Anda di halaman 1dari 20

FAKTOR POLITICAL WILL DALAM KEPUTUSAN PEMERINTAH INDIA

MERATIFIKASI KONVENSI ILO NOMOR 138 MENGENAI


BATAS USIA MINIMUM KERJA DI TAHUN 2017

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk gelar kesarjanaan

pada Program Studi Hubungan Internasional

Jenjang Pendidikan Strata-1

Disusun Oleh:
Kartika – 1801434935

Departemen Hubungan Internasional


Fakultas Humaniora
Universitas Bina Nusantara
Jakarta
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang
India merupakan negara dengan tingkat tenaga kerja anak tertinggi di dunia. Sensus di
India melaporkan jumlah tenaga kerja anak dari 12.6 juta pada tahun 2001 ke 3.2 juta di tahun
2015 (UNESCO, 2013). Dari jumlah tersebut, sektor agrikultur, khususnya sub-sektor industri
bibit kapas hibrida menyumbang 30 persen dari total tenaga kerja anak dibawah usia 14 tahun di
India. Adapun maraknya tenaga kerja anak pada industri ini disebabkan oleh celah hukum dalam
Undang-Undang India terkait tenaga kerja anak sejak tahun 1986 yang memberikan
pengecualian terhadap sektor agrikultur. Pada 13 Juni 2017, untuk pertama kalinya, pemerintah
India menetapkan larangan total tenaga kerja anak dibawah usia 14 tahun di semua sektor dengan
meratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Batas Usia Minimum Kerja. Terkait keputusan
pemerintah India untuk meratifikasi konvensi ILO, peraih Nobel Kailash Satyarthi menyatakan
bahwa India “sudah lama terlambat” untuk memberikan keadilan kepada anak-anak di India.
Untuk itu, penelitian ini menarik untuk diteliti lebih lanjut mengingat tenaga kerja anak sudah
menjadi keprihatinan pemerintah sejak tahun 1980an, namun komitmen untuk mengentaskan
tenaga kerja anak sepenuhnya baru dibuat pada tahun 2017.
Definisi tenaga kerja anak menurut International Labour Organization (ILO) dan the
Convention on the Rights of the Child (CRC) mencakup 3 aspek, yakni: (1) pekerjaan yang
dilakukan oleh anak yang berada dibawah usia minimum kerja; (2) pekerjaan berbahaya yang
mungkin membahayakan kesehatan dan keamanan anak; serta (3) bentuk-bentuk terburuk
penggunaan tenaga kerja anak, termasuk dalam perbudakan, penyelundupan, kerja paksa, jeratan
hutang, dan kegiatan terlarang lainnya. Ketiga aspek ini tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Adapun dalam tulisan ini, ketiga aspek tersebut ditemukan pada industri
bibit kapas di India, yaitu: anak yang bekerja berada dibawah usia 14 tahun, serta terekspos
berbagai kondisi berbahaya, seperti; bekerja 8-12 jam sehari dibawah suhu panas yang ekstrim,
membawa beban yang berat, bekerja tanpa pakaian pelindung atau masker, terekspos dengan
pestisida, serta sebagian besar pekerja adalah anak-anak migran yang tinggal jauh dari
rumah/keluarga sehingga rentan terhadap eksploitasi.
Sebelumnya, Undang-Undang India terkait tenaga kerja anak atau yang dikenal dengan
“Child Labour (Prohibition and Prevention) Act” tahun 1986 menetapkan batas usia minimum 14
tahun, namun menetapkan pengecualian terhadap sektor agrikultur, yang menyumbang separuh
dari total tenaga kerja anak di India (Ministry of Home Affairs, 2011). Bahkan amandemen UU
ini di tahun 2016 masih menetapkan pengecualian bagi anak yang bekerja di usaha milik
keluarga dan industri hiburan. Oleh karena itu, untuk pertama kalinya celah pada UU
sebelumnya difasilitasi melalui konvensi ILO Nomor 138. Namun, keputusan India ini
mendatangkan sikap skeptis dari banyak pihak, mengingat jumlah anak yang berada dibawah
garis kemiskinan masih sangat tinggi, begitupula besarnya kontribusi sektor industri bibit kapas
terhadap perekonomian India secara keseluruhan dan maraknya fenomena tenaga kerja anak di
dalamnya, sehingga larangan tenaga kerja anak secara total dinilai sebagai langkah yang tidak
realistis.
Berbagai penelitian sebelumnya menyoroti keterkaitan signifikan antara permasalahan
kemiskinan, masifnya tenaga kerja anak di India, serta angka putus sekolah anak dan implikasiya
terhadap siklus kemiskinan. Dari jumlah 1.2 miliar orang penduduk di India, 400 juta orang
diantaranya berada dibawah garis kemiskinan (Patil, 2013). Penelitian ILO di tahun 2003
membuktikkan, anak-anak terdorong untuk bekerja karena kemiskinan dan hutang orang tua,
diantaranya, 82% anak di industri bibit kapas bekerja karena hutang orangtua mereka terhadap
petani lokal atau pemilik lahan (World Vision Action, 2012; Venkanteswarlu, 2010). Adapun
hubungan dilematis antara kemiskinan dan tenaga kerja anak, ialah tenaga kerja anak jutru
berkontribusi memperkuat siklus kemiskinan karena anak yang bekerja cenderung tidak
memperoleh pendidikan. Hal ini dibuktikan oleh mayoritas pekerja anak sebesar 62% yang putus
sekolah setelah bekerja, sehingga meningkatkan angka buta huruf dan kembali mengulang siklus
kemiskinan (SOMO, 2014). Padahal, berbagai pihak menilai pendidikan merupakan faktor kunci
penangkal tenaga kerja anak (IPEC&ILO, 2015). Disampaikan oleh ILO, “Pendidikan
merupakan komponen krusial untuk mengentaskan tenaga kerja anak secara efektif.” Sehingga,
dapat disimpulkan, kondisi kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan anak yang bekerja
membentuk suatu siklus berulang yang sulit untuk diputus (vicious cycle) (ILPI, 2015).
Adapun kondisi besarnya supply tenaga kerja anak ini bertemu dengan kebutuhan
industri bibit kapas India akan tenaga kerja dengan upah yang murah (Venkateswarlu, 2007).
Sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 2002, industri bibit kapas merupakan industri
dengan perkembangan paling pesat di India (Mukherjee, 2012). Hingga tahun 2010, jumlah area
produksi bibit kapas hibrida mengalami peningkatan sebesar 40 persen sebagai akibat dari
meningkatnya permintaan pasar. Pada tahun 2015, India ditetapkan sebagai produsen kapas
terbesar di dunia, mengalahkan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Bahkan menurut prediksi
FAO, India akan memproduksi 30 persen kapas dunia pada tahun 2025. Selain faktor
perkembangan industri tersebut, masifnya penggunaan tenaga kerja anak pada sektor ini ikut
dipengaruhi oleh 2 faktor khusus, yakni: sifat dasar industri kapas dan tren perpindahan
produksi. Sifat dasar industri kapas, berkaitan dengan kegiatan penyerbukan/polinasi secara
manual yang memerlukan bantuan tenaga kerja anak karena tangan mereka yang kecil dapat
membantu proses penyerbukan tanpa merusak tanaman kapas tersebut (Venkateswarlu, 2007).
Selain itu upah mereka lebih murah daripada orang dewasa (Venkateswarlu & Da Corta, 2001).
Selanjutnya, tren perpindahan produksi terkait dengan perluasan area produksi perusahaan besar
dari area lahan komersil yang luas ke perkebunan keluarga kecil di wilayah pedesaan atau daerah
terpencil mengakibatkan semakin banyak keluarga dan anak-anak yang terlibat dalam sektor ini.
Adapun sifatnya yang semakin informal ini menyebabkan tenaga kerja anak semakin sulit
terdeteksi. Sebelumnya, pemerintah India telah mengeluarkan program nasional “National Child
Labour Project (NCLP)” sejak tahun 1988, namun program ini dinilai masih kurang efektif
dikarenakan masih mengacu pada UU nasional 1987 yang memberikan pengecualian pada sektor
tertentu. Menanggapi permasalahan ini, beberapa penelitian sebelumnya berpendapat
perlindungan yang disediakan oleh hukum nasional dan negara bagian India lebih lemah
ketimbang instrumen internasional (Venkateswarlu, 2007). Untuk itu, penelitian ini mencoba
untuk melihat alasan pemerintah India memutuskan untuk meratifikasi konvensi ILO Nomor 138
tentang Batas Usia Minimum Kerja pada 13 Juni 2017.

