Anda di halaman 1dari 9

1. Seorang anak.

Y berusia 13 tahun dengan berat badan 50 kg dan tinggi badan 140 cm


dengan keluhan sering buang air kecil dan haus. keluarganya memiliki riwayat
diabetes melitus tipe 2 dari hasil pengkajian didapat bahwa HbA1C pasien 8.5% dan
tidak ditemukan komplikasi. Bagaimana tatalaksana ynag harus dilakukan pada anak
Y tersebut?
a. monoterapi dengan obat metformin
b. modifikasi gaya hidup dan kombinasi 2 obat dengan mekanisme berbeda
c. kombinasi 3 obat dengan insulin
d. modifikasi gaya hidup dan lakukan pengecekan gula darah secara teratur
e. kombinasi 3 jenis obat dan diet rendah gula

JAWABAN: B

Pasien mengalami obeitas dengan BMI : 25 dan mengalami DM tipe 2 dengan HbA1c 8.5%
dan gejala klinis (+) sedangkan komplikasi (-). Menurut algoritma tata laksana DMT2 di
indonesia (PERKENI,2009)
1. lakukan modifikasi gaya hidup
2. lakukan pemeriksaan HBA1C
 Jika HBA1C <7.5% maka lakukan monoterapi dengan salah satu obat seperti
metformin, sulfoniura, atau penghabat glukosidae alfa, bila HBA1C belum mencapai
<7% dalam 3 bulan tambahkan obat ke-2(kombinasi 2 obat)
 Jika HBA1C besar sama 7.5% maka lakukan kombinasi 2 jenis obat dengan
mekanisme berbeda seperti metformin, sulfoniura, atau penghabat glukosidae alfa,
bila HBA1C belum mencapai <7% dalam 3 bulan tambahkan obat ke-3 (kombinasi 3
obat)
 Jika HBA1C >9% dan gejala klinis (-) kombinasi 2 obat atau kombinasi 3 obat, bila
HBA1C belum mencapai <7% dalam 3 bulan tambahkan obat insulin intensifikasi
insulin
 Jika HBA1C >9% dan gejala klinis (+) kombinasi insulin + obat lain

2. Seorang perempuan berusia 32 tahun yang menderita diabetes mellitus tipe


1mengalami gagal ginjal progresi dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Dialisis
belumdilakukan pada pasien ini. Pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda tanda
abnormalitas.hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin 9 gr/dl.
Hematokrit 28 % apus darah tepi menunjjukkan sel sel eritrosit dan 94 normositer dan
normokromik. Manakah jawaban di bawah ini yang paling mungkin sebagai jawaban
penyebab kondisi pasien tersebut ?
a.Perdarahanakut
b.Leukemia limfosik kronik
c.Anemia sideroblast
d.Defisiensi erythroprotein
e.Defisiensi enzim eritrosit

JAWABAN : D
Pembahasan
Eritropoietin adalah hormon yang bertanggungjawab pada proses pembentukan eritrosit
(eritropoiesis) di sumsum tulang. Eritropoietin ini akan masuk ke dalam sel yang menadi
cikal bakal eritrosit (prekursor eritroid) melalui reseptor eritropoietin dan memicu proliferasi
sel di dalam prekursor eritroid, untuk selanjutnya sel ini mengalami pembelahan menjadi 2
anak sel. Pada gagal ginjal kronik, sel parenkim ini mengalami kerusakan, akibatnya produksi
hormon eritropoietin pun berkurang. Jadi pada gagal ginjal kronik akan didapatkan anemia.
Manifestasi klinis yang biasa ditemukan:
 umum/malaise, mudah lelah
 Nyeri seluruh tubuh/mialgia
 Gejala ortostatik ( misalnya pusing, dll )
 Sinkop atau hampir sincope
 Penurunan toleransi latihan
 Dada terasa tidak nyaman
 Intoleransi dingin
SUMBER: DR.dr .Ersa yeryaninngsih sppd.kgh.finasim (bagian ilmu penyakit dalam)

