Anda di halaman 1dari 17

TUGAS HUKUM ACARA

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

DISUSUN
OLEH KELOMPOK

NAMA KELOMPOK :
1. FERNANDO SARAGIH : 17600036
2. JESSICA YUNI : 17600047
3. MELIANI SIMANJUNTAK : 17600046
4. NOLA SIPAYUNG : 17600053
5. RAMOT HASIBUAN : 17600016

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

TAHUN AJARAN

2020 S/D 2021


BAB 3
TUGAS, WEWENANG DAN KOMPETENSI
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, dasar konstitusional pembentukan
Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah pasal 24 Undang-undang Dasar
1945. Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri ini mempunya
kedudukan yang sama dengan peradilan lainnya, yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Agama dan Peradilan Militer. Sesuai dengan pasal 145 UU No.
5 Tahun 1986 yang menyatakan bahwa undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan dan penerapanya diatur dengan peraturan
pemerintah selama 5 tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dari materi ini yaitu :
1. Apasajakah tugas dan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara ?
2. Apasajakah kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara ?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Tugas dan Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara


Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum public,
yang mempunyai tugas dan wewenang
“Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara , yaitu
suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan
hukum perdata (anggota masyarakat) dengan badan atau pejabat TUN
(pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu
keputusan TUN (Beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dimengerti bahwa yang
menjadi subjek di peradilan Tata Usaha Negara adalah seorang atau Badan
Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara
sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi objek diperadilan Tata Usaha
Negara adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking)
Ciri atau karakteristik hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sebagai
pembeda dengan peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata),
sebagai berikut :
a. Adanya tenggang waktu mengajukan gugatan (pasal 55)
b. Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam petitum gugatan
penggugat .
c. Adanya proses dismissal (rapat musyawarah) oleh ketua Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) (PASAL 62)
d. Dilakukannya pemeriksaan persiapan sebelum diperiksa dipersidangan
yang terbuka untuk umum (pasal 63)
e. Peranan hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk mencari kebenaran
materil (pasal 63,80,85,95 dan 103)
f. Kedudukan yang tidak seimbang antara penggugat dan tergugat, oleh
karenanya “kompensasi” perlu diberikan karena kedudukan penggugat
diasumsikan dalam posisi yang lemah dibandingkan dengan tergugat selaku
pemegang kekuasaann public
g. Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian bebas dan terbatas
h. Gugatan dipengadilan tidak mutlak menunda pelaksanaan keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat (pasal 67)
i. Putusan hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu melebihi apa
yang dituntut dalam gugatan penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya
reformatio in peius ( membawa penggugat pada keadaan yang lebih buruk)
sepanjang diatur dalam perundang-undangan.
j. Putusan hakim Tata Usaha Negara yang bersifat ergaomnes, artinya
putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa,
akan tetapi berlaku juga bagi pihak lain yang terakait
k. Berlakunya asas audie alteram partem, yaitu para pihak yang terlibat dalam
sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.

Selain itu perlu dijelaskan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya
menegakkan hukum publik, yakni Hukum Administrasi sebagaimana ditegakkan
dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara . pasal 47 menyebutkan
bahwa sengketa yang termasuk lingkup kewenangan peradilan Tata Usaha Negara
adalah sengketa Tata Usaha Negara. Hal ini ditegaskan lagi dalam rumusan
tentang keputusan Tata Usaha Negara (pasal 1 angka 3) yang mensyaratkan juga
tindakan hukum Tata Usaha Negara untuk adanya keputusan Tata Usaha Negara.

Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, Peradilan Tata Usaha Negara


adalah Peradilan dalam lingkup publik, yang mempunyai tugas dan wewenang :
“memeriksa memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yaitu suatu
sengketa yang timbul dalam bidang hukum tata usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan badan atau pejabat TUN
(pemerintah), baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu
keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku” (vide pasal 50 jo.
Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No.9 Tahun 2004)

Selanjutnya, dari pengertian ataupun definisi keputusan Tata Usaha Negara


tersebut diatas, dapat diambil unsur-unsur dari suatu keputusan Tata Usaha
Negara, yakni :
a. Bentuk Penetapan Tersebut Harus Tertulis

Penetapan tertulis itu harus dalam bentuk tertulis dengan demikian suatu
tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian keputusan
Tata Usaha Negara ini. Namun demikian, bentuk tertulis tidak selalu diisyaratkan
dalam bentuk formal dari suatu surat keputusan badan/pejabat TUN, karena
seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No 5 Tahun 1987,
bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk
formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo
atau nota pun dapat dikategorikan sebagai penetapan tertulis yang dpat digugat
(menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas :

1. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkannya


2. Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu
3. Kepada siapa tulisan itu diajukan dan apa yang ditetapkan didalamnya
jelas bersifat kkonkret,individual dan final
4. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

b. Dikeluarkan Oleh Badan atau Pejabat TUN


Unsur ini menentukan penetapan tertulis harus di keluarkan oleh Badan
Pejabat Tata Usaha Negara, menurut pasal 1 angka 2 UU No. 5Tahun 1986 (Pasal
1 angka 8 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 51 Tahun 2009), yang dimaksud
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan tersebut mempunyai
wewenang untuk melakukan urusan pemerintah. Wewenang tersebut yang ada
pada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat diperoleh dengan cara atribusi,
delegasi, atau mandat.
Penjelasan pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1986 (pasal 1 angka 8 UU No. 5
Tahun1986 Jo. UU No. 51 Tahun 2009) menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan urusan pemerintah adalah kegiatan yang bersifat eksekutif. Didalaam
kenyataan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu tidak hanya sekedar
melaksanakan peraturan perundang-undangan saja, karena tidak semua urusan
pemerintah tidak atau belum diatur oleh peraturan perundang-undangan yang
sesudah ada dan berlaku belum menampung semua urusan pemerintah.
c. Berisi Tindakan Hukum TUN
Suatu penetapan tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan badan atau
pejabat tata usaha Negara, dan keputusan demikian selalu merupakan suatu
tindakan hukum tata usaha Negara, dan suatu tindakan hukum tata usah Negara itu
adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau
menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada.
Pasal 1 angka 9 No. 5 Tahum 1986 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan tindakan hukum tata usaha Negara adalah
perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha Negara yang dapat menimbulkan
hak atau kewajiban pada orang lain.

1. Berdasarkan Peraturan Perundang-undang yang berlaku


Tindakan tata usaha hukum Negara adalah tindakan dari badan atau
pejabat tata usaha Negara yang dilakukan atas dasar peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan
pemerintahan terhadap seseorang atau badan hukum perdata.
Kata berdasarkan dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap
pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata
usaha Negara harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Perlu untuk di perhatikan bahwa tidak selalu tindakan hukum dari badan
atau pejabat tata usaha Negara mempunyai tindakan hukum tata usaha
Negara, tetapi hanya tindakan hukum dari badan atau pejabat tat usaha
Negara yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintah saja
yang merupakan tindakan hukum mengenai urusan pemerintahan saja yang
merupakan tindakan hukum tata usaha Negara.

2. Bersifat konkret, individual dan final


Keputusan tata usaha negara itu yang bersifat konkreat, individual, dan
final, dapat di jelaskan sebagai berikut :
a. Bersifat konkreat, artinya objek yang di putuskan dalam keputusan
tata usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu, atau
dapat ditentukan. Umpamanya keputusan mengenai pembongkaran
rumah si-A, ijin usaha bagi si-B, dan pemberhentian si-C sebagai
pegawai negeri sipil atau apratur sipil Negara (ASN).
b. Bersifat individual, artinya keputusan tata usaha Negara itu tidak di
tujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang di
tuju. Kalau yang di tuju itu lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama
orang yang terkena keputusan tersenut, umpamanya tentang keputusan
pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampirannya yang menye-
butkan nama-nama yang terkena keputusan tesebut.
c. Bersifat final, artinya sudah defenitif dan karnanya dapat
menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masi memerlukan
persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final,
karnanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada
pihak yang bersangkuatan,umpamanya keputusan pengangkatan
seorang ASN masih memerlukan persetujuan dari badan kepegaiawian
Negara.

Walaupun ketentuan pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 adalah


mencabut ketentuan pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, namun rumusannya
masih sama. Disamping itu, pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tidak
memiliki penjelasan dan juga tidaak mencabut penjelasan dan juga tidak
mencabut penjelasan pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986 sehingga penjelasan
pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986 masih tetap berlaku dan dapat diberlakukan
untuk memberikan penjelasan terhadap ketentua pasal 1 angka 9 UU No.51 Tahun
2009. Dalam pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986 disebutkan bahwa suatu
penetapan tertulis adalah terutama menunjuk kepada isi bukan bentuk (form).
Persyaratan adalah semata untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karenanya
sebuah atau nota itu dapat memenuhi syarat tertulis, yang penting apabila sudah
jelas :

a. Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;


