Anda di halaman 1dari 2

logo-kompasiana login

DAFTAR

Padmo Adi

Padmo Adi

Hanya seorang pemikir bebas.

FOLLOW

FILSAFAT

Agama Sebagai Identitas yang Tak Pernah Netral

2 April 2010 21:38 Diperbarui: 2 April 2010 21:38 999 0 4

“Watak keras agama Abrahamik terjadi ketika agama-agama itu membumi yaitu ketika agama-agama itu
berjumpa dengan manusia dengan berbagai kepentingannya. Maka, eksistensi agama-agama sebagai
kelompok sosial dapat dilihat sebagai eksistensi kelompok-kelompok kepentingan. Konteks kelompok
kepentingan itu bisa mulai dari masalah ekonomi hingga politik dan keamanan.” Itulah ringkasan salah
satu pembahasan dalam buku “Menggugat Tanggung Jawab Agama-agama Abrahamik bagi Perdamaian
Dunia” yang menarik bagi kelompok kami. Hal tersebut juga digambarkan dalam film “The Kingdom”
yang kami tonton setelah membedah buku tersebut. Sebuah agama tidak pernah bisa berdiri sendiri.
Agama selalu lahir dan berada dalam konteks budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Semua hal itu saling
terkait dan susah terlepas. Dalam sejarah Kekristenan kita ketahui bersama bahwa perpecahan Gereja
menjadi Barat dan Timur tidak semata-mata karena masalah teologis (penambahan kata filioque),
melainkan juga masalah politis, bahwa masyarakat Timur enggan tunduk pada dominasi Barat. Juga
Reformasi Protestan tidak bisa dipandang semata-mata karena masalah simonial dan kemerosotan
moral, melainkan juga faktor politik, sosial, ekonomi; para bangsawan Jerman dan sekitarnya ingin
bebas dari kekuasaan Spanyol. Sempalnya kelompok Khawarij dari Islam Ortodoks juga memiliki unsur
politis, mereka kecewa terhadap Ali ibn Abi Thalib yang berkompromi dengan Muawiyah. Kejayaan
Mazab Mu’tazilah tak lepas dari unsur politis, bahwa Khalifah Al-Makmun (212/827) saat itu menganut
mazab itu. Pun di Indonesia, kerusuhan di Poso dan Ambon itu tak semata-mata karena perbedaan
agama, tetapi justru juga masalah perebutan lahan ekonomi. Namun, mengapa agama yang seharusnya
mengantar orang pada kehidupan yang lebih damai dan penuh cinta-kasih ini menjadi alasan orang
untuk berkonflik? Gutomo Priyatmono dalam makalahnya berjudul “Membicarakan Sesuatu yang
Seharusnya Mudah” dengan tajam mengupas, “Kasus-kasus yang muncul dalam masyarakat, persepsi
atas yang dianggap sebagai stranger dan the others, kekerasan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya,
merupakan kekerasan yang membawa pada pluralitas IDELISASI sebagai dasarnya.” Ketika orang
semakin mudah untuk bertemu satu sama lain, ketika seseorang bertemu dengan orang-orang lain yang
sama sekali berbeda dengannya, dia membutuhkan identitas. Dia membutuhkan gambaran diri ideal
tentang siapa dia, bahwa dia berbeda dengan mereka. Di mana identitas ini bisa diperoleh? Dari
lembaga tempat dia sekolah adalah contoh yang sederhana, organisasi atau club yang dia ikuti (Bonek
misalnya), sukunya, bahasanya (itulah mengapa orang Perancis enggan berbicara memakai Bahasa
Inggris), kebangsaan, juga agama. Dan, ketika orang terlalu memuja identitas ideal ini sehingga menutup
mata akan kekhasan yang lain, atau mungkin takut identitasnya tenggelam oleh identitas yang lain, dia
menjadi keras, fundamental, dan fanatik, sehingga resisten terhadap kenyataan lain. Hal tersebut akan
semakin rumit ketika kepentingan-kepentingan yang lain turut mewarnai. Karena agama tidak hanya
mencakup aspek ritual, tetapi juga aspek sosial, segala macam kepentingan sosial, politik, dan ekonomi
bisa dicampurtangani agama. Masalah politik, ekonomi, dan sosial di sebagian besar negara Amerika
Latin direaksi oleh agama dengan Teologi Pembebasannya, bahkan para pemuka agama turun angkat
senjata. Adalah rahasia umum bahwa seseorang harus memeluk agama tertentu untuk dapat
memangku jabatan tertentu di pemerintahan. Atau, fenomena banyak rakyat berbondong-bondong
memeluk agama setelah pecah Gestapu (1965) cukup berbicara. Jika demikian, agama hanya dipakai
sebagai baju untuk mengesankan identitas supaya dapat melaksanakan kepentingan-kepentingan. Jika
kepentingan-kepentingan ini terganggu, konflik bisa terjadi dan agama menjadi perisai sekaligus senjata
utama. Sebenarnya nothing to do dengan masalah-masalah teologis internal agama-agama. Itu adalah
pembahasan penganut agama masing-masing. Penyerangan dan pendebatan atas masalah teologis itu
tak lain adalah dalih untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan lain yang laten. Yang perlu
diperhatikan justru adalah implementasi pada ranah moral dan sosial karena kita sadar kita hidup di
tengah dunia yang penuh dengan perbedaan. Adalah absurd ketika seseorang berdoa memohon damai
pada Tuhan, tetapi setelah itu berkelahi dengan tetangganya. Ramalan Nietzsche tentang kematian Allah
sepertinya meleset. Allah tidak mati, tapi justru semakin kuat ada dalam benak pemeluk-pemeluk
agama. Namun, tunggu dulu, jangan-jangan Nietzsche benar, bahwa Allah harus mati? Allah apa dulu
yang dibunuh Nietzsche? Allah mana dulu yang semakin kuat ada dalam benak pemeluk-pemeluk
agama? Apakah Allah de iure itu sama dengan Allah de facto? Atau, hanyalah Allah yang dibuat untuk
melegitimasi kepentingan-kepentingan? Apakah benar Allah ada dalam agama-agama? Atau, agama-
agama itu justru menjadi Allah-allah baru yang mengaburkan Allah de facto? Hanya sebuah saran praxis,
apapun konsep Ketuhanan pada agama-agama (Abrahamik), dalam berdialog satu sama lain, masalah
kemanusiaan itu lebih mendesak untuk diperhatikan bersama-sama. Kami pikir, hal kemanusiaan itu
adalah hal universal yang tentunya terangkum juga dalam agama. Identitas sebagai manusia, kami pikir,
lebih universal dari pada identitas suku, bangsa, bahasa, ras, dan agama. Tepi Jakal, 30 Maret 2010

Anda mungkin juga menyukai