Anda di halaman 1dari 17

POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT dan


DAERAH DALAM OTONOMI KHUSUS
DI PROVINSI PAPUA BARAT
RELATIONSHIP OF CENTRAL AND LOCAL
GOVERNMENT IN SPECIAL AUTONOMY IN
WEST PAPUA
Rochendi S. Kausar Ali Saleh
Universitas Nasional Universitas Nasional
rochendisurya@yahoo.co.id alisaleh.kausar@gmail.com
Abstract
Basically, the policy of Otsus Papua is for granting wider authority to local government and Papua people to organize
and take care of them in NKRI. The wider authority is to organize the wealth of nature in the province of Papua and
West Papua, as much as for the prosperity of people in Papua, maximizing the economics, social, and culture potentials,
including to give the significant role for the local people in Papua to be involved in the process of making region
policy, to elect the strategy of developments by keeping the equity of people in Papua. Thus, the writer will discuss
the relationship of central and local authority between NKRI and the regions, especially in West Papua regarding the
Special Autonomy constitution by using qualitative method through decentralization concept of understanding. The
result shows that the implementation of special autonomy in West Papua is totally different from the autonomy written
in the constitution. As the matter of fact, the guidance, supervision and control of central government is not yet seen.

Keywords: Decentralization, Special Autonomy, West Papua

Abstrak
Pada dasarnya, kebijakan Otsus Papua adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah daerah dan
rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas
tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah Provinsi Papua
dan Papua Barat, sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua, memberdayakan potensi perekonomian, sosial,
dan budaya yang dimiliki, termasuk di dalamnya memberikan peranan yang signifikan bagi orang asli Papua untuk
terlibat dalam proses perumusan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai
kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat di Provinsi Papua. Oleh karena itu, penulis mengulas hubungan
kewenangan pusat dan daerah dalam NKRI dengan daerah, khususnya Papua Barat dalam Undang-undang Otonomi
Khusus dengan metode kualitatif dan melalui pemahanan konsep desentralisasi. Hasilnya secara tegas menunjukkan,
betapa, implementasi otonomi khusus di Papua Barat, ternyata berbeda dengan yang tergambarkan pada otonomi
sebagaimana yang tersurat dalam undang-undang tersebut. Faktanya, di lapangan, selama ini, pendampingan,
pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat belum terlihat.

Kata Kunci: Desentralisasi, Otonomi Khusus, Papua Barat

Pendahuluan
Desentralisasi politik yang dilakukan di ningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
Indonesia, adalah merupakan upaya reformasi serta masyarakat, peningkatan daya saing daerah
politik di tingkat lokal untuk mewujudkan otono- dengan memperhatikan, pemanfaatan sumber
mi daerah berbasis kepada demokratisasi, pem- daya alam dan sumber daya ekonomi daerah yang
berdayaan dan penguatan kearifan lokal, sehingga berbasis kepada pemerataan, keadilan, keistime-
akselerasi kesejahteraan masyarakat melalui pe- waan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem

JURNAL POLITIK 1903 VOL. 13 No. 1. 2017


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

Negara Kesatuan Republik Indonesia. melindungi dan menjamin hak-hak golongan


Sejalan dengan kondisi di atas, kebijakan minoritas supaya terbebas dari perlakuan yang
mengenai penetapan Papua sebagai daerah oto- bersifat diskriminasi. Karena hampir semua
nomi khusus dapat dipandang sebagai salah negara di dunia memiliki satu atau lebih kelompok
satu bentuk aktualisasi dari adanya perubahan minoritas dalam wilayah nasional mereka dan
paradigma tersebut. Kebijakan ini dilandasi kelompok-kelompok ini memiliki identitas etnik,
oleh adanya kesadaran bahwa keputusan politik bahasa, atau agama yang berbeda dengan identitas
penyatuan Irian Barat (kini Papua) menjadi bagian penduduk mayoritas.
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Dalam kaitan ini, Jong S. Jun dan Deil S.
pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur demi Wright (1996) mempertautkan fenomena antara
kemajuan rakyat di Papua. Akan tetapi kenyataan globalisasi dan desentralisasi. Kedua penulis ini
menunjukkan bahwa berbagai kebijakan yang mengemukakan, bahwa globalisasi menjadikan
diimplementasikan dalam rangka penyelenggaraan pelaku-pelaku ekonomi bergerak secara langsung
pemerintahan dan pembangunan di Provinsi masuk ke daerah-daerah dari suatu negara. Glo-
Papua dan Papua Barat belum sepenuhnya me- balisasi mendorong terbukanya potensi lokal yang
mungkinkan tercapainya kesejahteraan dan mendorong setiap daerah untuk menyelenggara-
rasa keadilan bagi rakyat. Bahkan sebaliknya kan otonomi daerah.
dirasakan adanya tindakan-tindakan diskriminatif, UU Otsus dinilai sebagai suatu kebijakan
pengabaian terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang bersifat strategis dalam rangka peningkatan
dan hak-hak dasar orang asli Papua. Kondisi ini pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pem-
telah mengakibatkan kekecewaan yang bermuara berdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua dan
pada melemahnya kepercayaan rakyat, khususnya Papua Barat, terutama orang asli Papua. Melalui
orang asli Papua terhadap Pemerintah, yang kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi ke-
diekspresikan dalam berbagai bentuk, termasuk senjangan antar Provinsi Papua dengan provinsi-
keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI. provinsi lain dalam wadah NKRI, serta akan
Perwujudan dari sistem desentralisasi itu memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk
dituangkan dengan penerapan otonomi daerah berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus
dan daerah otonom. Secara yuridis, dalam konsep objek pembangunan.
daerah otonom dan otonomi daerah mengandung Beberapa keistimewaan UU No. 21 Tahun
elemen wewenang mengatur dan mengurus. 2000 antara lain: Pertama, rancangan awal UU
Wewenang mengatur dan mengurus merupakan tentang otonomi khusus Papua disusun oleh se-
substansi otonomi daerah. Aspek spasial dan jumlah komponen anak bangsa yang berasal dari
masyarakat yang memiliki dan terliput dalam Papua. Keterlibatan berbagai komponen bangsa di
otonomi daerah telah jelas sejak pembentukan Papua merupakan wujud kepercayaan pemerin-
daerah otonom. Namun, yang perlu kejelasan lebih tah dan negara terhadap kemampuan putra-putra
lanjut adalah materi wewenang yang tercakup terbaik Papua dalam berkontribusi mengatur dan
dalam otonomi daerah. Oleh karena itu, di samping membangun daerahnya dalam kerangka Negara
pembentukan daerah otonom, yang tercakup Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, proses
dalam konsep desentralisasi adalah penyerahan penyusunan rancangan undang-undang tentang
materi wewenang urusan pemerintahan. Dengan otonomi khusus Papua dilakukan secara aspira-
penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah tif dengan melibatkan masyarakat seluas-luasnya
kepada daerah otonom, berarti terjadi distribusi melalui pentahapan penjaringan aspirasi dalam
urusan pemerintahan. lingkup Kabupaten/Kota dan temu kaji pada ling-
Secara teoritis, konsep mengenai otonomi kup Provinsi, serta diskusi terfokus dengan para
khusus, Laurence Sullivan menyatakan bahwa pakar dalam lingkup nasional (Musa’ad, 2004).
otonomi khusus adalah sebuah langkah afirmatif Ketiga, muatan rancangan undang-
yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk undang tentang otonomi khusus Papua tersebut
meningkatkan pembangunan dan kesetaraan di didesain sedemikian rupa sehingga dipandang
antara daerah satu dengan daerah lainya, serta mampu mengakomodasi berbagai aspirasi dan

JURNAL POLITIK 1904 VOL. 13 No. 1. 2017


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

kepentingan masyarakat, khususnya orang asli kapasitas sumber daya lokal yang kompetitif di
Papua. Keempat, proses legislasi undang-undang masa mendatang (Djojosoekarto dkk., 2008).
tentang otonomi khusus Papua dilakukan melalui Namun, penerapan desentralisasi asime-
mekanisme usul inisiatif DPR. Kelima, UU ini tris (asymmetric decentralization) atau otonomi
bersifat khusus, artinya ada hal-hal yang berlaku asimetris (asyimmetric authonomy) terkadang di-
di Provinsi Papua yang mungkin tidak berlaku di hadapkan dengan sejumlah permasalahan. Menu-
provinsi lainnya di Indonesia. Sebaliknya, ada hal- rut Hannum, terutama, terkait dengan ketidakpa-
hal yang berlaku di provinsi lain yang mungkin haman pemerintah nasional (Pusat) dan kelompok
tidak berlaku di Provinsi Papua. Keenam, UU minoritas (pemerintah lokal) tentang apa yang
Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus seharusnya menjadi isi/substansi dari kebijakan
Bagi Provinsi Papua yang terdiri dari 24 Bab tersebut, sebagai upaya bersama untuk memecah-
dan 79 Pasal, dipandang sangat komprehensif kan berbagai masalah yang mengemuka. Kondisi
karena mengatur berbagai aspek kehidupan ini akan semakin memburuk, ketika muncul ke-
(politik, sosial, ekonomi, budaya, dan pertahanan- cemburuan di antara kelompok masyarakat yang
keamanan) (Musa’ad, 2004). memandang pemberian/pemberlakuan desentral-
Dengan berbagai keistimewaan se- isasi asimeteris (otonomi khusus) terhadap kelom-
bagaimana tersebut di atas, diharapkan, UU Ot- pok masyarakat tertentu merupakan bukti adanya
sus Papua dapat berperan sebagai suatu kebijakan ketidakadilan/pilih kasih pemerintah pusat kepada
yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan daerah tertentu (Djojosoekarto dkk., 2008).
pelayanan (service), dan akselerasi pembangunan Dari hasil identifikasi awal yang dilaku-
(development), serta pemberdayaan (empower- kan, setidaknya terdapat 2 (dua) bentuk ham-
ment) seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama batan dalam implementasi UU Otsus. Pertama,
orang asli Papua. hambatan implementasi materi muatan yang ter-
Sebagaimana diketahui, UU Otsus Papua jadi sejak ditetapkannya UU Otsus. Penyebabnya
telah dilaksanakan sejak 1 Januari 2002. Hal ini adalah perbedaan kepentingan antara pemerintah
merupakan suatu langkah maju yang monumental pusat dengan masyarakat Papua yang diwakili
bagi bangsa Indonesia. Melalui undang-undang oleh Tim Penyusun RUU Otsus, serta pemahaman
ini, pemerintah dan NKRI mengakui bahwa pe- dan keterampilan yang lemah dalam menyusun
nyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan materi muatan undang-undang yang layak, serta
di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya adanya tekanan dan eskalasi politik lokal yang
memenuhi rasa keadilan, memungkinkan terca- tinggi. Kedua, hambatan implementasi yang ter-
painya kesejahteraan rakyat, mendukung terwu- jadi setelah ditetapkannya UU Otsus. Penyebab-
judnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya nya adalah implementasi kebijakan pemerintah
menampakan penghormatan terhadap hak asasi pusat yang menyimpang atau tidak sesuai de-
manusia. ngan materi muatan UU Otsus, serta unsur-unsur
Selaras dengan yang tersebut di atas, UU pemerintahan provinsi yang tidak menyusun dan
Otsus merupakan instrumen hukum yang memuat melaksanakan instrumen hukum pelaksanaan UU
kebijakan desentralisasi asimatris (asymetrical Otsus secara baik.
decentralization) kepada Papua sebagai daerah Selama diimplementasikanya UU Otsus,
yang memiliki masalah yang bersifat khusus, dan hambatan-hambatan tersebut telah menjadi ma-
merupakan pilar utama yang mengatur hubung- salah yang utama dalam mewujudkan sinkronisasi
an kewenangan antara pusat dan daerah. Secara dan harmonisasi kebijakan, maupun meningkat-
garis besar, sebagai instrumen hukum, UU Otsus kan komunikasi politik yang tidak sehat dalam
memuat beberapa substansi yang sangat strategis. bentuk hubungan saling curiga antara pusat dan
Pertama, menjawab permasalahan yang terjadi di daerah, sehingga menenggelamkan berbagai ke-
Provinsi Papua sebagai akibat kekeliruan imple- berhasilan dan prestasi pembangunan yang telah
mentasi kebijakan pembangunan masa lalu. Ke- dicapai di Papua, baik yang telah dilakukan oleh
dua, implementasi model kebijakan pembangunan pusat maupun daerah.
Papua yang mengakui identitas dan memperkuat Berdasarkan latar belakang masalah terse-

JURNAL POLITIK 1905 VOL. 13 No. 1. 2017


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

but di atas, maka, secara rasional perlu dilakukan organizatons, local goverments, or non govermen-
penelitian untuk menata ulang hubungan kewenan- tal organizations.”
gan pusat dan daerah dalam NKRI. Mengingat Sementara, dalam Undang-Undang No.
keterbatasan berbagai aspek, maka, tahap pertama 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai sumber hukum operasional penyeleng-
kualitatif melalui pemahaman konsep desentra- garaan pemerintahan daerah di Indonesia, pada
lisasi yang terfokus pada identifikasi hambatan Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 menye-
implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus butkan bahwa “Desentralisasi adalah penyerahan
Papua. wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
Konsep Desentralisasi urusan pemerintahan dalam sistem NKRI”.
Dalam konteks ini, Parsons mendefinisi- Selanjutnya, dalam studi desentralisasi,
kan desentralisasi sebagai pembagian (sharing) praktik desentralisasi terbagi atas dua bentuk
kekuasaan pemerintahan antara kelompok pe- utama, yaitu desentralisasi politik dan desentrali-
megang kekuasaan di pusat dengan kelompok- sasi administrasi. Penerapan desentralisasi politik
kelompok lainnya agar masing-masing kelompok diharapkan sebagai upaya untuk mencegah pem-
memiliki otoritas untuk mengatur bidang-bidang buatan keputusan secara sentralistik dan mengu-
tertentu dalam lingkup teritorial suatu negara (Hi- rangi dominasi pemerintah pusat dalam keputusan
dayat, 2007). politik di daerah, memperluas otonomi di daerah
Scligman (dalam Suryadinata, 1993) me- dan sebagai strategi untuk menciptakan stabili-
maknai desentralisasi adalah “the process of de- tas politik. Dalam hal ini, desentralisasi meru-
centralization denotes the transference of authori- pakan tindakan pendemokrasian agar rakyat ikut
ty, legislative or administrative, from a higher level serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam
of government to a lower”. Suatu proses penyera- mempergunakan hak-hak demokrasi. Sementara,
han wewenang dari pemerintah yang lebih tinggi desentrali-sasi administratif dimaksudkan untuk
yang mempunyai kekuasaan, kepada pemerintah mewujudkan efisiensi dalam penyelenggaraan ad-
yang lebih rendah derajatnya, menyangkut bidang ministrasi pemerintahan (Hidayat, 2007).
legislatif atau administratif. Pendapat yang sama juga dikemukakan
Selanjutnya, Ruiter (dalam Sarunda- oleh Logeman (dalam Supriatna, 1993) yang
jang, 1999) mengemukakan bahwa desentralisasi membagi format desentralisasi dalam dua macam.
adalah pengakuan atau penyerahan wewenang Pertama, dekonsentrasi (deconcentratie) atau
oleh badan-badan umum yang lebih tinggi ke- “ambtelijke decentralisatie”, yaitu pelimpahan
pada badan-badan umum yang lebih rendah, un- kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat-
tuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbang- an lebih atas kepada bawahannya agar dapat me-
an kepentingan sendiri mengambil keputusan lancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas
pengaturan dan pemerintahan serta struktur we- pemerintahan. Misalnya, pelimpahan wewenang
wenang yang terjadi dari hal itu. menteri kepada gubernur, dari gubernur kepada
Dalam arti yang lebih luas, desentralisasi bupati/walikota dan seterusnya secara berjenjang.
tidak hanya mengatur hubungan pusat-daerah Desentralisasi semacam ini rakyat atau Lembaga
dalam sebuah sistem pemerintahan, akan tetapi, Perwakilan Rakyat Daerah tidak ikut campur.
dapat berkenaan juga dengan penyerahan ke- Kedua, desentralisasi ketatanegaraan atau “Staat-
wenangan kepada unit pemerintahan dan non- kundige decentralisatie” yang sering disebut juga
pemerintah dalam lingkup pemerintah lokal. Hal desentralisasi politik, yaitu pelimpahan kekuasaan
ini antara lain disampaikan oleh Rondinelli dan perundangan dan pemerintahan kepada daerah-
Cheema (1983) yang menyatakan decentraliza- daerah otonom di dalam lingkungannya. Di dalam
tion sebagai “The transfer of planning, decision- desentralisasi politik semacam ini, rakyat den-
making, or administrative authority from the local gan menggunakan saluran-saluran tertentu (per-
goverment to its field organizations, local admin- wakilan) ikut serta dalam pemerintahan dengan
istrative units, semi-autonomous and parastalal batas wilayah daerah masing-masing.

JURNAL POLITIK 1906 VOL. 13 No. 1. 2017


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

Dalam konteks ini, Van Der Pot (dalam lebih fleksibel daripada yang tersentrali-
Supriatna, 1993) melihat desentralisasi dalam sasi, lembaga tersebut dapat memberi
dua kategori, yaitu: pertama, desentralisasi terito- respon dengan cepat terhadap lingkung-
rial (teritoriale decentralisatie), yaitu pelimpahan an dan kebutuhan pelanggan yang
kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah berubah;
tangga dari daerah masing-masing (otonom); b. Lembaga tersentralisasi lebih efektif
kedua, desentralisasi fungsional (functional de- daripada yang terdesentralisasi;
centralisatie), yaitu; pelimpahan kekuasaan untuk c. Lembaga yang terdesentralisasi jauh le-
mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa bih inovatif daripada yang tidak terde-
kepentingan tertentu. Tujuan dari desentralisasi sentralisasi;
semacam ini dikehendaki agar kepentingan-ke- d. Lembaga yang terdesentralisasi meng-
pentingan tertentu tadi diselenggarakan sendiri hasilkan semangat kerja yang lebih ting-
oleh golongan-golongan yang bersangkutan. Se- gi, lebih komitmen,dan lebih besar pro-
lanjutnya, dalam hal ini kewajiban pemerintah duktivitas.
hanyalah memberikan pengesahan atas segala se-
suatu yang telah ditetapkan oleh golongan kepen- Sementara, menurut J. in Het Veld (dalam Surya-
tingan tertentu saja. dinata, 1993) menampilkan sejumlah keunggulan
Ranis dan Stewart (dalam UNDP, 2004) desentralisasi, yaitu :
mengklasifikasikan format sistem desentralisasi a. Desentralisasi memberikan penilaian
dalam tiga kategori, yakni: pertama, dekonsentra- yang lebih tepat pada daerah dan pendu-
si (pegawai pemerintah pusat bekerja di daerah); duk yang beraneka ragam;
kedua; delegasi (pemerintah pusat mendelegasi- b. Desentralisasi meringankan beban pe-
kan kekuasaannya ke tingkat daerah); dan ketiga, merintah, karena pemerintah pusat ti-
devolusi (pemerintah pusat mengalihkan kekua- dak mungkin mengenal seluruh dan se-
saannya kepada pemerintah daerah). gala kepentingan dan kebutuhan setem-
Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam pat dan tidak mungkin pula mengetahui
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang meru- bagaimana memenuhi kebutuhan terse-
pakan landasan operasional penyelenggaraan but sebaik-baiknya. Karena, daerah yang
pemerintahan daerah telah memberikan arahan mengetahui sedalam-dalamnya kebutuh-
bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah di- an dan bagaimana memenuhinya;
dasarkan pada tiga asas pemerintahan. Pertama, c. Dengan desentralisasi dapat dihindarkan
asas dekonsentrasi, merupakan pelimpahan we- adanya beban yang melampaui batas dari
wenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai perangkat pusat yang disebabkan tung
wakil pemerintah dan atau sebagai perangkat pu- gakan kerja;
sat di daerah. Kedua, asas desentralisasi, yaitu pe- c.1. Pada desentralisasi, unsur in-
nyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerin- dividu atau daerah lebih menonjol
tah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI. karena dalam ruang lingkup yang
Ketiga, asas tugas pembantuan (medebewind), sempit seseorang dapat lebih
yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah menggunakan pengaruhnya dari
dan desa --- dan dari daerah ke desa untuk melak- pada dalam masyarakat yang luas;
sanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, c.2. Pada desentralisasi, masyara-
sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia, kat setempat mendapatkan kesem-
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya patan ikut serta dalam penyeleng-
dan mempertanggungjawabkannya kepada yang garaan pemerintahan, masyarakat
menugaskan. tidak hanya merasa sebagai objek
Osborne dan Gaebler (1996) mengungkap- saja;
kan adanya beberapa keunggulan lembaga yang c.3. Desentralisasi meningkatkan
menganut asas desentralisasi, yaitu: turut sertanya masyarakat setem-
a. Lembaga yang terdesentralisasi jauh pat dalam melakukan kontrol ter

JURNAL POLITIK 1907 VOL. 13 No. 1. 2017


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

hadap segala tindakan dan tingkah melayani, memberdayakan dan membangun ma-
laku pemerintah. Tujuannya, dapat syarakat secara optimal.
menghindarkan pemborosan, dan Bersamaan dengan itu, masyarakat akan
dalam hal tertentu desentralisasi memberikan dukungannya, sehingga akan tercipta
dapat meningkatkan dayaguna dan pemerintahan yang kuat karena memiliki kemam-
hasil guna. puan (capability) dan dapat diterima (acceptabil-
ity) oleh masyarakat.
Sebagaimana yang telah dikemukakan
di atas, di samping berbagai keunggulan desen- i. Desentralisasi Asimetris
tralisasi juga terdapat kelemahannya, Josep Riwu Desentralisasi asimetris (asymmetric de-
Kaho (1988) mencatat beberapa kelemahan de- centralization) atau juga yang dikenal dengan is-
sentralisasi, yaitu: tilah otonomi asimetris (asymmetric authonomy)
a. Karena besarnya organ-organ pemerin- adalah konsep yang digunakan terhadap pember-
tahan, maka, struktur pemerintahan ber- lakuan kewenangan khusus pada wilayah-wilayah
tambah kompleks sehingga mempersulit tertentu dalam suatu negara.
koordinasi; Pemberian status khusus pada wilayah
b. Keseimbangan dan keserasian antar ber- tertentu dalam suatu negara biasanya didasarkan
macam-macam kepentingan dan daerah atas pertimbangan historis, politik, keberagaman
dapat lebih mudah terganggu; etnik dan budaya, akselerasi pembangunan, dan
c. Khusus mengenai desentralisasi teritori- sebagainya (Van Houten, 2004).
al, dapat mendorong timbulnya apa yang Desentralisasi asimetris (asymmetric de-
disebut dimerisme atau provisialisme; centralization) atau otonomi asimetris (asyimmet-
d. Keputusan yang diambil memerlukan ric authonomy), sebagai suatu konsep yang oleh
waktu yang lama, karena memerlukan beberapa pihak dianggap sebagai alternatif untuk
perundingan yang bertele-tele; menyelesaikan berbagai permasalahan hubungan
e. Dalam penyelenggaraan desentralisasi, pusat dan daerah dalam suatu negara.
diperlukan biaya yang lebih banyak dan Dalam konteks ini Van Houten (2004)
sulit untuk memperoleh keseragaman/ mengungkapkan, “The legally astablilished pow-
uniformitas dan kesederhanaan. er of distinctive, non soverigh ethnic communities
or ethnically distinc territories to make substan-
Di sisi lain, melalui desentralisasi juga cial public dicisions and execute publik policy in-
akan menumbuhkembangkan partisipasi masyara- dependently of other sources of authority in the
kat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa desen- state., but subject to the overall legal order of the
tra-lisasi merupakan proses mendekatkan pemer- state. In order words, in our understanding out-
intah dengan masyarakat, mengingat, pemerintah honomy denotes the exercise of exclusive jurisdic-
yang dekat dengan masyarakat akan bersifat res- tion by distinctive no-sovereign ethnic communi-
ponsif, reaktif, akomodatif, dan sebagainya. ties or the population of ethnically distinc terri-
Pemerintah yang reaktif dalam merespon tories”.
dan mengakomodir aspirasi masyarakat akan Pencermatan terhadap ungkapan Van
mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga Houten tersebut setidaknya mencakup dua aspek.
masyarakat dengan rela berpartisipasi dalam seg- Pertama, dalam konteks kewilayahan, konsepsi
ala bentuk proses penyelenggaraan pemerintahan. otonomi dapat diklasifikasikan sebagai otonomi
Proses demokratisasi dan partisipasi wilayah (territorial authonomy) dan otonomi
tersebut merupakan prasyarat bagi terwujudnya non wilayah (non territorial authonomy). Ke-
suatu pemerintahan yang memiliki kapabilitas dua, dalam konteks fungsional, konsepsi otonomi
dan kapasitas sebagai modal dasar dalam rangka dapat diklasifikasi: otonomi asimetris dan otono-
meningkatkan daya guna (efektivitas) dan hasil mi umum.
guna (efisiensi) penyelenggaraan pemerintahan, Hannum mensinyalir, setidaknya ada dua
sehingga, pemerintah memiliki kemampuan untuk manfaat yang dapat diperoleh dari pemberlakuan

JURNAL POLITIK 1908 VOL. 13 No. 1. 2017


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

desentralisasi asimetris (asymmetric decentraliza- Provinsi Papua selama ini belum


tion) atau otonomi asimetris (asyimmetric authon- sepenuhnya memenuhi rasa keadilan,
omy). Pertama, sebagai solusi terhadap kemung- memungkinkan tercapainya kesejahte-
kinan terjadinya konflik etnis, atau konflik-konflik raan rakyat, mendukung terwujudnya
fisik lainnya. Dalam konteks ini dicontohkan penegakan hukum, dan belum sepenuh-
seperti hubungan Hongkong dengan Cina, Hong- nya menampakan penghormatan terha-
kong merupakan bagian dari wilayah kedaulatan dap Hak Asasi Manusia (HAM);
Cina, akan tetapi Hongkong diberikan sejumlah 6. Pengakuan bahwa pengelolaan
kewenangan tertentu yang urgen dalam aspek dan pemanfaatan hasil kekayaan alam
politik, hukum, dan ekonomi. Kedua, sebagai Provinsi Papua belum digunakan secara
respon demokratis dan damai terhadap keluhan/ optimal untuk meningkatkan taraf hi-
masalah yang dihadapi kelompok kaum minoritas dup masyarakat asli;
yang hak-haknya selama ini cenderung dilanggar/ 7. Pengakuan adanya kesenjangan Provinsi
kurang diperhatikan (Djojosoekarto dkk., 2008). Papua dengan provinsi lain di Indonesia.

ii. Otonomi Khusus Papua Menurut UU No. 21 Di sisi lain terdapat juga sejumlah komit-
Tahun 2001 men, antara lain:
Pada dasarnya, Otonomi Khusus Papua 1. Menjunjung tinggi HAM, nilai-nilai
adalah pemberian kewenangan yang lebih luas agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya
bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur yang hidup dalam masyarakat hukum adat;
dan mengurus diri sendiri dalam kerangka NKRI. 2. Menghargai kesetaraan dan ke-ragaman
Melalui pemberlakuan Otonomi Khusus Papua, sosial budaya masyarakat Papua;
maka, terdapat hal-hal mendasar yang hanya 3. Perlindungan dan penghargaan terha
berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di dap etika dan moral;
provinsi lain di Indonesia, sebaliknya terdapat 4. Perlindungan hak-hak dasar penduduk
pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak asli dan HAM;
diberlakukan di Provinsi Papua. 5. Supremasi hukum;
Konstruksi UU Otsus dibangun berlandas- 6. Penegakan demokrasi;
kan pada sejumlah pernyataan bermakna filosofis, 7. Penghargaan terhadap pluralisme;
sebagaimana tertuang dalam konsiderans menim- 8. Penyelesaian masalah pelanggaran
bang yang mengandung sejumlah pengakuan an- HAM penduduk asli Papua.
tara lain: Pengakuan dan komitmen ini merupakan
1. Pengakuan atas cita-cita dan tujuan pengejawantahan dari nilai dasar yang melandasi
NKRI; penyusunan Rancangan Undang-undang terse-
2. Pengakuan bahwasanya masyarakat but. Nilai dasar tersebut kemudian diinterpretasi
Papua adalah insan ciptaan Tuhan dan dalam 5 (lima) prinsip, yang diakronimkan men-
bagian dari umat manusia yang beradab; jadi “Papua”, yakni proteksi, affirmasi, pemberda-
3. Pengakuan terhadap adanya satuan- yaan, universal, dan akuntabilitas. Nilai dasar dan
satuan pemerintahan daerah yang bersi- prinsip sebagaimana tersebut, pada ranah opera-
fat khusus; sional diaktualisasikan dalam bentuk rumusan isi
4. Pengakuan bahwasanya penduduk asli atau batang tubuh dari UU Otsus yang terdiri atas
Provinsi Papua adalah salah satu rum- XXIV Bab dan 79 Pasal, yang secara sistematis
pun dari ras Melanesia dan merupakan terlihat pada Tabel 1.
bagian dari suku-suku bangsa di Sebelum diberlakukannya UU Otsus,
Indonesia yang memiliki keragaman Pemerintah Republik Indonesia telah pula mener-
budaya, sejarah, adat istiadat, dan bitkan sejumlah produk hukum dalam bentuk per-
bahasa; aturan perundang-undangan yang melegitimasi
5. Pengakuan bahwa penyelenggaraan keberadaan Provinsi Papua serta mengatur pe-
pemerintahan dan pembangunan di nyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan

JURNAL POLITIK 1909 VOL. 13 No. 1. 2017


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

Tabel 1
Sistematika UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otsus Papua

Bab Nama Bab Jumlah Pasal


I Ketentuan Umum 1 (1)
II Lambang-Lambang 1 (2)
III Pembagian Daerah 2 (3)
IV Kewenangan Daerah 1 (4)
V Bentuk dan Susunan Pemerintahan 21 (5-25)
VI Perangkat dan Kepegawaian 2 (26-27)
VII Partai Politik 1 (28)
VIII Peraturan Daerah Khusus, Peraturan Daerah
Provinsi, dan Keputusan Gubernur 4 (29-32)
IX Keuangan 5 (33-37)
X Perekonomian 5 (38-42)
XI Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat 2 (43-44)
XII Hak Asasi Manusia 3 (45-47)
XIII Kepolisian Daerah Provinsi Papua 2 (48-49)
XIV Kekuasaan Peradilan 3 (50-52)
XV Keagamaan 3 (53-55)
XVI Pendidikan dan Kebudayaan 3 (56-58)
XVII Kesehatan 2 (59-60)
XVIII Kependudukan dan Ketenagakerjaan 2 (61-62)
XIX Pembangunan Berkelanjutan dan
Lingkungan Hidup 2 (63-64)
XX Sosial 2 (65-66)
XXI Pengawasan 2 (67-68)
XXII Kerjasama dan Penyelesaian Perselisihan 2 (69-70)
XXIII Ketentuan Peralihan 5 (71-75)
XXIV Ketentuan Penutup 4 (76-79)

di provinsi tersebut, sebagai bagian integral dari sus dalam rangka pelaksanaannya yang besarnya
NKRI, sebagaimana terlihat pada Tabel 1. setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana
Alokasi Umum Nasional selama 25 tahun --- teru-
Efektivitas Dana Otonomi Khusus Provinsi tama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan
Papua Barat kesehatan. Serta pos dana tambahan infrastruktur
Pemberian dana Otonomi Khusus bagi dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang
Provinsi Papua Barat, ditujukan untuk menun- besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan
jang percepatan pelaksanaannya dalam rangka DPR berdasarkan usulan pemerintah provinsi
mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hu- pada setiap tahun anggaran. Hal ini seperti hasil
kum, penghormatan terhadap HAM, percepatan petikan wawancara penulis melalui telepon dan
pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahter- pertanyaan tertulis dengan Abia Ullu, SE., Ke-
aan dan kemajuan masyarakat Papua Barat dalam pala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah
rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan Provinsi Papua Barat:
kemajuan provinsi lain di Indonesia. “Sejak resmi bergabung dengan Negara
Dalam bidang keuangan daerah, kekhu- Kesatuan Republik Indonesia, Irian Jaya (seka-
susan yang diberikan kepada Provinsi Papua rang Papua) berada dalam kondisi miskin dan
Barat terkait dengan pelaksanaan Otonomi Khu- tertinggal dari daerah-daerah lain pada umum-
sus, adalah berupa adanya pos penerimaan khu- nya. Hal ini yang membuat rakyat Papua merasa

JURNAL POLITIK 1910 VOL. 13 No. 1. 2017


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

sangat kecewa dengan sistem dan rencana pem- Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80%, dan Pa-
bangunan yang diterapkan oleh pemerintah pusat jak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi sebesar 20%.
yang tersentralisasi. Kekecewaan itu dilampias- Kedua, penerimaan khusus dalam rangka pelak-
kan dengan gerakan-gerakan sparatis yang datang sanaan Otsus yang besarnya dinilai 2% dari Dana
dari berbagai penjuru Tanah Papua. Bagi Papua, Alokasi Umum Nasional, inilah yang disebut se-
Otonomi Khusus bagi Papua menjadi salah satu bagai dana Otsus. Ketiga, dana tambahan pemban-
cara mengejar ketertinggalannya. Meski sampai gunan infrastruktur. Penerimaan kedua dan ketiga
saat ini Otonomi Khusus juga belum mampu men- ini berlaku selama 20 tahun, dan setelahnya nihil.
jawab masalah yang ada. Selanjutnya, khusus untuk ketentuan istimewa
Satu kelebihan Otonomi Khusus yang di- bagi hasil minyak dan gas akan berubah menjadi
miliki Papua dan Papua Barat adalah di bidang 50% setelah 25 tahun. Sepanjang 2002 sampai
keuangan daerah, yakni dengan adanya pos pe- 2012, Provinsi Papua menerima Rp 28,445 triliun
nerimaan khusus dalam rangka pelaksanaannya dana Otsus dan Rp 5,271 triliun dana infrastruktur.
yang besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Adapun Provinsi Papua Barat yang terbentuk se-
Alokasi Umum Nasional selama 25 tahun, yang jak 2008, sudah menerima Rp. 5,409 triliun dana
ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan ke- Otsus dan Rp 2,962 triliun dana infrastruktur.
sehatan. Serta pos dana tambahan infrastruktur Keempat, Dana Alokasi Umum sebagai
dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang block grant dari pemerintah pusat untuk menu-
besarnya ditetapkan antara Peme-rintah dengan tup celah kemampuan fiskal antar wilayah. Selain
DPR berdasarkan usulan pemerintah provinsi keistimewaan dengan adanya dana Otsus, dana
pada setiap tahun anggaran”. khusus infrastruktur, dan dana perimbangan, se-
Berdasarkan data dari Badan Pengelolaan benarnya, Dana Alokasi Umum (DAU) Papua
Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Papua Barat, sendiri sudah sangat besar. Sehingga, tidak heran
selama periode 2002-2012 secara kumulatif jum- jika diban-dingkan dengan kawasan lain. Selain
lah dana Otsus yang telah diterima oleh Provinsi itu, Provinsi Papua juga dapat menerima bantuan
Papua dan Papua Barat mencapai Rp. 38,6 triliun, asing setelah memberitahukan terlebih dahulu ke-
yang terdiri Rp. 32,7 triliun berupa dana Otonomi pada pemerintah dan harus mendapat persetujuan
Khusus dan Rp. 5,8 triliun berupa dana tambah- dari DPRD Provinsi --- selanjutnya, total kumu-
an infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus latif pinjaman besarnya tidak melebihi presentase
(bpkad.papuabarat.go.id. 2013). Besar dana terse- tertentu dari jumlah APBD sesuai dengan peratur-
but, ternyata, menimbulkan pertanyaan bagi ma- an perundang-undangan.
syarakat tentang dampak dana Otonomi Khusus Paling tidak terdapat dua level kelemahan
terhadap kesejahteraan masyarakat Papua Barat. implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua
Karena, sesuai dengan data Bappenas tahun 2013, Barat yang perlu segera dibenahi. Pertama, pada
dana Otonomi Khusus tidak menurunkan angka level kebijakan, yang terlihat adalah belum a-
kemiskinan dan tidak meningkatkan Indeks Pem- danya petunjuk teknis sebagai penjabaran dari UU
bangunan Manusia (IPM) di Papua Barat. Otonomi Khusus. Belum ditetapkannya Perdasus
Sebagaimana kita ketahui, sumber dana tentang pembagian, pengelolaan serta peneri-
desentralisasi Provinsi Papua dan Papua Barat maan keuangan sebagai bagian dari implementasi
diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001. Pertama, Otonomi Khusus, dan pola hubungan kerja yang
dalam hal dana perimbangan, sesuai mandat UU belum terbangun secara sinergis antara eksekutif,
Otonomi Khusus, Provinsi Papua dan Papua Barat legislatif dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di dae-
mendapatkan perlakuan istimewa dalam hal bagi rah.
hasil sumber daya alam minyak dan gas dengan Selama 2012, Provinsi Papua Barat belum
besaran 70%. Sementara, untuk sumber daya alam menerbitkan satupun Perdasus yang me-ngatur
lain, kedua provinsi tersebut menerima persen- tentang hal-hal teknis dalam implementasi UU
tase yang sama seperti provinsi lain. Adapun, un- Otonomi Khusus. Mengingat, tanpa adanya Per-
tuk bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dasus sebagai petunjuk teknis, maka, pengelolaan
keduanya menerima 90%, Bea Perolehan Hak dan penggunaan dana otonomi khusus sulit di-

JURNAL POLITIK 1911 VOL. 13 No. 1. 2017


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

implementasikan secara baik, bahkan cenderung Otonomi Khusus di Provinsi Papua Barat propor-
dapat disalahgunakan. sinya 30:70, yakni 30% untuk pemerintah provinsi
Kedua, terletak pada level implementasi dan 70% untuk pemerintah kabupaten/kota yang
kebijakan. Hal ini terlihat pada kurangnya pema- diatur dalam Peraturan Gubernur Papua Barat.
haman pemerintah daerah dan masyarakat setem- Selanjutnya, Rancangan Perdasus tentang pem-
pat terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus, serta bagian dan pengelolaan dana Otonomi Khusus
kuantitas dan kualitas pelaksana yang masih terba- yang ada dapat dikatakan belum memiliki kekuat-
tas, MRP yang masih multitafsir dan upaya yang an hukum yang tetap, karena belum ditetapkan
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat dalam lembaran daerah. Raperdasus ini pun hanya
dalam implementasi otonomi khusus masih belum me-ngatur hal-hal yang bersifat umum sehingga
maksimal. Kondisi ini menjelaskan, selama ini, membutuhkan peraturan-peraturan turunan dalam
tidak ada sinergitas antara Pemerintah Provinsi menjabarkan tata cara alokasi, pengawasan, pe-
Papua Barat dan pemerintah pusat. Pemerintah ngendalian, pelaporan dan pertanggungjawaban
Pusat tidak melakukan supervisi dan evaluasi se- guna terwujudnya pengelolaan anggaran yang
cara berjangka, sehingga terkesan otonomi khusus transparan dan akuntabel dan pada implementasi
hanya sebatas aspek politik, yakni menjawab tun- di lapangan. Akhirnya, pembagian tersebut diatur
tutan separatis di Papua dan Papua Barat. Padahal, berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang
secara substantif, Otonomi Khusus diharapkan sebenarnya akan lebih tepat apabila diatur dalam
mampu mengejar ketertinggalan dan kemiskinan Perdasus.
masyarakat di Tanah Papua. Faktanya, alokasi Selama ini, kebijakan pengalokasian dana
dana yang selama ini diberikan tidak mampu men- Otonomi Khusus yang dilakukan sepertinya juga
jadi faktor pendorong yang signifikan, hal ini ter- belum didasarkan kepada model pelaksanaan ke-
lihat dari jumlah penduduk miskin yang hampir wenangan khusus secara proporsional. Pemba-
mencapai 75%, dan Indeks Pembangunan Manu- gian 30% untuk Provinsi Papua Barat mestinya
sia (IPM) Provinsi Papua Barat hanya 60. dibarengi dengan lingkup pelaksanaan kewenang-
Tabel 2 an yang ada di provinsi. Dari sisi pemerintah ka-
Dana Otonomi Khusus dan Angka Kemiskinan bupaten/kota, pembagian tersebut dianggap tidak
di Papua Barat adil, karena belum mempertimbangkan karakter-
No Tahun istik dan kekhasan masalah yang ada di daerah
Dana Otsus Jumlah
(miliar rupiah) Penduduk Miskin kabupaten/kota, seperti daerah berkarakter pe-
gunungan, dataran, pedalaman, pesisir, termasuk
1 2009 1.118 251.983
pertimbangan jumlah penduduk (demografi), dan
2 2010 1.155 256.191
sebagainya.
3 2011 1.353 249.840
Pada dasarnya, sumber-sumber penda-
4 2012 1.642 247.642
naan (resources) digunakan untuk membiayai pel-
Sumber: Data Kompilasi dari BPS dan Ditjen Keu- bagai kewenangan yang dimiliki Provinsi Papua
angan Daerah Kemendagri dan Papua Barat sebagaimana amanat Pasal 4
Dari uraian tersebut sebenarnya dapat ayat (2) UU 21 Tahun 2001 “Selain kewenangan
terlihat bahwa yang terjadi bukanlah efektivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seluruh ke-
dana melainkan inefektivitas dana Otonomi Khu- wenangan dalam seluruh bidang pemerintahan
sus bagi Provinsi Papua Barat. Dari hasil analisa selain daripada 6 (enam) kewenangan peme-
didapatkan beberapa faktor utama tejadinya keti- rintah dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khu-
dak-efektifan dana otonomi khusus yang selama sus, Provinsi Papua diberi kewenangan khusus
ini diberikan kepada Provinsi Papua Barat. berdasarkan undang-undang ini. Pada ayat (3)
disebutkan bahwa pelaksanaan kewenangan se-
1. Belum Optimalnya Peraturan Daerah Khu- bagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), diatur
sus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi.
(Perdasi) Perdasus dan Perdasi yang diamanat-
Selama ini, pembagian alokasi dana kan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 se-

JURNAL POLITIK 1912 VOL. 13 No. 1. 2017


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

bagaimana telah diubah dengan Undang-Undang namun, peraturan khusus dimaksud belum ada.
Nomor 35 Tahun 2008 terkait dengan kewenang- Hal ini berimplikasi terhadap pengukuran tingkat
an dalam rangka otonomi khusus, sampai dengan keberhasilan pelaksanaan kewenangan khusus
saat ini, kemajuan penyelesaiannya dapat dilihat di kabupaten/kota disebabkan kesulitan daerah
pada tabel berikut. dalam mendefinisikan operasional kewenangan
khusus tersebut dalam perencanaan daerahnya.
Tabel 3 Secara tegas dapat dikatakan, belum
Jumlah Peraturan Tindak Lanjut UU Otsus terpenuhi-nya sejumlah Perdasus/Per-
di Papua dan Papua Barat dasi yang diisyaratkan berimplikasi
Provinsi Proses Perdasus Perdasikin pada ketidakjelasan arah kebijakan
dan pengelolaan kewenangan khusus.
Papua Sudah Diterbitkan 7 8
Implikasi dari ketidakjelasan
Sedang Dalam Proses 5 8
penjabaran dan penafsiran secara te-
Belum Diproses 1 2
pat tentang manajemen penyeleng-
Papua Barat Sudah Diterbitkan 0 1
garaan otonomi khusus, sudah barang
Sedang Dalam Proses 8 2
tentu dapat mengakibatkan desain ke-
Belum Diproses 5 16
bijakan Perdasus dan Perdasi yang su-
Sumber: Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri dah diterbitkan/ditetapkan tidak bisa
menjadi acuan yang tegas, jelas dan terukur. Mi-
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 salnya Perdasus bidang lingkungan hidup, belum
ayat (3) UU Nomor 21 tahun 2001 dan Undang- menjadi acuan yang terukur untuk dapat mem-
Undang Nomor 35 Tahun 2008 bahwa pelaksa- bedakan mana urusan yang harus dikelola oleh
naan kewenangan khusus dimaksud harus diatur provinsi atau kabupaten/kota. Akibatnya, kinerja
dalam Perdasus, dengan ketiadaaan peraturan pada bidang ini menjadi tidak optimal.
tersebut, maka, dapat dikatakan prinsip “money
follow function” dalam penggunaan anggaran- 2. Ruang Partisipasi Masyarakat dalam
nya belum dapat dilaksanakan dengan efisien dan Pengawasan Masih Terbatas
efektif. Berkait dengan hal tersebut, maka, tidak Sebenarnya, ruang terhadap pengawasan
heran jika kehadiran Otonomi Khusus belum ber- dana Otonomi Khusus sebenarnya dapat dijalan-
dampak secara signifikan terhadap pencapaian kan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) yang meru-
kesejahteraan orang asli Papua yang merupakan pakan representasi dari suluruh masyarakat Papua
target/sasaran affirmative action dan menjadi tu- dan Papua Barat, sekaligus, penghubung antara
juan dari UU Nomor 21 Tahun 2001. Apabila Per- pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Na-
dasus yang mengatur tentang kewenangan khusus mun, sejak lembaga ini berdiri, MRP lebih banyak
ini tidak segera diterbitkan, dapat dipastikan, sulit diberi peran dalam memfasilitasi untuk memper-
bagi Pemerintah Provinsi Papua/Provinsi Papua juangkan hak-hak masyarakat sipil. Hal ini se-
Barat, DPRP/DPRPB bersama-sama dengan MRP perti hasil wawancara dengan Zainal Abidin Bay,
Provinsi Papua/MRP Provinsi Papua Barat untuk Anggota Majelis Rakyat Papua dari Provinsi Pa-
mengawal kepentingan/kesejahteraan orang asli pua Barat kapan n melalui apa? yang menjelaskan
Papua. Hal ini mengingat, tidak adanya legitimasi tentang efektivitas dana otonomi khusus di Papua
pada tahapan awal proses --- yaitu penetapan dan Barat. Zainal menjelaskan bahwa :
pelembagaan hukum atas kewenangan yang diatur “Tiap tahun, dana yang diterima Peme-
dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 yang menjadi rintah Provinsi Papua Barat sangat besar jum-
dasar seluruh aktivitas/kegiatan dalam penyeleng- lahnya, bahkan lebih besar dari provinsi-provinsi
garaan Otonomi Khusus. lain. Namun pada kenyataannya, dana-dana terse-
Begitupun kewenangan yang dilaksanakan but belum nampak dalam bentuk pembangunan.
oleh kabupaten/kota sesuai amanat Pasal 4 ayat (5) Penyebab paling utama adalah belum terdistri-
UU Nomor 21 Tahun 2001 yang juga memerlukan busikan dana tersebut dengan baik karena masih
pengaturan lebih lanjut dengan Perdasus/Perdasi, lemahnya pengawasan masyarakat terhadap peng-

