Anda di halaman 1dari 24

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA)

Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan dasar yang berfungsi membina
peran serta masyarakat sebagi pusat pembangunan kesehatan masyarakat. Manajemen yang baik
merupakan faktor yang sangat menentukan dalam mewujudkan fungsi puskesmas. Fungsi
manajemen tersebut, terutama dalam hal monitoring (pemantauan) dan evaluasi (penilaian)
keberhasilan program puskesmas. Salah satu upaya monitoring dan evaluasi adalah dengan
menggunakan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS). Program kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
merupakan salah satu program pokok di puskesmas yang mendapat prioritas tinggi, mengingat
kelompok ibu hamil, menyusui, bayi dan anak merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap
kesakitan dan kematian.

Pemantauan wilayah setempat KIA adalah suatu alat manajemen program KIA untuk memantau
cakupan pelayanan KIA di suatu wilayah (Puskesmas/Kecamatan) secara terus menerus, sehingga
dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat terhadap desa dengan cakupan pelayanan KIA
yang masih rendah (Aisyah,2009).

Tujuan PWS-KIA adalah Meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan KIA di wilayah kerja
puskesmas, melalui pemantauan cakupan pelayanan KIA di tiap desa secara terus menerus.

B. Prinsip Program KIA

Pengelolaan program KIA bertujuan memantapkan dan meningkatkan jangkauan serta mutu
pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Pemantapan pelayanan KIA ini diutamakan pada
kegiatan-kegiatan pokok, sebagai berikut :

1. Peningkatan pelayanan antenatal di semua fasilitas pelayanan dengan mutu sesuai standar serta
menjangkau seluruh sasaran.

2. Peningkatan pertolongan persalinan ditujukan kepada peningkatan pertolongan oleh tenaga


kesehatan kebidanan secara bertahap.

3. Peningkatan deteksi dini resiko tinggi/komplikasi kebidanan baik oleh tenaga kesehatan
maupun di masyarakat oleh kader dan dukun bayi, serta penanganan dan pengamatannnya secara
terus-menerus.

4. Peningkatan penanganan komplikasi kebidanan secara adekuat dan pengamatan secara terus
menerus oleh tenaga kesehatan.

5. Peningkatan pelayanan neonatal dan ibu nifas dengan mutu sesuai standar dan menjangkau
seluruh sasaran.
Prinsip pengelolaan PWS KIA meliputi beberapa hal yang mencakup indikator ketercapaian
program PWS KIA. Adapun indikator tersebut adalah :

1. Pelayanan Antenatal

Pelayanan antenatal selengkapnya mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan),
pemeriksaan laboratorium atas indikasi, serta intervensi dasar dan khusus (sesuai resiko yang ada
termasuk penyuluhan dan konseling). Akan tetapi dalam penerapan sehari-hari pelayanan antenatal
secara minimal terstandar sehingga dapat diakui sebagai bentuk pelayanan antenatal. Dalam
penerapan operasionalnya dikenal dengan standar minimal “5T” yang terdiri dari :

a. Timbang badan dan ukur tinggi badan dengan alat ukur terstandar.

b. (Ukur) Tekanan darah dan prosedur yang benar.

c. (Ukur) Tinggi fundus uteri dengan prosedur yang benar.

d. (Pemberian imunisasi) tetanus toksoid (TT) lengkap (sesuai jadwal).

e. (Pemberian) Tablet tambah Darah minimal 90 tablet selama kehamilan.

Seiring berjalannya waktu pasti akan ada tuntutan peningkatan kualitas pelayanan kebidanan. Salah
satu dari hal tersebut adalah pada beberapa wilayah standar minimal pemeriksaan antenatal tidak
lagi “5T” tetapi menjadi “7T”, yaitu 5T ditambahkan dengan :

f. Tes laboratorium (rutin dan khusus)

Pemeriksaan laboratorium rutin mencakup pemeriksaan hemoglobin, protein urine, gula darah, dan
hepatitis B. Pemeriksaan khusus dilakukan di daerah prevalensi tinggi dan atau kelompok perilaku
beresiko dilakukan terhadap HIV, sifilis, malaria, tuberkulosis, cacingan dan thalasemia.

g. Temu wicara (konseling)

Pelayanan antenatal ini hanya dapat diberikan oleh tenaga kesehatan dan tidak dapat dilakukan oleh
dukun bayi. Ditetapkan pula frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4x selama kehamilan,
dengan ketentuan waktu sebagai berikut :

a. Minimal satu kali pada trimester I

b. Minimal satu kali pada trimester II

c. Minimal dua kali pada trimester III

Standar waktu pelayanan antenatal tersebut ditentukan untuk menjamin mutu pelayanan antenatal.
Selain itu juga dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang cukup kepada pemberi asuhan
antenatal dalam menangani kasus resiko tinggi yang ditemukan.

