Anda di halaman 1dari 9

Karya Para Dilentantis dan Relevansinya dalam

Studi Sejarah Lokal

1.Pendahuluan

Penulisan kesejarahan yang bersifat lokal ternyata mengundang perhatian pihak-


pihak sepanjang sejarah dari sejarah. Oleh karena itu perlu di tentukan tipe-ipe atau corak
dari sejarah lokal yang dihasilkannya1. hal itu dilakukan supaya memudahkan klasifikasi
penulisan sejarah lokal dan mewujudkan tipologi sejarah lokal.
Ada beberapa criteria yang kiranya perlu diperhatikan dalam penulisan sejarah
lokal, seperti tujuan penulisan sejarah lokal,latar belakang pendidikan penyusunnya, sifat-
sifat pendekatan metodologis khusus yang digunakan dan aspek-aspek kehidupan yang
jadi sasaran utama studi sejarah lokal.
Menurut I GDE WIDJA berdasarkan beberapa dasar penyusunan tipologi sejarah
lokal, terutama dari dasar penulisan yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan
penyusunnya, kiranya di Indonesia bias dibedakan menjadi lima jenis penulisan sejarah
lokal, yaitu : sejarah lokal tradisional, sejarah lokal dilentatis,sejarah lokal edukatif
inspiratif,sejarah lokal colonial, dan sejarah lokal kritis analitis2.
Pada kesempatan kali ini kami akan mebahas tentang sejarah lokal dilentantis.
Dimana penulisan sejarah lokal dilentantis oleh beberapa sejarawan diseput penulisan
sejarah yang amatir karena belum berdasarkan padi metodologi penulisan sejarah yang
baku. Makan para penulis sejarah lokal dilentantis sering disebut sebagai “ amaturis”.
Meski sering disebut amatir namun penulisan sejara lokal dilentatntis sangat penting
dalam khasanah penulisan sejarah lokal secara keseluruhan. Untuk ini kami akan
membahas masalah ini lebih lanjut.

1
I Gde Widja, (1991), Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah, Bandung :
Angkasa. Hal 41
2
I Gde Widja, (1991), Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah, Bandung :
Angkasa. Hal 42
2. Definisi Sejarah Lokal Dilentantis

Penulisan sejarah lokal yang bersifat dilentantis ini memiliki cirri khusus, yaitu
penulisannya belum menggunakan pendekatan metodologis sejarah yang ketat. Hal ini
dikarenakan latar belakang pendidikan penulis bukan lah dari bidang sejarah. biasanya
penulisnya hanya ingin memenuhi rasa kecintaaya terhadap daerah mereka. Untuk
memenuhi kesenangan pribadi penulis biasanya menulis sejarah dari lingkingan mereka
sendiri. Penulis akan merasa bangga akan lingkungannya karena lingkungan mereka
pernah menjadi tempat terjadinya peristiwa sejarah yang penting. Seperti desanya pernah
menjadi markas gerilya3.
Orang yang biasanya menjadi sejarawan dilentantis ini pasti seorang yang
berpendidikan cukup. Karena tidak mudah untuk menjabarkan hal-hal yang telah lampau
tanpa ada sinkronisasi antar bahasan yang ditulis. Oleh karena itu factor pendidikan
penulis juga sangat penting. Hasil penulisan sejara lokal dilentantis biasanya bersifat
naratif kronologis dan berbumbu emosional. Hal ini disebabkan karena penulis
menceritakan atau menjabarkan pengalaman pribadi mereka secara runtut dan berbaur
dengan patriotisme lokal sang penulis. Orang-orang yang menjadi sejarawan dilentantis
seperti : Alwi Shahab,Tio Tek Hong, dan Nina H. Lubis yang karya-karyanya akan kami
bahas dalam kajian ini.
Seperti yang sudah kami utarakan pada pendahuluan, sejarah lokal dilentantis ini
sangat penting bagi studi sejarah lokal. Meski tidak memakai metodologi sejarah yang
ketat namun sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejara lokal dilentatis
biasanya sumber tangan pertama.