1.2 Rumusan Masalah

Isu tenaga kerja anak di India, khususnya di sektor industri kapas merupakan isu yang
kompleks karena memiliki keterkaitan erat dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi di
India lainnya, seperti isu kemiskinan dan pendidikan. Isu yang kompleks ini kemudian
memerlukan penanganan yang kompleks pula dari berbagai aktor yang terlibat. Sejak tahun
1986, Pemerintah India telah berupaya membentuk kerangka hukum nasional yang mengatur
batas usia minimum kerja, namun mengecualikan beberapa sektor tertentu, termasuk sektor
agrikultur. Adapun konvensi ILO Nomor 138 tentang Batas Usia Minimum Kerja yang
menetapkan larangan total bagi tenaga kerja dibawah usia 14 tahun telah dirilis ILO sejak tahun
1973. Meskipun India telah menjadi anggota pendiri ILO sejak tahun 1919 dan selama ini dinilai
telah bersikap proaktif dalam memanfaatkan wadah ILO (Issac, G; dkk, 2017), namun India
tidak pernah memutuskan untuk meratifikasi konvensi tersebut hingga di tahun 2017 silam.
Adapun alasan pemerintah India ini disebabkan oleh signifikansi industri kapas bagi
perekonomian nasional India serta maraknya penggunaan tenaga kerja anak didalamnya
(Khandelwal, 2008). Namun pada 13 Juni 2017 silam, pemerintah India akhirnya memutuskan
untuk meratifikasi konvensi tersebut. Hal ini tentu berimplikasi pada penggunaan tenaga kerja
anak di berbagai industri, termasuk industri bibit kapas. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya
untuk menjawab pertanyaan penelitian “mengapa pemerintah India memutuskan untuk
meratifikasi Konvensi ILO nomor 138 mengenai Batas Usia Minimum Kerja pada 13 Juni
2017?”

1.3 Tujuan Penelitian

a. Mengamati berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah India untuk mengatasi
isu tenaga kerja anak sejak dibentuknya Konvensi ILO nomor 138 pada tahun 1973
hingga diratifikasinya konvensi tersebut.
b. Menganalisis faktor-faktor yang mendorong pemerintah India memutuskan untuk
meratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 terkait Batas Usia Minimum Kerja pada 13 Juni
2017.