2. Pertolongan Persalinan

Program KIA dikenal beberapa jenis tenaga yang memberikan pertolongan persalinan kepada
masyarakat, yaitu : dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan, perawat bidan. Meskipun
demikian, di daerah terpencil masih banyak juga penolong persalinan yang berasal dari keluarga
ataupun masyarakat yang dipercaya dapat manolong persalinan. Pada prinsipnya, penolong
persalinan baik yang dilakukan di rumah klien maupun di sarana kesehatan seperti bidan praktik
swasta (BPS), klinik, puskesmas dan sarana kesehatan lain, harus tetap memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :

a. Sterilitasi/pencegahan infeksi.

b. Metode pertolongan persalinan yang sesuai standar pelayanan.

c. Merujuk kasus yang memerlukan tingkat pelayanan lebih tinggi.

Penempatan bidan di desa diharapkan secara bertahap jangkauan persalinan oleh tenaga kesehatan
terus meningkat. Selain itu diharapkan pula masyarakat semakin menyadari pentingnya persalinan
yang bersih dan aman.

3. Deteksi Dini Ibu Hamil Beresiko

Menurunkan angka kematian ibu secara bermakna maka deteksi dini dan penanganan ibu hamil
beresiko/komplikasi kebidanan perlu lebih ditingkatkan baik fasilitas pelayanan KIA maupun di
masyarakat. Dalam rangka itulah deteksi ibu hamil beresiko/komplikasi kebidanan perlu
difokuskan kepada keadaan yang menyebabkan kematian ibu bersalin di rumah dengan pertolongan
oleh dukun bayi juga oleh masyarakat atau tenaga non kesehatan yang tidak berwenang.

Resiko tinggi/komplikasi kebidanan pada kehamilan merupakan keadaan penyimpangan dari


normal, yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Semakin
cepat diketahuinya adanya resiko tinggi/komplikasi semakin cepat akan mendapatkan penanganan
yang semestinya. Sehingga angka kematian ibu secara signifikan dapat diturunkan. Faktor resiko
ibu hamil diantaranya :

a. Primigravida kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.

b. Anak lebih dari 4.

c. Jarak persalinan terakhir dan kehamilan sekarang kurang dari 2 tahun.

d. Tinggi badan kurang dari 145 cm.

e. Berat badan kurang dari 38 kg atau lingkar lengan atas < 23,5 cm.

f. Kelainan bentuk tubuh, misalnya kelainan tulang belakang atau panggul.

g. Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya atau sebelum kehamilan ini.

h. Sedang/pernah menderita penyakit kronis, antara lain : tuberkulosis, kelainan jantung-ginjal-


hati, psikosis, kelainan endokrin (diabetes melitus, sistemik lupus erritematosus dll), tumor dan
keganasan.

i. Riwayat kehamilan buruk : keguguran berulang, kehamilan ektopik terganggu, mola


hidatidosa, ketuban pecah dini, bayi dengan cacat kongenital.

j. Riwayat persalinan beresiko : persalinan dengan seksio sesarea, ekstraksi vakum/forseps.


k. Riwayat nifas beresiko : perdarahan pasca persalinan, infeksi masa nifas, psikosis postpartum
(post partum blues).

l. Riwayat keluarga menderita penyakit kencing manis, hipertensi dan riwayat cacat kongenital.

