Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MAKALAH

FARMAKOTERAPI TERAPAN

“RHINITIS ALERGI”

OLEH

KELOMPOK IV

INDAH MAWARNI O1 B1 19 052

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan tuntunanNya-lah Penyusun dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah yang berjudul “Rhinitis Alergi” .

Proses pembuatan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu, Penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang turut campur tangan dan mendukung proses pembuatan makalah ini.

Penyusun menyadari makalah ini tidaklah luput dari berbagai kekurangan


dan keterbatasan, maka dari itu Penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi peningkatan kualitas pembuatan makalah dikemudian
hari. Akhir kata, Penyusun mengharapkan makalah ini dapat menjadi referensi
yang bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih, Tuhan kiranya memberkati.

Manado, April 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...........................................................................................1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................1
C. Tujuan Masalah ..........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Dfinisi Rhinitis Alergi ................................................................................3


B. Klasifikasi Rhinitis Alergi .........................................................................3
C. Etiologi Rhinitis Alergi ..............................................................................4
D. Patofisiologi Rhinitis Alergi ......................................................................5
E. Gejala Rhinitis Alergi ................................................................................8
F. Diagnosis Rhinitis Alergi ...........................................................................9
G. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi ................................................................11
H. Komplikasi Rhinitis Alergi ........................................................................16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................17
B. Saran ..........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rhinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membran hidung yang
ditandai dengan gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala
berikut : bersin, hidung tersumbat, hidung gatal dan rinore. Mata, telinga,
sinus dan tenggorokan juga dapat terlibat. Rhinitis alergi merupakan penyebab
tersering dari rhinitis. Rhinitis alergi adalah peradangan pada membran
mukosa hidung, reaksi peradangan yang diperantarai IgE, ditandai dengan
obstruksi hidung, sekret hidung cair, bersin-bersin, dangatal pada hidung dan
mata. Rhinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenaisekitar
10 – 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade
terakhir.Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan
diperkirakan mempengaruhi40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rhinitis
alergi berpengaruh pada kualitas hidup, bersama-sama dengan komorbiditas
beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi, rhinitisalergi dianggap
sebagai gangguan pernapasan utama. Tingkat keparahan rhinitis
alergidiklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup
seseorang. Diagnosisrhinitis alergi melibatkan anamnesa dan pemeriksaan
klinis yang cermat, lokal dan sistemik khususnya saluran nafas bawah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi rhinitis alergi?
2. Bagaimana klasifikasi rhinitis alergi?
3. Bagaimana etiologi rhinitis alergi?
4. Bagaimana patofisiologi rhinitis alergi?
5. Bagaimana gejala klinis rhinitis alergi?
6. Bagaimana diagnosis rhinitis alergi?
7. Bagaimana penatalaksanaan rhinitis alergi?
8. Bagaimana komplikasi rhinitis alergi?
C. Tujuan Makalah

1
1. Mengetahui definisi rhinitis alergi.
2. Mengetahui klasifikasi rhinitis alergi.
3. Mengetahui etiologi rhinitis alergi.
4. Mengetahui patofisiologi rhinitis alergi.
5. Mengetahui gejala klinis rhinitis alergi.
6. Mengetahui diagnosis rhinitis alergi.
7. Mengetahui penatalaksanaan rhinitis alergi.
8. Mengetahui komplikasi rhinitis alergi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Rhinitis Alergi


Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rhinitis alergi adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

B. Klasifikasi Rhinitis Alergi


Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat
berlangsungnya. Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi


dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas.

3
C. Etiologi rinitis alergi
Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi
tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak.
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang
menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur.
Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat
dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa
dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya
karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya
jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat
atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
 Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

 Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,


misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.

 Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya


penisilin atau sengatan lebah.

 Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

D. Patofisiologi rinitis alergi

4
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Gambar 1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen


pertama dan selanjutnya.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag


atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting

5
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit
B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).

6
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi .
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-
menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:

1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

7
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.
Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik,
maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu
tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau
reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan
yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.

E. Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :


Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali
setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung,
mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung
melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering
menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute),

8
pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung
bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk
edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata
(allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau
otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal
termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara). Gejala lain yang
tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga
mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit
tidur.

F. Diagnosis rinitis alergi


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien Perlu ditanyakan pola gejala (hilang
timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor
predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan
pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila
terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap
serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung
tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif.

2. Pemeriksaan Fisik

9
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga
allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian
sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok
oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi
ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka
edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya
kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung
tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau
penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

3. Pemeriksaan Penunjang
a) In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil
dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

b) In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes
cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang

10
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat
diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas
kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet
eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.

G. Penatalaksanaan rinitis alergi


1. Terapi non-farmakologi
Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.
2. Terapi farmakologi
a. Medikamentosa- Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-
obatan simpatomimetik, kortikosteroid dan antikolinergik topikal.

 Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja


secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai
sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara
peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif).
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Generasi-2 lebih
bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar
sehingga lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma
11
dan berkurang kemampuannya melintasi otak. Generasi kedua
AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan farmakokinetik
yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang
dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat
generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti
hidung.

Farmakokinetik AH generasi kedua (Cetirizin dan Loratadin).

 Simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai


dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.

Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,


merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala
kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit
jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain
hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit
kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi
glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan
dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek
samping juga bertambah.

Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin,


oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat

12
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung.
Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral.
Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah
terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti
sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal
tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l
tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang
sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular
dan sistem saraf pusat.

 KortikosteroidKortikosteroid digunakan sangat luas dalam


pengobatan berbagai penyakit alergi oleh karena sifat anti
inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi
kortikosteroid diperantarai oleh pengaturan ekspresi dari
bermacam gen target spesifik. Telah diketahui bahwa
kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti
interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis factor-α (TNF-α),
dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-
CSF). Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8,
regulated on activation normal T cell expressed and secreted
(RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein- 1α (MIP-
1α), dan monocyt chemoattractant protein-1.

Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid,


flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat
mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini
merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis
alergik dan efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan
terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah
beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih
banyak dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan
efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek

13
samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka
panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan
dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu
pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan
keluhan hidung tersumbat yang menonjol.

Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison,


metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan
betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan
hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin
diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid intranasal
digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM.
Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping
sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid
sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada
anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat
intranasal dan inhalasi.

 Anti-leukotrien  seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast,


akan memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang
menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi
dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak
data mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi
tubuh dengan baik.

b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu


dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor
asetat.
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi.
Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody.

14
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama
dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.

H. Komplikasi rinitis alergi


Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous
glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih
eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan
metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para
nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa

15
yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi
dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan
rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh
mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat
sinusitis akan semakin parah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.

16
2. Klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : Intermiten (kadang-
kadang) dan Persisten/menetap. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya
penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: Ringan dan Sedang.
3. Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi.

B. Saran

Diharapkan agar makalah ini dapat memperluas wawasan pembaca


mengenai rhinitis alergi.

17
DAFTAR PUSTAKA

Adams G., Boies L., Higler P.1997. Buku Ajar Penyakit THT Edisi ke-6.
EGC.Jakarta

ARIA -World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on 
asthma. J allergy clinical immunology : S147-S276.

Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C.1994. Ear, Nose, and Throat DiseaseEdisi
kedua. Thieme. New York

Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan


Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT.Bukit
Tinggi.

Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi.Dalam


:Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy
andClinical Immunology”, Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK
UI/RSUPN-CM, Jakarta

           

           

LAMPIRAN
18
KASUS RHINITIS ALERGI

Eva ke apotek untuk meminta nasehat apoteker tentang penyakit anaknya


Harun umur 8 tahun yang asma yang di dinduksi Latihan/fisik. Simtiomnya
terkontrol dengan profilaksis MDI albuterol. Ibunya minta ke dokter agar anaknya
tidak diberikan steroid. Namun dalam beberapa bulan terakhir anaknya menderita
pilek, bersin-bersin dan tenggorokan gatal. Selain itu di kedua matanya juga gatal-
gatal, merah dan berair. Yang diduga ketika tanaman berbunga. Eva dan suaminya
juga mengalam,I demam. Gejala Harun anaknya telah terjadi hampir setiap hari
dalam seminggu selama 6 hingga 8 minggu terakhir dan menganggap itu bukn
masalah.
Dia menngatakan gejala hidungnya itu hanya 1 bagian dimana dia
mencium bau yang berkurang secara signifikan, hidung tersumbat, batuk, sering
terbangun di malam hari, sakit wajah, dan gejala telinga.
Mereka tidak memiliki binatang peliharaan, belum memberikan obat
dimana Harun sudah tidak mau masuk sekolah karena mengganggu.
Pertanyaan:

1. Apa informasi yang dibutuhkan untuk memberikan saran pada Eva tentang
anaknya Harun?
2. Jelaskan dengan alasan apa klasifikasi rhinitis alergi pada harun?
3. Apa rekomendasi terapi pada Harun?

JAWABAN

Pertanyaan:
19
1. Apa informasi yang dibutuhkan untuk memberikan saran pada Eva tentang
anaknya Harun?
Jawab.

Informasi yang diberikan berupa penjelasan mengenai penyakit harun,


salah satu penanganan rinitis alergi yang penting adalah menghindari
alergenya yaitu hindari dari tanaman yang berbunga. . Sementara ini tidak ada
keraguan bahwa menghindari alergen efektif dapat memberikan perbaikan
klinis, hanya dalam prakteknya banyak kesulitan. Untuk mengurangi gejala
bersin dan rinore pada rhinitis alergi dapat menghidari faktor pencetus alergi
seperti debu dan angin, memakai masker dan menjaga kebersihan lingkungan,
menerapkan pola makan teratur dan sehat, istirahat cukup dan berolahraga

2. Jelaskan dengan alasan apa klasifikasi rhinitis alergi pada harun?

Jawab

1. Berdasarkan sifat berlangsungnya dapat di klasifikasikan Rhinitis Alergi


sepanjang tahun (parenial). ditandai dgn gejalah yg di alami lebih dari 4
hari/minggu atau lebih dari 4 minggu.
2. Berdasarkan berat ringannya dapat diklasifikasikan Rhinitis Alergi sedang
ditandai dg kelainan pada rongga hidung dg gejalah dia mencium bau yang
berkurang secara signifikan, hidung tersumbat, batuk, sering terbangun di
malam hari, sakit wajah, dan gejala telinga.dan selain itu juga gejala lain
yg dirasakan yaitu gangguan aktifitas sehari-hari seperti tidak masuk
sekolah.
3. Apa rekomendasi terapi pada Harun?
Jawab.
a. Rekomendasi terapi yang disarankan pada harun
 Terapi non farmakologi
o Menghindari aktivitas latihan fisik yang berat untuk mencegah
kekambuhan pada asma

20
o Menghindari pemicu alergen, sejauh mereka telahdi identifikasi dan
sejauh mungkin menghindari itu, mendasari pengobatan untuk semua
pasien dengan AR.
 Terapi farmakologi
o Penggunaan inhaler dosisterukur albuterol (mengatasi munculnya gejala
asma)
o Antihistamin yang digunakan untuk pengobatan AR diberikan melalui
rute oral Chlorpheniramine maleate (6–12 years: 2 mg daily every 6
h).

21

Anda mungkin juga menyukai