PEMBAHASAN
2.1.1 Hipersensitivitas
A. DEFINISI
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan
atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang
1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini adalah yang paling
3. demam.
4. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung dgn kulit necrolysis, dan
5. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Dapat membawa maut, dan Anda akan
1. Alergi makanan
Alergi makanan adalah merupakan respon alamiah imun tubuh yang bersifat negatif
terhadap protein dari makanan yang kita konsumsi. Intolerance atau alergi terhadap jenis
makanan, umumnya dapat berpengaruh pada siapa saja serta dapat menimbulkan reaksi yang
2. Alergi obat-obatan
Jenis alergi ini disebabkan oleh penggunaan obat-obatan tertentu. Reaksi alergi obat
merupakan reaksi alergi di mana system kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan terhadap
obat-obatan tertentu yang dikonsumsi oleh seseorang. yang diberikan tubuh pun sangat keras.
Contohnya dapat menyebabkan gatal-gatal, terdapat bercak-bercak merah pada kulit, mual dan
muntah. Obat yang berpotensi menimbulkan alergi antara lain antibiotic alergi (sulfonamid),
vaksin , dan obat non alergik ( kontras x-ray, aspirin, antibiotic, dan obat tekanan darah tinggi.
3. Alergi debu
Alergi debu disebabkan ketidakbiasaan tubuh dalam menerima kehadiran debu. Hal ini dapat
menimbulkan penderita dapat mengalami bersin-bersin dalam frekuensi yang sering, flu, rasa
Alergi ini diakibatkan oleh alergen udara. Ketidakmampuan sistem imun menerima udara
dingin misalnya dapat mengakibatkan jaringan dalam hidung menjadi bengkak, sehingga
Musiman (hay fever) yang umumnya disebabkan kontak dengan allergen dari luar rumah
seperti benang sari, debu, polusi udara atau asap. Serta Rinitis Alergi yang terjadi terus
menerus (parennial) yang diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering berada di
rumah misalnya kutu debu rumah, debu parabot, bulu binatang peliharaan serta bau-bauan
yang menyengat
D. ETIOLOGI
1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-
integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam
tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi
allergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina
propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur system
pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi, sehingga memudahkan
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa
bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada penderita. Bila ada orang
tua, keluarga atau kakek/nenek yang menederita alergi kita harus mewaspadai tanda
alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah satu orang tua yang menderita gejala alergi,
maka dapat menurunkan resiko pada anak sekitar 17 – 40%, Bila ke dua orang tua alergi
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%;
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi
alergi.
F. PATOFISIOLOGI
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang
akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang
mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal
yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen
akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan
dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma.
Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai
dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat
menyebabkan kematian
G. KLASIFIKASI ALERGI
1. Hipersensitifitas tipe I
Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12
jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama
pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
2. Hipersensitifitas tipe II
imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan
dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan
dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada
permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian
berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam
jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal,
kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan
dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau
antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara
otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan
kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit
sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti
kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan
makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T,
sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang
terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas
waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut
Waktu Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi klinis
Epidermal (senyawa
Limfosit, diikuti
48-72 organik, jelatang atau
Kontak Eksim (ekzema) makrofag; edema
jam poison ivy, logam
epidermidis
berat , dll.)
Intraderma
48-72 Pengerasan Limfosit, monosit,
Tuberkulin (tuberkulin, lepromin,
jam (indurasi) lokal makrofag
dll.)
Antigen persisten atau
etc.)
e
1 Tipe Alergen mengikat silang Anafilaksis, beberapa
antibody
3 Penyakit Kompleks antigen-antibodi Reahsi Arthua, serum
Kompleks mengaktifkan ® komplemen sickness, lupus
dll
4 Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi Tuberkulosis,
oleh sel T
2.1.2 Autoimun
2.1.2.1 Lupus
A. PENGERTIAN
(2008) secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini adalah “Systemik Lupus
Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau
Pada saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu
disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan
kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dan berbagai manifestasi
B. ETIOLOGI
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada beberapa factor yang
patofisiologi SLE. System imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen
dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat
menghasilkan antibody secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam kompleks
tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa factor :
C. PATOFISIOLOGI
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai
dengan tanda-tanda terkenanya berbagai system tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala
pada satu system yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya system imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung
bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh factor presipitasi seperti
kontak dengan sinar matahari, infeksi virus atau bakteri dan obat. Setiap serangana
biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang,
kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam,
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala musculoskeletal berupa
arthritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal,
pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Arthritis biasanya simetris,
rheumatoid. Nekrosis vaskuler dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada
pasien yang mendapatkan pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling
b. Gejala integument
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi
kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, discoid dan
livido retikulkaris. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam
mengarahkan diagnosis SLE ilah ruam kulit berbentuk kupu-kupu ( butterfly rash )
berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan
yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena sinar
matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas . lesi ini termasuk
lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular .
c. Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat ( efusi kerikard), iskemia
d. Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada yang bilateral.
Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan pleura ) biasanya efusi menghilang
dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat
ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberculosis dan
e. Sistem vaskuler
dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah
f. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah
di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah
trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan
darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat
penyakit menahun.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan
darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan secara penurunan berat badan dan
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya
( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-
globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada
ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin
b. Anti ds DNA
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan
penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis
bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat
dua tipe dari antibody anti DNA yaitu yang menyerang double stranded DNA ( anti ds-
DNA ) dan yang menyerang single stranded DNA ( anti ss-DNA ). Anti ss-DNA kurang
sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain.
Kompleks antibody-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja
tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup
sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada 95% penderita
SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan
kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka
penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil test
negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus dipertimbangkan
juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test positif maka sebaiknya
dilakukan test serologi yang lain untuk menunjang diagnose bahwa pasien tersebut
menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith ( anti-Sm ), anti-RNP (anti-
ribonukleoprotein), dan anti –SSA (Ro) atau anti-SSB (La) ( Pagana and Pagana,2002 )
F. PENATALAKSANAAN
Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011
: 10-11) :
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien
SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui
oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara
mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar
matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan
diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE,
antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas,
c. Terapi Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini. Terapi gen adalah cara
anti-inflamasi, yang meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi
(anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh karena itu adanya
A. PENGERTIAN
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi.
Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi.
(biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan,
nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002).
penyambung sistemik dan kronis dikarakteristikkan oleh inflamasi dari membran sinovial
B. KLASIFIKASI
1. Reumatoid arthritis klasik, pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang
2. Reumatoid arthritis defisit, pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang
3. Probable Reumatoid arthritis, pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
4. Possible Reumatoid arthritis, pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.
C. PATHWAY
D. TANDA DAN GEJALA
1. Nyeri persendian
3. Kekakuan pada sendi terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
4. Terbatasnya pergerakan
6. Demam (pireksia)
7. Anemia
9. Kekuatan berkurang
Pada tahap yang lanjut akan ditemukan tanda dan gejala seperti :
4. Kelemahan
5. Depresi
1. Tes serologi : Sedimentasi eritrosit meningkat, Darah bisa terjadi anemia dan leukositosis,
2. Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi
sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal ) berkembang
menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan
4. Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/ degenerasi
5. Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari normal:
degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas dan komplemen ( C3 dan C4 ).
6. Biopsi membran sinovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas.
7. Pemeriksaan cairan sendi melalui biopsi, FNA (Fine Needle Aspiration) atau atroskopi;
cairan sendi terlihat keruh karena mengandung banyak leukosit dan kurang kental dibanding
A. DEFINISI
Multipel sklerosis yang dulu disebut juga sklerosis diseminasi adalah penyakit degeneratif,
bersifat kronis dan progresif yang merusak myelin pada sususan saraf pusat (Hickey, 2008)
oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medulla spinalis. Demielinasi
menunjukkan kerusakan myelin yaklni adanya material lunak dan protein disekitar serabut-
serabut saraf otak. Myelin adah Substansi putih yang menutupi serabut saraf yang berperan
B. ETIOLOGI
Penyebab terjadi multipel sklerosis masih belum diketahui secara pasti. Namun, para
sklerosis. Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada dugaan berkaitan dengan
Kerusakan myelin pada MS mungkin terjadi akibat respon abnormal dari sistem kekebalan
tubuh, yang seharusnya melindungi tubuh dari serangan organisme berbahaya (bakteri dan
virus).
- Genetik
sklerosis yaitu :
- Kehamilan
- Stress emosional
- Cedera
C. KLASIFIKASI
Ini adalah jenis MS yang klasik yang sering kali timbul pada akhir usia belasan atau dua
puluhan tahun diawali dengan suatu erangan hebat yang kemudian diikuti dengan
kesembuhan semu.Yang dimaksud dengan kesembuhan semu adalah setelah serangan hebat
penderita terlihat pulih.Namun sebenarnya,tingkat kepulihan itu tidak lagi sama dengan
sedikit semakin memburuk.jika sebelum terkena serangan hebat pertama penderita memiliki
kemampuan motorik dan sensorik, Hampir 70% penderita sklerosis multipel pada awalnya
mengalami kondisi ini, setelah beberapa kali mengalami serangan hebat, jenis sklerosis
2. Primary Progresssiv MS
Pada jenis ini kondisi penderita terus memburuk ada saat – saat penderita tidak
mengalami penurunan kondisi, namun jenis sklerosis multipel ini tidak mengenal istilah
kesembuhan semu. Tingkat progresivitanya beragam pada tingakatan yang paling parah,
Ini adalah kondisi lanjut dari Relapsing Remitting sklerosis multipel. Pada jenis ini
kondisi penderita menjadi serupa pada kondisi penderita Primary Progresssiv sklerosis
multipel.
Sekitar 20% penderita sklerosis multipel jinak ini. Pada jenis sklerosis multipel ini
penderita mampu menjalani kehidupan seperti orang sehat tanpa begantung pada siapapun.
Serangan – serangan yang diderita pun umumnya tidak pernah berat sehingga para penderita
D. PATOFISIOLOGI
Neuron atau sel saraf memiliki sebuah badan sel. Terdapat dua macam serabut saraf yang
keluar dari badan sel yaitu dendrit dan akson. Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan
sel saraf sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke jaringan yang lain.
Akson ditutupi oleh lapisan lemak yang disebut lapisan myelin. Myelin merupakan kumpulan
sel Schwan yang berfungsi melindungi akson dan memberikan nutrisi. Sel Schwan adalah sel
glia yang membentuk selubung lemak. Myelin menfasilitasi dalam konduksi saraf.
Pada kasus multipel sklerosis pemicu terjadinya kerusakan myelin belum diketahui secara
pasti. Namun suatu teori menyatakan bahwa adanya serangan reaksi autoimun yang
disebabkan oleh infeksi virus dan toksin lingkungan serta dipengaruhi oleh faktor genetik
individu. Respon imun memicu kerusakan selaput myelin yang menyelimuti saraf pusat.
Proses yang disebut demyelinasi ini disertai dengan edema dan inflamasi. Adanya inflamasi
kronis dan terbentuknya jaringan parut menyebabkan konduksi impuls saraf menjadi terganggu
atau menjadi lambat. Antibodi myelin protein spesifik ditemukan di serum dan cairan
serebrospinal pada pasien yang menderita multipel sklerosis. Sel T limfosit merusak myelin
juga dilibatkan dalam proses autoimun untuk merusak myelin dan terjadi inflamasi.
Remyelinasi sel saraf dapat terjadi tapi prosesnya lambat dan dapat terjadi perbaikan sehingga
E. MANIFESTASI KLINIS
Tidak ada pola khusus pada MS dan setiap penderita MS memiliki kekhasan gejalanya
sendiri-sendiri, yang bentuknya dari waktu ke waktu bervariasi dan tingkat keparahan serta
jangka waktunya pun dapat berubah, dan semua variasi dan perubahan itu dapat terjadi bahkan
1. Gangguan Sensorik
Gangguan sensorik merupakan gejala awal yang paling sering ditemukan pada MS (21-
55%) dan berkembang/timbul hampir pada semua pasien MS. Biasanya pasien sering datang
dengan keluhan rasa baal atau kesemutan dimulai pada satu kaki yang merambat keatas
(ascending) pada satu sisi kemudian kesisi yang lain (kontra sisi).
