Anda di halaman 1dari 19

Translator: Karen Winardi

Reviewer: Ade Indarta

Kalian pernah bekerja dengan orang yang

tidak sehebat menurut mereka?

(tertawa)

Aku tahu ini mengejutkan,

tapi secara statistik,

orang-orang seperti itu kebanyakan

pria, bukan wanita.

(tertawa)

Itu benar.

Pria biasanya lebih mudah tertipu

soal bakat mereka daripada wanita.

Mereka juga lebih memungkinkan

sukses dalam karier mereka.

Karena salah satu cara terbaik


untuk menipu orang agar berpikir

kamu lebih kompeten daripada sebenarnya

adalah membodohi dirimu sendiri dulu.

(tertawa)

Ini sebabnya kalian pernah

dengan orang yang sebenarnya

tidak hanya lebih payah, tapi juga

merugikan diri mereka sendiri.

Sayangnya, tidak menyadari kekuranganmu

malah meningkatkan kemungkinan kamu

akan menjadi seorang bos.

(tertawa)

Saya seorang psikolog organisasi.

Saya menggunakan teknologi untuk meneliti

perilaku manusia dalam lingkungan kerja.


Satu hal menarik untuk saya adalah

hubungan antara jenis kelamin,

kepribadian, dan cara memimpin;

lebih tepatnya, bagaimana

jenis kelamin dan kepribadian

mempengaruhi pilihan pemimpin kita

dan bagaimana pemimpin-pemimpin itu lalu

berdampak pada organisasi.

Pembahasan tentang gender

cenderung berfokus

kepada kurangnya representasi wanita

dalam posisi kepemimpinan,

yang kurang lebih universal.

Di belahan dunia mana pun -

mungkin selain Islandia -


kebanyakan pemimpin terdiri dari pria.

Tapi masalah lebih besar justru terletak

pada kurangnya kompetensi mereka.

Memang,

dalam ranah bisnis atau politik,

kebanyakan pemimpin merugikan

pengikut dan bawahan mereka,

menyebabkan minimnya keterlibatan,

kepercayaan, dan produktivitas,

juga tingginya kadar kelelahan dan stres.

Coba Google saja "bos saya"

untuk lihat apa yang dipikirkan banyak

orang tentang manajer mereka -

(tertawa)

dan mungkin saja, supaya kalian


merasa manajer kalian sedikit lebih baik:

(tertawa)

"gila," "kasar," "bikin muak," "beracun,"

dan masih banyak lagi yang terlalu lancang

untuk disebutkan di sini.

Jadi, yang harus kita tanyakan

bukan mengapa pemimpin

wanita masih sedikit,

tapi mengapa banyak pria tidak kompeten

malah menjadi pemimpin.

Riset saya menemukan 3 alasan utama

dari fenomena ini.

1. Ketidakmampuan kita membedakan

kepercayaan diri dengan kompetensi.

Di seluruh dunia,
kita berasumsi orang yang percaya diri

lebih berpotensi jadi pemimpin,

tapi dalam semua ranah bakat,

termasuk kepemimpinan,

hanya ada sedikit kesamaan

antara kepercayaan diri -

pandangan seberapa cakap seseorang

dalam suatu hal -

dan kompetensi - bagaimana kemampuan

mereka yang sebenarnya.

Saya besar di Argentina

yang jarak antara kepercayaan diri dan

kemampuan sebenarnya sangat kentara.

(tertawa)

Justru salah satu investasi terbaik

yang bisa kalian lakukan


membeli orang Argentina

berdasarkan nilainya

dan menjualnya berdasarkan

pandangannya sendiri.

(tertawa)

Sesuai bayangan kalian, saya tidak

bisa melawak begini di Argentina.

(tertawa)

Kami tidak cukup sadar diri

untuk menganggap itu lucu.

(tertawa)

Namun, sayangnya,

kebanyakan pemimpin memiliki

watak orang Argentina,

maksudnya, pandangan mereka akan bakat

sendiri melebihi bakat asli mereka.


2. Kecintaan kita terhadap

orang-orang berkarisma,

tepatnya sejak tahun 60-an saat

masa kejayaan media massa -

tapi sejak era digital sekarang,

hal itu semakin menjadi-jadi.

Kita seperti ingin pemimpin yang

menawan dan menghibur,

tapi ada perbedaan jauh

antara pemimpin yang efektif dan

seorang pelawak.

(tertawa)

Sebenarnya, pemimpin terbaik kelihatan

sederhana ketimbang berkarisma.

sampai-sampai dirasa membosankan.


Inilah mengapa mereka jarang menjadi

bintang utama media atau film box office.

Contohnya, bayangkan saja film tentang

Angela Merkel.

(tertawa)

Dia bangun tidur,

sarapan dengan suaminya,

pergi meeting dengan persiapan,

membiarkan orang lain bicara

tanpa menyela mereka,

(tertawa)

membuat keputusan rasional,

memimpin negaranya dengan baik,

tidak ada skandal tentang dirinya.


Sebaliknya, ada banyak film biografis

yang bagus

menggambarkan pemimpin berkarisma

dengan sisi gelap menarik,

yang pada akhirnya menghancurkan

negara serta organisasi mereka.

Alasan ketiga dan terakhir dari

banyaknya pria tidak kompeten ini

adalah ketidakmampuan kita menahan diri

dari godaan orang-orang narsistik,

orang-orang dengan pandangan spektakuler

akan diri mereka sendiri

yang mengetuk narsisme diri kita sendiri.