3. Seorang wanita 28 tahun dalam keadaan hamil datang ke poliklinik dengan keluhan
mudah lelah, sering merasa haus dan lapar,serta sering buang air kecil. Setelah
diperiksa lebih lanjut kemudian pasien didiagnosis mengalami diabetes mellitus
gestasional yang mana akan terjadi keadaan dimana fungsi insulin menjadi tidak
optimal, yang berdampak hiperinsulinemia sehingga terjadi gangguan metabolik pada
janin. Apa penyebab pasien mengalami keluhan seperti ilustrasi diatas…
a. Produksi insulin yang tidak adekuat karena harus memproduksi insulin untuk ibu
dan bayi
b. Terjadi ganguan produksi insulin pada sel Alpha pancreas karena adanya hormon –
hormone kehamilan
c. Adanya gangguan sistemik pada metabolisme protein pada wanita dalam keadaan
hamil
d. Terjadi perubahan metabolisme karbohidrat dikarenakan terjadi peningkatan
hormon-hormon antagonis insulin
e. Ganguan janin

JAWABAN : D
Pembahasan :
Kondisi diabetes seperti ini biasa di alami sementara oleh ibu hamil selama masa
kehamilan.Diabetes melitus gestasional pada saat kehamilan terjadi karena perubahan
hormonal dan metabolik. Perubahan metabolik ini ditandai dengan peningkatan dari kadar
glukosa dalam darah akibat pemenuhan kebutuhan energi untuk ibu dan janin. Perubahan
hormonal ini ditandai dengan meningkatnya hormon esterogen dan hormon progestin.
Peningkatan hormon estrogen dan hormon progestin ini mengakibatkan keadaan
jumlah atau fungsi insulin ibu hamil tidak optimal sehingga terjadi perubahan kinetika insulin
dan resistensi terhadap efek insulin. Efek dari resistensi insulin ini mengakibatkan kadar gula
darah ibu hamil tinggi sehingga terjadilah diabetes gestasional. Keadaan ini dapat berdampak
pada janin, sebab kadar gula darah ibu akan mempengaruhi gula darah janin sehingga gula
darah janin juga meningkat dan pada gilirannya akan menimbulkan hiperglikemik dalam
lingkungan uterus sehingga dapat merubah pertumbuhan dan komposisi tubuh
janin.Dampaknya bayi yang lahir dari ibu yang mengalami diabetes melitus gestasional ini
berisiko tinggi untuk terkena makrosomia.
(Anita Rahayu , Rodiani. 2016. Efek Diabetes Melitus Gestasional terhadap
Kelahiran Bayi Makrosomia. Lampung:E-Journal Universitas Lampung)
4. Nyonya R, berusia 63 tahun, datang ke poliklinik RSUDZA dengan keluhan sering
buang air kecil, cepat merasa lapar dan haus, serta ia merasa berat badannya menurun.
Nyonya R juga mengeluhkan ia sering kesemutan dan penglihatannya sering kali
terasa kabur. Dari hasil pemeriksaan, TD 130/90 mmHg, respiratory rate 17x/menit,
heart rate 110x/menit, dan suhu tubuh 36,9 derajat celcius. Hasil laboratorium
menunjukkan nilai HbA1c 7,5%.Berdasarkan skenario di atas, tatalaksa untuk Nyonya
R yang tepat adalah ....
a.Modifikasi gaya hidup sehat
b. Metformin
c.Sulfonilurea
d. Kombinasi metformin & sulfonilurea
e.Modifikasi gaya hidup sehat & pemberian metformin

Jawaban: D
Dari keluhan dan hasil pemeriksaan Nyonya R dapat kita ketahui bahwa Nyonya R
menderita Diabetes Melitus (DM). Tatalaksana yang tepat untuk Nyonya R adalah dengan
memberikan terapi kombinasi metformin dan sulfonilurea karena hasil pemeriksaan HbA1c
sebesar 7,5%.
Hal ini
sesuai dengan

algoritma tata laksana DM tipe 2 yang tercantum di dalam Pedoman Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2019 yang diterbitkan oleh PB Perkeni.
Berikut merupakan gambaran algoritma tersebut.