3. Martanagara dan Gejolak Politik

Pertama-tama kami akan menjabarkan hasil harya Nina H. Lubis yang berjudul
Konflik Elite Birokrasi; Biografi Politik R.A.A Martanagara. Buku ini merupakan karya
sejarah lokal. Hal tersebut karena pembahasan yang dilakukan penulis terbatas pada
ruang lingkup yang difokuskan untuk Elite Birokrasi Kabupaten Bandung. Buku ini
3
I Gde Widja, (1991), Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah, Bandung :
Angkasa. Hal 43
menguraikan mengenai awal berdirinya Kota Bandung dengan struktur pemerintahannya.
Di dalam buku diceritakan mengenai keadaan Bandung dengan berbagai aspek
didalamnya. Adapun aspek yang diuraikan mencakup keadaan geografi, sosial, ekonomi,
dan politik. Dalam buku ini kegiatan yang berhubungan dengan politik adalah hal yang
paling dikemukakan. Dimana yang menjadi obyeknya ialah keberadaan sosok Bupati
yang memimpin Kota Bandung.

Pada masa Daendels (1808) pembagian wilayah di Priangan ditujukan untuk


memilah daerah penghasil kopi. Dengan adanya pembagian tersebut tentunya akan
memberikan keuntungan terhadap pihak kolonial4. Adanya pembagian wilayah tentunya
akan menunjukan peran dari keberadaan Bupati. Akan tetapi pada masa Dandel
kedudukan Bupati tidak berperan besar sebagai pemimpin tradisional yang memegang
kekuasaan. Hal ini karena sejak masa Hindia Belanda Bupati yang diangkat hanya
menerima gaji dan diawasi oleh pemerintah pusat5.
Dengan dihapuskannya Preangerstelsel pada tanggal 1 Januari 1871 menyebabkan
terjadinya Reorganisasi. Hal ini terlihat dengan terbaginya Priangan menjadi Sembilan
affdeling yang tiap wilayahnya dipimpin oleh asisten residen6.Akan tetapi diantara
afdeling tersebut masih ada yang bersatu dengan kabupaten, dan ada yang berdiri sendiri.
Bandung pada masa itu termasuk pada golongan pertama.Maka dari itu kedudukan
Bupati di Bandung masih memegang peranan, walaupun saat itu bupati hanya dijadikan
sebagai figure seremonial belaka. Pada buku ini dijelaskan mengenai struktur birokrasi
pada pemerintahan kolonial yang didalamnya terdapat peran bupati.
Pembahasan yang dituangkan oleh penulis kedalam buku ini berinti pada
persaingan kaum Elite Birokrasi. Sebagai objek yang menjadi pusat pembahasannya ialah
Bupati Raden Adipati Martanagara. Pada buku penulis menjelaskan riwayat hidup R.A.A
Martanagara yang menjadi Bupati Bandung namun keturunan bangsawan Sumedang. Hal
inilah yang kemudian memicu terjadinya percobaan pembunuhan terhadap R.A.A
Martanagara sehari menjelang pelantikannya sebagai bupati. Adanya peristiwa tersebut
merupakan gambaran adanya persaingan tidak sehat dikalangan elite birokrasi. Walaupun

4
Herlina, 2001:22
5
Herlina, 2001:3
6
Herlina, 2001:4
kedudukan bupati pada masa itu terbatas, akan tetapi jabatan tersebut masih sangat
terhormat dikalangan masyarakat pribumi. Penulis menguraikan bahwa Bupati Bandung
ke-9, Raden Adipati Kusumadilaga meninggal dunia sehingga kedudukan bupati
diserahkan kepada R.A.A Martanagara.
Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial. Sebut saja saat itu terdapat patih Raden
Rangga Sumanagara yang diduga bersekongkol dengan pihak Belanda untuk
menyingkirkan R.A.A Martanagara7. Pasca kejadian itu R.A.A Martanagara melakukan
berbagai upaya untuk memulihkan keadaan. Sosok Martanagara merupakan bupati yang
berperan dalam pembangunan Bandung. Sebagai Elite Birokrasi ia telah berjasa terhadap
rakyatnya. Selain itu ia dikenal sebagai tokoh pembaharuan yang memajukan pendidikan
perempuan dan anak-anak untuk masuk dalam pendidikan barat8. Martanagara juga
dikenal sebagai bupati yang memajukan birokrasi pemerintahan Bandung kearah legal-
rasional-formal. Maka dari itu ia dijuluki sebagai pemimpin yang bersifat terbuka
terhadap zaman. Adapun kemajuan yang diperolehnya tidak membuat ia lupa akan sikap-
sikap tradisional. Ia dikenal sebagai pemimpin yang mengabdi dan menaruh perhatian
pada rakyatnya
tudi yang dikemukakan penulis menceritakan asal usul serta struktur yang
berkaitan dengan pemerintahan Bandung serta peran Bupatinya. Walau demikian studi
yang dikemukakan tentunya memiliki inti dari peristiwa tertentu. Adanya percobaan
pembunuhan terhadap Martanagara merupakan hal inti pada buku ini.
Penulis yang merupakan oktor sejarah wanita pertama di Jawa Barat, dan ketiga
di Indonesia. Wanita sunda yang dilahirkan di Bandung 9 September 1956 meskipu
beliau adalah seorang sejarawan professional namun sikap patriotisme lokal sanga terlihat
dalam penulisan nya merupakan tempat kelahirannya. Maka dalam penulisan ini Herlina
terkesan membesar-besarkan kewibawaan dari seorang martanagara yang notabenya
Bupati bandung.

4. Alwi Shahab dan Tio Tek Hong dengan Jakarta-nya

7
Herlina, 2001:117
8
Herlina, 2001:119
Tio Tek Hong yang merupakan seorang saudagar pasar baru menuliskan kenang-
kenangnya dalam bentuk sebuah buku yang berjudul Keadaan Jakarta Tempo Doeloe.
Dimana dalam tulisanya ini Tio berhasil menggambarkan Jakarta tempo dulu dengan
detail dan cukup menggelitik. Ditambah lagi dia memasukan asper-aspek historis yang
kurang diperhatikan para sejarawan, seperti bencana alam,penyakin dan makanan.
Hong menulis dalam salah satu babnya tentang jalan di Jakarta. Jalan Jakarta(dulu
acatraweg) di Jakarta Kota sebuah jalan raya yang panjang, dari muka gereja Potugis
yang tua ( yang sekarang masih berdiri) dekat jembatan Senti sampai Jembatan
Merah,dekat jagal babi. Kita orang Jakarta mengenaljalan raya tersebut tidak demikan,
seperti sekarang pun kita biasa menyebut : pecah kulit, mangga dua, dan Jembatan
Merah9. Dari hasil tulisan Toi kita dapat mengetahui fakta yang cukup penting tentan kota
Jakarta yang banyak berubah terutama di bagian jalan-jalannya dan perhubungannya. Hal
semacam ini hanya dapat diperoleh dari sumber tangan pertama yang dalam hal ini
adalah ingatan Tio sendiri. Maka kiranya tulisan sejarah ini cukup penting dalam studi
sejarah lokal. Meski banyak dibumbui oleh emosional pribadi sang penulis.
Jika Tio Tek Hong menitik beratkan kepada kenangannya dirinya pribadi makan
Alwi Shahab adalah seorang yang menggabungan kenangan dan sumber-sumber sejarah
dalam penulisan karya-karyanya. Alwi yang basicnya seorang jurnalis dengan mudah
dapat penguraikan kata-kata dengan baik dan cukup menarik para pembacanya. Ditambah
lagi dengan ketertarikannya terhadap sejarah sejak kecil dan rasa cintanya yang besar
terhadap tanah betawi menjadikan karyanyanya masauk dalam kategori sejarah lokal
dilentantis.
Alwi dalan salah satu bukunya yang berjudul Batavia Kota hantu mebahas tentang
Couperus, seorang pendatang dari Belanda, begitu turun dari kapal di pelabuhan Sunda
Kalapa pada 1815 menyaksikan bahwa Batavia yang sebelumnya mendapat predikat ‘ratu
dari timur’ telah berubah seolah-olah merupakan kota hantu.

Lalu dia menjelajahi Princenstraat yang kini telah menjadi Jl Cengkeh, sebelah
utara Kantor Pos, Jakarta Kota. Dia mendapati beberapa gedung di kota tua telah

9
Tio Tek Honh, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe : 43
dihancurkan rata dengan tanah termasuk Istana Gubernur Jenderal, gedung yang cukup
megah ketika itu.

