Anda di halaman 1dari 21

TUGAS CRITICAL BOOK REPORT

AGAMA KRISTEN PROTESTAN

OLEH :
DAVID MANURUNG
5182131009

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan kasih karunia-
Nya, saya bisa menyusun critical book report agama Kristen Protestan ini, adapun saya
menyelesaikan tugas laporan critical book ini sebagai salah satu tugas untuk mata kuliah
Agama Kristen Protestan.

Semoga laporan critical book ini bisa memberikan referensi dan pengetahuan umum kepada
pembaca nantinya. Saya berterimakasih banyak kepada dosen pengampu karena bimbingan
dan pengarahannya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya.
Saya juga berterimakasih kepada orang-orang yang memberikan pikirannya dalam laporan
ini sehingga saya dapat menyelesaikan laporan ini.

Penyusun juga menyadari masih banyak kekurangan dari laporan ini, termasuk dalam segi
penulisan dan struktur isi dari laporan ini. Kiranya penyusun memohon untuk para pembaca
atas kritik dan sarannya agar untuk kedepannya saya bisa membuat laporan critical book yang
lebih baik lagi. Akhir kata semoga laporan critical book ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2020

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini semakin tingginya perkembangan pengetahuan dan teknologi membuat manusia
menjadi melupakan pentingnya firman Allah dalam kehidupan kita. Untuk itu kita
membutuhkan pentingnya arahan dari suatu pengetahuan betapa pentingnya pembelajaran
agama dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang
sangat pesat saat ini. Menurut Calvin, pendidikan Kristen adalah proses pemupukan akal
orang- orang percaya dengan Firman Allah di bawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah
pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja sehingga di dalam diri mereka dihasilkan
pertumbuhan rohani yang berkesinambungan yang diaplikasikan semakin mendalam melalui
pengabdian diri kepada Yesus Kristus, berupa tindakan-tindakan kasih terhadap sesamanya
Berdasarkan pemahaman Calvin tentang pendidikan Kristen maka menurut John Calvin,
tujuan Pendidikan Kristen adalah mendidik semua warga gereja agar mereka dilibatkan
dalam penelaahan Alkitab secara cerdas sebagaimana dibimbing oleh Roh Kudus, diajar
mengambil bagian dalam kebaktian serta diperlengkapi untuk memilih cara-cara mewujudkan
suatu pengabdian diri kepada Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan mereka sehari- hari,
serta hidup bertanggung jawab di bawah kedaulatan Allah, demi kemuliaan namaNya sebagai
lambang ucapan syukur mereka yang dipilih dalam Yesus Kristus.

Untuk itu dibutuhkan referensi yang tepat dalam pendidikan Agama Kristen ini agar
pembaca mendapatkan pengetahuan yang baik tentang ajaran-ajaran Kristus dalam Firman
Tuhan. Di sini kami menyajikan critical book report untuk memberikan informasi kepada
pembaca mengenai salah satu buku pendidikan Agama Kristen.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fungsi pendidikan Kristen dalam perkembangan pengetahuan dan teknologi
dewasa ini?
2. Apa pentingnya Pendidikan Agama Kristen dipelajari ?
3. Bagaimana isi dari buku Pendidikan Agama Kristen yang direview ini ?

C. Tujuan Penulisan CBR

1. Untuk mengetahuai fungsi dari pendidikan Kristen dalam perkembangan pengetahuan dan
teknologi.
2. Untuk mengetahui pentingnya mempelajari Pendidikan Agama Kristen.
3. Mengetahui isi dari buku Pendidikan Agama Kristen yang telah direview.

BAB II
RINGKASAN ISI BUKU
1.1. Identitas Buku
1. Judul Buku : Pendidika Agama Kristen (Buku Utama)
1 Edisi : Pertama (I)
2 Penulis                         : Pdt. Dr. Sampitmo Habeahan, M.Th, M.Pd. dkk
3 Penerbit                   : CV. Permata Mitra Sari
4 Tahun terbit : 2017
5 Kota Terbit : Medan
6 ISBN : 978-602-1516-14-0
1.2. Ringkasan Isi Buku
Bab 8
I. Kebudayaan Dipandang Dari Sudut Alkitab
Kebudayaan menurut Alkitab dapat dilihat dari beberapa aspeknya, yaitu: (1) Allah
memberikan manusia ‘tugas kebudayaan’ karena pada dasarnya ‘manusia memiliki gambar
seorang pencipta’ (Kej.1:26-27) dan manusia diberi TUGAS agar ‘menaklukkan dan
memerintah bumi’ (Kej.1:28). Jadi, manusia menerima suatu mandat dari Allah dan mandat
itu adalah MANDAT kebudayaan. Lebih jelas lagi disebutkan bahwa: “Tuhan Allah
mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan
memelihara taman itu.” (Kej.2:15); (2) Sesuai Mazmur 150 kita dapat melihat bahwa
TUJUAN kebudayaan yang utama adalah untuk ‘memuliakan dan mengasihi Allah, dan agar
kebudayaan itu digunakan untuk melayani dan mengasihi sesama manusia seperti diri
sendiri.’

Mandat budaya Sebagai panggilan suara kenabian yang mewartakan kebenaran


alkitab didalam memandang seluruh problematika kehidupan disegala bidangbaik pendidikan
ekonomi,sosial,hukum,kemasyarakat dll. Bila Alkitab berbicara begitu positif mengenai
kebudayaan, mengapa kebudayaan menjadi suatu yang dipersoalkan? Apa yang
menyebabkannya? Penyimpangan kebudayaan terjadi misalnya dalam peristiwa ‘Menara
Babel’ dimana tujuan kebudayaan menyimpang diarahkan untuk penyembahan berhala dan
kebanggaan diri/kelompok (Kej.11). Tema dosa yang merusak tujuan kebudayaan adalah
‘ingin  menjadi seperti Allah’ (Kej.3:5) dan ‘mencari nama’ (Kej.11:4). Jadi dosa telah
menyimpangkan kebudayaan sehingga berpotensi  bukan saja untuk tidak memuliakan
penciptanya, sebaliknya malah digunakan untuk alat meninggikan diri dan menantang Allah.

Memang tidak mudah untuk melihat kuasa dosa itu kelihatan di dalam kebudayaan,
kadang-kadang terlihat dari ‘hasil’ kebudayaan seperti patung lalu disembah, musik
digunakan untuk memuliakan manusia & dosa dan menyembah dewa-dewi, dan filsafatpun
dapat digunakan tidak sesuai dengan firman Allah (Kol.2:8). Kadang-kadang kuasa dosa
terlihat dari ‘cara menggunakan’ hasil kebudayaan itu. Rekayasa genetika dengan kloningnya
menghadapi bahaya kearah ini, demikian juga penyalah gunaan senjata nuklir. Film &
Sinema dengan jelas menunjukkan betapa hasil kebudayaan telah dikuasai dosa pornografi,
sadisme dan okultisme tanpa bisa dibendung. Sesuatu yang mendukacitakan Allah pencipta
manusia dan kemanusiaan. Yesus berfirman: “Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang
kepada adat-istiadat manusia.” (Mrk.6:8)

II. Sikap Kristen Terhadap Kebudayaan


Sikap umat Kristen menghadapi kebudayaan dapat digolongkan ke dalam lima
macam, yaitu:
(1)   Antagonistis, yaitu sikap menentang dan menolak, atau sikap negatif terhadap semua hasil
dan penggunaan kebudayaan, sikap ini melihat pertentangan iman dan kebudayaan yang tidak
terdamaikan antara iman Kristen dan kebudayaan dalam segala aspeknya;
(2)   Akomodasi, adalah sikap yang sebaliknya dari antagonistis yaitu menyesuaikan diri dengan
kebudayaan yang ada. Agama kristen dikorbankan demi kepentingan kebudayaan yang ada.
Akomodasi demikian sering kita lihat dalam hubungan dengan agama-agama animis dan adat
istiadat sehingga terjadi sinkretisme yang berbahaya. Sikap demikian terlihat misalnya dalam
usaha untuk menganggap bahwa ‘semua agama itu sama saja’ atau yang belakangan ini lebih
dikenal sebagai ‘semua agama menuju yang SATU’ (inklusivisme);
(3)   Dominasi, biasa dilakukan dalam gereja RK dimana sesuai teologia Thomas Aquinas yang
menganggap bahwa ‘sekalipin manusia dalam dosa telah merosot citra ilahinya karena
kejatuhan dalam dosa’, pada dasarnya manusia tidak jatuh total, melainkan masih memiliki
kehendak bebas yang mandiri. Itulah sebabnya dalam menghadapi kebudayaan kafir
sekalipun, umat bisa melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir
itu menjadi bagian iman, namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh sakramen
yang menjadi alat anugerah ilahi;
(4)   Dualisme, sikap ini mendua yang memisahkan agama dan budaya secara dikotomis.  Pada
satu pihak terdapatlah dalam kehidupan manusia beriman kepercayaan kepada pekerjaan
Allah dalam Tuhan Yesus Kristus, namun manusia yang sama tetap berdiri di dalam
kebudayaan kafir dan hidup di dalamnya. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati
manusia yang berdosa dan mengubahnya menjadi kehidupan dalam iman tidak ada artinya
dalam menghadapi kebudayaan. Manusia beriman hidup dalam kedua suasana atau lapangan
baik agama maupun kebudayaan secara bersama-sama;
(5)   Pengudusan, adalah yang tidak menolak secara total (antagonistis) namun juga tidak
menerima secara total (akomodasi), tetapi dengan sikap keyakinan yang teguh bahwa
kejatuhan manusia dalam dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia melainkan
menawarkan pengampunan dan kesembuhan bagi manusia untuk memulai suatu kehidupan
yang lebih baik dengan mengalami transformasi kehidupan etika dan moral. Manusia
melakukan dan menerima hasil kebudayaan selama hasil-hasil itu memuliakan Allah, tidak
menyembah berhala, dan mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan
itu memenuhi salah satu atau malah ketiga sikap budaya yang salah itu, umat beriman harus
menggunakan firman Tuhan untuk mengkuduskan kebudayaan itu sehingga terjadi
transformasi budaya ke arah ‘memuliakan Allah’, ‘tidak menyembah berhala’, dan
‘mengasihi manusia dan kemanusiaan.’
Kelihatannya Alkitab lebih condong untuk mengajarkan umat Kristen agar melakukan
sikap ‘Pengudusan’ sebagai kesaksian iman Kristiani dalam kehidupan berbudaya. Rasul
Paulus memberikan peringatan agar: “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu
dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia,
tetapi tidak menurut Kristus.” (Kol.2:8).

III. Sikap Gereja Terhadap Kebudayaan

H.Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika Serikat telah membuat bagan tentang
sikap gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus dan
Kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman
dalam 5 sikap:

1. Gereja anti kebudayaan

2. Gereja dari kebudayaan

3. Gereja diatas kebudayaan

4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradoks

5. Gereja pengubah kebudayaan

Dapatlah kita simpulkan bahwa sikap gereja terhadap kebudayaan adalah :


1. Gereja menentang kebudayaan khususnya terhadap unsure-unsur yang secara total
bertentangan dengan injil, umpanya terhadap culture agama, suku, dan tata kehidupan yang
tidak membangun seperti poligami, perjudian, perhambaan.

2. Menerima unsur-unsur kebudayaan yang bersesuaian dengan injil dan bermanfaat bagi
kehidupan.
3. Menerima unsure-unsur kebudayaan tertentu dan mentransformasikannya dengan injil.
Umpanya tata perkawinan, seni tari, dll. Sehingga dapat menjadi sarana injil.

Bagi mereka yang takut akan Allah, rasanya semua tindakan kita dalam menerima
adat-istiadat perlu berorientasi pada Allah dan kehendak-Nya, ini menghasilkan empat
pertimbangan berikut, yaitu sikap menghadapi adat-istiadat yang:
(1) Memuji dan memuliakan Allah
(2) Tidak menyembah berhala
(3) Mencerminkan kekudusan Allah
(4) Mengasihi manusia dan kemanusiaan. Keempatnya berurutan dari atas ke bawah dimana
memuji dan memuliakan Allah adalah tugas utama umat Kristen (Mazmur 150) dan ketiga
lainnya diukur dari apakah itu meneguhkan kepujian dan kemuliaan Allah atau tidak.
Lalu adakah tingkat-tingkat pertumbuhan yang menentukan umat kristen bersikap?
Kedewasaan umat kristen dalam bersikap perlu mengarah pada kecenderungan kelima yaitu
transformatif, yaitu ia hidup dengan mentransformasikan setiap adat-istiadat agar sesuai
dengan kepujian, kemuliaan dan kehendak Allah. Ia semula hidup berkajang dalam dosa dan
melakukan adat-istiadat dimana kuasa dosa banyak berpengaruh. Pengenalannya akan Tuhan
Yesus Kristus membawanya kepada pertobatan (metanoea) dimana ia mulai merasakan
perubahan arah dalam hidupnya dari dosa menuju kebenaran, dan seperti apa yang dikatakan
oleh rasul Paulus: Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama
sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor.5:17).
Dari perubahan yang transformatif inilah ia terus menerus melakukan trasformasi dari
dosa menuju kebenaran sehingga kehidupannya makin hari makin baik. Rasul Paulus
mengatakan bahwa: Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah menjadi
sempurna, melainkan aku mengejarnya (Flp.3:12). Namun, harus disadari bahwa transformasi
itu bukanlah hasil usaha manusia dengan kekuatannya sendiri tetapi sebagai hasil interaksi
iman kita yang mendatangkan rahmat Allah: Dan semuanya itu dari Allah, yang dengan
perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan
pelayanan perdamaian itu kepada kami (2Kor.5:18).
IV. Budaya yang harus dikembangkan jaman Modern ini
Banyak orang ingin sukses tapi tidak santun. Ada orang pintar karena tidak santun
maka sulit diterima keberadaannya. Ada pemimpin karena pribadinya tidak santun maka
kepemimpinannya juga sulit diterima kehadirannya. Dalam hal hubungannya dengan iman
Kristen aktifitas berkirir yang kritis itu dan dalam upaya untuk berkarya, maka judul di atas
erat kaitannya dalam kerangka untuk mengerti dan melakukan kehendak Tuhan. Dalam
kerangka itulahlah tiap orang Kristen harus kritis dan berkarya. Oleh sebab itu judul tsb
menarik untuk dibaca bagi mereka yang hidupnya ingin sukses. Sebab berbicara tentang kata
“kritis” dan “karya”, adalah dua kata yang saling melengkapi. Misalnya, Firman Tuhan
berkata, “Sebab itu, janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti
kehendak Tuhan” (Efesus 5:17). Tetapi juga kita dituntut untuk berkarya. Firman Tuhan
berkata:  “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti
untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol.3:23).
Ke dua nats di atas ini, tujuannya agar agar hari-hari hidup setiap umat dapat
bermakna dan bernilai. Tegasnya, menjadi orang yang paling sukses. Kesuksesan yang akan
kita capai tidak bergantung pada bukan berapa banyak uang yang kita kumpulkan, atau
berapa besar karya-karya yang akan kita capai. Kesuksesan juga bukan terletak pada berapa
banyak pekerjaan yang kita lakukan, atau berapa tingginya posisi yang kita miliki.
Kesuksesan kita diukur dari seberapa jauh kita mengerti dan melakukan kehendak Tuhan.
Kritis berpikir dan santun berkarya tujuannya agar kita mengerti dan melakukan kehendak
Tuhan.
Kita perlu terus belajar, terus menambah pengetahuan dan belajar dari kegagalan atau
keberhasilan, pada waktu sulit atau tenang, bahkan diharuskan untuk belajar atas perubahan
yang ada, bukan lihai atau licik, tapi cerdik. Jadi, dalam mengkritisi zaman ini agar orang-
orang percaya jangan hanyut terbawa arus atau tergilas atau ketinggalan, tercecer, dalam
perkembangan zaman. Para pemimpin gereja harus membantu umatnya menyadari bahaya
zaman ini dengan melengkapi mereka melalui upaya perlengkapan iman yang terus
bertumbuh dewasa, agar mampu mengahadapi serigala zaman ini.
Dengan demikian hidup beragama itu ialah berpikir dan berkarya berdasarkan Kitab
Suci atau Alkitab. Di dalam Firman tsb dijelaskan, manusia tidak diciptakan Tuhan Allah
seperti robotyang kemampuan berpikirnya sebatas yang terprogram. Tetapi diciptakan
dengan penuh kesadaran akan dirinya, alam dan Tuhannya. Maksudnya, beragama yang
benar, atau beriman kepada Tuhan Pencipta langit dan bumi dengan segala isinya, tujuannya
agar dalam memelihara ciptaanNya tiap orang Kristen terpanggil untuk  setia dan
mengasihinya dengan caraNya sendiri. Di sanalah sifat santun itu menjadi penting. Yaitu,
mengkiritisi panggilanNya agar membawa pengenalan akan Tuhan secara benar (Kel 3:13 –
4:1ff).  Semuan itu diarahkan agar iman kepercayaan kita semakin bertumbuh dan
bekerkembang sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Demikianlah proses mengerti dan
melakukan kehendak Allah.
Manusia tidak berjalan dalam kehendak yang kaku, tetapi selalu ada di dalam
pembaruan, baik itu kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya.
Lebih dari itu, berpikir kritis, santun berkarya bagaikan kompas hidup yang tepat bagi
manusia melihat pemandangan yang  luas (ke depan) dan beragam objek yang memukau
perhatian dan sekaligus mengundang banyak pertanyaan tentang objek-objek yang terpapar di
depan kita. Tuhan menghendaki agar kita membangun pekerjaan dan pelayanan yang
sungguh-sungguh berkenan kepada-Nya. Itu berarti kita tidak bekerja atau melayani secara
sembarangan, atau mengambil muka kepada pimpinan (Ef.6:6), tetapi “dengan rela
menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan, bukan manusia.”
Atas dasar itulah, sifat mengkritisi harus ditopang sikap santun agar karya-karya yang
kita lakukan menjadi berkat bagi diri kita sendiri, tentu juga bagi orang lain. Dalam hal ini,
kita dapat belajar dari hamba Tuhan abad 1 itu, Yaitu Rasul Paulus. Karena dia juga berpikir
kritis terhadap tradisi umat Israel yang sangat dikenalnya dan diihayatinya itu, tetapi dia
terbuka pada tuntutan baru dari iman yang berpusat pada  Yesus Kristus yang mati dan
bangkit itu, sehingga dia melihat dan percaya bahwa kita tidak dapat diselamatkan oleh
Taurat (Yahudi), melainkan hanya oleh Yesus Kristus sebagai penggenapan Hukum Taurat
itu. Berdasarkan pernyataannya itulah, kepada orang-orang percaya sepanjang zaman dia
menyerukan melalui tulisannya kepada jemaat Tessalonika itu : “ujilah  segala sesuatu dan
peganglah yang baik  ( 1 Tes 5 : 21 ).
Berpikir kritis adalah senana dengan tuntutan Alkitab itu sendiri, seperti kita lihat
dalam sikap Rasul Paulus di atas. Mengkritisi dengan demikian agar kita bertindak hati-hati
atau waspada (santun). Sebagai gereja yang memang berpusat pada Alkitab – ingat prinsip
dasar Martin Luther “Sola Scriptura” abad XVI itu  Dengan kata lain, Alkitab adalah buku
kesaksian iman, bukan buku tentang fakta-fakta historis (historia), fakta-fakta biologis,
antropologis atau fakta-fakta  ilmu-ilmu lainnya.