Dari algoritma tersebut dapat kita ketahui bahwa untuk pasien DM Tipe 2 dengan
HbA1c saat diperiksa ≥7,5% atau pasien yang sudah mendapatkan monoterapi dalam waktu 3
bulan namun tidak bisa mencapai target HbA1c <7%, maka diberikan terapi kombinasi 2
macam obat yang terdiri dari metformin ditambah dengan obat lain yang memiliki
mekanisme kerja yang berbeda. Bila terdapat intoleransi terhadap metformin, maka diberikan
obat lain seperti tabel lini pertama dan ditambah dengan obat lain yang mempunyai
mekanisme kerja yang berbeda.

Sumber: Soelistijo, SA, dkk. 2019, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia 2019, PB Perkeni, Jakarta.

5. Seorang anak perempuan berusia 7 tahun datang ke poliklinik anak bersama ibunya.
Ibu tersebut mengeluhkan anaknya yang sejak 3 bulan terakhir semakin kurus dan
berat badannya menurun padahal nafsu makannya baik. Anak tersebut juga sering
pipis dan mengompol di malam hari. Saat datang, anak nampak pucat dan lemas. Pada
pemeriksaan fisik anak tampak pucat dan lemas, tidak demam, frekuensi nafas:
43x/menit, nadi: 100x/menit. BB: 25kg. TB: 130cm. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan kadar Hb 11,7 g/dL, leukosit 7.900/mm3, dengan hitung jenis
0/3/0/45/45/2. LED: 7mm/jam. Keluhan lain disangkal. Dokter mendiagnosis anak
tersebut terkena Diabetes Melitus tipe 1. Apa tatalaksana mutlak untuk anak pada
kasus diatas?
a. Modifikasi gaya hidup dan makan makanan bergizi.
b. Pemberian kombinasi metformin & sulfoniluera.
c. Terapi insulin.
d. Pemberian obat anti hiperglikemia oral seperti penghambat DPP-IV (Dipeptydil
Peptidase-IV).
e. Melakukan terapi nutrisi medis.

JAWABAN : C
Insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup penderita DM tipe-1.
Terapi insulin pertama kali digunakan pada tahun 1922, berupa insulin regular,
diberikan sebelum makan dan ditambah sekali pada malam hari. Namun saat ini telah
dikembangkan beberapa jenis insulin yang memungkinkan pemberian insulin dalam
berbagai macam regimen.
Awitan, puncak kerja, dan lama kerja insulin merupakan faktor yang menentukan
dalam pengelolaan penderita DM. Respons klinis terhadap insulin tergantung pada
beberapa faktor diantaranya umur individu, tebal jaringan lemak, status pubertas,
dosis insulin, tempat injeksi, olahraga, kepekatan, jenis, dan campuran insulin, serta
suhu ruangan dan suhu tubuh. (UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI - World
Diabetes Foundation 2015).
Berdasarkan Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak dan
Remaja, IDAI 2017, komponen pengelolaan DMT1 meliputi pemberian insulin,
pengaturan makan, olah raga, edukasi, dan pemantauan mandiri.
- Pemberian insulin
• Tujuan terapi insulin adalah menjamin kadar insulin yang cukup di dalam
tubuh selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sebagai
insulin basal maupun insulin koreksi dengan kadar yang lebih tinggi
(bolus) akibat efek glikemik makanan.
• Regimen insulin sangat bersifat individual. Pemilihan regimen insulin
harus memperhatikan beberapa faktor yaitu: umur, lama menderita
diabetes melitus, gaya hidup penderita (pola makan, jadwal latihan,
sekolah dsb), target kontrol metabolik, dan kebiasaan individu maupun
keluarganya.
• Regimen apapun yang digunakan, insulin tidak boleh dihentikan pada
keadaan sakit. Dosis insulin disesuaikan dengan sakit penderita dan
sebaiknya dikonsulkan kepada dokter.
• Bagi anak-anak sangat dianjurkan paling tidak menggunakan 2 kali injeksi
insulin per hari (campuran insulin kerja cepat/ pendek dengan insulin
basal).
• Dosis insulin harian, tergantung pada: Umur, berat badan, status pubertas,
lama menderita, fase diabetes, asupan makanan, pola olahraga, aktifitas
harian, hasil monitoring glukosa darah dan HbA1c, serta ada tidaknya
komorbiditas. (IDAI, 2017)
6. Tuan M, berusia 35 tahun, dibawa oleh keluarganya ke RSUDZA dengan penurunan
kesadaran. Dia memiliki riwayat DM 15 Tahun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
TD 150/90 mmhg, nafas cepat dan dalam, suhu tubuh 37,2°C kulit dan bibir kering,
serta terdapat infeksi. Apakah diagnosis yang mungkin pada tuan M?
a. Stroke hemorrhagic
b. KAD
c. Hipoglikemi
d. Koma hepatikum
e. Asidosis metabolic

