Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) atau chronic obstructive


puimonary disease (COPD) adalah penyakit paru kronis yang ditandai oleh
terjadinya obstruksi atau hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel atau reversible parsial. PPOK meliputi bronchitis kronik
dan emfisema atau gabungan keduanya. Brokitis kronik yaitu suatu kelainan
saluran pernapasan yang digejalai oleh batuk berdahak yang kronik selama
minimal 3 bulan selama setahun, minimal 2 tahun berturut-turut dan gejala
tersebut bukan disebabkan oleh penyakit lain. Sedangkan emfisema adalah
keadaan anatomis paru yang mengalami kelainan ditandai dengan pelebaran jalan
udara bagian distat dari bronkiolus terminal dan disertai dengan perusakan pada
dinding alveoli (perhimpunan dokter paru Indonesia,2011)

PPOK akut dengan eksaserbasi menurut definisi GOLD yaitu suatu


keadaan penyakit yang ditandai dengan perubahan pada kondisi pasien, yaitu yang
terjadi dipsnea, batuk, dan atau sputum yang melebihi normal dari hari ke hari,
yang mana dapat terjadi serangan akut, dan memingkinkan perubahan medikasi
pada pasien tergantung pada keadaan yang mendasarinya (wedzicha, 2009)

B. ETIOLOGI

Kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama kasus PPOK. Yaitu


sekotar 90% kasus PPOK disebabkan oleh kebiasaan merokok. Asap rokok hasil
dari pembakaran tembakau dapat mengiritasi bronkiolus, dan memicu perubahan
permanen pada kelenjar yang memproduksi mucus sehingga dapat merusak
dinding alveolar. Serta akan memperparah kondisi emfisema pada pasien yang
rentan, selain disebabkan kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama.
Faktor genetik dan faktor lingkungan juga berpengaruh dalam memicu timbulnya
kondisi PPOK. Salah satu faktor genetik sebagai faktor resiko PPOK yaitu
kekurangan -1 antritipsin, yaitu suatu pelindung system antipropease pada paru
(Barnett, 2006). -1 antripsin dapat memproteksi sel paru dari dekstruksi oleh
elastase yang diprodusi oleh neutrophil karena adanya fogositosis maupun
kematian sel (baoudot & Williams, 2005). Keadaan ini jarang terjadi, yaitu 1 :
4000 dalam suatu populasi (Barnett, 2006).

Populasi udara terbukti memiliki peran yang dapat memicu PPOK


meskipun resikonya lebih kecil bila dibandingkan dengan merokok (Bourke,
2003). Polusi udara mangandung material berat seperti korban dan sulfur dioksida
yang merupakan hasil pembakaran batu bara dan bahan bakar fosil petroleum.
Material-material tersebut memiliki peran penting dalam meningkatnya resiko
PPOK. Faktor lingkungan lain yang dapat menyebabkan PPOK diantaranya faktor
pekerjaan. Orang-orang yang bekerja di industri logam atau tekstil memiliki
resiko besar terjangkit PPOK karena sering terpapar oleh bahan-bahan seperti batu
bara, silica, kapas, dan logam berat yang dapat masuk ke dalam saluran respirasi
dan dapat menyebabkan kerusakan apabila terpapar dalam jumlah banyak dan
dalam waktu yang lama (Barnett, 2006).

C. PATOFISIOLOGI

Perubahan patologi pada PPOK terjadi pada saluran napas besar maupun
kecil. Parenkim paru, dan vaskularisasi paru. Eksudat hasil infiamasi seringkali
merupakan penyebab dari meningkatnya jumlah dan ukuran sel goblet juga
kelenjar mucus silia. Selain itu, terjadi penebalan sel-sel otot polos dan jaringan
penghubung (connective tissue) pada saluran napas. Inflamasi terjadi pada saluran
napas sentral maupun periferal. Apabila terjadi inflamasi kronik maka akan
menghasilkan kerusahan berulang yang akan menyebarkan luka dan terbentuknya
fibrosis paru. Penurunan volume ekspirasi paksa (FEV.) merupakan respon
terhadap inflamasi yang terjadi pada saluran napas sebagai hasil dari abnormalitas
perpindahan gas ke dalam darahn dikarenakan terjadi kerusakan sel parenkim
paru. Kerusakan sel-sel parenkim paru mengakibatkan perganggunya proses
pertukaran gas didalam paru-paru, yaitu pada alveoli dan pembuluh kapiler paru-
paru. Penyebab kerusakan tersebut tergantung pada etiologi, penyakit dimana
yang paling umum karena asap rokok yang mengakibatkan sentrilobular yang
mempengaruhi terutama pada bagian bronkiolus (Wiliams & Bourdet, 2019).
D. KOMPILIKASI

a. Gangguan keseimbangan asam-basa

Pasien PPOK dalam mengalami asidosi respiratori yang disebabkan karena


keadaan hipoventilasi dan peningkatan PaCO2. Hal ini berhubungan dengan
kegagalan ventilasi atau gangguan pada pengontrolan ventilasi, tubuh dapat
mengkompensasi keadaan tersebut yaitu dengan mengkatkan konsentrasi
bikarbonat dengan menurunkan sekresi oleh ginjal.

