Anda di halaman 1dari 5

4 STARTING POINT MERDEKA BELAJAR ALA MENDIKBUD

Oleh: Dr. Nur Miftahul Fuad, M.Pd


Plt. Kepala Bidang Pendidikan Dasar
Dinas Pendidikan Kab. Kediri

“We cannot always build a future for our youth, but we can always build our youth for the
future” (Franklin D. Roosevelt)

Pendahuluan
Menjelang pelantikan Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 di grup whatsapp banyak
beredar nama-nama sebagai calon menteri. Salah satu yang menjadi sorotan adalah calon
Mendikbud. Banyak nama yang mencuat untuk menduduki pos strategis ini. Sebagaimana era-era
sebelumnya maka prediksi akan jatuh pada nama dengan sederet gelar. Baik itu profesor, doktor,
usianya matang dengan segudang pengalaman atau juga tokoh hebat di dunia pendidikan. Namun
diluar dugaan, yang dilantik tidaklah memenuhi syarat-syarat tersebut. Amanah mulia ini jatuh
pada sang inovator, seorang muda yang bertalenta, seorang bos salah satu startup yang mencapai
status decacorn dunia, ialah Nadiem A. Makarim.
Sosoknya makin melejit usai pelantikan. Mas menteri ini menjadi viral. Segudang asa
tertumpu padanya. Namun, pertanyaan besar pun juga menjadi keraguan tersendiri. Mampukah ia
membawa kapal besar yang kini tidak hanya menaungi pendidikan usia dini, pendidikan dasar
dan menengah saja, namun juga pendidikan tinggi sebagai bentuk restrukturisasi organisasi dari
Kemristekdikti.
Jargon pertama yang beliau gaungkan adalah “Guru Penggerak”. Bagaimana guru
menjadi sosok penggerak bagi sekitarnya, guru yang senantiasa menghadirkan pengalaman riil
bagi siswanya, guru yang haus akan ilmu sehingga terus menerus mengupgrade diri agar lebih
maju, dan guru yang selalu dan selalu berinovasi serta mengajak siswa untuk melakukan mini
projects sesuai dengan karakteristik siswanya.
Tak lama berselang, tepat pada 11 Desember 2019 di hotel Birawa Assembly Hall
Bidakara Hotel Jakarta, di hadapan pejabat Kemdikbud dan para kepala Dinas Pendidikan se-
Indonesia, Mas Menteri melaunching kebijakan “Merdeka Belajar”. Ada 4 gebrakan perubahan
sebagai starting point program ini. Apa saja starting point tersebut? Bagaimana arah program ini?
Terkait hal ini, akan kita kaji lebih mendalam pada tulisan berikut ini.

Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)


Beberapa ketentuan penting terkait USBN di tahun lalu yakni: (1) USBN untuk semua
mapel dan mencakup ujian teori dan praktek, (2) kisi-kisi USBN teori ditetapkan oleh BSNP, (3)
soal USBN dari pusat (Kemdikbud/Kemenag) sebanyak 20%-25%, (4) sisanya sebanyak 75%-
80% dikembangkan oleh guru yang dikonsolidasikan dengan MGMP, (5) perakitan master soal
USBN sebanyak 100% dilakukan oleh guru dengan minimal 2 paket soal yang terdiri dari paket
soal utama dan paket soal susulan, dan (6) untuk mata pelajaran Seni Budaya, PJOK/Penjaskes,
Keterampilan/ Teknologi Informasi dan Komunikasi, Prakarya serta Muatan Lokal, jumlah butir
soal dan alokasi waktu ujian ditetapkan oleh masing-masing satuan Pendidikan.
Padahal sebagaimana kita tahu, semangat UU Sisdiknas adalah memberikan keleluasaan
bagi sekolah untuk menentukan kelulusan, namun praktik USBN yang terjadi selama ini masih
membatasi nilai-nilai luhur sebagai amanah dari UU Sisdiknas ini. Pada 2020, USBN akan
diganti dengan ujian (asesmen) yang model pengembangannya diserahkan sepenuhnya pada
pihak sekolah. Hal ini berarti sekolah memiliki hak mutlak dalam penyelenggaraan asesmen ini.
Ujian untuk menilai kompetensi siswa dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis dan/atau bentuk
penilaian lain yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya
tulis, essai, dan berbagai bentuk lain yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Hal ini
menunjukkan bahwa guru dan sekolah lebih merdeka dalam menilai hasil belajar siswa.
Pendelegasian pengembangan asesmen yang diserahkan pada masing-masing guru pada
sekolah merupakan wujud adanya keseriusan pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas guru
terutama terkait pengembangan penilaian. Pengalaman ini menjadi penting karena selama ini
guru masih sangat jarang secara autonom mengembangkan sistem penilaian yang berkualitas.
Padahal, salah satu fungsi utama guru adalah sebagai evaluator.
Lalu bagaimana dengan anggaran USBN yang masuk dalam pos anggaran 2020?
Anggaran ini dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah guna
meningkatkan kualitas pembelajaran.

Ujian Nasional (UN)


Pro kontra Ujian Nasional berakhirlah sudah. UN yang selama ini ditengarai materinya
terlalu padat sehingga siswa dan guru cenderung mengejar penguasaan konten melalui hafalan,
bukan berorientasi pada kompetensi penalaran. UN juga menjadi beban tersendiri bagi siswa,
guru, dan orang tua karena menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu. UN yang
seharusnya berfungsi untuk pemetaan mutu sistem pendidikan nasional, namun masih sering
diorientasi menjadi penilaian siswa UN yang hanya menilai sisi kognitif dari hasil belajar, belum
menyentuh karakter siswa secara menyeluruh.
Pada tahun 2020, UN akan dilaksanakan untuk terakhir kalinya. Hal ini berati pada 2021,
tidak ada lagi UN. UN akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan adanya Survei
Karakter. Asesmen ini lebih mengedepankan pada aspek literasi (bernalar menggunakan bahasa),
numerasi (bernalar menggunakan matematika). Selain itu karakter menjadi bagian dari survei,
bukan sebuah asesmen.
Asesmen ini diagendakan pada siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (yaitu kelas
4, 8, 11) sehingga mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Hasil
asesmen ini tentu tidak bisa digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya.
Pengembangan soal-soal pada asesmen ini mengacu pada soal level internasional semacam PISA
dan TIMSS yang memang lebih fokus pada daya nalar siswa, bukan hafalan. Inilah bentuk
kemerdekaan belajar. Terbebas dari hafalan yang membelenggu, hafalan-hafalan pada hal yang
tidak penting di era kekinian karena semua bisa diakses di smartphone.

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)


Selama ini, guru banyak dibebani oleh rangkaian kegiatan administratif yang terlalu
formal dan padat. Guru diarahkan untuk mengikuti format RPP secara kaku. RPP yang
dikembangkan selama ini memiliki 13 komponen dan guru diminta untuk menulis dengan sangat
rinci (satu dokumen RPP bisa mencapai lebih dari 20 halaman). Penulisan RPP ini menghabiskan
banyak waktu guru yang seharusnya bisa digunakan untuk mempersiapkan dan mengevaluasi
proses pembelajaran itu sendiri.
Kebijakan RPP ini menjadi viral, terutama adanya penyederhanaan RPP menjadi 1
halaman. Guru secara bebas (merdeka) dapat memilih, membuat, menggunakan dan
mengembangkan format RPP 3 komponen inti (komponen lainnya bersifat pelengkap dan dapat
dipilih secara mandiri). Komponen inti tersebut yaitu: (1) tujuan pembelajaran, (3) kegiatan
pembelajaran, dan (3) asesmen. RPP tersebut tentunya 1 halaman saja sudah cukup.
Kemerdekaan dalam pengembangan RPP ini termaktub dalam Surat Edaran Mendikbud
No. 14 tahun 2019 tentang penyederhanaan RPP, pada poin 3 tertuang adanya kebebasan sekolah,
KKG/MGMP dan guru untuk memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format
RPP secara bebas untuk keberhasilan siswa.
Penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif membuat guru akan lebih banyak
waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Hal ini senada
dengan guru-guru di banyak negara. RPP atau lesson plan yang mereka kembangkan sangatlah
sederhana, cukup satu atau dua lembar termasuk lembar kerja siswa (student worksheet) yang
berisi aktivitas pembelajaran siswa. Bahkan yang ekstrim lagi, guru senior di luar negeri
menyatakan bahwa RPP sudah ada di otak mereka.

Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi


Zonasi pada dunia pendidikan sudah menjadi kebijakan sejak tahun lalu. Zonasi ini
bertujuan untuk pemerataan kualitas pendidikan yang berarti tidak ada lagi kastanisasi sekolah,
semua sekolah berkualitas. Tidak ada sekolah favorit dan tidak favorit. Selain itu zonasi berperan
dalam mewujudkan Tripusat Pendidikan (sekolah, keluarga, masyarakat) dengan bersekolah di
lingkungan tempat tinggal.
Zonasi ini tidak hanya diberlakukan bagi guru namun juga pada siswa. Hal ini terbukti
pada mekanisme PPDB berbasis zonasi. Besaran persentase peserta didik yang diterima di suatu
sekolah berdasarkan zona cukuplah tinggi yakni 80% dan ini merupakan ketentuan baku dari
pusat. Sedangkan jalur prestasi maksimal 15% dan jalur perpindahan maksimal 5%.
PPDB zonasi tahun lalu menyisakan banyak masalah, mulai dari peraturan terkait PPDB
kurang mengakomodir perbedaan situasi daerah, belum terimplementasi dengan lancar di semua
daerah, sampai pada belum disertai dengan pemerataan jumlah guru.
Untuk itulah, Mendikbud membuat kebijakan PPDB lebih fleksibel untuk
mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah dengan persentase yang lebih
melegakan yakni jalur zonasi minimal 50%, jalur afirmasi minimal 15%, jalur perpindahan
maksimal 5%, dan jalur prestasi (sisanya 0-30%, disesuaikan dengan kondisi daerah).
Kebijakan ini pastinya akan disambut positif oleh pemerintah daerah karena daerah
memiliki kewenangan dalam menentukan proporsi final termasuk dalam menetapkan wilayah
zonasi. Artinya daerah secara merdeka menentukan besaran persentase sesuai dengan kondisi
yang ada. Namun demikian, pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan
inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan
guru

Penutup
Pada era kekinian, memang yang lebih dibutuhkan adalah pemimpin yang inovator,
pemimpin yang mampu berpikir out of the box, emimpin yang tahu akan masa depan dan mampu
membawa kita menuju masa depan itu. Semoga Mendikbud yang baru mampu mengemban
amanah ini dan gebrakan-gebrakan nyata bagi pendidikan akan membawa perubahan positif bagi
kemajuan bangsa.
4 starting point tersebut merupakan awal untuk menuju kemerdekaan dalam belajar.
Kebijakan ini bukanlah final untuk 5 tahun ke depan. Bahkan ini masih ronde pertama, akan ada
lagi gebrakan-gebrakan besar pada ronde-ronde berikutnya. Muaranya tentu sejalan dengan arah
pembangunan manusia yaitu SDM unggul yang akan menghantarkan pada Indonesia maju. Poin
penting lain yang tidak boleh dilupakan yaitu arah pendidikan kita. Pendidikan bukanlah sekedar
wahana untuk mencerdaskan bangsa, tetapi juga sebagai sarana untuk mengembangkan
kreativitas menuju bangsa yang beradab, berkarakter, dan berbudi luhur.
Otonomi pendidikan amat diperlukan untuk mengakomodir keragaman kemampuan dan
karakeristik siswa kita. Untuk mengingatkan kembali adanya keragaman siswa dan bagaimana
seharusnya asesmen tersebut dikembangkan, saya hadirkan quote dari Albert Einstein “Everyone
is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing
that it is stupid”.
Semoga kemerdekaan dalam belajar bukan slogan semata, namun bisa menjadi nyata.
Marilah dari kita menjadi agen-agen penggerak bagi kemajuan pendidikan, karena pendidikan
merupakan pembangun peradaban suatu negara.
#GuruPenggerak
#GuruAgenPerubahan
#MerdekaBelajar

Anda mungkin juga menyukai