Berpikir Kritis dan santun berkarya sangat tepat dihubungkan dengan merespons 
Firman Tuhan. Itu yang dimaksudkan dengan  tetap selalu memegang yang baik. Yaitu,
adanya kesadaran dan tindakan menjadi sesuatu yang urgen dalam tata sosial dan orde
kehidupan kita agar lebih beradab dan bermartabat, sekaligus menjadi daya hidup dan
autentisitas iman agar hidup semakin bermakna. Tuhan menghendaki agar kita makin
mengenal dan mengasihi Dia, serta semakin dewasa seperti Kristus (Efesus 4:13 dan 5:21).
Hal itu juga yang ditegaskan Allah melalui Nabi Yeremia: “… Barangsiapa mau bermegah,
baiklah bermegah karena yang berikut, bahwa Ia memahami dan mengenal Aku” (9:24). 
Seruan itu telah menjadi kerinduan dan ambisi rasul Paulus: “Yang kukehendaki adalah
mengenal Dia” (Fil.3:10).

Akhirnya,  berpikir kritis, dan santun berkarya, kita akan menguji segala sesuatu
dengan tujuan  supaya kita memegang yang baik, melakukannya dalam tindakantindakan
konkrit dalam pelayanan di gereja. Sebab gereja dan umat Kristen  yang menyatakan Ktistus
mestilah seirama dengan tindakan Kristus di dunia  ini. Oleh karena itu, betapa pun sibuknya,
jangan melalaikan hubungan pribadi dengan Tuhan. Pelihara dan tingkatkan kualitas saat
teduh. Tuhan menghendaki agar kita membangun keluarga yang berpusatkan Kristus (Efesus
5:21-6:4). Amin.