JURNAL POLITIK 1913 VOL. 13 No. 1. 2017


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

gunaan dana tersebut, terutama dana Otonomi mi Khusus tanpa syarat tersebut, pertama, adanya
Khusus yang jumlahnya mencapai trilyunan ru- tumpang tindih antara kegiatan/program pemerin-
piah. Selain itu, masyarakat Papua Barat belum tah provinsi dengan agenda pemerintah pusat. Oleh
memiliki akses yang luas terhadap dana otonomi sebab itu, tanpa adanya kriteria dan persyaratan
khusus, mengingat, mereka masih tergolong ma- khusus, maka, misi pemerintah pusat dalam bentuk
syarakat dengan pendidikan rendah dan miskin, program kegiatan terhadap Dana Otonomi Khusus
yang membuat mereka belum berpikir sejauh itu. akan sulit dicapai. Mengingat, dana tersebut di-
Sebenarnya, salah satu peluang datang dari Maje- gunakan Pemerintah Provinsi Papua Barat sesuai
lis Rakyat Papua yang diberikan hak oleh un- dengan program yang mereka tentukan. Hal itu
dang-undang untuk mengawasi jalannya Otonomi menyebabkan kerumitan dalam sistem pelaporan
Khusus di Papua dan Papua Barat, serta untuk dan proses audit, karena terjadinya pembiaya-an
memperjuangkan hak-hak masyarakat setempat. yang bias dan tumpang tindih dalam beberapa sek-
Sayangnya, lembaga ini masih disibukkan dengan tor (triple budget). Kedua, ketidakjelasan kriteria
banyaknya masalah yang dihadapi oleh masyara- dan formula dalam sistem pengalokasian dapat
kat Papua, sehingga masih terfokus pada penyele- menyebabkan terjadinya ketidakadilan horizon-
saian masalah-masalah tersebut.” tal bagi daerah-daerah dalam alokasinya, meski,
Selaras dengan yang tersebut di atas, de- tujuannya semula untuk mengatasi kesenjangan
ngan tidak adanya ruang pengawasan dan belum fiskal (fiscal gap) antardaerah (wawancara den-
optimalnya peran Majelis Rakyat Papua untuk gan Zainal Abidin Bay, Anggota Majelis Rakyat
mengawasi penggunaan dana Otonomi Khusus, Papua dari Provinsi Papua Barat, melalui telepon
sudah barang tentu berakibat pada kecenderungan dan pertanyaan tertulis).
adanya penyalahgunaan dana di Papua Barat. In-
dikasi adanya penyalahgunaan dana otonomi khu- 4. Koordinasi Lintas Pemerintah Pusat dan
sus tersebut terlihat dari hasil temuan BPK pada Daerah Belum Optimal
2013 yang menyebutkan dana otonomi khusus un- Tiap tahun, Dana Otonomi Khusus untuk
tuk Provinsi Papua Barat sebesar Rp. 4,12 triliun Provinsi Papua dan Papua Barat terus bertambah,
belum ada laporan keuangannya (jdih.bpk.go.id, namun belum memenuhi harapan dan tujuannya.
2013). Ada beberapa fakta yang dapat dikemukakan ter-
kait belum efektifnya penggunaan dana otonomi
3. Kelemahan dalam Mekanisme Transfer khusus. Pertama, Indeks Pembangunan Manusia
Tanpa Syarat Tertentu (IPM) di Papua Barat masih tergolong sangat lam-
Hubungan antara pemerintah pusat dan bat, dari 2008 sampai dengan 2012 hanya men-
pemerintah daerah dalam sistem Otonomi Khu- capai rata-rata kenaikan 0,1. Misalnya pada 2008,
sus Papua dicirikan oleh adanya penerapan sistem IPM Papua Barat masih 60,2, pada 2012 hanya
desentralisasi asimetris, salah satunya adalah de- meningkat 6,45. Sehingga dapat disimpulkan, ko-
sentralisasi keuangan. Ada pemberian kewenang- relasi antara kenaikan Dana Otsus dan IPM sangat
an kepada pemerintah provinsi untuk mengelola kecil.
pendapatan daerah yang bersumber dari pendapat- Kedua, angka kemiskinan masih tinggi.
an asli daerah (PAD) berupa pajak daerah, retri- Angka kemiskinan di Papua Barat memang men-
busi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah galami penurunan, pada 2008 angka kemiskinan
yang dipisahkan beserta lain-lain PAD yang sah. di Papua Barat masih 47,54% dan kemudian terus
Selain tersedia ruang untuk mengelola otonomi menurun hingga 33,66% pada 2012. Dengan kata
daerah, dalam perspektif hubungan keuangan lain, korelasi kenaikan Dana Otonomi Khusus
antara pemerintah pusat dan daerah juga dikenal dengan penurunan angka kemiskinan tidak sig-
adanya transfer keuangan dari pemerintah pusat nifikan. Sejatinya, besaran dana otsus yang telah
kepada pemerintah daerah. Salah satu dana trans- diberikan perlu ditelusuri penggunaannya, karena
fer yang didapatkan oleh Provinsi Papua Barat dan hingga 2012 belum ada perubahan yang menon-
tidak didapatkan oleh provinsi lain adalah Dana jol pada infrastruktur, pendidikan, kesehatan atau
Transfer Otonomi Khusus. pada bidang lainnya. Apabila kondisi ini berlarut-
Adapun, kelemahan lain dari Dana Otono- larut, dikhawatirkan tindakan separatisme yang

JURNAL POLITIK 1914 VOL. 13 No. 1. 2017


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

dilakukan oleh rakyat Papua dan Papua Barat nya, Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP)
yang menginginkan kemerdekaan sendiri kembali adalah lembaga budaya (kultur), namun, dalam
terulang. Kondisi ini juga memperlihatkan, solusi implementasinya, karena pendampingan pusat ter-
untuk meredam perpecahan bangsa tidak dapat di- hadap daerah yang kurang baik, MRP masih ter-
tempuh dengan memberikan Dana Otonomi Khu- libat dalam permasalahan kebijakan politik. Oleh
sus yang besar --- akan tetapi, pemerintah juga ha- sebab itu, peran pusat terhadap daerah untuk bisa
rus melakukan pendekatan lain yang dirasa perlu menjalankan sistem manajemen di Papua Barat
untuk menjaga kesatuan dan persatuan NKRI. menjadi penting, agar bisa mendukung integrasi
bangsa.
Kegagalan Pemerintah Pusat dan Daerah Tidak cukup sampai di situ, beberapa fakta
dalam Implementasi Otonomi Khusus di Pa- menunjukan, pelaksanaan otsus di Papua Barat ti-
pua Barat dak melibatkan seluruh warga masyarakat setem-
Terkait masalah hasil Otonomi Khusus di pat, melainkan, hanya dijalankan oleh kalangan
Provinsi Papua Barat yang ada selama ini hanya elit di daerah, baik di birokrasi legislatif, eksekutif
kaya dengan aneka aturan untuk memproteksi maupun yudikatif. Akibatnya, orang asli Papua
dan memberdayakan orang asli Papua, sejatinya, sebagai subjek Otonomi Khusus terabaikan. De-
Dana Otonomi Khusus untuk Papua Barat dari ngan kata lain, Otonomi Khusus hanya sampai di
2009 hingga 2012 telah mencapai hampir 7,5 daerah perkotaan, sedang di kampung-kampung,
triliun. Dengan jumlah penduduk tidak sampai 3 orang asli Papua bahkan tidak tahu jika sedang
juta jiwa, namun, masyarakat di Papua Barat ma- hidup dalam era otonomi khusus. Karena mereka
sih berkubang dalam kemiskinan dan ketertingga- tidak mengalami sentuhan pembangunan.
lan pendidikan. Padahal, dana 7,5 triliun tersebut Penerapan Otonomi Khusus di Papua Barat
di luar dari dana APBD, dana dekonsentrasi dan merupakan langkah kebijakan pemerintah untuk
dana bantuan dari berbagai kementerian. Secara peningkatan pertumbuhan pembangunan ma-
tegas dapat dikatakan, anggaran yang diterima syarakat. Adapun, paradigma baru pembangunan
oleh Provinsi Papua Barat sangat besar. yang dapat mengatasi masalah klasik di Papua, di
Sebenarnya, pemerintah pusat sudah me- antaranya masalah geografis wilayah-wilayah ter-
miliki sistem manajemen pemerintahan dalam pencil dan pedalaman yang sulit di jangkau, serta
implementasi Dana Otonomi Khusus berupa ketersediaan sumber daya manusia untuk melak-
pendampingan. Sistem manajemen pengelolaan sanakan pelayanan publik dasar, yakni pendidikan
Otonomi Khusus itu terkait dengan urusan pusat dasar, kesehatan, dan pengembangan ekonomi
dan daerah yang menyangkut percepatan kese- kerakyatan. Dari ketiga aspek di atas, sudah ba-
jahteran, kecerdasan dan kesehatan masyarakat di rang tentu, bahwa perkembangan pembangunan
Papua Barat. Namun, fakta di lapangan berbeda, masyarakat Papua harus menjadi fokus dan perha-
selama ini, pendampingan pemerintah pusat be- tian negara dan pemerintah pusat dalam memba-
lum terlihat. Padahal pendampingan tersebut di- ngun pelayanan publik di daerah-daerah pedala-
maksudkan untuk memastikan dana tersebut ter- man --- seperti transportasi, pendidikan dasar
pakai sesuai dengan rencana dan tepat sasaran. yang ber-akibat buruk pada peningkatan kualitas
Hasil wawancara dengan Zainal Abidin sumber daya manusia, dan pelayanan kesehat-
Bay, Anggota Majelis Rakyat Papua dari Provinsi an yang menyebabkan kualitas fisik masyarakat
Papua Barat menjelaskan, salah satu kendala Papua Barat yang buruk pula. Begitu pula dengan
Otonomi Khusus di Papua Barat dikarenakan kegagalan dalam meningkatkan pendapatan eko-
sistem manajemen yang terkait dengan pendamp- nomi masyarakat di pedesaan membuat angka ke-
ingan kementerian untuk mengawasi tidak berja- miskinan di Papua Barat tetap tinggi. Akibatnya,
lan. Hambatan tidak berjalannya sistem manaje- Otonomi Khusus juga belum memberikan dam-
men yang ada dan sumber daya manusia yang pak yang signifikan untuk mengatasi kemiskinan
belum terbangun, membuat pelaksanaan otonomi di Papua. Sajian Badan Pusat Statistik mengung-
khusus di Papua Barat tidak berjalan sesuai den- kapkan angka kemiskinan di Papua Barat hampir
gan keinginan masyarakat. 40%, jauh di atas angka rata-rata kemiskinan na-
Selanjutnya Zainal menyatakan, sebenar- sional yang mencapai 17%. Ironisnya, angka ke-