Semakin banyak ditemukan faktor resiko pada seorang ibu hamil, maka semakin tinggi resiko
kehamilannya. Resiko tinggi/komplikasi kebidanan meliputi :

a. Hb kurang dari 8 gr%.

b. Tekanan darah tinggi (sistole > 140 mmHg, diastole > 90 mmHg.

c. Oedema yang nyata.

d. Eklamsia.

e. Perdarahan pervaginam (abortus imminens, plasenta previa, solusio plasenta).

f. Ketuban pecah dini.

g. Letak lintang pada usia kehamilan lebih dari 32 minggu.

h. Letak sungsang pada primigravida.

i. Infeksi berat/sepsis.

j. Ancaman persalinan prematur.

k. Kelainan jumlah janin (kehamilan ganda, kembar siam, dll).

l. Kelainan besar janin (janin besar, intra uterine growth retardation).

m. Distosia (persalinan macet, persalinan tak maju).

n. Perdarahan pasca persalinan : atonia uteri, retensi plasenta, robekan jalan lahir, kelainan darah.

o. Infeksi masa nifas.

p. Penyakit kronis pada ibu. (jantung, paru, ginjal, dll).

q. Riwayat obstetrik buruk (riwayat bedah sesar dan komplikasi kehamilan).

Sebagian besar kematian ibu dapat dicegah apabila mendapat penanganan yang adekuat di fasilitas
pelayanan kesehatan. Faktor waktu dan transportasi merupakan hal yang sangat menentukan dalam
merujuk kasus resiko tinggi. Oleh karenanya deteksi faktor resiko pada ibu baik oleh tenaga
kesehatan maupun masyarakat merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah kematian dan
kesakitan ibu. Penempatan bidan di desa memungkinkan penanganan dan rujukan ibu hamil
beresiko sejak dini, serta identifikasi tempat persalinan yang tepat bagi ibu hamil sesuai dengan
resiko kehamilan yang disandangnya.

4. Penanganan Komplikasi Kebidanan

Diperkirakan sekitar 15-20 % ibu hamil akan mengalami komplikasi kebidanan. Komplikasi dalam
kehamilan dan persalinan tidak selalu dapat diduga atau diramalakan sebelumnya, oleh karenanya
semua persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan agar komplikasi kebidanan dapat segera di
deteksi dan ditangani. Oleh karena itu ibu hamil harus berada sedekat mungkin pada sarana
pelayanan yang mampu memberi pelayanan obstetric dan neonatal emergensi dasar (PONED).
Kebijakan Depkes dalam penyediaan puskesmas mampu PONED adalah setiap kabupaten/kota
harus mempunyai minimal 4 puskesmas mampu PONED. Pelayanan medis yang dapat dilakukan di
puskesmas PONED meliputi pelayanan obstetric berikut:

a. Pencegahan dan penanganan perdarahan.

b. Pencegahan dan penanganan pre-eklamsi dan eklamsi.

c. Pencegahan dan penanganan infeksi.

d. Penanganan partus lama/macet.

e. Pencegahan dan penanganan abortus.

Pelayanan neonatal meliputi :

a. Pencegahan dan penanganan asfiksia.

b. Pencegahan dan penanganan hipotermi.

c. Pencegahan dan penanganan BBLR.

d. Pencegahan dan penanganan kejang/ikhterus ringan-sedang.

e. Pencegahan dan penanganan gangguan minum.

5. Pelayanan Kesehatan Neonatal

Kunjungan neonatal bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus terhadap pelayanan kesehatan
dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan pada bayi atau bayi mengalami masalah
kesehatan. Resiko terbesar kematian bayi baru lahir terjadi pada 24 jam pertama, minggu pertama
dan bulan pertama kehidupannya. Upaya yang dilakukan untuk mencegah kematian neonatal
diutamakan pada pemeliharaan kehamilan sebaik mungkin, pertolongan persalinan ‘’3 bersih’’
(bersih tangan penolong, alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu) dan perawatan bayi
baru lahir yang adekuat termasuk perawatan tali pusat yang higienis. Pelayanan kesehatan neonatal
dasar menggunakan pendekatan komprehensif, manajemen terpadu bayi muda untuk bidan,
meliputi :

a. Pemeriksaan tanda bahaya seperti kemungkinan infeksi bakteri, ikhterus, diare, bayi berat lahir
rendah.

b. Perawatan tali pusat.

c. Pemberian Vitamin K1 bila belum diberikan pada saat lahir.

d. Imunisasi Hepatitis B bila belum diberikan pada saat lahir.

e. Konseling terhadap ibu dan keluarga untuk memberikan ASI Eksklusif, pencegahan hipotermi
dan melaksanakan perawatan bayi baru lahir di rumah dengan menggunakan buku KIA.
f. Penanganan dan rujukan kasus.

g. Pelayanan kesehatan neonatus (bayi berumur 0-28 hari) yang dilaksanakan oleh dokter
spesialis anak/dokter/bidan/perawat terlatih, baik di fasilitas kesehatan maupun kunjungan rumah.
Setiap neonatus harus diberikan pelayanan kesehatan sedikitnya 2 kali pada minggu pertama dan 1
kali pada minggu ke 2 setelah lahir.