b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu ;
c. Kepada siapa tulisan itu diajukan dan apa yang ditetapkan didalamnya
3. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Yang dimaksud dengan “menimbulkan akibat hukum” adalah menimbulkan
akibat hukum Tata Usaha Negara, karena penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum tersebut
adalah berisi tindakan hukum tata usaha Negara.
Akibat hukum Tata Usaha Negara tersebut dapat berupa :
 Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada
(declaratior)
 Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru
(constitutief)
Disamping pengertian tentang keputusan Tata Usaha Negara dalam pasal 1
angka 3 tersebut diatas, dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara juga
diatur ketentuan tentang pengertian yang lain dari keputusan Tata Usaha Negara,
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 3, sebagai berikut :
 Apabila badan atau pejabat tata usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan,
sdangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
keputusan tata usaha Negara
 Jika suatu badan atau pejabat tata usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan
yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan dimaksudkan lewat, maka badan atau pejabat
tata usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan
yang dimaksud
 Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu sebagaimana dalam ayat (2), maka setelah lewat
jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, badan atau pejabat
tata usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan
penolakan
Uraian dari ayat (1) pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap
badan atau pejabat tata usaha Negara wajib melayani setiap permohonan warga
masyarakat yang diterimanya, yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan
kewajibannya dari badan atau pejabat tata usaha Negara tersebut.
Dalam praktiknya, alasan “dalam keadaan mendesak untuk kepentingan
umum” bisa menimbulkan permasalahan , karena sampai sekarang sulit
menentukan batasan dan ukuran ukuran yang objektif tentang “kepentingan
umum”, biasanya pengertian “kepentingan umum” itu selalu dilihat dari sudut
pandang penguasa, sehingga sering merugikan kepentingan rakyat banyak.
B. KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Kompetensi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah kewenangan
(kekuasaaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Kompetensi dari suatu
peradilan adalah memeriksa,mengadili dan memutus suatu perkara dengan jenis
dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.berdasarkan jenis lingkungan pengadilan dibedakan atas pengadilan
umum, pengadilan militer, pengadilan agama, pengadilan Tata Usaha Negara
(pengadilan administrasi). Sedangkan berdasarkan tingkatannya pengadilan terdiri
atas pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi (pengadilan tingkat banding),
mahkamah agung (pengadilan tingkat kasasi)
Kedudukan jenis dan tingkatan dari pengadilan tersebut adalah pengadilan
Tingkat Pertama berkedudukan disetiap kab/kotamadya, pengadilan Tinggi
berkedudukan disetiap provinsi, dan Mahkamah Agung berkedudukan di ibu kota
Negara. Namun pembentukan PTUN dan PTTUN ini dilakukan secara bertahap,
karena memerlukan perencanaan dan persipaan yang sebaik-baiknya, baik yang
menyangkut masalah teknis maupun non teknis. Dan pertama kalinya dibentuklah
peradilan Tata Usaha Negara di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan ujung
pandang berdasarkan Keppres 52/1990 dan pembentukan PTTUN Jakarta, Medan
dan ujung Pandang berdasarkan Keppres 10/1990.
Dilihat dari pokok sengketanya, apabila sengketanya terletak dalam lapangan
hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa. Apabila
pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum public, maka sudah tentu yang
berkomptensi adalah administrasi Negara yang berkuasa (hakim PTUN)
Pembagian kompetensi ataas atribusi dan delegasi dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Atribusi (absolute competentie atau attributie van t=rechmacht) yang
berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut)
mengenai materinya, yang dapat dibedakan:
a. Secara horizontal, yaitu wewnang yang bersifat bulat dan melekat
dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang
mempunyai kedudukan sederajat/setingkat. Contoh : Pengadilan
Administrasi terhadap Pengadilan Negeri (Umum), Pengadilan
Agama dan Pengadilan Militer.
b. Secara vertical, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat
dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang
secara berjenjang atau hirarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi.
Contoh : Pengadilan Negeri (Umum) terhadap Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung.
2. Distribusi (relatieve competetentie atau distributie van rechtsmacht) yang
berkaitan dengan pembagian wewenang, yang bersifat terinci (relatif)
diantara badan-badan yang sejenis mengenai wilayah hukum. Contoh :
antara Pengadilan Negeri Bandung dengan Pengadilan Negeri antara lain di
Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.

Kompetensi dari peradilan umum adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan


perkara pidana yang dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali
suatu peraturan perundang-undangan menentukan lain (Pasal 50 UU No. 5 Tahun
1986).

Kompetensi absolut dari peradilan agama adalah memeriksa, mengadili, dan


memutuskan perkara-perkara orang yang beragama Islam dalam bidang
perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wqaf, dan shadaqah (Pasal 49 UU No. 7
Tahun 1986).

