NIM : A031181347
Musawamah merupakan jual beli dengan harga yang disepakati kedua belah
pihak, tanpa melihat harga perolehan barang tersebut. Musawamah juga sering
disebut sebagai jual beli tawar-menawar, karena dalam akad ini pihak penjual dan
pembeli bebas menentukan harga sampai kedua belah pihak sepakat. Hal ini sangat
berbeda dengan murabahah yg dimana penjuallah yang berhak menentukan harga
jualnya kepada konsumen.
“Kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridho di antara kamu” (QS. An
Nisa’: 29).
Murabahah termasuk jual beli saling ridho di antara penjual dan pembeli,
sehingga termasuk jual beli yang dibolehkan.
Begitu pula secara logika, jual beli ini amat dibutuhkan dan telah tersebar
luas. Di antara kita ada orang yang tidak tahu manakah barang yang berkualitas
untuk dibeli, sehingga kita butuh informasi dari orang yang lebih mengetahui seluk-
beluk barang di pasar. Sebagai balas budi, si pembeli memberikan balas jasa pada
si penjual yang telah membeli barang tersebut dengan memberikan keuntungan.
Sehingga jual beli murabahah dengan logika sederhana ini dibolehkan.
Selain harus memenuhi syarat diatas akad murabahah juga harus sesuai
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Pelaku harus cakap hukum dan baligh yaitu harus berakal dan dapat
membedakan,
b. Objek jual beli harus memenuhi :
c. Ijab kabul Pernyataan dan ekspresi saling rela diantara pihak-pihak pelaku
akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau
menggunakan cara-cara kominkasi modern. Apabila jual beli telah dilakukan
sesuai dengan ketentuan Syariah maka kepemilikannya, pembayarannya,
dan pemanfatan atas barang yang diperjualbelikan menjadi halal.
C. Struktur Murabahah
Struktur atau skema sederhana dari murabahah dapat digambarkan sebagai
berikut :
1 2
Barang
Penjual Pembeli
3
Dalam kondisi saat ini transaksi murabahah sering dijumpai pada perbankan baik itu
yang bersifat konvensional maupun yang mengatasnamakan syari’ah. Dalam kondisi
ideal transaksi ini dapat dipraktekan oleh pihak perbankan syaria’ah karena sistem
yang digunakan adalah jual beli murabahah diamana nasabah yang ingin membeli
suatu barang maka terlebih dahulu dia memesan kepada pihak bank dengan
menjelaskan spesifikasi barang tersebut, kemudian oleh pihak bank menerima
pesanan tersebut kemudian mencari barang yang sesuai spesifikasinya disupplier,
setelah barang ditemukan maka pihak bank membeli barang tersebut disupplier,
sehingga status kepemilikan barang berpindah kepihak bank. Dengan demikian
pihak bank bisa memberitahu nasabah harga perolehan barang tersebut dan juga ia
bisa menentukan margin dari harga barang tersebut. Kemudian menjual nya
kenasabah secara cicil. Konsep seperti ini biasa disebut murabahah lil amir
bisysyiraa.
Namun, pada kenyataannya hal tersebut diatas tidak dapat di lakukan oleh
pihak bank syari’ah karena bank syari’ah berada dalam regulasi bank Indonesia dan
otoritas jasa keuangan yang mana pada regulasi tersebut teradapat undang-undang
yang mengatur bahwa perbankan tidak boleh melakukan praktik jual-beli. Selain itu,
bank syariah memiliki kendala apabila harus melakukan praktik jual-beli. Kendala
tersebut terdapat pada perhitungan pajak. Apabila bank syariah melakukan transaksi
jual-beli maka ia akan dikenakan dua kali perhitangan pajak yaitu
antara supplier dengan bank dan antara bank dengan nasabah.
Hal inilah yang membuat transaksi murabahah pada bank syari’ah terdapat
kecacatan didalamnya karena transaksinya dengan nasabah dan supplier bukan
merupakan transaksi jual beli melainkan transaksi utang-piutang. Sehingga tidak
boleh ada yang mengambil keuntungan dari transaksi utang-piutang tersebut karena
ini merupakan bentuk dari Riba.
http://eprints.walisongo.ac.id/6539/3/BAB%20II.pdf
https://rumaysho.com/2201-murabahah-yang-mengandung-riba.html
https://qazwa.id/blog/murabahah/
https://ahmadrofiqzakariya.blogspot.com/2018/02/akad-akad-dalam-transaksi-
ekonomi-islam.html