JURNAL POLITIK 1915 VOL. 13 No. 1. 2017


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

miskinan ini meningkat justru sejak diterapkannya mal (suprastruktur politik) di tingkat provinsi
otonomi khusus (Sumuel dalam Rathgeber, 2006). dalam memperkuat otonomi khusus di Papua dan
Hasil analisa data lapangan dapat dijelas- Papua Barat merupakan bentuk dari institusi re-
kan beberapa hal. Pertama, 74,24% penduduk asli presentatif yang menjelmakan kewenangan rakyat
tinggal di daerah-daerah terpencil dengan akses Papua. Oleh sebab itu, pemerintah pusat tidak bisa
pada infrastruktur dan fasilitas perhubungan yang melakukan intervensi tanpa melibatkan MRP. Hal
sangat terbatas, atau bahkan tidak ada sama sekali. ini sesuai dengan UU Otsus yang menyatakan ke-
Kedua, dipandang dari segi produksi pertanian, wenangan pemerintah pusat di Papua hanya ada
ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan penguasaan lima yang pokok. Selain di luar itu, merupakan ke-
teknologi, kurang lebih 80% dari keluarga-kelu- wenangan daerah Papua Barat yang dikelola oleh
arga hidup dalam kemiskinan dan kondisi terbe- Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB),
lakang. Ketiga, kebanyakan penduduk asli Papua MRP dan Kepala Daerah. MRP juga merupakan
Barat hidup di bawah garis kemiskinan. Keempat, pe-negasan indentitas politik Papua, karena yang
hampir tidak ada jalan bermutu yang menghubung- bisa memilih dan dipilih untuk MRP hanyalah
kan satu kota dengan kota lain, khususnya, yang orang asli Papua. Maka dari itu, MRP menjadi
biasa dipakai masyarakat setempat untuk mema- wadah bagi ekspresi identitas Papua secara ke-
sarkan produknya untuk memperoleh pendapatan seluruhan.
yang lebih memadai. Kelima, harga-harga barang Dengan cara pandang seperti itu, dengan
konsumsi di Papua Barat rata-rata 25% lebih ma- adanya Otonomi Khusus, maka, kekuasan daerah
hal daripada di tempat lain di Indonesia, dan terla- di Papua dan Papua Barat tidak tersentralisasi,
lu tinggi, terutama di daerah pedalaman. Keenam, melainkan terpencar (multi-center), yaitu di tan-
dalam 2 tahun terakhir (2010-2012) elastisitas ke- gan gubernur, di tangan DPRD (DPRPB) dan di
sempatan kerja hanya 0,4, artinya untuk 1% per- tangan MRP (dipilih langsung oleh konsituennya
tumbuhan ekonomi hanya menambah kesempatan orang asli Papua, yaitu masyarakat adat, komunitas
kerja 0,4%. agama dan kelompok perempuan). Terpencarnya
Kondisi-kondisi tersebut di atas dapat di- kekuasaan di pemerintahan daerah Provinsi Papua
nyatakan sebagai kegagalan pemerintah pusat Barat, akan membuat politik lokal lebih dinamis
dan daerah dalam memberikan pelayanan pub- dari pada daerah lainnya. Karena politik tidak lagi
lik di Papua Barat. Kegagalan tersebut, terutama dimonopoli oleh partai politik, akan tetapi, juga
berkaitan dengan tiga masalah utama, yaitu ma- dikembangkan oleh komunitas adat dan agama
salah geografis wilayah-wilayah terpencil yang serta perempuan dalam MRP. Sejalan dengan itu,
sulit untuk dijangkau, masalah birokrasi yang juga terjadi demokratisasi politik lokal di Papua
kurang transparan, serta masalah kurangnya sum- Barat, karena gubernur, DPRD mendapat imbang-
ber daya manusia untuk memberikan pelayanan an dari MRP.
publik dasar, yaitu pendidikan dasar, kesehatan Dalam kerangka ini, pemerintah pu-
dan pengembangan ekonomi rakyat. Kegagalan sat tidak lagi menentukan secara otoriter, tetapi
mengatasi tiga masalah itu merupakan tolok ukur berkonsultasi dengan kekuasaan dengan pemerin-
kegagalan pemerintah dalam melaksanakan pem- tah setempat. Kehadiran MRP sebenarnya dapat
bangunan dan merupakan salah satu akar masalah menjadi sangat strategis, mengingat UU meng-
konflik di Tanah Papua selama ini. Sampai tidak amanatkan bahwa setiap kali pemerintah pusat
ada dua alasan mendasar, pertama, Otsus diredu- membuat kebijakan mesti melakukan konsultasi
sir hanya sebatas dana triliunan rupiah dan peme- dengan MRP.
karan daerah. Kedua, otsus lebih terfokus pada Peran strategis MRP tentu sesuai dengan
pembangunan fisik, tanpa ada upaya serius untuk tujuan dibentuknya lembaga ini. Sebenarnya,
memberdayakan orang asli Papua melalui pendi- landasan filosofis dibentuknya MRP merupakan
dikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi. bentuk affirmatif action yang bertujuan untuk me-
ningkatkan partisipasi orang asli Papua dan Papua
Belum Optimalnya Peran Majelis Rakyat Pa- Barat dalam setiap pengambilan keputusan politik
pua Sebagai Institusi Politik Penyeimbang dan ekonomi di Papua dan Papua Barat --- demi
Peran MRP sebagai lembaga politik for- melindungi hak-hak asli orang Papua dan Papua

JURNAL POLITIK 1916 VOL. 13 No. 1. 2017


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

Barat, serta meningkatkan kesejahteraan orang dap MRP. Penolakan beberapa gereja dan dewan
asli Papua. Tujuan itu dirumuskan berdasarkan adat mengirimkan orang terbaik mereka ke dalam
pengalaman sejarah, politik dan posisi orang Pa- MRP di awal pendiriannya, pada gilirannya, telah
pua dalam berhubungan dengan birokrasi Indo- membuat MRP kehilangan daya gigitnya. Implika-
nesia selama hampir 50 tahun. MRP merupakan si dari delegitimasi yang terus menerus itu telah
representasi dari kalangan adat, agama dan perem- membuat MRP dinilai oleh masyarakat Papua dan
puan. Papua Barat sendiri tidak berguna.
Sebagai lembaga perwakilan adat, agama Untuk dapat keluar dari kondisi tersebut,
dan perempuan, filosofi yang melatarinya adalah MRP mestinya kembali pada kekuatan utamanya,
untuk melindungi dan penghargaan moral dan yaitu orang asli Papua. Dengan kata lain, MRP ha-
etika dalam melindungi hak-hak dasar orang asli rus membangkitkan harapan dan sentimen massa
Papua, hak asasi manusia, supremasi hukum, de- orang asli Papua menjadi kekuatan yang riil di
mokrasi, pluralisme serta persamaan kedudukan belakang MRP. Untuk mencapai ini, seyogianya,
sebagai warga negara. Penegasan ini dinyatakan para anggota MRP harus kembali ke wilayah pe-
dalam UU Otsus, sebagai refleksi dari pengalaman milihannya dan berdiam di daerah pemilihannya.
yang panjang orang-orang asli Papua yang telah Selain itu, langkah konkrit yang dapat di-
menjadi korban atau hanya diperlakukan sebagai tempuh untuk efektivitas jalannya pemerintahan
penonton selama integrasi dengan Indonesia. daerah, khususnya di Papua Barat, maka, perlu
Dalam konteks implementasi Otonomi kiranya MRP membuat MoU dengan DPRPB
Khusus, peranan MRP dalam proses politik di dan Gubernur Papua Barat mengenai mekanisme
Papua Barat sangat sentral, karena lembaga ini hubungan antar lembaga agar tidak terjadi tum-
dalam Bab V, UU No. 21 Tahun 2001 tentang pang tindih nantinya. MoU ini menjadi sangat
Otonomi Khusus Papua dinyatakan sebagai ba- pen-ting, karena UU otonomi khusus dan PP ten-
gian dari pemerintahan daerah di Papua. tang MRP terlalu umum dan tidak bisa dijadikan
Dengan demikian, kepemerintahan di pedoman kerja antar lembaga.
Papua, setelah hadirnya MRP berjalan dengan tiga Selain itu, sesuai dengan pasal 4 UU
kekuasaan, yaitu legislatif (Dewan Perwakilan otonomi khusus, MRP bersama dengan DPRPB
Rakyat Papua Barat), eksekutif (gubernur/pemda) dan Gubernur Papua Barat perlu pula membuat
dan Majelis Rakyat Papua (MRP), posisi ketiga MoU dengan Pemerintah Pusat terkait pelibatan
lembaga itu setara dan sederajat. instansi daerah Papua Barat, terutama MRP di luar
Sementara, kewenangan pokok MRP yang 5 masalah yang menjadi kewenagan pusat untuk
lain, sesuai dengan UU Otsus Papua dan PP No. memastikan pemilihan gubernur dan wakil guber-
54 Tahun 2004 tentang MRP, adalah memberikan nur, penambahan provinsi, pemilihan bupati dan
pertimbangan dalam pencalonan Gubernur dan walikota, kontrak dengan pihak ketiga, pengelo-
Wakil Gubernur, pembuatan Perdasus mengenai laan sumberdaya alam, pendidikan dan kesehatan.
hak-hak asli orang Papua, saran dan persetujuan Apakah pemerintah pusat berwenang
dalam perjanjian dengan pihak ketiga.” ataukah itu menjadi kewenagan provinsi di mana
Kewenangan tersebut merupakan ke- kewenangan itu dikelola dalam rangka ceks and
wenangan turunan untuk memastikan agar hak- ballance antara DPRPB, MRP dan Gubernur Pa-
hak asli orang Papua di atas tanah Papua terjamin pua Barat. Dengan cara pandang seperti itu, proses
dan terlindungi. Di samping itu MRP juga bertugas politik di Papua dan Papua Barat memasuki era
dan berwenang untuk memberikan pertimbangan baru, MRP menjadi pilar ketiga dari penyelenga-
kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kota/Kabupaten raan pemerintahan di Papua Barat. MRP sekaligus
serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang ter- menjadi institusi politik yang akan membuat poli-
kait dengan hak-hak asli orang Papua. tik lokal di Papua Barat di era otonomi ini lebih
Belum maksimalnya kiprah MRP tentu dinamis.
bukan disebabkan oleh kelemahan MRP sendiri.
Lumpuhnya MRP juga ada sumbangan dari tokoh- Pelanggaran HAM: Bentuk Kegagalan Proses
tokoh masyarakat Papua dan Papua Barat sendiri Integrasi Bangsa di Papua
yang terus menerus melakukan delegitimasi terha- Tata pemerintahan di Papua dan Papua

JURNAL POLITIK 1917 VOL. 13 No. 1. 2017


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

Barat menjadi lemah karena interaksi dan ker- peningkatan sumber daya manusia (SDM), tidak
jasama antara pemerintah, swasta dan masyara- dapat dipungkiri, seringkali penegak hukum juga
kat madani sangat terbatas, akan tetapi, juga melakukan pelanggaran HAM yang tidak bisa di-
karena interaksi dan kerjasama antara pemerintah toleransi. Kedua, aspek wilayah atau keadaan geo-
provinsi dan pemerintah kota dan kabupatan san- grafis yang sulit dijangkau. Sebagai wilayah yang
gat terbatas. berada di bagian terluar wilayah tanah air, mem-
Situasi keseluruhan ini menyebabkan in- buat Papua tidak diperhitungkan dalam hal pem-
efisiensi (kurang kolaborasi), inkonsistensi, dan bangunan infrastruktur dan ekonomi, sehingga
memberi ruang untuk korupsi dan penyalahgu- masalah pun kerapkali terjadi. Ketiga, kesadaran
naan oleh semua pihak. Kebijakan untuk meles- dan pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai
tarikan lingkungan, untuk berantas kemiskin- HAM memang dirasa masih sangat kurang. Kare-
an, untuk menjadi tanggap terhadap hak semua na pemahaman yang kurang, akhirnya, mereka tak
orang terhadap pelayanan air minum, kesehatan sadar kalau ikut melakukan pelanggaran HAM.
dan pendidikan, tidak memperoleh keluaran yang
direncanakan dan tidak menghasilkan tujuan yang Simpulan
ditargetkan. Pemberlakuan Otonomi Khusus Papua
Selain itu, dasar persoalan lain menyang- merupakan hal mendasar yang hanya berlaku di
kut dimensi keuangan tampak pada pembagian Papua, sebaliknya terdapat pula hal-hal yang ber-
dan pengelolaan dana Otsus selama ini tidak di- laku di daerah lain yang tidak diberlakukan di
lakukan sesuai amanat UU Otsus lewat hadirnya Papua. Selain itu, undang-undang ini memiliki
sebuah Perdasus. Sejauh ini pembagian dana Ot- sejumlah keistimewaan yang membedakannya de-
sus hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan bu- ngan produk perundang-undangan lainnya.
pati/walikota se-tanah Papua. Dalam implementasi Otonomi Khusus di
Sementara pengelolaannya hanya didasar- Papua Barat, sebenarnya, pemerintah pusat telah
kan pada Permendagri (terakhir Permendagri No. memiliki sistem manajemen pemerintahan beru-
59 Tahun 2006) yang dianggap tidak tepat sasaran. pa pendampingan, pembinaan dan pengawasan.
Dalam struktur APBD Papua sejak pemberlakuan Sistem manajemen mengelola otonomi khusus itu
Otsus juga tidak ditemukan kuota dana sebesar terkait dengan urusan pusat dan daerah menyang-
30 persen untuk pendidikan dan 15 persen untuk kut percepatan kesejahteran, kecerdasan dan ke-
kesehatan. Pembagian dana Otsus yang besarnya sehatan masyarakat di Papua Barat.
70 persen untuk Papua dan 30 persen untuk Pap- Namun, fakta di lapangan berbeda, selama
ua Barat sejak tahun 2008 juga dilakukan dengan ini, pendampingan, pembinaan dan pengawasan
tanpa dasar hukum. pemerintah pusat belum terlihat. Salah satu ken-
Kondisi tersebut makin diperumit dengan dala otonomi khusus di Papua Barat adalah karena
belum tuntasnya agenda reformasi hukum yang sistem manajemen yang tidak berjalan terkait de-
adil dan berwibawa. Padahal, penegakan hukum ngan pendampingan kementerian untuk menga-
merupakan urat nadi dari pelaksanaan berbagai wasi otonomi khusus. Oleh sebab itu, peran pusat
kebijakan di bidang hak-hak sipil, politik maupun terhadap daerah di Papua Barat sangat penting
ekonomi dan sosial budaya. Mustahil mencapai untuk bisa menjalan-kan sistem manajemen ber-
masyarakat yang hak-hak asasinya dihargai secara jalan dengan baik dan bisa mendukung integrasi
beradab bilamana penegakan hukum tidak berja- bangsa.
lan dalam koridor yang benar. Di sisi lain, implementasi otonomi khusus
Banyak kendala yang harus dibenahi jika di Papua Barat belum sepenuhnya menjawab tun-
semua pihak memiliki itikad baik untuk mengak- tutan masyarakat Papua Barat dan belum sepenuh-
hiri dan menyelesaikan masalah HAM di Papua. nya memberikan kesejahteraan bagi kehidupan
Namun, paling tidak, ada beberapa hal yang pa- masyarakat di Papua Barat. Dari hasil penelitian
ling mendesak. Pertama, aspek penegakan su- ini dapat disimpulkan beberapa hambatan dalam
premasi hukum. Harus ada penuntasan agenda implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus,
reformasi hukum yang konprehensif dari tingkat di antaranya: pertama, berbagai kelemahan for-
pusat sampai daerah. Khususnya berkaitan dengan mulasi yuridis yang terdapat dalam materi muatan

JURNAL POLITIK 1918 VOL. 13 No. 1. 2017


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

pasal-pasalnya; Kedua, kelemahan sebagai akibat Jun, Jong S & Deil S. Wright. 1996. Globaliza-
kebijakan pemerintah pusat yang menyimpang tion and Decentralization: An Overview.
dari substansi Undang-Undang Otonomi Khusus; Washington: Georgetown Univesity Press.
Ketiga, kelemahan kebijakan pemerintah provinsi
yang tidak melaksanakan substansi Undang-Un- Kaho, Josep Riwu. 1988. Prospek Otonomi Dae-
dang Otonomi Khusus secara konsisten; Keem- rah di Negara Repulik Indonesia,
pat, pemerintah pusat lalai melakukan fungsi su- Indenti fikasi Beberapa Faktor yang Mem
pervise (bimbingan) dan intermediasi (koordinasi pengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta:
antar institusi) bagi Pemerintah Daerah Provinsi Rajawali Press.
Papua dalam pelaksanaan UU Otsus Papua; serta
kelima, masih banyaknya perbedaan persepsi dan Musa’ad, Mohammad. 2004. Menguak Tabir
pemahaman substnasi Undang-Undang Otonomi Otonomi Khusus Papua.
Khusus dari berbagai pemangku kepentingan di Bandung: ITB Press.
tingkat nasional dan di Papua.
Dengan kata lain, kegagalan otonomi khu- Osborne, David dan Ted Gaebler. 1996.
sus di Papua Barat merupakan kegagalan praktik Mewirausahakan Birokrasi.
hubungan antara pemerintah ousat dan Pemerintah Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Daerah Provinsi Papua Barat dalam implemeta-
sinya. Pemerintah Pusat belum memiliki political Rathgeber, Theodor (ed). 2006.
will yang disertai dengan pengawasan yang efek- Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
tif terhadap implementasi setiap pasal dalam UU di Papua Barat.
otonomi khusus Papua, sedang elit pemerintahan Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
di Provinsi Papua Barat tidak melaksanakan sub-
stansi Undang-Undang Otonomi Khusus secara Rondinelli, Dennis A & Shabbir Cheema. 1983.
konsisten. Decentralization and Development:
Jika tidak ada itikad baik dari pemerintah, Policy Implementations in Developing
sudah barang tentu, Otonomi Khusus tidak me- Countries, London: Sage.
nimbulkan efek positif bagi kesejahteraan rakyat
Papua pada umumnya, dan pada akhirnya, harapan Sarundajang. 1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat
akan adanya integrasi bangsa tidak akan pernah ke Daerah. Jakarta: Sinar Harapan.
terwujud di Tanah Papua. Sebenarnya satu hara-
pan yang bisa dilihat sebagai modal solusi untuk Solossa. 2006. Otonomi Khusus Papua;
Papua adalah menata ulang hubungan pemerintah Mengangkat Martabat Rakyat Papua
pusat dan Provinsi di Papua dalam rangka imple- di Dalam NKRI, Jakarta: Sinar Harapan.
mentasi otonomi khusus dengan 10 tahun sisa alo-
kasi waktu untuk penerapan otonomi khusus. Supriatna, Tjahya. 1993. Sistem Administrasi
Pemerintahan di Daerah,
Jakarta: Bumi Aksara.
DAFTAR PUSTAKA;
Suryadinata, Ermaya. 1993. Kebijaksanaan Pem-
Djojosoekarto, Agung dkk. 2008. Kebijakan bangunan dan Pelaksanaan Otonomi Dae-
Otonomi Khusus di Indonesia; Pembelaja- rah: Perkembangan Teori dan
ran Dari Kasus Aceh, Papua, DKI Jakarta, Penerapan. Bandung: Ramadhan.
dan Yogyakarta. Jakarta: Kemitraan.
UNDP. 2004. Memahami Desentralisasi.
Hidayat, Syarif. 2007. Too Much Too Soon: Lo- Yogyakarta: Pembaruan.
cal State Elite’s Perspective On And The
Puzzle Of Contemporary Indonesian Re- Van Houten, Peter. 2004. The Internatio-
gional Autonomy Policy. Jakarta: Rajawi nal Politics of Authonomy Regimes.
Pers. London: University of Cambridge.

JURNAL POLITIK 1919 VOL. 13 No. 1. 2017

Anda mungkin juga menyukai