JAWABAN : B
Pembahasan :
KAD adalah suatu keadaan darurat akibat berkurangnya insulin absolut atau relatif yang
disertai dengan meningkatnya kadar hormon- hormon counter regulatory (katekolamin,
glukagon, kortisol dan hormon pertumbuhan). Adapun tanda- tanda dari KAD adalah
hiperglikemia dengan gula darah > 200mg/dl, PH < 7,3, bikarbonat < 15 mmol/l, disertai
dengan adanya ketonemia dan ketonuria. Penderita KAD membutuhkan rehidrasi yang
sesuai dan pemberian insulin drip untuk mengoreksi asidosis dan menghilangkan ketosis.
Keterlambatan atau kesalahan dalam penatalaksanaan pasien KAD bisa mengakibatkan
terjadinya edema serebri yang kalau tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan
terjadinya kematian.

Manifestasi klinis :
 Gejala klasik DM berupa poliuria, polidipsi, serta penurunan berat
 badan.
 Dehidrasi, dengan derajat yang bervariasi.
 Mual, muntah, nyeri perut, takikardi, hipotensi, turgor kulit menurun,
 dan syok.
 Perubahan kesadaran dengan derajat yang bervariasi, mulai dari
 bingung sampai koma.
 Pola napas Kussmaul.

(Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe 1, IDAI 2017)

7. Ny. A berusia 50 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan sering buang air kecil
yang mengganggu kesehariannya. Ia juga mengeluhkan sering merasa haus, cepat
lapar, dan merasa berat badannya turun akhir akhir ini. Pada saat pemeriksaan fisik
ditemukan berat badan Ny. A adalah 75kg dengan Tinggi badan 150cm dan Lingkar
Perut 93cm, selain itu ditemukan adanya luka pada extremitas bawah. Ny. A
mengeluhkan luka tersebut sudah lama dan tidak kering lukanya. Kemudian dokter
meminta Ny. A untuk melakukan pemeriksaan lainnya, didapatkan GDP : 160mg/dL,
HbA1c 7,3%. Dokter pun meminta Ny. A untuk mengubah pola hidup menjadi pola
hidup sehat dan rutin mengonsumsi obat yang telah ia resepkan. Apabila dalam 3
bulan kadar HbA1c nyonya A turun menjadi 7,2%, maka regimen terapi yang tepat 3
bulan kemudian ialah...
a. Modifikasi gaya hidup + Metformin
b. Modifikasi gaya hidup + Sulfonilurea
c. Modifikasi gaya hidup + Metformin + Sulfonilurea
d. Modifikasi gaya hidup + Metformin + Insulin
e. Berikan Terapi Insulin

JAWABAN: C
Berdasarkan skenario, Ny. A mengalami poliuri, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat
badan. Gejala tersebut merupakan gejala klasik dari Diabetes Melitus Tipe 2. Selain itu, pada
pemeriksaan HbA1c 7,3% dan GDP 160mg/dL yang memenuhi kriteria diagnosis DM Tipe
2. Regimen terapi yang tepat menurut Algoritma Tatalaksana DM Tipe 2 yang tepat apabila
telah diberikan Monoterapi, namun kadar HbA1c belum mencapai <7% maka regimen terapi
yang tepat adalah Kombinasi 2 obat yaitu Metformin + Sulfonilurea dan modifikasi gaya
hidup.
Sumber : Soelistijo, SA, dkk. 2019, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia 2019, PB Perkeni, Jakarta.

8. Seorang laki-laki (40 tahun) berobat ke poli penyakit dalam dengan diagnosa Diabetes
Tipe 2, dari hasil pengkajian didapatkan : GDS 270mg/dL, berat badan 75 kg, tinggi
badan 150 cm, kebiasaan berolahraga 2-3x seminggu, sering mengkonsumsi ikan laut
dan istrinya juga menderita DM sejak berusia 30 tahun. Manakah yang merupakan
faktor risiko bagi pasien di atas sehingga menderita Diabetes Tipe 2?
a. Obesitas
b. Gemar makan ikan laut
c. Tinggi badan
d. Kebiasaan berolahraga 2-3x seminggu
e. Riwayat keluarga : istri mengidap DM
JAWABAN : A
Pembahasan :
Beberapa faktor resiko diabetes melitus adalah :
- riwayat diabetes melitus pada anggota keluarga dekat;
- penderita hipertensi atau hiperlipidemia (kadar lemak dalam darah yang sangat tinggi);
- wanita yang memiliki riwayat diabetes melitus gestasional (jenis diabetes
melitus yang terjadi hanya selama kehamilan) atau melahirkan bayi yang
mengalami kelebihan berat badan (bobot 4 kg ke atas);
- obesitas (dengan IMT lebih dari 23);
berada di usia paruh baya (usia 45 tahun ke atas), dll.

Sumber : (Dr. dr. Eva Decroli, SpPD-KEMD FINASIM, 2019, Diabetes Melitus Tipe 2,
Padang : Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam)

9. Abdul, 56 tahun, datang ke klinik dengan keluhan kebas-kebas, sering buang air kecil
dan merasa selalu haus. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditemukan
tekanan darah 140/90, IMT 24 kg/m2 dan pasien memiliki riwayat keluarga diabetes
dan penyakit jantung. Dianjurkan memakan buah Pare oleh saudaranya untuk
mencegah terkena diabetes. Pemeriksaan lab, FGP: 290 mg/L, 2h-PG: 400 mg/L, dan
HbA1C: 9%. Bagaimana pathogenesis dari penyakit yang dimiliki oleh pak abdul?
a. Defisiensi Insulin akibat penyakit pada pankreas
b. Resistensi insulin akibat kelebihan berat badan
c. Defisiensi insulin akibat penggunaan obat
d. Resistensi insulin karena kelainan genetik
e. Defisiensi Insulin akibat kelainan genetik

JAWABAN : B
Pembahasan:
T2DM accounts for 90–95% of all diabetes
• Main pathogenesis: relative insulin deficiency and insulin resistance
(ADA,2020)
Resistensi Insulin, Secara besar disebabkan oleh obesitas dan ketidakaktifan dalam
berolahraga, keduanya merupakan pendahulu dan penyebab diabetes tipe 2. Resistensi insulin
biasanya dirujuk sebagai sindrom metabolic. Kondisi selanjutnya terdiri dari kelompok
faktor resiko, yang dipikirkan sebagai penyebab atau konsekuensi dari resistensi insulin.
Resistensi insulin bisa dijelaskan sebagai ketidakmampuan dari insulin untuk memproduksi
fungsi normal biologisnya dalam sirkulasi darah dengan konsentrasi yang efektif pada orang
normal. Resistensi insulin dalam konteks metabolisme glukosa mengarah ke
ketidakmampuan penekanan dari produksi glukosa endogen, dalam keadaan basal begitu juga
setelah makan,keadaan ini secara fisiologis akan meningkatkan insulin dalam respon
pemasukan glukosa yang berasal dari system pencernaan biasanya akan menutup produksi
glukosa oleh hepar, dan mengurangi penyerapan glukosa perifer..
Perubahan- perubahan ini menyebabkan hiperglikemi, sebagai kompensasinya tubuh
meningkatkan sekresi insulin. Resistensi dari kemampuan insulin untuk menekan produksi
very-low-density lipoprotein (VLDL) dari hati, menyebabkan peningkatan serum trigliserid
dalam darah yang sebagai gantinya mengarah ke penurunan partikel kolesterol high-density
lipoprotein (HDL) dan formasi aterogenik, kecil, padat, low-density lipoprotein (LDL).
Resistensi di jaringan lemak meningkatkan fluks dari non-esterified fatty acids (NEFA) baik
pada hati maupun otot skeletal,dan ketidakmampuan kerja dari insulin pada metabolisme
glukosa di jaringan ini. Resistensi terhadap kerja lain dari insulin, seperti vasodilator dan efek
agregasi antiplatelet, juga karakteristik resistensi insulin pada pasien dengan diabetes tipe 2.
(Oxford Textbook of Endocrinology and Diabetes (2 edn), 2011)

10. Seorang perempuan berusia 45 tahun datang ke praktek dokter umum, dengan keluhan
kencing bertambah sering dan banyak,terasa haus, yang berakibat sering minum dan
makan banyak serta kedua kaki kesemutan. Dari hasil pemeriksaan indeks masa tubuh
(IMT) 26 Kg/m2. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan gula darah puasa : 256
mg/dl, gula darah 2 jam setelah makan: 289 mg/dl . Apakah diagnosis yang tepat pada
pasien tersebut?
a. Diabetes Melitus Tipe 1
b. Diabetes Melitus Tipe 2
c. Diabetes Gestasional
d. Diabetes tipe lain
e. Diabetes insipidus

JAWABAN : B
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa
darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma
darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:


• Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain : lemahbadan, kesemutan, gatal, mata kabur,dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe-2


(DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik
DM yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2) yang
disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau mempunyai
riwayat diabetes mellitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.

2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.


Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya
diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1
tahun. Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, diperbolehkanuntuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya
perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti
pada tabel di bawah ini.

Sumber :Soelistijo,SA,dkk.2019. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia.Jakarta : PB Perkeni.

11. Ny.W berusia 28 tahun, sedang mengandung anak pertama dengan usia kehamilan
trimester dua. Datang ke RSUDZA dengan keluhan semasa kehamilan merasa haus
dan lapar berlebihan serta sering buang air kecil. Obesitas dan riwayat preeclampsia
disangkal namun memiliki riwayat keluarga obesitas. Kemudian dilakukan
pemeriksaan Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) didapati hasil GDP : 98 mg/dl,
gula darah post-prandial : 180 mg/dl. Berapa kali periksa kadar gula darah pada ibu
hamil? Dan apa first line terapi medis pada kasus tersebut?
a. 2 kali pemeriksaan dengan terapi meds sulfonilurea
b. 3 kali pemeriksaan dengan terapi medis insulin
c. 3 kali pemeriksaan dengan terapi medis metformin
d. 2 kali pemeriksaan dengan terapi medis insulin
e. 2 kali pemeriksaan dengan terapi medis metformin
JAWABAN : B
Sumber : American Diabetes Association. Diab Care.2016; 39:S1-106

Anda mungkin juga menyukai