Kompetensi absolut dari peradilan militer adalah memeriksa, mengadili, dan


memutuskan perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer (baik
dari angkatan darat, laut, dan udara)

Kompetensi absolut dari peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk memeriksa,
mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan dengan badan atau
pejabat Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha
Negara, termasuk sengketa kepegawaian (Pasal 1 angka 4 No. 5 Tahun 1985) dan
tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seseorang sampai batas
waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan hal
itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan (Pasal 3 No. 5 Tahun 1985).

Yahya harahap membagi kewenangan absolut, sebagai berikut :

a. Didasarkan pada lingkungan kewenangan.


b. Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu atau
diversity jurisdiction.
c. Kewenangan tertentu tersebut, menciptakan kewenangan absolut atau
yuridiksi absolut masing-masing lingkungan sesuai dengan subject matter
of jurisdiction.
d. Oleh karena itu, masing-masing lingkungan hanya berwenang mengadili
sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadaya.

Maka tugas pokok pengadilan adalah menyelenggarakan kekuasaan kehakiman,


memeriksa/mengadili dan meyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya,
dimana masing-masing badan peradilan mempunyai kompetensi absolutnya.

Kompetensi relative adalah kewenangan dari pengadilan sejenis yang sama yang
mana berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang
bersangkutan. Dalam kaitannya dengan peradilan Tata Usaha Negara, maka
kompetensi relatifnya adalah menyangkut kewenangan pengadilan Tata Usaha
Negara yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara tersebut. Apakah PTUN Ujung Padang, Surabaya,
Semarang, Bandung, Jakarta, Palembang atau Medan dan sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pasal 54 undang-undang No. 5 Tahun


1986, menyebutkan gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan
(domisili) tergugat. Apabila tergugatnya lebih dari satu, maka gugatan dapat
diajukan kepada PTUN dari tempat kedudukan salah satu tergugat. Gugatan dapat
uga diajukan melalui PTUN tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan
kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) dari tergugat.

Pengadilan harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan


memutuskan perkara tersebut apabila bukan menjadi kompetensinya baik secara
absolut maupun secara relatiif. Kesalahan dalam mengajukan gugatan akan sangat
merugikan penggugat tidak hanya dari segi waktu dan biaya, tetapi yang jauh
lebih penting adalah dapat berakibat gugatan menjadi daluwarsa. Sebagaimana
diketahui tentang waktu mengajukan gugatan berdasarkan pasal 55 UU No. 5
Tahun 1986 hanya dalam tenggang waktu 90 (Sembilan puluh) dari sejak saat
diterimannya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat Tata Usaha
Negara.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah atribusi dari sjachran basah itu
sama dengan kompetensi absolut dan untuk istilah delegasi adalah sama dengan
kompetensi relatife.

Berkaitan dengan kompetensi PTUN tersebut di atas, dalam Pasal 77 UU No. 5


Tahun 1986 disebutkan :

1) Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap


waktu selama pemeriksaaan, dan meski pun tidak ada eksepsi tentang
kewenangan absolut pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia
karena jabatannya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang
mengadili sengketa yang bersangkutan.
2) Eksepsi tentang kewenangan relative pengadilan diajukan sebelum
disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus
diputuskan sebelum pokok sengketa diperiksa.
3) Eksepsi lainnya tidak mengenai kewenangan pengadilan hanya dapat
diputus bersama dengan pokok sengketa.

Adanya beberapa keputusan yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan


Tata Usaha Negara yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara,
yaitu :

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan Hukum Perdata;


b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan bersifat
umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-
undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Negara Angkatan
bersenjata Republik Indonesia.
g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai
hasil pemilu.
BAB 4

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

A. KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM SENGKETA TATA USAHA


NEGARA

Telah dipaparkan sebelumnya bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU No 5


Tahun 1986 para pihak dalam sengketa tata usaha negara adalah orang (individu)
atau badan hukum perdata dan badan atau pejabat tata usaha negara.

Dari ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No 5 tahun 1986 juga dapat diketahui bahwa
kedudukan para pihak dalam sengketa tata usaha negara adalah orang (individu)
atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat tata
usaha negara sebagai pihak tergugat. Hal ini sebagai konsekuensi logis bahwa
pangkal sengketa tata usaha negara adalah akibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara (KTUN). Oleh karenanya tidak mungkin badan atau pejabat tata
usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara sebagai pihak
penggugat. Dengan demikian dalam sengketa tata usaha negara tidak mungkin
terjadi rekonvensi (gugat balik). Apabila terjadi rekonvensi maka kedudukan para
pihak dalam sengketa menjadi berubah, penggugat awal menjadi pihak tergugat
sedangkan tergugat awal menjadi pihak penggugat.

Pengugat adalah orang atau badan hukum perdata yang dirugikan akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara pada dasarnya dapat digolongkan
dalam tiga kelompok:
1. Kelompok pertama adalah orang-orang atau badan hukum perdata sebagai
alamat yang dituju oleh suatu KTUN.
2. Kelompok kedua adalah orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat
disebut sebagai pihak ketiga yang berkepentingan.
3. Kelompok ketiga adalah badan atau jabatan TUN yang lalu, namun UU
PTUN tidak memberi hak kepada badan atau jabatan TUN yang mengugat

B. PARA PIHAK
Sama seperti pada persidangan di lingkup persidangan umum, para pihak pada
pemeriksaan di sidang pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha negara
disebut penggugat dan tergugat.

1. Penggugat
Dalam UU No 5 Tahun 1986 tidak ada ketentuan yang menyebutkan siapa
yang dimaksud dengan penggugat tersebut. Tetapi dari ketentuan Pasal 53
ayat (1) UU No 5 Tahun 1986 dapat diketahui apa yang dimaksud dengan
penggugat.
Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa dalam sengketa tata usaha
negara yang dapat bertindak sebagai penggugat adalah:
a. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusann tata
usaha negara
b. Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
keputusan tata usaha negara.

Berdasarkan hal ini sudah jelas diperoleh suatu kesimpulan bahwa tidak
mungkin badan atau pejabat negara bertindak sebagai penggugat sebab badan
atau pejabat negara tersebutlah yang mengeluarkan suatu keputusan yang
dianggap telah mendatangkan suatu kerugian bagi kepentingan pihak lain.

2. Tergugat
Lain halnya dengan kedudukan tergugat. Yang dimaksud dengan tergugat
dapat ditemukan pada pasal 1 angka 6 UU No 5 tahun 1986 (Pasal 1 angka
12 UU No 9 tahun 1986 jo UU No 51 Tahun 2009 yang menyebutkan:
tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
“wewenang” sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 6 UU No 5 Tahun
1986 (Pasal 1 angka 12 UU No. 9 Tahun 1986 jo UU No 51 tahun 2009)
adalah wewenang berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku jadi
wewenang dalam pengertian hukum publik.

3. Hak dan kewajiban penggugat dan tergugat


Hal apa saja yang menjadi hak penggugat dan pada tergugat sebagai berikut:
Pihak penggugat memiliki hak:
a. Mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan tata usaha negara
terhadap suatu keputusan tata usaha negara
b. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa
c. Mengajukan kepada ketua pengadilan untuk bersengketa dapat Cuma-
Cuma
d. Mendapat panggilan secara sah
e. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan sedang berjalan
sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
f. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan
replik disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan tergugat
g. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban
h. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang
bersangkutan di kepaniteraan
i. Membuat dan menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat
pemeriksaan
j. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada
pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan
k. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada pengdilan supaya
pemeriksaan sengketa dipercepat
l. Mencantumkan dalam gugatannya dalam permohonan ganti rugii
m. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi
n. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada
pengadilan tinggi TUN dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan
pengadilan TUN diberikannya secara sah.
o. Menyerahkan memori banding serta surat keterangan bukti kepada
panitera pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori
banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara panitera
pengadilan.
p. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada
mahkmah agung atas suatu putusan tingkat terakhir pengadilan
q. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada
mahkamah agung atas suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.

Pihak tergugat memiliki hak:

a. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa


b. Mendapat panggilan secara sah
c. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan
duplik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan
kepentingan penggugat
d. Apabila tergugat sudah memberi jawaban atas gugatan pencabutan
gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hanya apabila
disetujui tergugat
e. Mempelajari berkas perkara dan surat resmi lainnya yang bersangkutan
f. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat
pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan
g. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan
segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.
h. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada
pengadilan tinggi TUN dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan
pengadilan TUN diberitahukan secara sah.
i. Menyerahkan memori banding serta surat keterangan bukti kepada
panitera pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori
banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara panitera
pengadilan.
j. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada
mahkamah agung atas suatu putusan tingkat terakhir di pengadilan
k. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada
mahkamah agung atas suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.

C. PENYELESAIAN MELALUI UPAYA ADMINISTASI


Dalam penjelasan pasal 48 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 adalah upaya
penyelesaian melalui jalur administrasi yaitu suatu prosedur yang dapat ditempuh
oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu
keputusan tata usaha negara.

Ketentuan tentang adanya upaya administratif tersebut merupakan dan


dimaksudkan sebagai kontrol atau pengawasam yang bersifat intern dan represif
di lingkungan tata usaha negara terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh
pejabat tata usaha negara.

Anda mungkin juga menyukai