- Penglihatan kabur
- Neuritis optikal
- Hipestesi (baal), parestesi (kesemutan), disestesi (rasa terbakar). Hipestesi merupakan gejala
yang tersering muncul. Gangguan ini dapat timbul disemua daerah distribusi, satu atau lebih
2. Gangguan Motorik
Gejala awal motorik ditemukan pada 32-41% kasus MS dan lebih dari 60% kasus MS
Gangguan ini dapat timbul akut atau kronik progresif dengan kelemahan satu atau lebih
anggota gerak, kelemahan otot wajah, kekakuan tungkai yang dapat menyebabkan gangguan
dalam berjalan dan keseimbangan atau terjadi suatu spastisitas. Latihan atau panas biasanya
- Gemetar (tremor)
- gangguan koordinasi
- perasaan lemah: pada kasus tertentu hal ini dapat mempengaruhi kaki dan kemampuan berjalan
- kebas (paraesthesia)
o nyeri dapat menyertai penyakit MS, contohnya, nyeri di wajah (seperti trigeminal neuralgia),
Gangguan berkemih merupakan salah satu gejala MS yang sering ditemukan.Pada saat
awal terjadi “urgency dan frekuensi” kemudian terjadi inkontinensia urin. Konstipasi lebih
sering ditemukan (39-53%) dibandingkan inkontinensia alvi. Hal diatas merupakan masalah
yang serius bagi penderita MS karena dapat menyebabkan infeksi pada saluran kemih.
- Gangguan kandung kemih meliputi: sering buang air kecil, tidak dapat buang air kecil secara
6. Gangguan Seksual
Gangguan seksual terjadi pada lebih dari 70% pasien MS. Disfungsi seksual merupakan
gabungan dari berbagai masalah yang timbul baik masalah motorik dan sensorik maupun
- impoten
- kehilangan gairah
terdapat pada 40-70 % pasien MS. Banyak penderita MS meninggalkan pekerjaannya akibat
masalah diatas. Pada ± 10% kasus, disfungsi mental berat dan demensia dapat tejadi.
Gangguan ini mungkin berhubungan dengan depresi yang dilaporkan ditemukan pada 25-50%
kasus MS.
- Gangguan Penciuman : Gangguan penciuman sering ditemukan terjadi pada kasus MS.
- Gangguan Penglihatan :
Neuritis Optika (ON) adalah gangguan penglihatan yang paling sering terjadi 14-23%
kasus dan 50% ,biasanya muncul secara akut atau subakut dan unilateral dengan diikuti rasa
nyeri pada mata terutama dengan adanya gerakan bola mata. Neuritis Optika bilateral sangat
jarang terjadi, bila ditemukan biasanya asimetris dan lebih berat pada satu mata. Neuritis
Gangguan gerakan bola mata sering terjadi pada pasien MS biasanya berhubungan dengan
gangguan saraf penggerak bola mata, Nervus cranial VI,III dan jarang pada nervus VI.
“jelly like nystagmus”berupa gerakan cepat dengan amplitudo kecil, pendular. Internuklear
ophtalmoplegia (INO) juga sering ditemukan, dan bila ditemukan bilateral biasanya didapatkan
Gangguan sensasi pada wajah ,subjektif maupun objektif sering ditemukan. Ditemukannya
trigeminal neuralgia pada dewasa muda mungkin merupakan gejala awal dari MS. Hemifasial
merupakan gejala yang ditemukan pada 30-50% kasus MS dan biasanya berhubungan dengan
kelainan nervus kranialis, biasanya ditemukan hipo atau hiperakusis. Bisa juga terjadi
gangguan pendengaran dan biasanya unilateral. Gangguan yang berhubungan dengan Nervus
Kranial IX,X dan XII biasanya terjadi disfagia.dan biasanya merupakan gejala akhir yang
muncul.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan elektroforesis terhadap CSS : Untuk mengungkapkan adanya ikatan oligoklonal
4. MRI untuk memperlihatkan plak-plak kecil dan untuk mengevaluasi perjalanan penyakit dan
efek pengobatan.
( Mutaqin Arif, Asuhan keperawatan klien dangan gangguan system persyarafan,( 2008 ) hal
216 )
A. DEFINISI
Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan
penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses imunologik.
Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
B. ETIOLOGI
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan
o Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections
jejuni
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB
yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum
gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
C. PATOFISIOLOGI
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun lewat mekanisme
limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf
perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system
myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan
biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi
atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi
D. KLASIFIKASI
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIC
a.Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak
: > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut
disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada
minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel
mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak
ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa
meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH
F. Penatalaksanaan
Perawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus digestivus (Bowel),
pernapasan (breathing), badan dan kulit (Body and Skin care), mata dan, mulut, makanan
kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat atau vital kapasitas < 15 1/menit.
Apakah memerlukan respirator untuk mengetahui dengan cepat gangguan otot pernapasan, yang
terdapat dua bentuk ialah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspne, tetapi kelainan
ritme : cheyne-stoke.
sistem dan mempunyai karakteristik hyperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau
B. ETIOLOGI
Etiologi dari Diabetes Mellitus sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti dari
studi-studi eksperimental dan klinis kita mengetahui bahwa Diabetes Mellitus adalah
merupakan suatu sindrom yang menyebabkan kelainan yang berbeda-beda dengan lebih satu
penyebab yang mendasarinya.Menurut banyak ahli beberapa faktor yang sering dianggap
penyebab yaitu :
Diabetes melitus tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas yang merupakan
Faktor genetik
Penderita tidak mewarisi diabetas tipe I sendiri tetapi mewarisi suatu predisposisi kearah
terjadinya diabetas tipe I yaitu dengan ditmukannya tipe antigen HLA (Human Leucolyte
Faktor imunologi
Pada diabetae tipe I terdapat suatu respon autoimun sehingga antibody terarah pada sel-sel
pulau lengerhans yang dianggapnya jaringan tersebut seolah-olah sebagai jeringan abnormal
Faktor lingkungan
Penyelidikan dilakukan terhadap kemungkinan faktor-faktor ekternal yang dapat memicu
destruksi sel beta, contoh hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin
tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada
diabetas melitus tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan
dalam proses terjadinya resistensi insulin dan juga terspat beberap faktor resiko teetentu yang
- Obesitas
- Riwayat keluarga
a. Infeksi
Virus dianggap sebagai “trigger” pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetic
b. Nutrisi
c. Stres
Stres berupa pembedahan, infark miokard, luka bakar dan emosi biasanya menyebabkan
hyperglikemia sementara.