b. Polisitemia

keadaan pasien dengan level oksigen disirkulasi rendah atau hipoksemia kronik
dapat meningkatkan jumlah sel darah merah. Hal tersebut sebagai kompensasi
tubuh terhadap kondisi hipoksia dan bertujuan untuk lebih banyak hemoglobin
untuk membawa oksigen yang terdapat di sirkulasi. Namun, kekurangan dari
mekanisme ini yaitu terjadi peningkatan viskositas darah. Viskositas darah
yang meningkat juga meningkatkan resiko terjadinya trombosis pada vena
dalam. Emboli pada paru maupun vascular yang akan mengakibatkan
konsistensi darah yang lebih kental dari normal yang akan mempersulit proses
pemompaan darah kedalam jaringan tubuh dan akan mengurangi pengaturan
oksigen yang mengakibatkan terjadinya sesak.

c. Cor pulmonale

Cor pulmonale atau disebut juga gagal jantung bagian kanan merupakan
keadaan yang diakibatkan oleh meningkatnya ketegangan dan tekanan
ventrikel bagian kanan (hipertrofi ventrikel kanan). Peningkatan resistensi
vascular paru dikarenakan hipoksia yang diinduksi oleh vasokonstriksi pada
pembuluh kapiler paru membuat tegangan yang lebih berat pada ventrikel
kanan. Selanjutnya, dalam waktu singkat hal tersebut dapat menyebabkan
hipertofi dan kegagalan fungsi ventrikal kanan. Hal ini akan menimbulkan
keadaan edema periferal yang berkembang menjadi gagal jantung kanan,
dimana cairan dari kapiler akan menembus ke dalam jaringan dan menyerang
jaringan.
d. Pneumothorax

Pneumothorax dapat terjadi secara spontan pada pasien dengan emfisema. Pada
kondisi emfisema, kerusakan rongga udara pada alveoli disebut bullae. Bullae
tersebut dapat rupture dengan mudah yang menyebabkan udara didalam alveoli
akan keluar menuju ke rongga pleura dan menyebabkan syok paru-paru. Gejala
dari pneumothorax yaitu peningkatan nyeri dada pleuritik yang tiba-tiba serta
peningkatan sesak. Keadaan ini dapat diidentifikasi dengan melakukan
pemerikasaan X-ray rongga dada. Manajemen terapi pneumothorax ditentukan
berdasarkan ukuran pneumothorax. Pneumothorax kecil tanpa gejala akan
sembuh dengan sendirinya, pneumothorax median dan berat memerlukan
tindakan khusus dari ahli medis.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Sinar X dada

Dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma. Peningkatan


area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema).
Peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis). Hasil normal selama periode
remisi (asma).

b. EKG

Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial


(bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis,
emfisema), aksis ventikal QRS (emfisema).

c. Pemeriksaan fungsi paru

dilakukan untuk menentukan penyebab dipsnea menetukan abnormalitas fungsi


tersebut apakah akibat abstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi. Misal : bronchodilator.

d. Darah komplit

peningkatan haemoglobin (emfisema berat). Peningkatan (eosinofil lastma).


e. Spuntum kultur

untuk menetukan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen pemerikasaan


sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau alergi.

F. PENATALAKSANAAN

a. Berhenti merokok (harus menjadi prioritas)

b. Bronkodilator

Bermanfaat pada 20-40% kasus. Pada kasus berat bisa diberikan dosis tinggi
menggunakan nebulizer pada penyakit sedang. Pemberian kortikosteroid oral
percobaan selama 2 minggu harus dipertimbangkan untuk menentukan
reversibilitas obstruksi saluran pernapasan (dari rangkaian pemerikasaan aliran
puncak atau spirometri).

c. Terapi oksigen

Pemberian jangka panjang selama > 16 jam memperpanjang usia pasien


dengan gagal-napas kronis (yaitu pasien dengan PaO2 sebesar 6,3 kPa dan
FEV, sebesar 1,5 L).

d. Pada eksaserbasi akut. Mungkin pengobatan harus disembuhkan, walaupun


antibiotik jangka pendek mengurangi lamanya keluhan sputum paruan dan
gangguan pernapasan. Steroid oral meningkatkan pemulihan eksoserbasi akut.
Steroid insialasi jangka panjang bermanfaat pada pasien dengan reversibillitas
yang signifikan.

e. Rehabilitas paru (khususnya latihan olahraga)

Memberikan manfaat simtomatik yang signifikan pada pasien dengan penyakit


sedang-berat.

f. Reseksi bula yang besar

Memungkinkan reinflasi area paru disekelilingnya. Operasi penurunan volume


paru juga bisa memberikan perbaikan dengan meningkatkan elastic recoil
sehingga mempertahankan potensi jalan napas. Pemilihan pasien yang akan
menjalani tindakan ini penting. Saat ini belum ada kriteria tertentu, transplatasi
paru sangat jarang dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai