Anda di halaman 1dari 7

Nama : Aswan Zarqasyi

NIM : A031181347

Murabahah dan Musawamah

A. Pengertian Murabahah dan Musawamah


Murabahah berasal dari kata “Ribhu” yang berarti keuntungan. Dalam fikih
mua’amalah istilah Murabahah di jelaskan sebagai transaksi jual beli dimana
penjual memberitahukan harga barang pada si pembeli dan ia mengambil untung
dari penjualan barang tersebut. Adapun menurut Kamus Istilah Keuangan dan
Perbankan Syariah yang diterbitkan oleh Direktorat Perbankan Syariah, Bank
Indonesia, Murabahah merupakan jual beli barang dengan menyebutkan harga asal
ditambah dengan keuntungan yang disepakati. Murabahah juga dapat diartikan
sebagai perjanjian antara BMT dengan nasabah dalam bentuk pembiayaan
pembelian atas suatu barang yang dibutuhkan nasabah. Objeknya bisa berupa
barang modal seperti mesin mesin industri, maupun barang untuk kebutuhan sehari-
hari seperti sepeda motor. Sedangkan berdasarkan PSAK Murabahah adalah akad
jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan yang ditambah
keuntungan atau margin yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya
perolehan barang tersebut kepada pembeli (PSAK 102 paragraf 5). Maka dapat
disimpulkan bahwa Murabahah adalah salah satu istilah dalam akad jual beli dimana
pihak penjual menjelaskan harga perolehan suatu barang dan juga harga yang akan
dijual dengan keuntungannya kepada pembeli, dan disepakati oleh kedua belah
pihak.

Musawamah merupakan  jual beli dengan harga yang disepakati kedua belah
pihak, tanpa melihat harga perolehan barang tersebut. Musawamah juga sering
disebut sebagai jual beli tawar-menawar, karena dalam akad ini pihak penjual dan
pembeli bebas menentukan harga sampai kedua belah pihak sepakat. Hal ini sangat
berbeda dengan murabahah yg dimana penjuallah yang berhak menentukan harga
jualnya kepada konsumen.

B. Persyaratan dalam Murabahah


hukum jual beli murabahah, asalnya dibolehkan. Dalil akan hal ini adalah
keumuman firman Allah Ta’ala yang menjelaskan halalnya jual beli.
Allah Ta’ala berfirman,

‫َوأَ َح َّل هّللا ُ ْال َبي َْع‬

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli” (QS. Al Baqarah: 275).

‫اض مِّن ُك ْم‬


ٍ ‫ار ًة َعن َت َر‬ َ ‫إِاَّل َت ُك‬
َ ‫ون ت َِج‬

“Kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridho di antara kamu” (QS. An
Nisa’: 29).

Murabahah termasuk jual beli saling ridho di antara penjual dan pembeli,
sehingga termasuk jual beli yang dibolehkan.

Begitu pula secara logika, jual beli ini amat dibutuhkan dan telah tersebar
luas. Di antara kita ada orang yang tidak tahu manakah barang yang berkualitas
untuk dibeli, sehingga kita butuh informasi dari orang yang lebih mengetahui seluk-
beluk barang di pasar. Sebagai balas budi, si pembeli memberikan balas jasa pada
si penjual yang telah membeli barang tersebut dengan memberikan keuntungan.
Sehingga jual beli murabahah dengan logika sederhana ini dibolehkan.

Adapun syarat dari jual beli jenis ini yaitu :

1. Penjual memberitahu biaya barang kepada pembeli.


2. Kesepakatan pertama harus sah sesuai dengan rukun jual beli
3. Kesepakatan harus bebas dari riba
4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila menjadi cacat atas
barang sesudah pembelian
5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

Selain harus memenuhi syarat diatas akad murabahah juga harus sesuai
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Pelaku harus cakap hukum dan baligh yaitu harus berakal dan dapat
membedakan,
b. Objek jual beli harus memenuhi :

1) Barang yang diperjualbelikan adalah barang halal,


2) Barang yang diperjualbelikan harus mempunyai manfaat atau nilai,
3) Barang tersebut sudah dimiliki oleh penjual. Jual beli atas barang yang
belum dimiliki oleh penjual adalah tidak sah karena tidak mungkin penjual
dapat menyerahkan barang kepada orang lain atas barang yang bukan
miliknya.
4) Barang tersebut dapat diserahkan tanpa tergantung pada kondisi tertentu
dimasa mendatang. Barang yang tidak jelas waktu penyerahannya tidak
sah hukumnya, karena dapat menimbulkan ketidakpastian (gharar), yang
pada saat akan merugikan salah satu pihak yang bertransaksi dan dapat
menimbulkan persengketaan.
5) Barang tersebut harus diketahui secara spesifik dan dapat diidentifikasi
oleh pembeli sehingga tidak ada gharar.
6) barang tersebut dapat diketahui kuantitasnya dan kualitasnya dengan
jelas, sehingga tidak ada gharar.
7) Harga barang tersebut jelas Harga atas barang yang diperjualbelikan
harus diketahui oleh pembeli dan penjual berikut cara pembayarannya,
apakah tunai atau tangguh, sehingga jelas dan tidak ada unsur gharar
8) Barang yang diakadkan ada di tangan penjual. Barang dagangan yang
tidak berada di tangan penjual akan menimbulkan ketidakpastian (gharar).
Pembeli yang menjual barang yang dia beli sebelum serah terima, dapat
diartikan ia menyerahkan uang pada pihak lain dengan harapan
memperoleh uang yang lebih banyak dan hal ini dapat disamakan dengan
riba.

c. Ijab kabul Pernyataan dan ekspresi saling rela diantara pihak-pihak pelaku
akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau
menggunakan cara-cara kominkasi modern. Apabila jual beli telah dilakukan
sesuai dengan ketentuan Syariah maka kepemilikannya, pembayarannya,
dan pemanfatan atas barang yang diperjualbelikan menjadi halal.
C. Struktur Murabahah
Struktur atau skema sederhana dari murabahah dapat digambarkan sebagai
berikut :

1 2
Barang
Penjual Pembeli
3

Pada murabahah ini hanya melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli.


Pada tahap pertama si Penjual akan menjualkan barangnya berupa motor kepada si
Pembeli. Harga yang ditetapkan si Penjual adalah Rp12juta. Harga tersebut terdiri
dari harga modal sebesar Rp10 juta dan margin sebesar Rp2 juta. Penjual
menyebutkan dua harga tersebut kepada si Pembeli. Dikarenakan harga tersebut
layak menurut Pembeli, maka ia sepakat untuk membayar motor tersebut dengan
harga total Rp12 juta.

Adapun untuk struktur murobahah pada bank syari’ah yaitu :

D. Permasalahan dalam Murabahah

Dalam kondisi saat ini transaksi murabahah sering dijumpai pada perbankan baik itu
yang bersifat konvensional maupun yang mengatasnamakan syari’ah. Dalam kondisi
ideal transaksi ini dapat dipraktekan oleh pihak perbankan syaria’ah karena sistem
yang digunakan adalah jual beli murabahah diamana nasabah yang ingin membeli
suatu barang maka terlebih dahulu dia memesan kepada pihak bank dengan
menjelaskan spesifikasi barang tersebut, kemudian oleh pihak bank menerima
pesanan tersebut kemudian mencari barang yang sesuai spesifikasinya disupplier,
setelah barang ditemukan maka pihak bank membeli barang tersebut disupplier,
sehingga status kepemilikan barang berpindah kepihak bank. Dengan demikian
pihak bank bisa memberitahu nasabah harga perolehan barang tersebut dan juga ia
bisa menentukan margin dari harga barang tersebut. Kemudian menjual nya
kenasabah secara cicil. Konsep seperti ini biasa disebut murabahah lil amir
bisysyiraa.
Namun, pada kenyataannya hal tersebut diatas tidak dapat di lakukan oleh
pihak bank syari’ah karena bank syari’ah berada dalam regulasi bank Indonesia dan
otoritas jasa keuangan yang mana pada regulasi tersebut teradapat undang-undang
yang mengatur bahwa perbankan tidak boleh melakukan praktik jual-beli. Selain itu,
bank syariah memiliki kendala apabila harus melakukan praktik jual-beli. Kendala
tersebut terdapat pada perhitungan pajak. Apabila bank syariah melakukan transaksi
jual-beli maka ia akan dikenakan dua kali perhitangan pajak yaitu
antara supplier dengan bank dan antara bank dengan nasabah.

Hal inilah yang membuat transaksi murabahah pada bank syari’ah terdapat
kecacatan didalamnya karena transaksinya dengan nasabah dan supplier bukan
merupakan transaksi jual beli melainkan transaksi utang-piutang. Sehingga tidak
boleh ada yang mengambil keuntungan dari transaksi utang-piutang tersebut karena
ini merupakan bentuk dari Riba.

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫اع َط َعامًا َفالَ َي ِبعْ ُه َح َّتى َيسْ َت ْو ِف َي ُه‬


َ ‫َم ِن ا ْب َت‬

“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya


kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku
berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR.
Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)

Ibnu ‘Umar berkata,


ْ َّ ‫ َن ْب َتا ُع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ث َعلَ ْي َنا َمنْ َيأ ُم ُر َنا ِبا ْن ِت َقالِ ِه م َِن ْال َم َك‬
‫ان الَّذِى ا ْب َتعْ َناهُ فِي ِه إِلَى‬ ُ ‫الط َعا َم َف َي ْب َع‬ ِ ‫ُك َّنا فِى َز َم‬
ِ ‫ان َرس‬
p.‫ان سِ َواهُ َق ْب َل أَنْ َن ِبي َع ُه‬ٍ ‫َم َك‬

“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan


makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami
agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain,
sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)
Sumber

http://eprints.walisongo.ac.id/6539/3/BAB%20II.pdf

https://rumaysho.com/2201-murabahah-yang-mengandung-riba.html

https://qazwa.id/blog/murabahah/

https://ahmadrofiqzakariya.blogspot.com/2018/02/akad-akad-dalam-transaksi-
ekonomi-islam.html

Anda mungkin juga menyukai