d. Hormonal
Sindrom cushing karena konsentrasi hidrokortison dalam darah tinggi, akromegali karena
C. KLASIFIKASI
a. Diabetes Mellitus type insulin, Insulin Dependen Diabetes Mellitus (IDDM) yang dahulu
dikenal dengan nama Juvenil Onset Diabetes (JOD), penderita tergantung pada pemberian
insulin untuk mencegah terjadinya ketoasidosis dan mempertahankan hidup. Biasanya pada
b. Diabetes Mellitus type II, Non Insulin Dependen Diabetes Mellitus (NIDDM), yang dahulu
dikenal dengan nama Maturity Onset Diabetes (MOD) terbagi dua yaitu :
2.) Obesitas
Disebabkan karena kurangnya produksi insulin dari sel beta pancreas, tetapi biasanya resistensi
aksi insulin pada jaringan perifer. Biasanya terjadi pada orang tua (umur lebih 40 tahun) atau
1.) Diabetes oleh beberapa sebab seperti kelainan pancreas, kelainan hormonal, diabetes karena
3.) Diabetes Gestasional (diabetes kehamilan) intoleransi glukosa selama kehamilan, tidak
pertumbuhan dan hormon chorionik somatomamotropin (HCS). Hormon ini meningkat untuk
D. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar patologi Diabetes Mellitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama
kekurangan insulin sebagai berikut : (1) Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh,
dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg/hari/100 ml.
(2) Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan
metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler yang mengakibatkan
Akan tetapi selain itu terjadi beberapa masalah patofisiologi pada Diabetes Mellitus yang
tidak mudah tampak yaitu kehilangan ke dalam urine penderita Diabetes Mellitus. Bila jumlah
glukosa yang masuk tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus meningkat kira-kira diatas 225
mg.menit glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang ke dalam urine. Jika jumlah filtrasi
glomerulus yang terbentuk tiap menit tetap, maka luapan glukosa terjadi bila kadar glukosa
E. GAMBARAN KLINIK
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap
ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri,
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar).
d. Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang. Hal ini disebabkan kehabisan
glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari
e. Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol fruktasi) yang disebabkan
karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga
F. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan Diabetes Mellitus adalah untuk mengatur
glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi acut dan kronik. Jika klien berhasil mengatasi
Penatalaksanaan diabetes tergantung pada ketepatan interaksi dari tiga faktor aktifitas fisik, diet
dan intervensi farmakologi dengan preparat hyperglikemik oral dan insulin. Penyuluhan
kesehatan awal dan berkelanjutan penting dalam membantu klien mengatasi kondisi ini.
G. TEST DIAGNOSTIK
Kriteria diagnostik menurut WHO(1985) untuk diabetes melitus pada orang dewasa tidak
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkomsumsi 75 gr
2.1.2.6 Psoriasis
A. DEFINISI
Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis noninfeksius (tidak menular) pada kulit yang
menyebabkan produksi sel epidermis berlangsung lebih cepat dari normal. Area tubuh yang paling
sering diserang adalah kulit kepala, area di atas siku dan lutut , bagian bawah punggung, dan
Psoriasis adalah penyakit inflamasi non infeksius yang kronik pada kulit dimana produksi sel-
sel epidermis terjadi 6-9 x lebih besar daripada kecepatan sel normal.±dengan kecepatan
(Smeltzer, Suzanne).
Psoriasis adalah suatu penyakit peradangan kronis pada kulit dimana penderitanya mengalami
proses pergantian kulit yang terlalu cepat. Penyakit ini secara klinis sifatnya tidak mengancam
jiwa dan tidak menular tetapi karena timbulnya dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja
sehingga dapat menurunkan kualitas hidup seseorang bila tidak dirawat dengan baik. (Effendy,
2005)
B. PATOFISIOLOGI
Sel-sel kulit basal membelah terlalu cepat, dan sel yang baru terbentuk menjadi terlihat
menyerupai sisik yang tebal atau plak jaringan epidermal. Akibat peningkatan jumlah sel basal dan
alur sel yang cepat , peristiwa pematangan dan pertumbuhan sel yang normal tidak dapat terjadi ,
sehingga menghambat terbentuknya lapisan pelindung kulit. Bukti terbaru membentuk dasar
imunologi untuk psoriasis . defek primer tidak diketahui. Periode stress emosional dan ansietas
memperburuk kondisi ini dan trauma , infeksi, dan perubahan musim dan hormon juga menjadi
faktor pemicu.
C. manifestasi klinis
Gejala berkisar dari gangguan kosmetik ke penderita yang melemahkan dan mengganggu
penampilan fisik.
- Lesi terlihat sebagai bercak kulit yang tebal dan ditutupi dengan bercak yang berwarna
keperakan.
- Jika sisik terkelupas dan terlihat dasar lesi yang berwarna merah gelap, dengan beberapa titik
perdarahan.
- Gangguan ini dapat menyebabkan cekungan pada permukaan kuku, perubahan warna kuku,
- Pada psoriasis eritrodermik, pasien mengalami sakit akut , disertai dengan demam, menggigil,
D. PENATALAKSANAAN
lesi psoriatik dan mengendalikan penyakit tersebut. Pendekatan terapeutik harus berupa pendekatan
yang dapat dipahami oleh pasien, pendekatan ini harus bisa diterima secara kosmetik dan tidak
mempengaruhi cara hidup pasien. Terapi psoriasis akan melibatkan komitmen waktu dan upaya
1. Terapi topical
Preparat yang dioleskan secara topikal digunakan untuk melambatkan aktivitas epidermis yang
asam salisilat dan kortikosteroid.Terapi dengan preparat ini cenderung mensupresi epidermopoisis
2. Formulasi ter
Mencakup losion, salep, pasta, krim dan sampo. Rendaman ter dapat menimbulkan retardasi dan
inhibisi terhadap pertumbuhan jaringan psoriatik yang cepat.Terapi ter dapat dikombinasikan
dengan sinar ultraviolet-B yang dosisnya ditentukan secara cermat sehingga menghasilkan radiasi
dengan panjang gelombang antara 280 dan 320 nanometer (nm).Selama fase terapi ini pasien
dianjurkan untuk menggunakan kacamata pelindung dan melindungi matanya.Pemakaian sampo ter
setiap hari yang diikuti dengan pengolesan losion steroid dapat digunakan untuk lesi kulit
kepala.Pasien juga diajarkan untuk menghilangkan sisik yang berlebihan dengan menggosoknya
3. Anthralin
Preparat (Anthra-Derm, Dritho-Crème, Lasan) yang berguna untuk mengatasi plak psoriatik yang
tebal yang resisten terhadap preparat kortikosteroid atau preparat ter lainnya.