Pelayanan kesehatan neonatus :

a. Kunjungan pelayanan kesehatan neonatus.

b. Kunjungan neonatal hari ke 3 (KN2).

c. Kunjungan neonatal minggu ke 2 (KN2).

Resiko tinggi neonatal meliputi :

a. BBLR

b. Bayi dengan tetanus neonatorum.

c. Bayi baru lahir dengan asfiksia.

d. Bayi dengan ikhterus neonatorum (ikhterus > 10 hari setelah lahir).

e. Bayi baru lahir dengan spesies aves.

f. Bayi baru lahir dengan berat > 4000 gram.

g. Bayi pre-term dan post-term.

h. Bayi lahir dengan cacat bawaan sedang.

i. Bayi lahir dengan persalinan dengan tindakan

Namun ada penambahan indikator pemantauan namun belum umun diaplikasikan di wilayah kerja
disesuaikan dengan keadaan wilayah masing-masing. Adapun penambahan itu adalah :

6. Pelayanan Kesehatan Bayi

Kunjungan bayi bertujuan untuk meningkatkan akses bayi terhadap pelayanan kesehatan dasar,
mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan bayi, sehingga cepat mendapat pertolongan,
pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit melalui pemantauan pertumbuhan, imunisasi,
serta peningkatan kualitas hidup bayi dengan stimulasi tumbuh kembang. Dengan demikian hak
anak mendapatkan pelayanan kesehatan dapat terpenuhi. Pelayanan kesehatan tersebut meliputi :

b. Pemberian imunisasi dasar (BCG, Polio 1 s.d 4, Hepatitis B1 s/d 3, dan Campak).

c. Stimulasi deteksi intervensi tumbuh kembang bayi (SDIDTK).

d. Pemberian vitamin A 100.000 IU 6-11 bulan).

e. Konseling ASI Eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI.


f. Konseling pencegahan hipotermi dan perawatan kesehatan bayi di rumah.

g. Penanganan dan rujukan kasus.

Pelaksanaan kesehatan bayi :

h. Kunjungan bayi antara umur 29 hari-3 bulan.

i. Kunjungan bayi antara umur 3-6 bulan.

j. Kujungan bayi antara 6-9 bulan.

k. Kunjungan bayi antara umur 9-11 bulan

7. Pelayanan Kesehatan Balita

Pelayanan kesehatan anak balita adalah pelayanan kesehatan terhadap anak yang berumur 12-59
bulan yang sesuai dengan standar oleh tenaga keshatan, ahli gizi, penyuluh kesehatan masyarakat
dan petugas sector lain, yang meliputi :

d. Pelayanan pemantauan pertumbuhan setiap bulan yang tercatat dalam buku KIA/KMS, dan
pelayanan stimulasi deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang (SDIDTK) serta mendapat
Vitamin A 2 kali dalam setahun.

e. Pelayanan SDIDTK meliputi pemantauan perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa,
sosialisasi dan kemandirian minimal 2 kali per tahun (setiap 6 bulan).

f. Suplementasi Vitamin A dosis tinggi (200.000 IU) diberikan pada anak balita minimal 2 kali
per tahun.

g. Kepemilikan dan pemanfaatan buku KIA oleh setiap anak balita.

8. Pelayanan KB berkualitas

Pelayanan KB berkualitas adalah pelayanan KB yang sesuai dengan standar dengan menghormati
hak individu sehingga diharapkan mampu meningkatkan derajat kesehatan dan menurunkan tingkat
fertilitas (kesuburan). Pelayanan KB bertujuan untuk menunda, menjarangkan dan/atau
menghentikan kehamilan, dengan menggunakan metode kontrasepsi. Untuk mempertahankan dan
meningkatkan cakupan peserta KB perlu diupayakan pengelolaan program yang berhubungan
dengan peningkatan aspek kualitas, teknis, dan aspek manajerial pelayanan KB.

Aspek kualitas perlu diterapkan pelayanan yang sesuai standar dan variasi pilihan metode KB,
sedangkan dari segi teknis perlu dilakukan pelatihan klinis dan non klinis secara
berkesinambungan. Selanjutnya aspek manajerial, pengelola program KB perlu melakukan
revitalisasi dalam segi analisis situasi program KB dan system pencatatan dan pelaporan pelayanan
KB. Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan KB kepada masyarakat adalah : dokter
spesialis kebidanan, dokter umum, perawat dan bidan.

C. Batasan PWS-KIA

1. Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga profesional untuk ibu selama masa
kehamilannya, yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan.
Standar operasioanal yang ditetapkan untuk pelayanan antenatal adalah “5T/7T”.

2. Penjaringan (Deteksi) Dini Kehamilan Beresiko

Kegiatan ini bertujuan menemukan ibu hamil beresiko, yang dapat dilakukan oleh kader, dukun
bayi, dan tenaga kesehatan.

3. Kunjungan Ibu Hamil

Kontak ibu hamil dengan tenaga profesional untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar
yang ditetapkan. Istilah “kunjungan” disini tidak mengandung arti bahwa ibu hamil yang
berkunjung ke fasilitas pelayanan, tetapi setiap kontak tenaga kesehatan (di posyandu, pondok
bersalin desa, kunjungan rumah) dengan ibu hamil untuk memberikan pelayanan antenatal sesuai
standar dapat dianggap sebagai kunjungan ibu hamil.

4. Kunjungan Baru Ibu Hamil (K1)

Adalah kunjungan ibu hamil yang pertama kali pada masa kehamilan.

5. Kunjungan Ulang

Adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang kedua dan seterusnya, untuk mendapatkan
pelayanan antenatal sesuai standar selama satu periode kehamilan berlangsung.

6. K4

Adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang ke-4 (atau lebih), untuk mendapatkan
pelayanan antenatal sesuai standar yang ditetapkan, dengan syarat :

a. Minimal satu kali kontak pada trimester I

b. Minimal satu kali kontak pada trimester II

c. Minimal dua kali kontak pada trimester III

7. Kunjungan Neonatal (KN)

Adalah kontak neonatal dengan tenaga kesehatan minimal dua kali untuk mendapatkan pelayanan
dan pemeriksaan kesehatan neonatal, baik di dalam maupun di luar gedung puskesmas (termasuk
bidan di desa, polindes, dan kunjungan rumah), dengan ketentuan :

a. Kunjungan pertama kali pada hari pertama sampai dengan hari ke-7 (sejak 6 jam setelah lahir).

b. Kunjungan kedua kali pada hari ke-8 sampai dengan hari ke-28.

c. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan bukan merupakan kunjungan neonatal.

8. Cakupan Akses

Adalah persentase ibu hamil di suatu wilayah, dalam kurun waktu tertentu, yang pernah mendapat
pelayanan antenatal sesuai standar paling sedikit satu kali selama kehamilan. Cara menghitungnya
adalah sbb: (jumlah kunjungan baru ibu hamil dibagi dengan jumlah sasaran ibu hamil yang ada
disuatu wilayah kerja dalam kurun waktu satu tahun) dikalikan 100 %.

9. Cakupan Ibu Hamil (K4)

Adalah persentase ibu hamil disuatu wilayah, dalam kurun waktu tertentu, yang mendapatkan
pelayanan antenatal sesuai standar paling sedikit 4 kali dengan trimester I, 1 kali pada trimester ke
II dan 2 kali pada trimester ke III. Cara menghitungnya adalah sbb : (Jumlah ibu hamil yang telah
menerima K4 dibagi jumlah sasaran ibu hamil dengan kurun waktu 1 tahun) dikalikan 100 %)

10. Sasaran Ibu Hamil

Adalah jumlah semua ibu hamil disuatu wilayah dalam kurun waktu 1 tahun, angka ini dapat
diperoleh dengan berbagai cara yaitu :

a. Angka sebenarnya, yang diperoleh berdasarkan cacah jiwa.

b. Angka perkiraan, yaitu memakai rumus : = angka kelahiran kasar (CBR) x 1.1 x jumlah
penduduk setempat ; dengan pengambilan angka CBR dari provinsi atau bila ada dari kabupaten
setempat atau 3 % x jumlah penduduk setempat.

11. Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan

Adalah persentase ibu bersalin di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang ditolong
persalinannya oleh tenaga kesehatan.

12. Cakupan Penjaringan Ibu Hamil Beresiko Oleh Masyarakat

Adalah persentase ibu hamil beresiko yang ditemukan oleh kader dan dukun bayi yang kemudian
dirujuk ke puskesmas/tenaga kesehatan, dalam kurun waktu tertentu.

13. Cakupan Penjaringan Ibu Hamil Beresiko Oleh Tenaga Kesehatan

Adalah persentase ibu hamil beresiko yang ditemukan baik oleh tenaga kesehatan maupun oleh
kader/ dukun bayi yang telah dipastikan oleh tenaga kesehatan, yang kemudian ditindaklanjuti
(dipantau secara intensif dan ditangani sesuai kewenangan dan /atau dirujuk ke tingkat pelayanan
yang lebih tinggi) dalam kurun waktu tertentu.

14. Ibu Hamil Beresiko

Adalah ibu hamil yang mempunyai faktor resiko dan resiko tinggi.

15. Cakupan Kunjungan Neonatal (KN)

Adalah persentase neonatal (bayi umur kurang dari 1 bulan) yang memperoleh pelayanan kesehatan
minimal dua kali dari tenaga kesehatan, satu kali pada hari pertama sampai dengan hari ketujuh dan
satu kali pada hari kedelapan sampai dengan hati keduapuluh delapan.

D. Indikator PWS-KIA
Indikator pemantauan program KIA yang dipakai untuk PWS-KIA meliputi indikator yang dapat
menggambarkan keadaan kegiatan pokok dalam program KIA. Ditetapkan 6 indikator dalam PWS-
KIA, yaitu :

1. Akses pelayanan antenatal (cakupan K1)

Indikator akses ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan antenatal serta kemampuan
program dalam menggerakkan masyarakat. Rumus yang dipakai untuk perhitungannya adalah :

Jumlah kunjungan baru (K1) ibu hamil X 100 %

Jumlah sasaran ibu hamil dalam satu tahun

2. Cakupan Pelayanan Ibu Hamil ( Cakupan K4 )

Indikator ini dapat diketahui cakupan pelayanan antenatal secara lengkap (memenuhi standar
pelayanan dan menepati waktu yang ditetapkan), yang menggambarkan tingkat perlindungan ibu
hamil di suatu wilayah, disamping menggambarkan kemampuan manajemen ataupun kelangsungan
program KIA.

Rumus :

Jumlah kunjungan ibu hamil (K4) X 100 %

Jumlah sasaran ibu hamil dalam satu tahun

3. Cakupan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan

Indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan dan ini
menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam pertolongan persalinan secara
profesional.

Rumus :

Jumlah persalinan oleh tenaga kesehatan X 100 %

Jumlah sasaran persalinan dalam satu tahun

4. Penjaringan (Deteksi) Ibu Hamil Beresiko Oleh Masyarakat

Indikator ini dapat diukur tingkat kemampuan dan peran serta masyarakat dalam melakukan deteksi
ibu hamil beresiko di suatu wilayah.

Rumus :
Jumlah ibu hamil beresiko yang dirujuk oleh dukun bayi/kader ketenagakesehatan X 100 %

Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun

5. Penjaringan ( Deteksi) Ibu Hamil Beresiko Oleh Tenaga Kesehatan

Indikator ini dapat diperkirakan besarnya masalah yang dihadapi oleh program KIA dan harus
ditindaklanjuti dengan intervensi secara intensif.

Rumus :

Jumlah ibu hamil beresiko yang ditemukan oleh tenaga kesehatan dan atau dirujuk oleh dukun bayi
dan kader

X 100 %

Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun

6. Cakupan Pelayanan Neonatal (KN) Oleh Tenaga Kesehatan

Indikator ini dapat diketahui jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal.