3.1. Identitas Buku Pembanding

1. Judul Buku : Pengantar ilmu Agama (Buku Pembanding)


2. Edisi : ke lima (5)
3. Penulis                     : Koentjaraningrat
4. Penerbit       : PT Renaka Cipta
5. Tahun terbit : 1990
6. Kota Terbit : Jakarta
7. ISBN : 978-602-6470-02-7

Bab 4
Hubungan Agama Kristen & Budaya
Pertemuan Injil dan kebudayan

Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh kebudayaan yang bentuknya


dapat diumpamakan seperti kuelapis. Lapisan-lapisan kebudayaan itu misalnya di
Indonesia terdiri dari lapisan yang diwarnai oleh agama pribumi, Hinduisme, Buddhisme,
Islam, Kristen dan terakhir modernisme. Intensitas pengaruh itu berbeda satu dengan lain
bergantung pada etnografis, geografis dan sejarah masing-masing wilayah. Tetapi
bagaimanapun Injil yang diberitakan itu tetap berhadapan dengan kebudayaan bangsa-
bangsa dan suku-suku.

Dalam pertemuan injil dan kebudayaan tersebut, secara khusus adalah dengan
unsur-unsur kebudayaan yang pasti terdapat dalam semua kebudayaan yang dinamai
unsur kebudayaan universal, terdiri dari : Sisten relegi dan upacara keagamaan, Sistem
dan organisasi masyarakat, Sistem pengetahuan, Sistem bahasa, Sistem Kesenian, Sistem
Mata pencaharian, dan Sistem teknologi

Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing salingberpenetarasi,


maka unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perobahan.

Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan


membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi,sistem pengetahuan, kesenian dan
mata pencaharian. Sewaktu Yesus memberitakan Injil, Ia ditentang oleh Yudaisme dalam
soal-soal doktrin dan kesucian, perkawinan,sistem ekonomi yang berlandaskan usaha
kerja, sedang Injil menekankan anugerah Allah sebagai jaminan kehidupan (Mattius 5 :
25-34); tentangkasih dan keadilan yang menentang hukum balas-membalas (Mattius 5 :
38-48).

Hal yang sama terjadi setelah Injil dibawa keluar Israel ke masyarakat Hellenisme
dan Romawi. Injil menentang absolutisme kekaisaran romawi dimana kaisar dianggap
dan dipuja sebagai Tuhan dan agama rakyat yang politheistis dan hubungan seksual
termasuk dalam sistem religi yang membuat tata susila yang permissif, sini tari yang
membangkitkan birahi dan bentuk-bentuk olah raga yang tidak manusiawi. Oleh sebab
itu gereja tidak dapat tidak harus menentukan sikap terhadap kebudayaan yang
dihadapinya.

Sikap Gereja terhadap kebudayaan

H. Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan
tentang sikap Gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau
Kristus dan kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap Gereja terhadap kebudayaan
sepanjang zaman dalam 5 sikap, yaitu :

1. Gereja anti kebudayan


2. Gereja dari kebudayaan
3. Gereja diatas kebudayaan
4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradoks
5. Gereja pengubah kebudayaan
Ini adalah gambaran –gambaran umum, sedang dapat kita benarkan pendapat yang
mengatakan bahwa tidak ada gereja yang secara murni mengambil salah satu sikap
tersebut. Namun ada baiknya kita membicarakan posisi-posisi itu satu persatu :

1. Posisi 1.

Gereja memandang dunia di bawah kekuasaan si jahat sebagai kerajaan kegelapan.


Warga Gereja disebut oleh Injil adalah anak-anak terang, karena itun tidak hidup dalam
kegelapan. Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata,
kesombongan. Semua itu akan berlalu sebab mereka akan dikalahkan oleh iman kepada
Kristus (Niebuhr, 56).

Sikap menentang kebudayaan ini telah dilancarkan oleh Tertullianus tokoh Gereja
abad ke 2. Ia mengatakan bahwa konflik-konflik orang percaya bukan dengan alam tetapi
dengan kebudayaan. Dosa asal itu menurut Tertullianus disebarkan oleh kebudayaan
melalui pendidikan anak. Olehn karena itu kata tertullianus tugas Gereja adalah
menerangi semua orang yang sudah berada di bawah ilusi kebudayan, supaya mereka
dibawa kepada pengetahuan akan kebenaran. Yang paling buruk dari kebudayaan adalah
agama sosial, kafir atau politheisme, hawa nafsu dan kemaksiatan (Niebuhr, 60). Tetapi
pada pihak lain, tertullianus menganjurkan agar Gereja memupuk kebersamaan, tidak
meninggalkan pertemuan umum, tempat pemandian, kede, penginapan, pasar mingguan
tempat perdgangan sebab Gereja dengan semua itu numpang bersama dalam dunia.
Selanjutnya kata Tertullianus, kami berlayar bersama berjuang denganmu, mengolah
tanah denganmu bahkan dalam bidang seni untuk umum. Pada pihak lain Tertullianus
mengajak orang menjauhi keterlibatan dalam soal-soal kenegaraan, antara lain menolak
dinas militer sebab melanggar perintah Injil yang melarang menggunakan pedang dan
tidak ikut dalam sumpah setia kepada kaisar dan keturut sertaan dalam upacara kafir. Ia
menolak bentuk kekristenan yang berfusi dengan Stoa dan Plato. Menurut pendapatnya,
tidak ada hubungan Kristus dengan filsafat. Walau Tertullianus tidak menolak seluruh
kebudayaan, tapi Niebuhr menyebutnya termasuk dalam posisi Gereja lawan
kebudayaan.

2. Posisi 2, Gereja dari kebudayaan


Kelompok yang menganut paham ini merasa tidak ada ketegangan besar antara
gereja dan dunia, antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan
karya manusia. Mereka menafsirkan kebudayaan melalui Kristus danberpendapat bahwa
pekerjaan dan pribadi Kristus adalah sangan sesuai dengan kebudayaan. Dipihak lain,
kelompok ini berpendapat jika Kristus ditafsirkan melalui kebudayaan, maka hal-hal
yang terbaik dalam kebudayaan adalah cocok dengan ajaran dan kehidupan Kristus.
Namun penyesuaian ini bukan sembarangan, sebab telah dilakukan juga penjungkiran
bagian-bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan Injil dan bagian-bagian Injil yang
tidak sesuai dengan adat istiadat sosial (Niebuhr : 94).

Tetapi kaum Gnostik Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan konsep
kebudayaan, tidak ada pertentangan antara keduanya. Dengan demikian ada perdamaian
Injil dengan kebudayaan dan karena itu kekristenan telah menjadi sistem agama dan
filsafat dan Gereja hanya sebagai perhimpunan religius bukan sebagai gereja atau
masyarakat baru. Tokoh-tokoh penyesuaian ini dalam sejarah Gereja adalah Clemens
(200) dan Origines (185-254)- (Fuklaan-Berkhof, 1981 : 41). Pada abad pertengahan
posisi Gereja dari kebudayaan dilanjutkan oleh Petrus Abelardus (1079-1142) yang
mengakui karya Filsuf Socrates dan Plato sebagai guru mendidik walaupun lebih rendah
tingkatnya tyetapi bersesuaian dengan ajaran Yesus (Niebuhr, 100).

Tokoh yang lain adalah Ritschl yang menggagasi untuk merekonsiliasi kekristenan
dengan kebudayaan. Kelompok ini secara keseluruhan disebut Protestantisme
kebudayaan melalui gagasan tentang kerajaan Allah yang telah disamakan dengan suatu
kerajaan umat manusia yang terhimpun dalam suatu keluarga, di bawah ikatan kebajikan,
perdamaian, keperluan bersama. Perhimpunan ini terbentuk melalui aksi moral secara
timbal balik dari anggota-anggotanya yaitu suatu aksi melalui pertimbangan alamiah
(Niebuhz, 109). Dalam gagasan ini, kesetiaan orang kepada Kristus menentukan orang
untuk berpartisipasi secara aktif dalam karya kebudayaan (Niebuhr, 110).

3. Posisi 3. Gereja diatas kebudayaan.


Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan
spiritual (rohani). Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan
aturan suatu kehidupan sosial yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat
dikenal oleh semua yang berakal sehat sebab bersifat hukum alam. Tapi disamping
hukum alam ada hukum Ilahi yang dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui
hukum alam. Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukum alam dan sebagaian
lagi melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia (ordo
supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang kamu
miliki, berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam perintah kamu
tidak boleh mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan
didalam wahyu. Dari contoh itu Thomas Aquinas menyimpilkan bahwa hukum alam
yang ditemui yang terdapat dalam kodrat hidup manusia berada dubawah ordo
supernaturalis.

Manusia dalam hidupnya sudah kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat
memulihkannya kembali hanyalah melalui sakraman.

Gereja berada dalam ordo supernatulis. Oleh karena itu kebudayaan berada di bawah
hirarkis gwereja. Dengan itu pada abad pertengahan gereja menguasai seluruh
kebudayaan dalam tatanan Corpus Christianum.

4. Posisi 4. Hubungan Gereja dan kebudayaan dalam paradoks.


Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan dipisahkan. Orang beriman (Kristen) berada
dalam dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah
Allah dalam Kristus. Oleh sebab itu orang beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu hidup
dalam iman dan hidp dalam kebudayaan.

Dalam sejarah Gereja, Marcian seorang tokoh gereja abad ke 2 yang berpendirian
bahwa dalam kebudayaan manusia di bawah Allah yang rendah derajadnya yang
dinamainya domiurgos sedang dalam pembaharuan ciptaan, manusia hidup di bawah
Allah Rahmani. Dengan itu ia telah mempelopori hidup secara dualisme. Ajaran ini
ditolak gereja pada masa itu dan dikategorikan sebagai ajaran sesat.

Pandangan dualisme kelihatan juga secara samar dalam ajaran Marthin Luther yang
mencetuskan reformasi pada tahun 1517 Menurut dia orang beriman hidup dalam dua
kerajaan, yaitu kerajaan Allah yang rohani dan kerajaan duniawi. Kerajaan Allah adalah
suatu kerajaan anugerah dan kemuliaan, tetapi kerajaan duniawi adalah suatu kerajaan
kemurkaan dan kekerasan. Kedua kerajaan itu tidak dapat dicampur adukkan. Masing-
masing lingkungan menurutaturannya. Jadi manusia hidup dalam dua tatanan yaitu
tatanan kebudayaan berdasarkan hukum alam dan tatanan rohani yaitu tatanan surgawi.
Ada kesan bahwa Marthin Luther tidak menghubungkan tatanan duniawi dengan yang
surgawi sehingga kehidupan dalam kebudayaan dan surgawi tidak berhubungnan.
Dengan itu ada kemungkinan orang tidak lagi membawa imannya dalam kehidupan
dalam kebudayaan (Niebuhr, 194).

Pada abad ini pandangan itu dipertahankan oleh seorang Teolog bernama William
Roger. Manusia menurut Roger, harus berbakti kepada Allah maupun raja, kendati ada
ketegangan antara keduanya. Orang beriman seyogianya hanya berbakti kepada Allah
tetapi tidak dapat tidak harus berbakti kepada kebudayaan. Kita tidak dapat tidak hidup
seperti ampibi, yaitu hidup dalam rahmat Allah dan sekaligus dalam kebudayaan. Kedua
lingkungan ini terpisah dan tidak saling berhubungan. Hal ini mungkin bahwa seorang
dapat hidup berdasarkan imannya pada lingkungan rohani atau hidup menurut imannya
pada lingkungan rahmat dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan duniawi dalam
lingkungan dunia (Niebuhr:207).

5. Posisi 5. Gereja pengubah kebudayaa

Banya orang Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian tersebut
baik dalam teori maupun dalam politik. Mereka juga tidak bersedia menyerah
kepadakebudayaan karena mereka memahami kebudayaan mempunyai kelemahan-
kelemahan. Mereka juga menolak takluk kepada kebudayaan yang dipaksakan gereja
sebab kebudayaan yang dipaksakan gereja selalu berbentuk sintesa antara kerajaan Allah
dan kerajaan dunia dan ada kecenderungan memandang kebudayaan yang masih berdosa
ini dianggap suci sebab berada di bawah gereja. Tapi adalah tidak benar, jika dikatakan
bahwa kerajaan Allah telah diwujudkan dalam kebudayaan yang diciptakan gereja
(Verkugl, 1982 : 49).

Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap gereja pengubah kebudayaan.

Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah mempelopori sikap gereja


pengubah kebudayaan. Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat
yang tidak mengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat,
sejauh itu adalah kodrat, tapi ia menjadi jahat karena dirusak (Niebuhr, 239).

Tetapi Allah kata Augustinus, memerintah dan mengatasi manusia dalam pribadi
dan sosial mereka yang rusak. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa oleh sifat
kreatifitas Allah maka Allah tetap menggunakan dengan baik kehendak manusia yang
jahat sekalipun, sehingga m,anusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui
kebudayaannya. Sikap Allah ini mendapat wujudnya dalam Yesus Kristus yang telah
datang kepada manusia yang telah rusak untuk menyembuhkan dan memperbaharui apa
yang telah ditulari melalui hidup dan kematiannya, ia mengatakan kebesaran kasih Allah
dan tentang begitu dalamnya dosa manusia (241). Denganjalan Injilnya ia memulihkan
apa yang telah rusak dan memberi arah baru terhadap kehidupan yang telah rusak (242).
Atas pemikiran teologis tersebut, Agustinus meletakkan gagasan Injil pengubah
kebudayaan atau Injil adalah Conversionis terhadap kebudayaan. Pemikiran Augustinis
ini dilanjutkan oleh Johanes Calvin pada awal abad ke 16. Titik tolak pikirannya berawal
pada pandangannya bahwa hukum-hukum kerajaan Allah telah ditulis dalam kodrat
manusia dan dapat terbaca dalam kebudayaannya. Dengan itu hidup dan kebudayaan
manusia dapat ditransformasikan sebab kodrat dan kebudayaan manusia dapat
dicerahkan, sebab mengandung kemungkinan itu pada dirinya sebagai pemberian Ilahi.
Oleh sebab itu Injil harus diaktualisasikan dalam kebudayaan supaya kebudayaan lebih
dapat mensejahterakan manusia (245-246).

Gereja dan kebudayaan di Indonesia

Seperti telah disinggung sebelumnya, unsur-unsur kebudayaan yang dihadapi Injil di


Indonesia sarat dengan pengaruh agama-agama, mulai dari agama pribumi, Hindu, Buddha
dan Islam dalam intensitasyang berbeda-beda. Pengaruh itu dalam bentuk lapisan-lapisan,
namun saling berpenetrasi antara satu dengan yang lain. Secara umum dapat dikatakan
pengaruh Hindu dan Islam berpengaruh dalam kebudayaan Jawa, sedang di Indonesia
bagian timur terdapat pengaruh agama pribumi dan Islam. Di Sumatwera Utara khususnya
diantara orang Batak terdapat pengaruh agama Hindu dan agama pribumi.

Sewaktu Injil diberitakan kepada suku-suku bangsa di Indonesia maka Injil


berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan setempat. Persoalan kita bagaimana sikap
gereja terhadap kebudayaan setempat.

Gereja-gereja berlatar belakang reformasi yang membawa Injil ke Indonesia


menekankan sekali kemurnian Injil dan disiplin kehidupan umat sesuai nilai-nilai yang
termuiat dalam Injil. Oleh sebab itu geraja selalu mengawasi agar unsur-unsur yang
bertentangan dengan Injil tidak memasuki kehidupan umat Kristen. Oleh karena itu
gereja menolak kultus roh nenek moyang dan semua ritus-ritus untuk menguatkan roh
atau jiwa seseorang. Tujuan utama penolakan ini, agar tidak terjadi penyembahan kepada
ilah-ilah selain dari Allah Jahweh (Keluaran 20 : 2-5).
Tetapi gereja menyadari bahwa simbol-simbol yang digunakan masyarakat adalh
bermuatan agama sedang bagi masyarakat pribumi suatu simbol selalu identik dengan
yang disimbolkan. Oleh sebab itu gereja tidak saja menolak kultus kepada yang bukan
Allah tetapi juga mendesakralisasikan suatu simbol sehingga dapat menjadi sarana untuk
mencapai kesejahteraan manusia.