4. Kortikosteroid
Topikal dapat dioleskan untuk memberikan efek antiinflamasi. Setelah obat ini dioleskan, bagian
kulit yang diobati ditutup dengan kasa lembaran plastik oklusif untuk menggalakkan penetrasi obat
5. Terapi intralesi
langsung kedalam berck-bercak psoriasis yang terlihat nyata atau yang terisolasi dan resisten
terhadap bentuk terapi lainnya.Kita harus hati-hati agar kulit yang normal tidak disuntuik dengan
obat ini.
A. DEFINISI
Penyakit Graves adalah salah satu jenis gangguan pada sistem kekebalan tubuh yang
menjadi penyebab umum hipertiroidisme atau produksi hormon tiroid berlebih. Pada penderita
Graves, sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh malah menyerang kelenjar
tiroid (autoimun). Hal ini membuat kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah yang
Diare
Rambut rontok
Mudah lelah
Selain beberapa gejala di atas, 30 persen dari penderita Graves mengalami sejumlah gejala khas,
yaitu Graves oftalmopati dan Graves dermopati. Gejala Graves oftalmopati terjadi akibat
peradangan atau gangguan pada sistem imun, yang memengaruhi otot dan jaringan di sekitar mata.
Kehilangan penglihatan
C. ETIOLOGI
Penyakit Graves terjadi akibat gangguan pada fungsi sistem kekebalan tubuh. Pada kondisi
normal, tubuh menghasilkan antibodi untuk melawan virus atau bakteri yang menyerang tubuh.
Pada penyakit Graves, sistem kekebalan tubuh justru menghasilkan antibodi TSI (thyroid-
stimulating immunoglobulins), yang menyerang sel-sel tiroid yang sehat. Meski demikian, belum
Siapa pun dapat terserang penyakit Graves. Namun, beberapa faktor berikut ini dapat membuat
Jenis kelamin. Wanita lebih berisiko terserang penyakit Graves dibanding pria.
Usia. Penyakit Graves lebih sering terjadi pada orang berusia di bawah 40 tahun.
Genetik. Riwayat penyakit Graves dalam keluarga dapat menyebabkan anggota keluarga
Menderita penyakit autoimun lain. Memiliki penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1
atau rheumatoid arthritis juga berisiko menimbulkan penyakit Graves pada orang tersebut.
Stres secara emosional atau fisik. Sakit atau peristiwa yang menyebabkan stres, dapat turut
memicu penyakit Graves pada orang dengan gen yang rentan terhadap penyakit ini.
Merokok. Merokok dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh. Bagi perokok yang sedang
Kehamilan. Kehamilan atau kondisi pasca persalinan pada perempuan dengan gen yang rentan,
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Tes darah. Dokter akan melakukan tes darah untuk mengecek kadar hormon tiroid, dan
kadar hormon hipofisis atau pituitari yang mengatur produksi hormon dari kelenjar tiroid, yaitu
TSH (thyroid-stimulating hormone). Penderita Graves memiliki level TSH yang lebih rendah
dari batas normal, serta level hormon tiroid yang lebih tinggi.
Tes serapan yodium radioaktif. Yodium diperlukan oleh tubuh dalam membuat
hormon tiroid. Sehingga dalam pemeriksaan ini akan menggunakan bantuan zat yodium
radioaktif dan melihat kadarnya di kelenjar tiroid melalui kamera khusus. Dokter akan
memberi sedikit yodium radioaktif dan mengukur kadarnya di kelenjar tiroid. Pemeriksaan ini
akan membantu dokter menentukan apakah hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Graves
Tes pencitraan. Tes pencitraan dilakukan untuk melihat pembesaran pada kelenjar
tiroid. USG dapat menjadi pilihan bagi pasien yang tengah hamil. Bila diperlukan, dokter akan
E. PENATALAKSANAAN
Pengobatan penyakit Graves bertujuan untuk mengurangi kelebihan produksi hormon tiroid dan
Obat antitiroid. Obat antitiroid berfungsi mengganggu produksi hormon tiroid yang dipicu
oleh yodium. Selain sebagai terapi tunggal, obat antitiroid dapat dikonsumsi sebelum atau sesudah
menjalani terapi yodium radioaktif sebagai pelengkap. Konsultasi dengan dokter diperlukan
sebelum menggunakan obat-obatan ini, terutama pada wanita hamil. Beberapa obat yang termasuk
Obat penghambat beta. Penghambat beta berfungsi menghambat efek hormon tiroid pada
tubuh, seperti detak jantung tidak beraturan, gelisah, tremor, keringat berlebihan, dan diare.
Propranolol, metoprolol, atenolol, dan nadolol termasuk ke dalam golongan obat-obatan ini.
Terapi yodium radioaktif. Terapi ini akan menghancurkan sel tiroid yang terlalu aktif dan
mengecilkan kelenjar tiroid, sehingga gejala akan berkurang secara bertahap. Terapi ini tidak
direkomendasikan pada wanita hamil, ibu menyusui, serta penderita yang bermasalah dengan
penglihatan, karena dapat membuat gejala semakin memburuk. Karena terapi ini menghancurkan
kelenjar tiroid, pasien dapat memerlukan tambahan hormon tiroid sintetis untuk meningkatkan
Pembedahan. Bedah dilakukan dengan mengangkat sebagian atau seluruh kelenjar tiroid
pasien. Tindakan ini berisiko menyebabkan kerusakan pada saraf pengatur pita suara. Risiko
kerusakan juga bisa terjadi pada kelenjar paratiroid (kelenjar-kelenjar kecil yang berdekatan dengan
kelenjar tiroid), yang berfungsi menghasilkan hormon pengatur kadar kalsium dalam darah. Sama
seperti terapi yodium radioaktif, pasien dapat memerlukan terapi lanjutan berupa hormon tiroid
sintetis untuk meningkatkan kadar hormon tiroid yang rendah akibat pengangkatan kelenjar tiroid.