Rumus :

Jumlah kunjungan neonatal yang mendapat pelayanan kesehatan minimal 2 kali oleh tenaga
kesehatan

X 100 %

Jumlah seluruh sasaran bayi dalam 1 tahun

E. Pengumpulan Data

P e n gu m p ul a n d a n p e ng el ol aa n d at a me r u p a k a n ke gi at a n po k o k da
r i P WS K I A . D at a y a n g di cat at pe r d e sa/ k el u r a h a n d a n k e m u di a n di k um p
ul ka n di t i n gk at p u s ke s ma s ak a n di l ap or k a n se s u ai j e nj a n g ad mi ni st r a si
. D at a y an g di p er l uk a n d al a m P WS K I A a dal a h D at a S a s ar a n da n D at a P
el a y a na n. Proses pengumpulan data sasaran sebagai berikut :

1. Jenis data
Data yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan PWS KIA adalah Data sasaran :
 Jumlah seluruh ibu hamil
 Jumlah seluruh ibu bersalin
 Jumlah ibu nifas
 Jumlah seluruh bayi
 Jumlah seluruh anak balita
 Jumlah seluruh PUS

Data pelayanan :
 Jumlah K1
 Jumlah K4
 Jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan
 Jumlah ibu nifas yang dilayani 3 kali (KF 3) oleh tenaga kesehatan
 Jumlah neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan pada umur 6 – 48 jam
 Jumlah neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan lengkap pada umur 0-28
hari (KN 1, KN 2, KN 3)
 Ju ml a h i b u h ami l , b er sal i n d an ni f a s de n g a n f act or r i si k o/ k om pl i
k a si y a n g di d et e ksi ol eh m as y ar a kat
 Jumlah kasus komplikasi obstetri yang ditangani
 Jumlah neonatus dengan komplikasi yang ditangani
 Jumlah bayi yang mendapatkan pelayanan kesehatan pada umur 29 hari – 11 bulan
sedikitnya 4 kali
 Jumlah anak balita (12 – 59 bulan) yang mendapatkan pelayanan kesehatan sedikitnya
8 kali
 Jumlah anak balita sakit yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar
 Jumlah peserta KB aktif
2. Sumber data
Data sasaran berasal dari perkiraan jumlah sasaran (proyeksi) yang dihitung
berdasarkan rumus yang diuraikan dalam BAB III. Berdasarkan data tersebut, Bidan
di Desa bersama dukun bersalin/bayi dan kader melakukan pendataan dan pencatatan
sasaran di wilayah kerjanya.

Data pelayanan pada umumnya berasal dari :


 Register kohort ibu
 Register kohort bayi
 Register kohort anak balita
 Register kohort KB

F. Pencatatan Data

1. Data Sasaran
Data sasaran diperoleh sejak saat Bidan memulai pekerjaan di desa/kelurahan.
Seorang Bidan di desa/kelurahan dibantu para kader dan dukun bersalin/bayi,
membuat peta wilayah kerjanya yang mencakup denah jalan, rumah serta setiap
waktu memperbaiki peta tersebut dengan data baru tentang adanya ibu yang hamil,
neonatus dan anak balita.

2. Data Pelayanan

Bidan di desa/kelurahan mencatat semua detail pelayanan KIA di dalam kartu ibu,
kohort Ibu, formulir MTBM, formulir MTBS, kartu bayi, kohort bayi, kohort anak
balita, kohort KB, dan buku KIA. Pencatatan harus dilakukan segera setelah bidan
melakukan pelayanan. Pencatatan tersebut diperlukan untuk memantau secara intensif
dan terus menerus kondisi dan permasalahan yang ditemukan pada para ibu, bayi dan
anak di desa/kelurahan tersebut, antara lain nama dan alamat ibu yang tidak datang
memeriksakan dirinya pada jadwal yang seharusnya, imunisasi yang belum diterima
para ibu, penimbangan anak dan lain lain.

Selain hal tersebut bidan di desa juga mengumpulkan data pelayanan yang berasal dari
lintas program dan fasilitas pelayanan lain yang ada di wilayah kerjanya.

G. Pengolahan Data

Setiap bulan Bidan di desa mengolah data yang tercantum dalam buku kohort dan
dijadikan sebagai bahan laporan bulanan KIA. Bidan Koordinator di Puskesmas
menerima laporan bulanan tersebut dari semua BdD dan mengolahnya menjadi laporan
dan informasi kemajuan pelayanan KIA bulanan yang disebut PWS KIA. Informasi per
desa/kelurahan dan per kecamatan tersebut disajikan dalam bentuk grafik PWS KIA yang
harus dibuat oleh tiap Bidan Koordinator.

