fatwa, mengambil dalil akan wajibnya orang
awam bertaqlid, ia berkata, “Aku mengambil dalil atas hal tersebut dengan dua jalan, salah satunya
adalah ijma’ shahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam dan tidak memerintahkan
mereka supaya menggapai derajat ijtihad. Dan hal itu sudah maklum secara pasti serta mutawatir dari
ulama dan yang awam dari mereka.”[8]

Al Amidi dalam Al Ihkam berkata, “Adapun dalil ijma’ nya, orang-orang awam di masa shahabat dan
tabi’in, sebelum munculnya orang-orang yang menyelisihi, selalu meminta fatwa kepada para mujtahid
dan mengikutinya dalam kaitan hukum-hukum syariat. Ulama yang mujtahid tersebut bergegas
menjawab hukum tanpa menyebutkan dalilnya, dan faktanya shahabat tidak ingkar dan tidak melarang.
Hal itu menjadi ijma’ akan bolehnya orang awam mengikuti mujtahid secara mutlak.” (Al Ihkam fi Ushul
Al Ahkam, 2/171).

3. Dalil Akal

Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqih, pilihannya hanya ada dua; antara
berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti
pendapat mujtahid.
Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena ia harus menggunakan semua waktunya
untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya, dan
mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama, sehingga pekerjaan dan
profesi maisyah pastilah akan terbengkalai. Klimaksnya, dunia ini akan rusak. Dan pilihan terakhirlah yang
ditempuh, yaitu taqlid.[9]

Sedangkan terkait perkataan emapat imam mazhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka
adalah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama-ulama bahwa khitab larangan tersebut ditujukan
kepada orang-orang yang tidak mampu berijtihad dari Al Qur’an dan Al Hadits, dan bukan bagi yang tidak
mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. [10]

Wallahua'lam bis asshawab

Catatan Kaki :

[1] Lihat: Ibnu Rusyd Al Hafiid, Adh Dharuri fie Ushul Al Fiqh 1/94, Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustahasfa,
h. 382-383.

[2] Raudhah An Nadzir 2/449

[3] Syarh Musallam Ats Tsubut 2/400, Raudhah An Nadzir 2/450

[4] I’lam Al Muwaqqi’in 4/192, 236

[5] Al Musthashfa 1/342-343.

[6] Said Ramadhan Al Buthi, Alla Mazhabiyyah Akhtar Bid’atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah
[7] ‘Iqd Al Jid fi Ahkam Al Ijtihad wa At Taqlid h. 20). Dan beliau berkata dalam kitabnya, Al Inshaf fi Bayan
Asbab Al Ikhtilaf, (h. 97

[8] Al Mustashfa 2/385

[9] Alla Mazhabiyyah: Akhar bid’atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah, h. 70-73, Takhrij Ahadits Al
Luma’ h. 348.

[10] Al-Mizan Al-Kubra 1/62

Anda mungkin juga menyukai