2.1.2.8 Myastenia Gravis
A. DEFINISI MYASTENIAGRAVIS
mengalami eksaserbasi. Diagnosis krisis miastenia harus dicurigai pada semua pasien dengan
gagal pernafasan, terutama mereka dengan etiologi tidak jelas. Miasteniagravis merupakan
penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh bermacam-macam tingkat kelemahan dari otot
skelet (volunter) tubuh. Kata miasteniagravis berasal dari bahasa Latin dan Yunani yang
secara harafiah berarti kelemahan otot yang berat atau gawat (gravemuscleweakness). Pada
masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa mencapai 90%, tetapi setelah
ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah
B. ETIOLOGI
Penyebab pasti masih belum diketahui. Akan tetapi, penyakit ini diyakini karena;
1. Responautoimun.
Myastheniagravis disebabkan oleh gangguan transimisi impuls saraf ke otot. Hal ini terjadi
ketika komunikasi normal antara saraf dan otot terganggu di persimpangan neuromuskuler
dimana sel-sel saraf terhubung dengan otot-otot yang dikontrol. Biasanya bila impuls
menuju saraf, ujung saraf akan melepaskan zat neurotransmitter yang disebut asetilkolin.
Asetilkolin berjalan dari sambungan neuromuskuler dan mengikat reseptor asetilkolin yang
diaktifkan dan menghasilkan kontraksi otot. Pada myastheniagravis antibodi blok mengubah
(Yudistira, 2014)
C. PATOFISIOLOGI
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miasteniagravis,
dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B,” di mana antibodi yang merupakan produk dari
mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait
dengan sel T. Kelainan kelenjar timus terjadi pada miasteniagravis. Pada 80% penderita
miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka
limfoster lainnya.
D. MANIFESTASI KLINIK
MiastheniaGravis dapat terjadi secara berangsur atau mendadak. Tanda dan gejala
(Yudistira, 2014):
1. Pengatupan kelopak mata yang lemah, ptosis, dan diplopia akibat kerusakan transmisi
2. Kelemahan otot skeletal dan keluhan mudah lelah yang akan bertambah ketika hari
semakin siang, tetapi akan berkurang setelah pasien beristirahat (pada stadium awal MG
dapat terjadi keadaan mudah lelah pada otot-otot tertentu tanpa ada gejala lain.
Kemudian, keadaan ini bisa menjadi cukup berat dan menyebabkan paralisis).
3. Kelemahan otot yang progresif dan kehilangan fungsi yang menyertai menurut
kelompok otot yang terkena; keadaan ini menjadi semakin parah pada saat haid dan
sesudah mengalami stress emosi, terkena cahaya matahari dalam waktu lama, serta pada
4. Tampilan wajah yang kosong serta tanpa ekspresi dan nada vocal hidung, yang semua
otot-otot wajah.
5. Regurgitasi cairan yang sering ke dalam hidung dan kesulitan mengunyah serta menelan
6. Kelopak mata yang jatuh akibat kelemahan otot-otot wajah dan ekstraokuler.
7. Kelemahan otot-otot leher dengan kepala yang miring ke belakang untuk melihat (otot-
otot leher terlalu lemah untuk menyangga kepala tanpa gerakan menyentak).
kerusakan transmisi pada diafragma yang menimbulkan kesulitan bernapas. Keadaan ini
merupakan faktor predisposisi pneumonia dan infeksi saluran napas lain pada pasien
myastheniagravis.
9. Kelemahan otot pernapasan (krisis miastenik) mungkin cukup berat sehingga diperlukan
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Antibodi reseptor anti-asetilkolin. Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
mendiagnosis suatu miasteniagravis, di mana terdapat hasil yang postitif pada 74%
miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang
positif. Titer antibodi lebih tinggi pada penderita miasteniagravis dalam kondisi yang
parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat
penyakit miasteniagravis.
- Antibodi anti striatedmuscle (anti-SM). Merupakan salah satu tes yang penting pada
penderita miasteniagravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien
yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma
dengan usia lebih dari 40 tahun, antibodi anti-SM dapat menunjukkan hasil positif.
menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot
rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor
protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan pada pasien thymoma
kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan
miasteniagravis.
b. Elektrodiagnostik
- RepetitiveNerveStimulation (RNS)
Metode ini menggunakan jarum single-fiber yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial di antara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang
sama) dan densitas fiber (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada fiber
F. PENATALAKSANAAN
Terapi mencakup agen-agen antikolinesterase dan terapi imunosupresif, yang terdiri dari
a. Agen-agen antikolinesterase
Obat ini beraksi dengan meningkatkan konsentrasi asetilkolin yang relative tersedia
otot terhadap impuls saraf dan meningkatkan kekuatan otot. Kadang-kadang mereka
b. Obat-obatan
(Mytelase), dan neostigmin (Prostigmine). Banyak pasien lebih suka pada piridostigmin
karena obat ini menghasilkan efrk samping yang sedikit. Dosis ditingkatkan berangsur-
berkurangnya kelelahan), walaupun kekuatan otot normal tidak tercapai dan pasien akan
makanan lainnya. Efek samping mencakup kram abdominal, mual, muntah dan diare.
Dosis kecil atrofin, diberikan satu atau dua kali sehari, dapat menurunkan atau
mencegah efek samping. Efek samping lain dari terapi antikolenesterase mencakup efek
samping pada otot-otot skelet, seperti adanya fasikulasi (kedutan halus), spasme otot dan
kelemahan. Oengaruh terhadap system saraf terdiri dari pasien cepat marah, cemas,
insomnia (tidak dapat tidur), sakit kepala, disartria (gangguan pengucapan), sinkope,
atau pusing, kejang dan koma. Peningkatan eksresi saliva dan keringat, meningkatnya
sekresi bronchial dan kulit lembab, dan gejala-gejala ini sebaiknya juga dicatat.
menururt jadwal waktu pemberian, hal ini untuk mengontrol gejala-gejala pasien.
satu jam setelah pemberian obat antikolinesterase merupakan hasil yang diharapkan.
e. Setelah dosis medikasi telah ditetapkan, pasien mempelajari untuk mengambil obat
sesuai dengan kebutuhan individu dan rencana waktu yang ditetapkan. Penyesuaian
lebih lanjut diperlukan dalam stress fisik atau emosionla dan terhadap infeksi baru yang
2.1.3 Imunodefisiensi
A. PENGERTIAN
Imunodefisiensi adalah keadaan di mana komponen sistem imun tidak dapat berfungsi
secara normal. Akibatnya, penderita imundefisiensi lebih rentan terhadap infeksi virus, jamur
atau bakteri, kanker, dan juga infeksi berulang (reaktivasi infeksi laten) Gangguan
imundefisiensi dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu imunodefisiensi primer (kongenital)
dan sekunder (imunodefisiensi didapat). Imunodefisiensi disebabkan oleh kelainan genetik pada
satu atau lebih komponen sistem imun. Sedangkan, imunodefisiensi sekunder merupakan
kerusakan sistem imun yang disebabkan infeksi, kekurangan nutrisi, ataupun efek dari
pengobatan.