Penghancuran itu dilakukan oleh gubernur jenderal Willem Herman Daendels


pada tahun 1808 ketika memindahkan pusat kota ke Weltevreden (Gambir dan Lapangan
Banteng) yang jaraknya sekitar 15 km selatan kota tua. Pemindahan dilakukan karena
pusat kota di tepi pantai itu telah menjadi sarang penyakit. Ada yang menyebutkan
‘kuburan’ orang Belanda.

Padahal, sebelumnya Princenstraat dengan jalannya yang memanjang merupakan


daerah elite orang-orang Belanda. Di sini terdapat gedung-gedung mewah yang
merupakan bagian kota Batavia yang paling indah. ”Mereka membangun rumah-rumah di
tepi parit dan kanal Tigergrach (kanal harimau), berpagar tanaman rapi berupa pohon
kenari di kiri kanan, melebihi segala-galanya yang pernah saya lihat di Holland,” tulis
Couperos.
Di pusat pemerintahan VOC itu penduduk kota Batavia tiap hari disibukkan ke
kantor, pasar atau sekadar pesiar keliling kota, sembari pamer kekayaan. Nyonya-nyonya
besar Kompeni, serta nyai-nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat-
tingkat kayak kurungan ayam. Mereka keluar mencari angin di samping kanal dan
terusan Batavia dengan congkak.
Para budak dan bedinde berjalan mengiringi mereka. Memayungi wajahnya dari
sengatan matahari tropis yang panas. Para budak wanita terus mengipas-ngipas mencari
angin buat sang nyai yang terus mengunyah sirih pinang, memerahi bibirnya.
Sementara, di bawah keteduhan pohon kenari yang berjejer rapi di sepanjang
tepian kanal dan terusan, penduduk Batavia lalu lalang di tengah seribu satu kesibukan.
”Saat senja menjelang, rumah-rumah pemandian di sepanjang tepian dinding kanal dan
terusan, dipenuhi wanita telanjang dada berendam di air, zonder kuatir buaya pemangsa
pria iseng yang datang mengintip,” tulis Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah.
Waktu itu, saat malam terang bulan, terutama malam Minggu, pemuda dan pemudi yang
tengah kasmaran menyanyi sambil memetik gitar menjelajahi kanal-kanal dengan perahu.
Bagi penduduk Jabodetabek – Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi masa
kini akan sangat sulit membayangkan kota Batavia yang santai pada akhir abad ke-18 dan
juga abad ke-19. Sebagian bangunan dari masa itu sudah diratakan dengan tanah. Taman-
taman yang indah mengelilingi vila-vila yang memberi warna Eropa pada kota Batavia
telah hilang. Beberapa bagian peninggalan masa lalu itu kini terkesan kumuh. Lalu
lintasnya macet, sementara muara Ciliwung yang dulu dibanggakan dan dapat dimasuki
kapal-kapal, tampak kotor, kehitaman dan berbau.
Pada zaman itu tidak ada mobil dan tentu saja tidak ada kemacetan, apalagi
polusi. Pedagang asongan, jalur cepat dan manusia hidup tanpa dikejar waktu seperti
sekarang. Yang ada hanya beberapa sado yang ditarik kuda yang memecahkan kesunyian
jalan raya yang tidak diaspal dan diteduhi oleh pohon-pohon rindang yang berdiri kokoh
tanpa khawatir akan tumbang seperti sering terjadi akhir-akhir ini.
Menurut Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis dari
Abad ke-XVI s/d Abad XX, pada 1815 Batavia hanya berpenduduk 47 ribu jiwa dan pada
akhir abad ke-19 sebanyak 116 ribu jiwa. Dengan kata lain, ibukota Hindia Belanda ini
bersuasana pedesaan bila dibandingkan dengan kota industri dan pelabuhan Surabaya
yang berpenduduk 147 ribu jiwa dan berirama hidup lebih cepat.
Gubernur Jenderal Daendels, setelah memporak-porandakan kota tua Batavia,
membangun Weltevreden belasan kilometer selatan kota tua. Di samping gedung dan
perkantoran sebagai pusat pemerintahan, ia juga membangun lapangan Gambir yang
mula-mula diberi nama Champs de Mars. Kemudian menjadi Konings Plein saat Belanda
berkuasa kembali. Di Weltevreden ia juga membangun Waterlooplein yang kini menjadi
Lapangan Banteng.
Konings Plein yang oleh warga Betawi disebut Lapangan Gambir dan Lapangan
Ikada pada masa Jepang (kini Lapangan Monas), mungkin merupakan lapangan paling
luas di dunia. Lebih luas dari lapangan Santo Pietro di Vatikan tempat Paus bertatap
muka dengan para jamaah Katholik. Juga lebih luas dari Tian An Men di Beijing dan
Lapangan Merah di Moskow.
Di dekat Monas terdapat Kebun Sirih. Dari namanya sudah dapat diperkirakan,
kawasan itu dulu merupakan kebun sirih. Tanaman merambat yang belum begitu lama
berselang digemari banyak orang untuk dikunyah-kunyah nyirih (makan sirih).
Kelengkapannya antara lain kapur (sirih), pinang dan gambir.
Sampai 1960-an di rumah-rumah masih tersedia tempat sirih untuk para ibu yang
datang bertamu dengan tempolong untuk membuang ludah bewarna merah setelah
mengunyahnya. Sampai abad ke-19 bukan hanya wanita, pria pun banyak yang nyirih10.
Dari penyampaian beliau tentang keadaan kota Jakarta pada akhir abad 18 yang
sangat berbeda dengan Jakarta pada masa kini kiranya cukup penting manfaatnya bila ada
seorang sejarawan professional yang ingin meneliti sejarah kota Jakarta dengan
metodologi sejarah yang ketat. Jadi Batavia Kota Hantu merupakan salah satu contoh
sejarah lokal dilentantis.
Lihat pula tulisan lain Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi yang
bercerita tentang Abdullah bin Alwi Alatas. Dimana sebelum RS Cikini seperti yang kita
kenal sekarang ada, telah banyak yang mengetahui bahwa sebelumnya adalah kediaman
pelukis kondang Raden Saleh. Namun, ternyata rumah tinggal Raden Saleh itu sempat
dibeli oleh Sayid Abdullah bin Alwi Alatas, sebelum berpindah tangan ke Yayasan Ratu
Belanda Emma, dan selanjutnya menjadi rumah sakit. Sosok Abdullah bin Alwi Alatas
yang menjadi sentral penulisan disini merupakan salah seorang ulama yang menganut
gerakan PAN-Islamisme yang saat itu ditakuti oleh pemerintahan kolonial belanda. Dan
Abdullah bin Alwi Alatas dituduh sebagai salah satu penggerak dari gerakan islam untuk
menentang penjajahan11.

Dalam tulisan diatas tergambar jelas penulisan yang bersifat dilentantis namun
juga materi-materi yang diangkat cukup relevan bagi studi sejarah lokal. Dimana
Saudagar Baghdad dari Betawi cukup mengandung fakta sejarah yang berharga yg dapat
digunakan lebih lanjut oleh para sejarawan professional.

5. Kesimpulan

10
Alwi Shahab, Batavia Kota Hantu, Republika
11
Alwi Shahab, Saudagar Baghdad dari Betawi, Republika
Berdasarkan diskusi diatas kita dapat menentukan sejarah lokal dilentantis adalah
sejarah lokal yang menonjolkan estetis individual melalui peristiwa masa lampau.
Penulisan sejarah dilentantis kurang mengindahkan pendekatan metodologis sejarah.
namun hasil penulisan sejarah dilentantis cukup layak dijadikan bahan acuan oleh
sejarawan professional meski harus dengan proses kritik sejarah yang cermat12.

Daftar Pustaka

1. I Gde Widja, (1991), Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah,
Bandung : Angkasa
2. Abdullah Taufik, sejarah lokal di Indonesia 1985, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press
3. Tio,Tek Hong, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe, Jakarta : Masup jakarta
4. Alwi Shahab, Batavia Kota Hantu, Republika
5. Alwi Shahab, Saudagar Baghdad dari Betawi, Republika
6. Nina H, Lubis, Konflik Elite Birokrasi; Biografi Politik R.A.A Martanagara
7. http://alwishahab.wordpress.com/

I Gde Widja, (1991), Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah,
12

Bandung : Angkasa

Anda mungkin juga menyukai