Anda di halaman 1dari 6

Upaya pengentasan tenaga kerja anak di India sangat dipengaruhi oleh kemauan politik dari

pemerintah India. Beberapa literatur sebelumnya telah mencoba untuk mendefinisikan kondisi
lemahnya kemauan politik (lack of political will), diantaranya; Ajit V. Karnik dalam tulisannya
“Why do governments lack political will? an explanation from the transaction-costs perspective”
mendefinisikan lack of political will sebagai kondisi dimana pemerintah (khususnya partai
politik) cenderung mengambil kebijakan ekonomi yang tidak efisien, dalam arti menguntungkan
kelompok kepentingan ketimbang publik. Ketidakmampuan pemerintah untuk memisahkan diri
dari kelompok kepentingan dinilai sebagai kurangnya political will. Senada dengan Karnik, Dixit
dan Londregan dalam tulisannya “Redistributive Politics and Economic Efficiency” menuliskan
political will dikatakan lemah apabila politikus tidak mampu berkomitmen dalam mengabaikan
karakteristik politik dan mewujudkan pilihan ekonomi yang efisien. Grossman and Helpman
(1994) menuliskan kurangnya political will terjadi karena partai politik yang berkuasa cenderung
ingin mempertahankan kekuasaan, sehingga cenderung mengambil kebijakan ekonomi yang
dapat memaksimalkan dukungan politik sekalipun tidak efisien.

Selanjutnya, lack of political will dikaitkan dengan keterbatasan sumber daya. Morrissey dan
Verschoor dalam tulisannya “What Does Ownership Mean in Practice? Policy Learning and the
Evolution of Pro-Poor Policies in Uganda” menyatakan konsep kemauan (will) berhubungan erat
dengan konsep kapasitas/kemampuan (capacity). Dalam hal ini, penilaian aktor pengambil
keputusan tentang kapasitas mereka mempengaruhi keinginan/keputusan mereka dalam
komitmen terhadap political will. Senada dengan Morissey dan Verschoor, Derick W.
Brinkerhoff dalam tulisannya ”Unpacking the concept of political will to confront corruption”
mencetuskan dua faktor, yakni kapasitas (kemampuan) dan kondisi lingkungan dalam
mempengaruhi political will. Apabila kedua faktor tersebut negatif, maka kemungkinan besar
aktor akan mengalami “lack of political will”.

Selain faktor penyebab terjadinya lack of political will, Brinkerhoff menjelaskan mekanisme
terbentuknya political will, yakni dengan pendekatan “top down” dan pendekatan “bottom up”.
Beberapa literatur sebelumnya masih kurang banyak membahas mengenai pendekatan “bottom
up” dalam membangun political will. Pendekatan “bottom up” dinilai sebagai model pendekatan
baru yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan pendekatan “top down”. Argumen untuk
mendukung pendekatan ini ialah karena ada/tidaknya political will terkait erat dengan
masyarakat. Pendekatan bottom up diperlukan untuk memperkuat political will pemerintah dan
menjaga keberlangsungan reformasi. Contoh pendekatan bottom up adalah tekanan yang
diberikan oleh aktor dari organisasi kemasyarakatan dan sektor swasta dalam upaya melawan
korupsi.

Secara lebih rinci, pendekatan “bottom up” dijelaskan oleh Amber N. W. Raile, PhD dalam
tulisannya “Guide to Generating Political Will and Public Will” sebagai model pendekatan yang
dibutuhkan untuk membangun kemauan publik (public will). Raile membedakan antara kemauan
politik oleh pemerintah (political will) dengan kemauan publik (public will). Dalam tulisan ini,
Raile menjelaskan interdependensi antara political will (kemauan politik) dan public will
(kemauan publik) yang dianggap sangat penting bagi keberhasilan suatu kebijakan dan harus ada
secara bersamaan untuk menghasilkan perubahan sosial. Hal ini dikarenakan, agar masyarakat
mampu mengatasi permasalahan sosial, pemerintah dan mayoritas publik harus memiliki
kemauan yang sama untuk mengatasi isu yang bersangkutan. Adapun political will dan public
will dapat dikategorikan ke dalam tingkatan “tinggi” dan “rendah”. Untuk dapat memecahkan
permasalahan sosial bersama, kondisi political will dan public will harus berada pada posisi yang
sama-sama tinggi sehingga sistem sosial dan pengambil kebijakan dapat menempatkan
permasalahan sosial dalam agenda bersama pemerintah dan publik untuk diatasi secara spesifik.