B. JENIS IMUNODEFISIENSI
- Imunodefisiensi primer
Hingga tahun 2010, sebanyak lebih dari 130 jenis kelainan imunodefisiensi primer telah ditemukan.
Berbagai kelainan tersebut dapat mempengaruhi perkembangan dan/atau fungsi sistem imun serta dapat
diwariskan kepada keturunannya. Umumnya gejala imunodefisiensi primer dapat terdeteksi sejak kecil.
Namun, gejala muncul dapat berbeda-beda antara satu pasien dengan pasien lainnya sebagai dampat
dari pengaruh genetik dan lingkungan.[3] Beberapa contoh penyakit yang tergolong ke dalam
humoral.
Sindrom Wiskott-Aldrich yang mengganggu fungsi sitoskeleton atopik dan infeksi yang
Sindrom Hiper-IgM Cacat pada sel B sehingga tidak dapat Kadar IgM di dalam tubuh
berulang.
- Imunodefisiensi sekunder
Imunodefisiensi sekunder umumnya didapatkan pada usia lanjut dan merupakan dampak dari penyakit
lain yang diderita atau efek obat-obatan. Contohnya adalah penderita kegananasan (kanker) yang
mendapatkan radioterapi atau kemoterapi dapat menderita imunodefisiensi karena sel-sel imun ikut
dirusak oleh perlakuan tersebut. Selain itu, cacat pada sistem kekebalan seluler juga dapat disebabkan
oleh malagizi (kekurangan protein). Beberapa kondisi lain yang dapat menimbulkan imunodefisiensi
sekunder adalah keganasan (leukemia, limfoma), gagal ginjal akut, infeksi HIV, sarkodosis,
C. ETIOLOGI
Sistem imun terbuat dari jaringan limfoid pada tubuh, yang meliputi:
Sumsum tulang
Kelenjar limpa
Timus
Amandel
Protein dan sel pada darah juga merupakan bagian dari sistem imun. Sistem imun membantu
melindungi tubuh dari zat berbahaya antigen. Contoh dari antigen meliputi bakteri, virus, racun, sel
kanker dan darah atau jaringan asing dari orang atau spesies lain.
Saat sistem imun mendeteksi antigen, sistem akan merespons dengan menghasilkan protein yang
disebut antibodi yang menghancurkan zat berbahaya. Respons sistem imun juga melibatkan proses
fagositosis. Selama proses ini, sel-sel darah putih tertentu menelan dan menghancurkan bakteri dan
zat asing lainnya. Protein komplemen membantu proses ini. Gangguan imunodefisiensi dapat
mempengaruhi bagian sistem imun. Seringkali, kondisi ini terjadi saat sel darah putih khusus atau
limfosit T atau B (atau keduanya) tidak berfungsi dengan normal atau tubuh Anda tidak
-Agammaglobulinemia, yang menyebabkan infeksi parah secara dini, dan seringkali mematikan
Gangguan imunodefisiensi turunan yang menyerang sel T biasanya menyebabkan infeksi Candida
(jamur) berulang. Imunodefisiensi turunan yang dikombinasikan menyerang sel T dan sel B. Kondisi
ini dapat mematikan dalam tahun pertama jika tidak ditangani secara dini. Orang disebut
imunosupresi apabila mereka memiliki gangguan imunodefisiensi akibat obat yang melemahkan
sistem imun (seperti kortikosteroid). Imunosupresi juga merupakan efek samping dari kemoterapi
Imunodefisiensi yang diperoleh mungkin merupakan komplikasi dari beberapa penyakit seperti
HIV/AIDS dan malnutrisi (terutama jika orang tersebut tidak mendapatkan protein yang cukup).
Banyak kanker juga dapat menyebabkan imunodefisiensi. Orang yang pernah melakukan
pengangkatan limpa memiliki imunodefisiensi, dan berisiko lebih tinggi untuk infeksi oleh bakteri
tertentu, dimana limpa normalnya akan membantu melawan. Orang dengan diabetes juga berisiko
(terutama jaringan limfoid seperti timus) menyusut, dan jumlah serta aktivitas sel darah putih
Ataxia-telangiectasia
Defisiensi komplemen
DiGeorge syndrome
Hypogammaglobulinemia
Job syndrome
Bruton disease
Wiskott-Aldrich syndrome
D. PATOFISIOLOGI
1. Usia
Frekuensi dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang yang berusia lanjut dan
peningkatan ini disebabkan oleh penurunan untuk bereaksi secara memadai terhadap
mikroorganisme yang menginfeksinya. Produksi dan fungsi limfosit T dan B dapat terganggu
kemungkinan penyabab lain adalah akibat penurunan antibodi untuk membedakan diri sendiri dan
Penurunan fungsi sistem organ yang berkaitan dengan pertambahan usia juga turut
flora normal intestinal untuk berploriferasi dan menimbulkan infeksi sehingga terjadi
baik. Ada bukti yang menunjukkan bahwa estrogen memodulasi aktifitas limfosit T (khususnya
sel-sel supresor) sementara androgen berfungsi untuk mempertahankan produksi interleukin dan
aktifitas sel supresor. Efek hormon seks tidak begitu menonjol, estrogen akan memgaktifkan
populasi sel B yang berkaitan dengan autoimun yang mengekspresikan marker CD5 (marker
antigenic pada sel B). Estrogen cenderung menggalakkan imunitas sementara androgen bersifat
imunosupresif. Umumnya penyakit autoimun lebih sering ditemui pada wanita dari pada pria.
3. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi imun yang optimal. Gangguan
imun dikarenakan oleh defisiensi protein kalori dapat terjadi akibat kekurangan vitamin yang
diperlukan untuk mensintesis DNA dan protein. Vitamin juga membantu dalam pengaturan
poliferasi sel dan maturasi sel-sel imun. Kelebihan atau kekurangan unsur-unsur renik (tembaga,
besi, mangan, selenium atau zink) dalam makanan umumnya akan mensupresi fungsi imun
Asam-asam lemak merupakan unsur pembangun (building blocks) yang membentuk komponen
structural membrane sel. Lipid merupakan prekursir vitamin A,D,E, dan K disamping prekursir
kolesterol. Jika kelebihan maupun kekurangan asam lemak ternyata akan mensupresi fungsi imun.
Deplesi simpanan protein tubuh akan mengakibatkan atrofi jaringan limfoid, depresi
respon anti bodi, penurunan jumlah sel T yang beredar dan gangguan fungsi fagositosik sebagai
akibatnya, kerentanan terhadap infeksi sangat meningkat. Selama periode infeksi dan sakit yang
serius, terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi yang potensial untuk menimbulkan deplesi protein,
asam lemak, vitamin, serta unsur-unsur renik dan bahkan menyebabkan resiko terganggunya
prostaglandin, interferon dan interleukin di samping histamine dan serotonin yang dilepaskan
selama proses inflamasi. Sebagaimana sistem biologi lainnya yang berfungsi untuk kepentingan
homoestasis, sistem imun di integrasikan dengan berbagai proses psikofisiologic lainnya dan
Di lain pihak, proses imun ternyata dapat mempengaruhi fungsi neural dan endokrin
termasuk perilaku. Jadi, interaksi sistem saraf dan system imun tampaknya bersifat dua arah.
5. Kelainan Organ yang Lain
Keadaan seperti luka bakar atau cedera lain, infeksi dan kanker dapat turut mengubah
fungsi system imun. Luka bakar yang luas atau faktor-faktor lainnya menyebabkan gangguan
integritas kulit dan akan mengganggu garis pertama pertahanan tubuh hilangnya serum dalam
jumlah yang besar pada luka bakar akan menimbulkan deplesi protein tubuh yang esensial,
termasuk immunoglobulin. Stresor fisiologi dan psilkologik yang disertai dengan stress karena
pembedahan atau cidera kan menstimulasi pelepasan kortisol serum juga turut menyebabkan
Keadaan sakit yang kronis dapat turut mengganggu sistem imun melalui sejumlah cara.
Kegagalan ginjal berkaitan dengan defisiensi limfosit yang beredar. Fungsi imun untuk
pertahanan tubuh dapat berubah karena asidosis dan toksin uremik. Peningkatan insidensi infeksi
pada diabetes juga berkaitan dengan isufisiensi vaskuler, neuropati dan pengendalian kadar
glukosa darah yang buruk. Infeksi saluran nafas yang rekuren berkaitan dengan penyakit paru
obstruksi menahun sebagai akibat dari berubahnya fungsi inspirasi dan ekspirasi dan tidak
6. Penyakit Kanker
sendiri bersifat imunosupresif. Tumor yang besar dapat melepaskan antigen ke dalam darah,
antigen ini akan mengikat antibodi yang beredar dan mencegah antibodi tersebut agar tidak
menyerang sel-sel tumor. Lebih lanjut, sel-sel tumor dapat memiliki faktor penghambat yang
khusus yang menyalut sel-sel tumor dan mencegah pengahancurannya oleh limposit T killer.
Dalam stadium awal pertumbuhan tumor, tubuh tidak mampu mengenali antigen tumor sebagai
unsure yang asing dan selanjutnya tidak mampu memulai distruksi sel-sel yang maligna
tersebut.kanker darah seperti leukemia dan limpoma berkaitan dengan berubahnya produksi serta
7. Obat-obatan
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan perubahan yang dikehendaki maupun yang tidak
dikehendaki pada fungsi sistem imun. Ada empat klasifikasi obat utama yang memiliki potensi
Penggunaan preparat ini bagi keperluan terapeutik memerlukan upaya untuk mencari
kesinambungan yang sangat tipis antara manfaat terapi dan supresi sistem pertahanan tubuh
8. Radiasi
Terapi radiasi dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kanker atau pencegahan rejeksi
allograft. Radiasi akan menghancurkan limfosit dan menurunkan populasi sel yang diperlukan
untuk menggantikannya. Ukuran atau luas daerah yang akan disinari menentukan taraf
imunosupresi. Radiasi seluruh tubuh dan dapat mengakibatkan imunosupresi total pada orang
yang menerimannya.
9. Genetik
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik
respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen
tertentu.
Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain
tinggi sehingga mungkin ditemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor genetik
dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC dengan non
MHC..
10. Kehamilan
Salah satunya yaitu Infeksi beberapa infeksi yang terjadi secara kebetulan selama
kehamilan dapat menyebabkan cacat sejak lahir. Campak jerman (rubella) bisa menyebabkan
cacat sejak lahir, terutama sekali pada jantung dan bagian dalam mata. Infeksi cytomegalovirus
E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda :
1. Sebagian besar bayi yang sehat mengalami infeksi saluran pernafasan sebanyak 6 kali atau
lebih dalam 1 tahun, terutama jika terlular oleh anak lain. Sebaliknya, bayi dengan
gangguan sistem imun, biasanya menderita infeksi bakteri berat yang menetap, berulang
atau menyebabkan komplikasi. Misalnya infeksi sinus, infeksi telinga menahun dan
bronkitis kronis yang biasanya terjadi setelah demam dan sakit tenggorokan. Bronkitis bisa
2. Kulit dan selaput lendir yang melapisi mulut, mata dan alat kelamin sangat peka terhadap
infeksi.
3. Thrush merupakan suatu infeksi jamur dimulut disertai luka dimulut dan peradangan gusi,
4. Peradangan mata (konjungtivitis) , rambut rontok, eksim yang berat dan pelebaran kapiler
5. Infeksi pada saluran pencernaan bisa menyebabkan diare pembentukan gas yang berlenihan
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
2. pemeriksaan immunoglobulin