1.4 Signifikansi/Kontribusi

a) Secara teoritis, penelitian ini berkontribusi pada ilmu Hubungan Internasional dari segi
pendekatan konsep political will dan signifikansinya dalam perumusan kebijakan luar
negeri.
b) Secara praktis, penelitian ini berkontribusi untuk memberikan model pendekatan yang
lebih holistik dalam memahami kompleksitas, baik aktor maupun isu terkait tenaga kerja
anak yang diharapkan berguna bagi perumusan kebijakan pada kasus serupa di negara
lain.
1.5 Batasan Penelitian

Agar penelitian dapat lebih fokus dan mendalam, periode penelitian akan dibatasi sejak
dikeluarkannya konvensi ILO nomor 138, yaitu pada tahun 1973 hingga diratifikasinya konvensi
tersebut pada tahun 2017. Selain itu, penelitian ini akan berfokus pada aspek political will dari
pemerintah India sebagai subjek utama dalam penelitian ini.

1.6 Tinjauan Pustaka

Pembahasan dan kajian terkait tenaga kerja anak dalam industri bibit kapas di India
secara umum sudah banyak dilakukan dalam penelitian sebelumnya. Adapun penelitian ini akan
berfokus pada beberapa literatur terkait signifikansi industri kapas, permasalahan hukum dan
domestik India, serta upaya berbagai aktor non-negara dalam industri bibit kapas, baik ILO
maupun MNC.
Mengenai signifikansi industri kapas, Dr. Davuluri Venkateswarlu dalam tulisannya
Child Labour in Hybrid Cottonseed Production in Gujarat and Karnataka memaparkan
maraknya penggunaan tenaga kerja anak pada industri tersebut disebabkan oleh aktivitas utama
dalam produksi biji kapas, yaitu penyerbukan silang yang harus dikerjakan dengan menggunakan
tangan secara konvensional. Aktivitas ini berkontribusi terhadap kebutuhan tenaga kerja sebesar
90% dan menyerap biaya sebesar 45% dari total biaya budidaya. Selain itu, tenaga kerja anak
pada industri kapas di India selama ini kurang mendapat perhatian dari media nasional dan
internasional, sehingga semakin berkontribusi pada masifnya penggunaan tenaga kerja anak di
sektor agrikultur. (Venkanteswarlu, 2005).
Terkait permasalahan hukum di India, Prashant Bharadwaj, Leah K. Lakdawala, dan
Nicholas Li dalam tulisannya yang berjudul Perverse Consequence of Well-Intentioned
Regulation: Evidence From India’s Child Labor Ban membuktikkan pemberlakuan larangan
tenaga kerja anak melalui Undang-Undang Larangan Tenaga Kerja Anak atau yang dikenal
Child Labor (Prohibition and Regulation) Act (CLA) tahun 1986 tidak mengurangi tingkat
tenaga kerja anak secara menyeluruh dikarenakan anak-anak berpindah ke sektor-sektor lain
yang tidak diatur pada UU tersebut. Selain itu, hasil pemberlakuan UU tersebut justru
mengurangi upah tenaga kerja anak, menyebabkan kesejahteraan keluarga menurun, sehingga
keluarga-keluarga miskin justru mengirim lebih banyak anaknya untuk bekerja (Bharadwaj, dkk;
2013).
Selanjutnya, Ashok Khandelwal, Sudhir Katiyar, dan Madan Vaishnav berjudul “A Case
study of Cottonseed Farms in North Gujarat” ikut mengkritisi Undang-Undang Tenaga Kerja
Anak Nasional India atau “Child Labour (Prohibition & Regulation) Act” tahun 1986 yang
melarang anak bekerja, namun memberikan pengecualian pada sektor tertentu, termasuk sektor
agrikultur. Sektor agrikultur hanya dilarang jika terdapat penggunaan mesin berbahaya. Padahal,
dalam industri tersebut, anak terekspos dengan penggunaan pestisida, gigitan ular dan serangga,
serta jam kerja yang panjang dibawah terik matahari, bahkan pelecehan seksual (Khandelwal,
dkk; 2008).
Adapun laporan dari National Commission for the Protection of Child Rights (NCPCR)
yang berjudul Abolition of Child Labour in India: Strategies for the Eleventh Five Year Plan ikut
mengkritisi UU CLA tahun 1986 dari segi dampaknya terhadap ketidakefektifan program
nasional NCLP. Dalam hal ini, program NCLP hanya bekerja pada sektor-sektor yang dituliskan
dalam UU CLA tahun 1986 semata, sebagai hasilnya menargetkan anak-anak pada sektor
tertentu saja tidak mengatasi permasalahan tenaga kerja anak. Pendekatan ini berhasil
mengeluarkan sebagian anak dari sektor-sektor berbahaya, namun tidak berhasil menghentikan
rekrutmen tenaga kerja anak yang terus berlangsung, jumlahnya pun tidak mengalami
penurunan. Sehingga penelitian ini menyimpulkan selama rekrutmen tenaga kerja anak di
beberapa sektor masih berlangsung, maka pengentasan tenaga kerja anak di sektor lainnya tidak
akan efektif. (NCPCR, 2006)
Terkait permasalahan domestik India, dapat dibagi menjadi dua, yaitu permasalahan
kemiskinan dan lemahnya kualitas pendidikan sebagai faktor pendorong maraknya tenaga kerja
anak di India. Adapun kondisi kemiskinan dan lemahnya kualitas pendidikan India dibuktikan
oleh data sensus “Sosial-Ekonomi dan Kasta” di India tahun 2015, yang menyebutkan
penghasilan di 92% rumah tangga di pedesaan adalah kurang dari Rs.10.000 per bulan, sehingga
menyebabkan fenomena tenaga kerja anak tidak terelakkan. Selanjutnya terkait rendahnya
kualitas fasilitas pendidikan, laporan oleh NGO Child Rights & You (CRY) tahun 2013 pada
sekolah dasar dan menengah di India, menunjukkan 75% sekolah kekurangan furniture utama
dan 41% sekolah mengadakan kelas di ruang terbuka (CRY, 2014).
Dalam tulisannya yang berjudul “Cotton’s Forgotten Children: Child Labour and Below
Minimum Wages” di tahun 2015, Venkateswarlu memaparkan tingkat drop out yang tinggi di
India disebabkan oleh ketidakmampuan sistem pendidikan formal untuk menyediakan
pendidikan formal secara full time, dan bukan disebabkan oleh demand pendidikan yang rendah.
Penelitian ini membuktikkan kaum/kelompok miskin justru mengakui pentingnya pendidikan
bagi peningkatan kesejahteraan. Dapat disimpulkan, penelitian ini berpendapat kebijakan
pengentasan tenaga kerja anak harus diiringi dengan kebijakan pendidikan wajib (compulsory
education) (Venkateswarlu, 2015).
Mendukung penelitian sebelumnya, Taisha Grace Antony dalam tulisannya yang berjudul
The New Child Labour Law in India: Some Limits to Legal Solutions to a Structural Problem
memaparkan adanya keterkaitan erat antara kemiskinan, tingkat buta huruf, dan tenaga kerja
anak yang membentuk sebuah siklus (pengulangan). Anak-anak yang lahir dari keluarga dengan
penghasilan yang rendah cenderung tertinggal dari segi pendidikan karena batasan ekonomi
keluarganya. Siklus ini akan terus berlanjut, kecuali sang anak memperoleh pendidikan yang
berkualitas. Sehingga solusi bagi penghapusan tenaga kerja anak berkaitan erat dengan
pengentasan kemiskinan dan penguatan pendidikan (Antony, 2016)
Begitupula Manoj Kumar Singh dalam tulisannya berjudul “Indian Government
Initiatives and Business Sector Approach Toward Combating of Child Labour and Human
Trafficking” ikut berpendapat solusi untuk memutus siklus kemiskinan adalah melalui penguatan
pendidikan untuk menghasilkan tenaga kerja yang terampil. Penghapusan tenaga kerja harus
diiringi dengan pengentasan kemiskinan. Hal ini dikarenakan, tanpa mengatasi permasalahan
kemiskinan, penghapusan tenaga kerja anak justru menyebabkan keluarga kehilangan sumber
penghasilan tanpa mengubah kondisi kesejahteraan yang ada, sehingga kembali berujung pada
kemiskinan (Singh, 2009).
Terkait dinamika hubungan dengan aktor-aktor luar, penelitian ini menyoroti upaya ILO
dan MNC dalam pengentasan tenaga kerja anak. Sagung Dwiyutiari.K., Ni Wayan Rainy
Priadarsini, A.A. Bagus Surya Widya Nugraha dalam tulisannya Upaya International Labour
Organization (ILO)-IPEC Melalui INDUS Project Dalam Menanggulangi Pekerja Anak di
Sektor Industri di India Tahun 2003-2007 membahas hambatan yang dihadapi oleh program
ILO-IPEC, khususnya INDUS Project. Program INDUS yang dijalankan di India merupakan
bentuk dari technical assistance ILO dengan memberikan bantuan teknis yang bersifat
berkelanjutan (long term) serta berbasis lokal (grass root). Namun, selama implementasinya,
ILO-IPEC mengalami kekurangan dana dan hambatan konstitusional sehingga upaya-upaya
pengentasan tenaga kerja anak hanya dapat dilakukan selama 3 tahun yakni dari tahun 2004
hingga 2007. Selain itu, hambatan tersebut menyebabkan lemahnya proteksi terhadap anak-anak
yang sudah melalui education maupun training (Dwiyutiari, dkk; 2007)
Terkait upaya MNC, laporan oleh Prayas Centre for Labour Research and Action and
International Labour Rights Forum berjudul Investigating Incidence of Child Labour in Cotton
Ginning Factories of Gujarat menilai MNC memiliki track record yang lebih baik ketimbang
perusahaan nasional dari segi pencegahan atau pengurangan jumlah tenaga kerja anak oleh
karena tekanan dan pengawasan yang ketat dari NGO, baik lokal maupun internasional.
Beberapa MNC di India, diantaranya Monsanto, Bayer, Syngenta, dan DuPont telah membentuk
berbagai program penanganan tenaga kerja anak di sektor bibit kapas India. Meskipun begitu,
penelitian sebelumnya menemukan masih banyak tenaga kerja anak di sejumlah pabrik MNC di
India. Alasan utamanya adalah supply chain MNC memiliki banyak tingkatan, sehingga
peraturan pada masing-masing bagian perusahaan sulit untuk diatur. Hanya perusahaan yang
memiliki kontrak langsung dengan MNC yang memperoleh pengawasan optimal. Selain itu, sulit
menentukan jumlah tenaga kerja anak dalam pabrik, dikarenakan banyak dari mereka yang
disembunyikan dari catatan resmi, memiliki dokumen palsu, serta pihak luar seringkali dihalangi
oleh pihak pabrik untuk menghitung jumlah pasti (Prayas Centre, 2012).
Adapun penelitian ini menyoroti salah satu MNC terbesar dalam industri bibit kapas di
India, yakni Monsanto. Gova Rathod dalam tulisannya “Child Labour in Production of Cotton
Seeds on Monsanto Plots in District Sabarkantha of Gujarat” menjelaskan signifikansi Monsanto
sebagai pemangku kepentingan utama dalam industri kapas yang bertanggungjawab terhadap
masifnya penggunaan tenaga kerja anak di India. Adapun penelitian ini mengkritisi efektivitas
kebijakan “no child labour” Monsanto, diantaranya: Pertama, pemberian insentif bagi petani
yang tidak menggunakan tenaga kerja anak seringkali tidak sampai ke petani langsung melainkan
ke agen perantara. Kedua, strategi memindahkan lahan produksi ke daerah pedalaman hanya
mengurangi tingkat migrasi tenaga kerja anak, namun praktik tenaga kerja anak terus
berlangsung. Ketiga, mekanisme pengawasan untuk mendeteksi dan mengeliminasi tenaga kerja
anak di Monsanto pada implementasinya seringkali dihalangi oleh pihak pabrik (Rathod, 2010)
Dapat disimpulkan, keseluruhan penelitian sebelumnya telah berkontribusi pada
penelitian ini dalam memberikan sudut pandang terhadap signifikansi industri kapas di India,
permasalahan hukum dan domestic negara India, serta kelemahan penanganan tenaga kerja anak
oleh aktor non-negara, yakni ILO dan MNC sejauh ini.

1.7 Kerangka Pemikiran/Konsep

Penelitian ini akan menggunakan konsep political will yang merupakan salah satu konsep
penting dalam perumusan kebijakan luar negeri. Adapun konsep ini dipilih karena dapat
digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan arah tindakan politik (political action)
pemerintah. Sebuah kebijakan luar negeri perlu didukung oleh political will yang kuat dari
pemerintah (pendekatan top down) sekaligus public will yang kuat dari masyarakat (pendekatan
bottom up) agar permasalahan sosial dapat ditempatkan dalam agenda bersama pemerintah dan
publik untuk diatasi secara spesifik. Berbagai penelitian sebelumnya telah mencoba
mendefinisikan serta menetapkan indikator untuk mengukur political will dan public will, adapun
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.7.1 Political Will

Definisi konsep political will dapat dibedakan menjadi dua, yakni: menggunakan
pendekatan individu maupun kelompok. Department for International Development (DFID)
mendefinisikan political will menggunakan pendekatan individu, yakni sebagai “kebulatan tekad
atau keyakinan seorang aktor politik untuk melakukan atau menyatakan suatu hal untuk
memperoleh suatu hasil yang ingin dicapai”. (DFID, 2004). Definisi political will ini memiliki
sejumlah dampak, yaitu: 1. Political will tidak selalu menentukan hasil politik (political
outcome) karena ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya, seperti: ketidakmampuan
instrumen politik atau administrative, sumber daya yang tidak memadai, serta hambatan dari
kelompok kepentingan. 2. Jika seorang pemimpin memiliki political will untuk mengubah atau
mencapai sesuatu, maka ia harus memiliki visi untuk mewujudkan suatu hal secara berbeda. Visi
tidak dapat disamakan dengan political will (DFID, 2004).

Berbeda dengan tulisan sebelumnya, Lori Ann Post, Amber Raile dan Eric Raile dalam
tulisannya Defining Political Will mendefinisikan political will dengan menggunakan
pendekatan kelompok, yaitu: “tingkat dukungan atau komitmen yang diberikan oleh sejumlah
aktor kunci dalam pengambilan keputusan terhadap suatu solusi kebijakan untuk mengatasi suatu
permasalahan tertentu.” (Lori, dkk; 2010). Adapun penelitian ini akan menggunakan definisi
political will menurut Lori dikarenakan penelitian ini akan berfokus pada negara India sebagai
subjek dalam penelitian ini.

Adapun lima variabel yang digunakan untuk mengukur political will, yaitu: (Post, dkk; 2010)

1. Adanya sejumlah aktor pengambil keputusan


2. Memiliki pemahaman yang sama terkait suatu permasalahan dalam agenda formal
3. Memiliki komitmen untuk mendukung pemecahan suatu masalah
4. Adanya solusi kebijakan bersama yang berpotensi menjadi solusi kebijakan yang efektif
5. Ketiadaan atau tidak signifikannya faktor penghambat political will

Dalam penelitian ini, kelima variabel tersebut digunakan untuk mengukur political will India
pada kasus tenaga kerja anak, maka tampak sebagai berikut:

Matrix 1.1 Indikator Political Will India

Aktor Negara: Pemerintah India


1. Aktor Pengambil Keputusan Aktor Non-Negara yang terlibat (MNC, NGO, IO, INGO)

Dengan melihat bagaimana masing-masing aktor


2. Pemahaman yang sama terkait
Permasalahan dalam Agenda Formal memahami permasalahan yang ada dan
menuangkannya dalam keputusan formal

3. Komitmen untuk mendukung Kerjasama yang dibangun antar aktor terhadap sebuah
pemecahan masalah isu

4. Solusi Kebijakan Bersama yang Kebijakan yang disepakati bersama tanpa adanya
berpotensi menjadi solusi kebijakan penolakan
yang efektif

Faktor-faktor tersebut diantaranya; penolakan dari


organisasi kepentingan, instrumen administratif dan
5. Ketiadaan atau tidak signifikannya politik tidak memadai, gangguan pada stabilitas
faktor penghambat political will pemerintah, terlalu radikal, dapat memicu konflik
sosial/politik, adanya hambatan konstitusional, sumber
daya tidak memadai, menyebabkan kerugian ekonomi,
merusak reputasi pemimpin, adanya isu lain yang lebih
penting

Sumber: Olahan sendiri


Selanjutnya, political will yang telah terbentuk melalui pendekatan “top down” perlu didukung
oleh public will melalui pendekatan “bottom up” agar suatu kebijakan dapat menghasilkan
perubahan sosial. Keduanya memiliki keterkaitan yang erat dan bersifat interdependensi. Hal ini
dikarenakan, agar masyarakat mampu mengatasi permasalahan sosial, pemerintah dan mayoritas
publik harus memiliki kemauan yang sama untuk mengatasi isu yang bersangkutan. (Amber N.
W. Raile)

1.7.2 Public Will

Public Will diartikan oleh Pollster Craig Charney sebagai persepsi publik tentang suatu
isu dengan kombinasi dari 3 faktor, yaitu: opini (opinion), intensitas (intensity), serta tingkat
kepentingan (salience)1. Opini (opinion) diartikan sebagai keyakinan atau penilaian seseorang
tentang suatu isu. Masyarakat perlu memiliki opini tentang suatu isu agar public will dapat
terbentuk. Selanjutnya, intensitas (intensity) diartikan sebagai kekuatan dari opini seseorang.
Dalam hal ini, masyarakat perlu memiliki keyakinan yang kuat terhadap opininya dalam suatu
isu, baik pro ataupun kontra agar public will dapat terbentuk. Terakhir, tingkat kepentingan
(salience) diartikan sebagai tingkat pentingnya suatu isu bagi masyarakat/publik. Banyaknya
kampanye yang dilakukan terhadap suatu isu dapat meningkatkan arti penting isu tersebut di
mata publik. Dapat disimpulkan, definisi public will diatas melihat public will sebatas kesadaran
tentang suatu isu. Namun, penelitian penulis akan melihat definisi tersebut secara lebih
mendalam.
Adapun, Leiderman melengkapi definisi Charney mengenai public will dengan
menambahkan elemen kemauan untuk bertindak. Sehingga, definisinya secara lengkap adalah
public will sebagai ekspresi publik tentang suatu isu (mencakup opini, intensitas, serta tingkat
kepentingan) serta kemauan publik untuk bertindak terhadap isu tersebut 2. Contohnya, public
will terhadap suatu isu yang mempengaruhi anak-anak dan keluarga dapat diartikan sebagai
perasaan kepemilikan bersama terhadap kesejahteraan anak-anak dan keluarga serta komitmen
bersama untuk melakukan perubahan bersama. Sehingga, dapat disimpulkan 4 variabel yang
digunakan dalam tulisan ini untuk mengukur public will, adalah:
1
Charney, C. (2009). Political will: What is it? How is it measured? New York: Charney Research.
2
Leiderman, S.A., Wolf, W.C., & York, P. (2000). Some thoughts about public will [Electronic version]. Washington,
DC: Center for Assessment and Policy Development.
1. Opini terhadap suatu isu
2. Intensitas opini dalam suatu isu
3. Tingkat kepentingan isu di mata publik
4. Kemauan publik untuk bertindak
Pengaitan public will dengan kemauan untuk bertindak untuk mendukung suatu isu
menjadi penting karena hal ini menunjukkan pentingnya kampanye untuk “mendorong”
dihasilkannya suatu solusi kebijakan atau tindakan yang mempengaruhi perilaku aktor pengambil
keputusan, seperti voting atau memobilisasi perubahan kebijakan. Suatu isu memiliki
kemungkinan besar untuk masuk dalam agenda kebijakan jika pengambil kebijakan menilai
publik peduli dan berkemauan untuk bertindak tentang isu tersebut. Hasil kampanye dan
penelitian membuktikan bahwa banyaknya pengetahuan tentang suatu isu tidak cukup signifikan
dalam mempengaruhi tindakan3. Kampanye public will harus mampu memastikan masyarakat
memiliki opini yang kuat tentang suatu isu dan menilai suatu isu penting. Keberhasilan
kampanye public will diukur dari kemampuannya dalam mendorong publik untuk memiliki
kemauan dan kemampuan untuk bertindak terhadap suatu isu. Selanjutnya, public will yang telah
terbentuk melalui pendekatan bottom up akan berdampak positif dalam merespon political will
pemerintah yang dibawa melalui pendekatan top down. Tanpa public will yang kuat, maka
political will tidak dapat berdampak secara efektif, begitupula sebaliknya. Sehingga, keduanya
memiliki interdependensi yang bersifat saling melengkapi.

1.7.3 Operasionalisasi Konsep/Teori

Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan diatas, maka konsep/teori tersebut dapat
dioperasionalisasikan sebagai berikut:

Bagan 1.1 Operasionalisasi Teori

Variabel Independen Variabel Dependen

3
Fishbein, M., Trafimow, D., Francis, C., Helquist, M., Helquist, M., Eustace, M., Ooms, M., & Middlestadt, S.
(1993). AIDS knowledge, attitudes, beliefs, and practices (KABP) in two Caribbean countries: A comparative
analysis. Journal of Applied Social Psychology, 23(9), 687-702.
Keputusan India
Political Will Meratifikasi Konvensi ILO
Pemerintah India Nomor 138 Terkait Batas
Usia Minimum Kerja

Dalam penelitian ini, political will akan diperlakukan sebagai variabel independen yang
akan memberikan pengaruh pada variabel dependen yaitu keputusan pemerintah India untuk
meratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 terkait Batas Usia Minimum Kerja. Visi pengentasan
tenaga kerja anak di India telah ada sejak UU Nasional tenaga kerja anak pertama kali
diresmikan yaitu pada tahun 1986. Namun, political will India untuk meratifikasi konvensi ILO
baru muncul pada tahun 2017 setelah hambatan-hambatan terhadap political will tersebut
berhasil ditangani.