Pentingnya pendekatan “bottom up” dalam political will ikut dibahas oleh Fran Quigley dalam
tulisannya “Growing Political Will From The Grassroots: How Social Movement Principles Can
Reverse The Dismal Legacy of Rule of Law Interventions”. Pada tulisannya, ia menyoroti
kegagalan pendekatan top-down dalam kasus penegakan hukum dan HAM di negara
berkembang dan pentingnya mengubah orientasi pendekatan menjadi “bottom up” yaitu dengan
mulai mendukung organisasi kemasyarakatan yang menyuarakan reformasi hukum. Tulisannya
ikut menegaskan penggunaan prinsip hukum dan ekonomi selama ini tidak efektif ketika ada
lack of political will dari kalangan masyarakat (grassroot). Political Will dinilai sebagai
hambatan terbesar bagi penegakan hukum di negara berkembang dikarenakan pencapaian HAM
lebih bergantung pada faktor politik ketimbang faktor hukum. Untuk menciptakan reformasi
politik, aktor gerakan sosial perlu memeriksa permasalahan yang ada, menciptakan solusi
bersama, dan memotivasi populasi kunci.
Untuk membahas lebih lanjut mengenai pendekatan “bottom up”, penting untuk melihat aktor
kunci yang selama ini berjasa dalam menggerakkan kalangan masyarakat (grassroot) dalam
kasus tenaga kerja anak di India, yakni Non-Government Organization (NGO). Terkait hal ini,
Priyam Saharia dalam tulisannya “The Transformation of Child Labor in Andhra Pradesh, India:
Lessons for State-NGO Collaboration” menekankan peran penting NGO sebagai aktor mediasi
khusus yang bertugas untuk mengisi kesenjangan (gap) yang diakibatkan oleh kemunduran
negara. Dalam kasus India, kehadiran dan peran serta NGO sangat besar, yaitu India disebut
sebagai pusat NGO’ di dunia dengan total 30.000 NGO (Kudva 2005). Adapun manfaat NGO
sangat relevan dalam kasus India mengingat luas dan keanekaragaman wilayah di India,
diantaranya: kehadiran NGO yang kuat di wilayah pedesaan memungkinkan NGO untuk
menjalankan pelayanan yang layak dan efisien biaya bagi kaum miskin (Farnworth, 1991); NGO
memiliki posisi yang sesuai untuk mewakili pandangan kaum miskin (Clark, 1991); NGO dapat
membangun mekanisme “grassroot” dimana kaum miskin dapat berperan serta; serta sifat
skalanya yang kecil dan fleksibilitasnya memungkinkan NGO dengan cepat merespon kebutuhan
kaum miskin (Korten 1987). Sifat federal dari kebijakan, mendorong NGO untuk memiliki
hubungan dekat dengan pejabat lokal dan badan panchayat yang terpilih secara demokratis di
level ‘grassroot’. Sehingga, pada literatur ini konseptualisasi hubungan antara NGO dengan
negara adalah NGO sebagai aktor yang secara langsung memberikan tekanan perubahan
terhadap negara.

Adapun literatur selanjutnya memberikan model hubungan alternatif antara negara dengan NGO
dimana NGO dan negara diperantarai oleh komunitas. Dalam hal ini, NGO tidak secara langsung
memberikan tekanan pada negara, sebaliknya NGO berfokus untuk memobilisasi komunitas
yang pada akhirnya memberikan tekanan pada pemerintah. Dalam model alternatif ini, peran
partisipasi komunitas sangat penting karena menjembatani kesenjangan hubungan antara negara
dengan NGO. Selama ini telah ada beberapa penelitian mengenai pentingnya partisipasi
komunitas dengan adanya tren desentralisasi dan “pemerintahan partisipatif” di India sejak tahun
1990an. Putnam (1993) melalui studi komparatif di wilayah Italia menunjukkan bahwa budaya
sipil partisipatif penting untuk menciptakan pemerintahan yang baik, sementara Sen (2000)
berpendapat bahwa partisipasi untuk membangun “kapabilitas” jauh lebih penting ketimbang
mewujudkan efisiensi. Adapun pentingnya partisipasi komunitas “bottom up” dalam kasus yang
dibahas penulis adalah untuk mendukung keberhasilan pendekatan “top down” dalam
pengentasan tenaga kerja anak di India.

Untuk membuktikan manfaat kekuatan mobilisasi komunitas dalam membangun political will,
penulis menggunakan pada studi kasus salah satu NGO di India, yakni MVF. MVF pertama kali
didirikan pada tahun 1991 oleh Dr. Shantha Sinha, seorang Profesor dari Universitas Hyderabad
(Sumanaspati, 2003). MVF menggunakan strategi yang melibatkan komunitas karena menyadari
bahwa isu tenaga kerja anak bukan disebabkan oleh kemiskinan orangtua, sebaliknya oleh
faktor-faktor lain, seperti hambatan birokrasi untuk penerimaan murid, norma sosial yang
mengharuskan pernikahan anak, atau kebiasaan alkoholik orangtua1 Hal ini mendorong
kesadaran MVF bahwa mengeluarkan anak dari tempat kerja harus disertai dengan pembentukan
norma dalam komunitas bahwa semua anak harus bersekolah. Mendukung hal ini, Venkat
Reddy, koordinator nasional MVF, menyatakan bahwa komunitas memiliki kewenangan yang
lebih besar untuk memberikan tekanan pada pemerintah. Ketika komunitas secara keseluruhan
mendukung ide bahwa semua anak harus bersekolah, maka lebih mudah bagi NGO untuk
meyakinkan setiap orang tua dan pejabat pemerintahan. Sementara kewenangan NGO, seperti
MVF untuk memberikan tuntutan pada pemerintah dan orangtua bersifat terbatas 2. Selama ini,
instrumen “naming and shaming” digunakan sebagai mekanisme yang efektif di tengah
komunitas untuk menegur sesama anggota komunitas dari praktik penyelewengan hak anak.
Selain itu, dilakukan pula pertemuan komunitas, kampanye, dan kegiatan lainnya untuk
menciptakan penguatan yang positif bagi para pendukung gerakan anti tenaga kerja anak.
Strategi ini terbukti efektif karena memungkinkan komunitas untuk menganalisa kondisi realita
mereka masing-masing dan menentukan prioritas pengembangan, serta mendorong upaya
bersama melalui pemantauan rekan (peer monitoring) dan sanksi sosial (Mitra & Gupta 2009).
Bahkan, komunitas ditemukan melalukan pengawasan secara efektif dan efisien terhadap
perilaku anggota dan lembaga lokalnya (Bowles 2005).