Upaya ini nampak jelas dalam penerimaan gereja terhadap tatanan masyarakat Batak
yang dinamai dilikan na tolu, yaitu tiga tungku (Batak toba, Angkola, Simalungun dan
Dairi) atau sangkep si telu (Batak Karo). Tatanan ini bersumber dari kepercayaan orang
Batak kepada tiga Dewata, yang pertama berkediaman di dunia atas, yang kedua di dunia
tengah dan ketiga di dunia bawah. Berdasarkan pandangnan kosmologis tersebut, maka
masyarakat Batak dibagi atas unsur hula-hula atau kalimbubu (Karo) yaitu kelompok si
pemberi dara, dongan atau senina (Karo) yaitu kelompok satu klan dan boru atau anak
beru (Karo) yaitu kelompok si pengambil dara.

Ketiga dewata itu diharapkan selalu harmonis agar kehidupan manusia di dunia
tengah tidak diganggu oleh dunia bawah dan atas. Harapan ini terungkap dalam doa
orang Karo bunyinya: turunlah dewata diatas, naiklah dewata di bawah dan duduklah
dewata ditengah. Sebagaimana harus ada keharmonisan antara dunia atas, tengah dan
bawah, demikian juga ketiga unsur kerabat tersebut harus selalu bertindak dalam
keserasian. (Ph. L. Tobing, the structure of Batak Belief in the High God: 1963:28-29)
Bahwa orang batak memahami seluruh kosmos sebagai keselueruhan dunia bawah,
tengah dan atas. Dalam totalitas ini, masing-masing dunia yang tiga itu mempunyai
fungsi, melalui mana keserasian dan keberadaan manusia itu mungkin. Penghapusan
salah satu dari totalitas itu berarti pemusnahan jagad raya dan juga keberadaan masing-
masing. Demikian juga keberadaan kosmos yang menjadi bagian dari pada ruang adalah
kesatuan totaliter. Tanpa memandang luas kecil operasinya, ia adalah kesatuan dari
kuasa-kuasa yang bertentangan (terjemahan : penulis).

Gereja mengadopsi tatanan dalihan na tolu tau sangkep si telu tersebut dengan
mencopot unsur mythologisnya dan menanamkan nilai-nilai etis agama Kristen
kedalamnya agar peran masing-masing unsur lebih rasional dan fungsional.

Hal yang sama dilakukan gerja-gereja dalam kebudayaan setempat di Indonesia


antara lain gereja di Ambon mengadopsi tatanan “pela gandong” yaitu suatu ikatan sosial
masyarakat berdasarkan ikrar nenek moyang pada waktu yang tidak diketahui lagi, tetapi
tetap diteruskan kepada generasi-generasi seterusnya tanpa membedakan agama yang
merekla anut.

Kepatuhan orang terhadap tatanan dalihan na tolu maupun pela gandong tersebut
bukan semata-mata oleh ikatan hukum, tapi mengandung nilai-nilai moral dan oleh sebab
itu kepatuhan tersebut bersifat devasi atau ibadah dan orang yang melanggarnya
dikategorikan sebagai pelanggar moral.

BAB III

PEMBAHASAN

1. Keunggulan
Dari kedua buku yang telah di review penulis menemukan keungulan setiap
buku dan memiliki ke unggulan tersebut:

Buku Utama : Keunggulan yang terdapat pada buku utama ialah pembahasan yang
sangat luas dan mencakup ke aspek-aspek lainnya, kemudian tata bahasa
dan penulisan yang rapi, membuat pembaca lebih tertarik untuk
memhaminya lebih dalam dan cocok untuk digunakan sebagai buku
acuan pembelajaran.

Buku Pembanding : Keunggulan yang terdapat pada buku pembanding sama seperti
keunggulan yang terdapat pada buku utama, ialah tata bahasa nya yang
bagus dan rapi dan penulisan yang bagus

2. Kelemahan
Penulis juga menemukan kelemahan dari kedua buku tersebut dan akan
menerapkannya seperti:
Buku utama : Kelemahan pada buku utama ialah pada halaman 152 paragraf ke 3
terdapat kata sebahagian yang menurut penulis itu terlalu baku, kecuali
dengan penambahan kata depan (–se)
Buku Pembanding : Penulis juga menemukan ada beberapa penulisan kata yang salah
dalam buku tersebut, seperti di halaman 48, 52 dengan paragraf yang
berbeda-beda seperti kata “sala” yang seharusnya “salah” dan kata
“perumpaman” yang seharusnya “perumpamaan”

BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan

Dari ringkasan buku dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Melalui
pertemuan Injil dengan sub kultur-sub kultur di Indonesia timbullah kebudayaan sub
kultur Kristen di Indonesia. Hal ini mengatakan tidak ada kebudayaan Kristen yang
universal di Indonesia. Dengan itu agama Kristen telah menjadi salah satu sumber
kekuatan untuk melahirkan kebudayaan. Oleh sebab kelokalan itu maka kebudayaan
sub kultur Kristen itu tidak seluruhnya menyapa semua manusia disegala zaman dan
tempat. Hal itu berarti Injil yang universal itu dijadikan menjadi Injil yang lokal, yang
menjawab persoalan dan kebutuhan lokal. Proses ini dapat menjadi ancaman sebab
Injil yang universal dikaburkan dalam kelokalannya.

2. Saran
Menurut penulis buku yang pantas untuk dibuat sebagai buku acuan
pembelajaran ialah buku utama karena buku tersebut sangat membahas secara luas
dan terperinci sehingga penggunapun bisa mengerti dengan maksud dari buku
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Sampitmo H.dkk, 2017. Pendidikan Agama Kristen, Medan, CV. Pertama Mitra Sari.

Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, PT. Renaka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai