Anda di halaman 1dari 3

Selanjutnya masih menggunakn contoh revolusi-revolusi di atas sejarah lebih menekankan pada

kekhaan atau kekhususan dari masing-masing revolusi atau perang kemerdekaan. Misalnya revolusi
amerika dikaji lebih mendalam mengenai sebab-musabab serta perkembangan revolusi sehingga
tampak kekhasannya jika seandainya dibandingkan dengan revolusi-revolusi di negara lain. Oleh sebab
itu, sejarah di sebut juga kajian ideografik atau partikularistik, Kekhasan (singularizing, specifik,
particular). Sejarah melukiskan dan menafsirkan suatu peristiwa yang hanya satu kali saja tejadi
( ankersmi, 1987: 251_252), Sebaliknya, kajian ilmu-ilmu sosial akan menekankan pada fenomena yang
sama di semua negara sehingga dapat ditarik suatu “hukum” yang dapat berlaku umum contoh konflik
diatas. Oleh sebab itu, kajian ilmu-ilmu sosial disebut juga kajian nomotetik atau generalistik,
keumuman (generalizing, universak, general). Ilmu-ilmu sosial mencoba mencari hukum-hukum yang
berlaku umum (ankersmit 1987: 252) Sehingga kalau adanya gejala-gejala konflik politik atau sosial yang
terjadi didalam suatu negara atau masyrakat, dapat “dramaikan” suatu revolusi atau perang akan dapat
terjadi.

Perlu ditambahkan atau ditekankan lagi disini, jika sejarah hanya memperhaikan peristiwa individual
yang hanya sekali terjadi (renmalig) atau tidak teratur, seperti Proklamasi 17 agustus 1945, ilmu-ilmu
sosial lain menyoroti peristiwa yang terjadi berulang-ulang (repetition) atau beraturan (regulerity)
seperti peristiwa proklamasi dapat terjadi dimana saja dankapan saja; jika pada sejarah karena peristiwa
sudah terjadi (lama ataupun baru) tidak dapat diulag kembali sebagai eksperimin berkali-kali dalam
laboratorium dan dites, pada ilmu-ilmu sosial lain dapat dilakuakan percobaan-percobaan dan dies
ulang. Berkaian dengan yang terakhir ini, jika sejarah tidak dapat digunakan untuk meramal( kecuali
dalam pengertian proses dan perspektif kedepan) Ilmu-ilmu sosial lain sapat digunakan sebagai
predeksi.

Dikotomi (pembagian dua)di atas yaitu antara sejarah yang diakronik, ideografik, partikularistik dengn
ilmu-ilmu sosial lain yang sinkronik, nomotetik, generalistik mempunyai kelemahan-kelemahan yang
mendasar yaitu terlalu mengotak-otakan ilmu-ilmu yang ada seolah-olah satu sama lain tidak mengalami
hubungan. Kenyataannya tidak demikian sebab kedua belah pihak saling memerlukan seperti apa yang
telah dilakukan oleh ahli-ahli teori ilmu sosial seperti weber, Durkhim, dan lain-lain, Apalagi sejarah
bukan tidak mengenal generalisasi. Dalam membuat diskripsi, solusi atau analisis mengenasi sebab-
musabab dari revolusi yang khusush seperti di amerika, Misalnya, sejarah juga membuat kesimpilan-
kesimpulan akhir. Begitu juga dalam sejarah dari revolusi-revolusi di prancis, rusia atau di indonesia.
Meskipun kesimpulan-kesimpulan itu akan menunjukkan kekhasan dari masing-masing revolusi, namun
materi-materi sejarah itulah yang di gunakan oleh ilmuan-ilmuan sosial untuk mengambil kesimpulan
umum dan merumuskan generalisasi atau teori atau hukum, umum yang dapat diunakan untuk
“meramalkan” peristiwa-peristiwa politik atau sosial atau ekonomi pada masa-masa yang akan datang,
Bagi ahlu filsafat seperti karl popper meskipun sejarah tidak menmukan hukum-hukum umum namun
sejarah menerapkan hukum-hukum itu. Jika sains atau ilmu-ilmu pengetahuan lain menggunakan
kekhususan-kekhususan (particulars) untuk menarik generalisasi-generalisasi, Sebaliknya sejarah
menggunakan generalisasi-generalisasi itu untuk menjelaskan kekhususan-kekhususan (conkin dan
stromberg 1971: 101) Misalnya, kita masih menyamakn generalisasi dan hukum-hukum yang berlaku
umum (general laws) seperti pada ilmu-ilmu alam padahal keduanya berbeda ( cf. Munz, dalam michael
bentley ed. 1997: 860). Baaimana setiap disiplin melakukan generalisasi sebab jika tidak konsep-konsep
akan tinggal terpasung sendiri-sendri dan ilmu tidak bisa berkembang. Adanya perbedaan ekstrem
antara sejarah dengan ilmu-ilmusosial lain semula berpangkal pada perbedaan antara sejarah dengan
ilmu-ilmu alam yang membagi para sejarawan sendiri kedalam dua kubu yang berlawanan selama abad
ke-19 sebagian besar dari ahli ilmu-ilmu sosial cenderung memihak kepada ilmu-ilmu alam karena ingin
mempertahankan “kemurniannya” dan melihat sejarah sebagai sains “lunak” ( ladurie, 1981: 26; tosh,
1984: 109), Perbedaan itu diwakili oleh para ahli filsafat sejarah dengan fokos perdebatan: Apakah
sejarah harus mengkaji manusia sama dengan kajian fenomena alam lainnya dan apakah sejarah itu
“saince” ada dua fihak yang mempersoalkan isu ini yaitu apa yang disebut aliran posotivisme dan
idealisme

1. Aliran Positivisme

Melihat kesatuan metodologis dari semua bentuk disiplin ilmu manusia dan alam, Sejarah harus
mnggunakan prosedor-prosedur yang sama dengan ilmu-ilmu alam dan hasil kajiannya diukur menurut
standar ilmiah. Pengetahuan sejarah itu hanya berlai “valid” jika sesuai dengan metode ilmiah. Adapun
dasar dari pengetahuan yang ilmiah itu ialah pengamatan yang cermat dan teliti terhadap kenyataan
oleh pengamat “netral” dan hasil pengamatan atas fenomena yang berulang-ilang sama ( revolusi-
revolusi yang di contohkan di atas) adalah berupa generalisasi atau hukum yang sesuai dengan fakta-
fakta yg diketahui dan menjelaskan pengulngan yang diamati. Menurut metode induktif ini, Generalisasi
ditarik secara logis dari data, dan bahwa para ilmiawan melakukan tugas-tugasnya itu tanpa prasangka
dan tanpa keterlibatan moral. Para pengikut aliran positivisme ini menghendaki sjarah melakukan
prosedur ilmiah jika ingin disebut sains. Menurut mereka tugas utama sejarawan ialah menghimpun
pengetahuan faktual. Fakta-fakta ini diverifikasi dengan menggunakan metode kritis terhadap sumber-
sumber pertama. Kemudian fakta-fakta ini menetapkan bagaimana masa lalu itu dijelaskan atau
ditafsirkan. Kepedulian utama ialah dengan pakta-fakta dan generalisasi-generalisasi sedangkan
kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut oleh sejarawan tidak boleh mencampurinya ahli filsafat
terkemuka abad ke-19 dari aliran positivisme ini yaitu Auguste Comte (1798-1857) yakni benar para
sejarawan pada akhirnya menemukan “hukum-hukum perkembangan sejarah (tosh, 1984: 109-110).
Dalam perkembangan kemudian pada abad ke-20 ini para pengikut alran filsafat ini yang disebut neo-
posttitvis (antara lain karl popper) telah melakukan modifikasi-modifikasi tertentu seperti: Kajian sejarah
tidak dapat menghasilkan hukum-hukumnya sendiri, Bahwa esensi dari penjelasan sejarah terletak pada
penerapan generalisasi-generalisasi yang tepat yang bersal dari disiplin-disiplin yang elah menggunakan
metode-metode ilmiah seperti ilmu ekonomi, sosiologo dan psikologi (conkin dn stromberg 1971: 101;
gilberd, dan graubard, 1972: 27-61; tosh 1985: 110; lioyd, 1988 59-71; smi, 1991).

2. Aliran Idealisme

Menolak dasar-dasar pendapat aliran positivisme peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan


manusia (sejarah) menurut aliran ini harus dibedakan dengan peristiwa-peristiwa alam karena dalm
hubungan antara peneliti dengan objek yang diteliti pada peristiwa kemanusiaan lebih terbuka untuk
pemahaman yang lebih lengkap dari peristiwa-peristiwa alam. Makdudnya jika peristiwa alam dapat
dipahami dari”luar” (karena peneliti netral, bebas nilai, tidak punya ikatan emosional dengan objek yang
diteliti; Misalnya). Pada peristiwa-peristiwa kemanusiaan pemahaman dapat terjadi dari “dalam” karena
mlibatkan perasaan, emosi, motivasi, dan mentalitas para pelaku (sejarawan dengan pelau sejarah). Jadi,
realitas sejarah itu dapat dipahami dengan intuisi, imajinasi, atau empeti, hal-hal yang diabaikan dalam
metode sains. Oleh karena itu menurut aliran idealis ini, pengetahuan sejarah itu pada dasarnya
“subjektif” (tosh, 1985:115)
Dasar dari aliran idealis ini bertolak dari pikiran ahli filsafat sejarah hegel yang tidak dapat menerima
pendekatan sejarah harus disamakan dengan pendekatan ilmu alam karena keduanya berbeda.
Meskipun kedua-duanya menjalani proses, proses alam bukan sejarah karena alam tidak mengenal
sejarah. Oleh sebab itu proses alam yang non-historis itu harus dibedakan dengan proses sejarah dari
kehidupan manusia, Pergantian berturut-turut periode-periode geologis musalnya , bukanlah pergantian
yang benar-benar historis karena perbedaannya dengan sejarah, sejarawan menghidupkan kembali (re-
enoct) dalam pikiranya (mind) sendiri pikiran-pikiran, motif-motif, maksud para pelaku sejarah yang
tindakan-tindakan mereka di masa lalu diceritakan oleh sejarawan itu; peristiwa yang silih berganti
bukan sejarah kecuali jika terdiri atas tindakan-tindakan yang motif-motifnya dapat dihidupkan kembali.
Geologi menyajikan serangkaian peristiwa, tetapi sejarah bukanlah sejarah jika tidak menyajikan
serangkaian tindakan. Hegel menegaskan tidak ada sejarah kecuali kehidupan manusia bukan semata-
mata kehidupan melainkan kehidupan rasional kehidupan dari mahklu yang berfikir (collingwood, 1956:
114-115) melanjutkan pendapat ini meskipun dalam beberapa hal tidak sepenuhnya sependapat dengan
hegel seorang tokoh aliran idealis yaitu R.G. Collingwood menyimpulkan bahwa “semua sejarah adalah
sejarah pikiran” Selama tindakn-tindakan manusia itu hanya berupa peristiwa-peristiwa saja, sejarawan
tidak akan memahami nya jika semuanya itu merupakan eksprisi keluar dari pikiran-pikiran. Sejarah
menampilkan perkembangan diri dari akan dan proses sejarah itu berada pada dasar dari proses logika
(collingwood 1956: 115-117}

Anda mungkin juga menyukai