Dapat disimpulkan, ada tiga strategi yang digunakan oleh NGO dalam studi kasus MVF di India
yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan political will secara “bottom up”, yaitu strategi
inklusivitas, strategi keberlanjutan, dan strategi kolaborasi dengan birokrasi. Dalam strategi

1
Berdasarkan wawancara dengan sukarelawan MVF: Dari PDF Lesson for State NGO Collaboration di Andhra
Pradesh
2
Berdasarkan interview dengan Venkat Reddy, Hyderabad, February 23, 2012
inklusivitas, kesuksesan MVF didorong oleh upaya membentuk ruang untuk partisipasi inklusif
dengan cara melibatkan semua kelompok sosial3. Selanjutnya, strategi keberlanjutan dilakukan
dengan memastikan keberlanjutan pelembagaan mekanisme level komunitas yang mengawasi
status anak di masing-masing desa. Salah satu bentuk konkrit dari mekanisme komunitas yang
dibuat oleh MVF adalah Children’s Rights Protection Forums (CRPFs). Selanjutnya, Strategi
Kolaborasi dengan Birokrasi dimana NGO harus mampu menyeimbangkan antara permintaan
pemerintah dan kebutuhan komunitas lokal (Mackenzie 2003; Farrington et al 1993). Inovasi
yang dibuat MVF di Shankarpally merupakan contoh kolaborasi negara dengan NGO yang baik
dimana NGO menyampaikan kebutuhan lokal terhadap pejabat negara, dan pejabat negara
sebagai gantinya merespon dengan menyesuaikan peraturan pemerintah dengan inovasi yang
telah dibuat tersebut.

Adapun strategi partisipasi komunitas MVF terbukti berdampak secara positif terhadap
keterlibatan komunitas. Statistik menunjukkan strategi mobilisasi komunitas MVF berdampak
pada jumlah murid yang datang ke sekolah. Pada tahun 2004-2005, persentase murid di
Shankarpally yang menghadiri sekolah meningkat sebesar 97.5%4. M.Seshadri, mantan MEO
menyatakan, proses mobilisasi komunitas yang dilakukan oleh MVF berhasil dikarenakan
komunitas mulai memiliki “rasa kepemilikan” terhadap anak-anak dan sekolah-sekolah di desa
mereka. Shankarpally merupakan satu-satunya kota di India dimana ratusan kelas dibangun oleh
dana yang dikumpulkan oleh komunitas selama beberapa tahun. Dalam 20 tahun terakhir, MVF
telah berhasil mengeluarkan 600,000 tenaga kerja anak, melepaskan 25.000 tenaga kerja anak
paksa, memindahkan 50.000 anak ke sekolah formal dan menghentikan 8.000 pernikahan anak.
Melalui jaringan 80.000 sukarelawan pemuda, 20.000 anggota CRPF, aliansi dari ratusan
kelompok lokal, MVF telah berhasil membentuk jaringan sosial yang luas di 25.000 desa di
Andhra Pradesh yang secara konsisten memantau hak-hak anak (Wazir & Saith 2010). Pelatihan
anggota CRPF dalam proses memobilisasi komunitas yang demokratis dan terlibat dengan
pejabat publik telah membentuk sekelompok pemimpin tingkat grass-root yang dinamis, serta
750 anggota CRPF memenangkan pemilu di tingkat desa, kota, dan distrik. Model ini kemudian
ditransfer ke kota-kota besar (Wazir & Saith 2010). MVF juga berhasil mengubah mindset
orangtua anak untuk memberikan tidak sekedar kesempatan pendidikan, melainkan pendidikan

3
Footnote no 13
4
Footnote no 18
yang berkualitas. Sehingga, pencapaian MVF dapat dilihat dari segi perubahan terhadap norma
sosial dan perbedaan politik yang terjadi pada kasus tenaga kerja anak. Dalam merespon hal ini,
birokrasi mereplika inovasi dari MVF. Perubahan mindset birokrasi ini dinilai sebagai elemen
penting bagi perubahan yang berkelanjutan (Mukherji 2012; Weiner 1991).

Anda mungkin juga menyukai