1.7 Preposisi/Working Hypothesis

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis atau jawaban sementara yang
diajukan dalam penelitian ini adalah pemerintah India telah berhasil menangani faktor-
faktor yang selama ini menghambat political will-nya untuk mengentaskan tenaga kerja
anak sepenuhnya pada tahun 2017.

1.9 Metodologi Penelitian

Untuk menguji hipotesis yang telah diajukan sebelumnya, penelitian ini akan
menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif dipilih karena
penelitian berupaya untuk menguji teori yang ada dengan cara meneliti hubungan antar variabel.
Dalam hal ini, penelitian ini menguji hubungan antara dua variabel, yaitu political will
pemerintah India dan keputusan India untuk meratifikasi konvensi ILO Nomor 138 terkait Batas
Usia Kerja Minimum. Sifat metode kuantitatif yang terstruktur, tetap, dan retrospektif sesuai
dengan penelitian ini karena sifatnya yang membutuhkan verifikasi dan berupaya untuk
menyelidiki fenomena yang terjadi di masa lalu. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah menggunakan studi dokumen. Data primer diperoleh dari situs resmi pemerintah India,
laporan organisasi HAM internasional, seperti: India Committee of the Netherlands (ICN),
Dakshini Rajasthan Mazdoor Union, serta pusat penelitian, seperti: Centre for Research on
Multinational Corporation (SOMO). Data tersebut berguna untuk mengukur indikator political
will pemerintah India selama ini. Sementara data sekunder diperoleh dari analisis beberapa
institusi akademis, seperti Institute of South Asian Studies (ISAS), Institute for Social and
Economic Research and Policy (ISERP). Data ini berguna untuk menjawab pertanyaan penelitian
dan membuktikan indikator political will sesuai teori yang digunakan. Selanjutnya, teknik
analisa data dilakukan melalui beberapa tahapan, diantaranya: penelitian ini menggunakan
metode media tracking untuk mengamati political will pemerintah India terkait tenaga kerja anak
sejak periode 1987 hingga saat ini. Selanjutnya, diperoleh informasi mengenai keputusan
pemerintah India untuk meratifikasi konvensi ILO pada tahun 2017. Selanjutnya, penelitian ini
mencoba untuk mencocokan kedua variabel tersebut untuk melihat keterkaitan antar keduanya.

1.10 Pembabakan

Pembabakan dalam penelitian ini dibagi menjadi empat bab yaitu:

BAB I PENDAHULUAN: berisikan pemaparan tentang latar belakang penelitian, permasalahan


penelitian, tujuan dan signifikansi penelitian, studi pustaka, kerangka pemikiran,
hipotesa/jawaban sementara, metodologi penelitian dan pembabakan

BAB II KONVENSI ILO NOMOR 138 DAN DINAMIKA CHILD LABOUR INDIA: berisikan
pembahasan konteks historis pembentukan konvensi ILO nomor 138 pada tahun 1973,
terbentuknya political will pemerintah India dilihat dari pembentukan UU tenaga kerja anak pada
tahun 1987, serta berbagai upaya lain yang diwujudkan dalam kerangka kerjasama dengan
berbagai aktor non-negara, serta faktor-faktor penghambat political will India.

BAB III ANALISIS POLITICAL WILL INDIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP


KEPUTUSAN PEMERINTAH INDIA DALAM MERATIFIKASI KONVENSI ILO NOMOR
138 TAHUN 1973: berisikan analisis political will dalam mendorong keputusan pemerintah
India meratifikasi konvensi ILO nomor 138 terkait Batas Usia Minimum Kerja pada tahun 2017

BAB IV PENUTUP: berisikan pemaparan singkat terkait dengan hasil penelitian yang telah
dicapai disertai saran dan rekomendasi penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Post, L. A., Raile, A. N. W., Raile, E. D. 2010. Defining political will. Politics & Policy, 38:
653-
676. http://library.fes.de/pdf-files/bueros/sarajevo/12465.pdf diakses pada 28 Desember
2017.

Jurnal

Ashok Khandelwal, Sudhir Katiyar, dan Madan Vaishnav. 2008. A Case study of Cottonseed
Farms in North Gujarat. <http://prayaschittor.org/childlabourcf.pdf> diakses pada 19
Oktober 2017

D. Venkateswarlu and L. Da Corta. 2001. Transformations in Age and Gender of Unfree


Workers
on Hybrid Cottonseed Farms in Andhra Pradesh. Journal of Peasant Studies, Vol. 28 (3).
<http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/03066150108438773?
journalCode=fjps20> diakses pada 29 Oktober 2017.

Dr. Davuluri Venkateswarlu. 2005. Child Labour in Hybrid Cottonseed Production in Gujarat
and
Karnataka. <http://germanwatch.org/tw/bay-stug.pdf> diakses 19 Oktober 2017.

D. Venkateswarlu. 2007. Child Bondage Continues in Indian Cotton Supply Chain. International
Labour Rights Fund & India Committee of the Netherlands et al.
<http://www.abitipuliti.org/wp-content/uploads/2007/11/childbondagecotton.pdf>
diakses pada 29 Oktober 2017

D. Venkateswarlu. 2010. Seeds of Child Labour: Signs of Hope.


<https://www.dol.gov/ilab/submi ssions/pdf/20100601.pdf> diakses pada 29 Oktober
2017.

D. Venkateswarlu. 2015. Cotton’s Forgotten Children: Child Labour and Below Minimum
Wages.
p. 16. <http://acejapan.org/wp/wpcontent/uploads/2016/09/CottonsForgottenChildren%
202 015July.pdf>

International Law and Policy Institute (ILPI). 2015. Child Labour in the Indian Cottonseed
Sector.
Oslo.<http://www.indianet.nl/pdf/ChildLabourInTheIndianCottonseedSector-
ILPI2015.pdf> diakses pada 30 Oktober 2017.

Issac, G; Mennon, T. 2017. Against the Grain: A Case for India's Justified ‘Lack of Political
Will’
in Ratifying ILO Conventions C087 and C098. <https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?
abstract_id=2915041> diakses pada 1 Januari 2017.
Gova Rathod. 2010. Child Labour in Production of Cotton Seeds on Monsanto Plots in District
Sabarkantha of Gujarat. <http://www.indianet.nl/pdf/ChildLabourInProduction
OfCottonSeedsOnMonsantoPlots.pdf> diakses pada 27 Oktober 2017

Manoj Kumar Singh. 2009. Indian Government Initiatives and Business Sector Approach
Toward
Combating of Child Labour and Human Trafficking. Diakses dari
<http://www.singhassociates.in/UploadImg/NewsImages/IBA%20Paper%20[human
%20trafficking%20and%20forced%20labour].pdf> diakses pada 25 Oktober 2017

S. Mukherjee. 2012. Seed Companies Reap Rich Harvest on Bt Cotton Wave Business Standard.
<http://www.business-standard.com/article/companies/seed-companies-reap-rich-harvest-
on-bt-cotton-wave-112022300038_1.html> diakses pada 29 Oktober 2017

Laporan

Child Rights and You (CRY). 2014. ‘2013-14 Annual Report: Setting Our Goals in Motion’.

World Vision Action. 2012. Forced and Child Labour in the Cotton Industry.
<https://campaign.worldvision.com.au/wp-content/uploads/2013/04/Forced-and-child-
labour-in-the-cotton-industry-fact-sheet.pdf> diakses pada 29 Oktober 2017

Prayas Centre for Labour Research and Action and International Labour Rights Forum. 2012.
Investigating Incidence of Child Labour in Cotton Ginning Factories of Gujarat.

SOMO. 2014. Fact Sheet, Child Labour in the Textile & Garment Industry. p. 5.

Artikel

Department for International Development. 2004. Politiking for the Poor: Senior Leaders
Political
Management of Pro-Poor Initiatives in an era of Centrists. Appendix 3: Understanding
Political Will. Diakses dari <https://assets.publishing.service.gov.uk/media/
57a08cbfed915d622c001551/R8236Appendix3.pdf> diakses pada 30 Desember 2017.

Prashant Bharadwaj, Leah K. Lakdawala, dan Nicholas Li. 2013. Perverse Consequence of Well-
Intentioned Regulation: Evidence From India’s Child Labor Ban. Department of
Economics. University of California. San Diego. <http://prbharadwaj.wordpress.
com/papers/> diakses 5 Oktober 2017.

Taisha Grace Antony. 2016. The New Child Labour Law in India: Some Limits to Legal
Solutions
to a Structural Problem. <https://www.isas.nus.edu.sg/ISAS%20Reports/ISAS%
20Insights%20No.%20353%20%20The%20New%20Child%20Labour%20Law%20in
%20India.%20Some%20Limits%20to%20Legal%20Solutions%20to%20a%20Structural
%20Problem.pdf> diakses pada 27 Oktober 2017.

Y. D. Patil. 2013. Poverty and Child Labour in India: Socio-Legal Perspective Symbiosis
International University. Global March Against Child Labour. Diakses dari
<http://www.globalmarch.org/issues/Education> pada 29 Oktober 2017.

Sumber Resmi

Government of India Ministry of Home Affairs. 2011. Census of India: Registrar General and
Census Commissioner, India: Working children by sector (ages 5-14): Agriculture
(56.4%), Industry (33.1%), and Services (10.4%).

International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC) and International Labour
Organization (ILO) ‘Child Labour and Education’.

National Commission for the Protection of Child Rights (NCPCR). 2006. Abolition of Child
Labour in India: Strategies for the Eleventh Five Year Plan.
<http://ncpcr.gov.in/showfile.php? lid=69> diakses pada 25 Oktober 2017.
The International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC) and International
Labour
Organization (ILO). 2015. World Report on Child Labour 2015: Paving The Way To
Decent Work For Young People.

Sumber Online

Childlineindia.org.in. 2016. Child Labour in India - Issues and Concerns. Diakses dari
<http://www.childlineindia.org.in/child-labour-india.htm> pada 27 Oktober 2017.

Sagung Dwiyutiari.K., Ni Wayan Rainy Priadarsini, A.A. Bagus Surya Widya Nugraha. 2007.
Upaya International Labour Organization (ILO)-IPEC Melalui INDUS Project Dalam
Menanggulangi Pekerja Anak di Sektor Industri di India Tahun 2003-2007.

Anda mungkin juga menyukai