Kita selalu mengagumi orang terkenal,

tapi kekaguman kita terhadap orang yang

mengagumi diri mereka sendiri


atau terkenal akan

ketenaran mereka semata,

terus meningkat selama 10 tahun.

Kalau begini terus, generasi berikutnya

akan melihat Kim dan Kanye lalu bilang,

"Wah! Mereka kelihatan sederhana, ya?"

(tertawa)

Ingat Paris Hilton?

Nah; sekarang dia jarang diberitakan.

Selain itu, kebanyakan nasihat populer

yang membantu orang-orang untuk

menjadi pemimpin

menumbuhkan dan menyuburkan

pemikiran narsistik:

"Cintai dirimu sendiri,


apa pun yang terjadi!"

"Cuekin omongan orang lain

tentang kamu."

Kalau kamu pikir kamu hebat,

kamu memang hebat!"

Masalahnya, pemikiran ini

menciptakan banyaknya pemimpin

yang tidak sadar akan kekurangan mereka

dan terlalu puas dengan diri sendiri.

Kepemimpinan dipandang sebagai hak;

mereka kurang berempati dan mawas diri,

jadi mereka bertindak tanpa moral dan

sembrono dalam mengambil risiko.

Sebaliknya, pemimpin terbaik bisa menahan

kadar narsisme mereka.

Mereka sangat peduli akan orang lain,

termasuk pendapat mereka,


dan sering mengkhawatirkan

reputasi mereka di hadapan orang lain,

itu sebabnya mereka jarang

memiliki skandal.

Jadi, bagaimana kita menjauhkan pria-pria

tidak kompeten dari posisi kepemimpinan?

Solusi pertama adalah mengikuti tanda

dan mencari watak yang menjadikan

orang pemimpin yang lebih baik,

terutama jika watak orang itu biasanya

tidak menandakan kualitas kepemimpinan.

Ada kejanggalan abnormal

antara watak kepemimpinan

yang menawan kita

dan yang sungguhan dibutuhkan

untuk kepemimpinan efektif.


Jika kita ingin meningkatkan performa

pemimpin kita,

kita harus mulai fokus terhadap

sifat yang benar.

Ketimbang menyukai orang yang pede,

narsis, dan berkarisma,

kita harus menunjuk seorang pemimpin

karena mereka kompeten, rendah hati,

dan bermoral.

Omong-omong, ini -

(tepuk tangan)

ini juga berujung pada

tingginya porsi pemimpin wanita

daripada pria -

(tepuk tangan) (sorakan)


karena banyak riset ilmiah berskala

besar menunjukkan skor wanita dalam

kerendahan hati, dan kejujuran lebih

tinggi daripada pria.

Tapi, intinya,

hasilnya bertujuan agar kita meningkatkan

kualitas pemimpin kita secara signifikan.

Solusi kedua adalah

mempertanyakan insting kita.

Kebanyakan dari kita suka

menggunakan intuisi,

tapi intuisi kebanyakan orang tidak

setajam yang mereka kira.

Dengan begitu, intuisi itu agak

mirip dengan selera humor.

90% orang berpikir mereka memiliki


selera humor yang fantastis.

Tapi berapa orang yang benar-benar lucu?

10%?

Satu hal, jangan terlalu berfokus pada

kesan yang diciptakan orang saat

wawancara kerja atau media,

yang sebenarnya mengundang kita untuk

berprasangka dan berpihak.

Perlu diingat bahwa meski kita

beritikad baik,

tidak mudah untuk mengatasi prasangka ini.

Contoh, latihan prasangka alam bawah sadar

akan jarang membantumu mengabaikan

pemikiran bahwa wanita di hadapanmu

itu berkulit putih atau cantik.


Justru semakin kalian mencoba menahan

pemikiran tertentu dalam kepala kalian,

pemikiran itu malah bertambah

kuat dan kentara.

Jadi, yang tidak boleh kita lakukan,

kalau kita ingin meningkatkan kualitas

pemimpin kita

dan membantu lebih banyak wanita

agar bisa menjadi pemimpin,

adalah merendahkan standar kita

saat memilih pemimpin wanita,

tapi malah berharap terlalu tinggi

saat memilih pemimpin pria.

Ini bukan berarti kita bisa meminta wanita

bersikap seperti pria tidak kompeten.

Contohnya -
Sebagai contoh -

(sorak sorai) (tepuk tangan)

meminta mereka ikut berdiskusi

bahkan kemampuan mereka tidak mendukung,

atau menghabiskan lebih banyak waktu untuk

meloloskan tujuan pribadi mereka.

Bukan berarti kita juga

bisa mengeliminasi pria

hanya karena mereka tidak memiliki

sifat maskulin pada umumnya

yang pas dengan stereotipe cacat

kita akan pemimpin yang ideal.

Kalau kita bisa melakukan ini, kita

akan memiliki pemimpin yang lebih baik,

tapi kemajuan dimulai dari masing-masing

diri kita sendiri.


Kalau kita mau meningkatkan kadar

kompetensi pemimpin kita,

kita harus meningkakan kemampuan

kita dalam memilih

dan menilai pemimpin terlebih dahulu,

terutama jika pemimpin itu seorang pria.

Terima kasih.

(sorak sorai) (tepuk tangan)

Anda mungkin juga menyukai