Langkah pengolahan data adalah : Pembersihan data, Validasi


dan Pengelompokan.
1. Pembersihan data : melihat kelengkapan dan kebenaran pengisian formulir yang
tersedia.
2. Validasi : melihat kebenaran dan ketepatan data.
3. Pengelompokan : sesuai dengan kebutuhan data yang harus
dilaporkan. Contoh :
 Pembersihan data : Melakukan koreksi terhadap laporan yang masuk dari Bidan di
desa/kelurahan mengenai duplikasi nama, duplikasi alamat, catatan ibu langsung di
K4 tanpa melewati K1.
 Validasi : Mecocokkan apabila ternyata K4 & K1 lebih besar daripada jumlah ibu
hamil, jumlah ibu bersalin lebih besar daripada ibu hamil.
 Pengelompokan : Mengelompokkan ibu hamil anemi berdasarkan desa/kelurahan
untuk persiapan intervensi, ibu hamil dengan KEK untuk persiapan intervensi.

Hasil pengolahan data dapat disajikan dalam bentuk : Narasi, Tabulasi,


Grafik dan Peta.
1. Narasi : dipergunakan untuk menyusun laporan atau profil suatu wilayah kerja,
misalnya dalam Laporan PWS KIA yang diserahkan kepada instansi terkait.
2. Tabulasi: dipergunakan untuk menjelaskan narasi dalam bentuk lampiran.
3. Grafik: dipergunakan untuk presentasi dalam membandingkan keadaan antar waktu,
antar tempat dan pelayanan. Sebagian besar hasil PWS disajikan dalam bentuk grafik.
4. Peta: dipergunakan untuk menggambarkan kejadian berdasarkan gambaran geografis.

Puskesmas yang sudah menggunakan komputer untuk mengolah data KIA maka
data dari kartu-kartu pelayanan bidan di desa/kelurahan, dimasukkan ke dalam komputer
sehingga proses pengolahan data oleh bidan di desa/kelurahan dan bidan koordinator
Puskesmas akan terbantu dan lebih cepat.

H. Analisis

A n a l i s i s a d al ah s uat u p em er i ks a a n d a n e v a l ua si d ar i su at u i
nf or m asi y a n g se s u ai d a n r el ev a nt d al a m me n y el e k si s u at u t i n d ak a n
ya n g t er b ai k d ar i b er ba g ai m a c a m al t e r n at i f v ar i a si . Analisis yang dapat
dilakukan mulai dari yang sederhana hingga analisis lanjut sesuai dengan tingkatan
penggunaannya. Data yang di analisis adalah data register kohort ibu, bayi dan anak balita
serta cakupan.

I. Penelusuran Data Kohort

Penelusuran adalah proses pengamatan seseorang atau obyek yang bergerak


dalam kurun waktu dari lokasi tertentu. Penelusuran dilakukan dalam rangka :
1. Mengidentifikasi kasus/masalah secara individu selama masa hamil, bersalin, masa
nifas, neonatus, bayi dan balita. Masalah yang ditelusuri :
 Perkembangan kesehatan setiap ibu hamil, bersalin, nifas, neonatus, bayi dan
anak balita
 Kesiapan perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi setiap ibu hamil
 Faktor risiko dan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, neonatus, bayi baru lahir
dan anak balita
 Menilai kualitas pelayanan yang diberikan
 Kematian ibu dan bayi
2. Membangun perencanaan berdasarkan masalah yang spesifik

Seorang bidan harus mencatat setiap ibu hamil yang ada di desanya. Sehingga setiap bulan dia
dapat melakukan analisis dan penelusuran data kohort terhadap ibu hamil di desanya. Analisis
dan penelusuran data kohort yang dapat dilakukan oleh bidan untuk meningkatkan kinerja
bidan.

J. Rencana Tindak Lanjut

Bagi kepentingan program, analisis PWS KIA ditujukan untuk menghasilkan


suatu keputusan tindak lanjut teknis dan non-teknis bagi puskesmas. Keputusan tersebut
harus dijabarkan dalam bentuk rencana operasional jangka pendek untuk dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapi sesuai dengan spesifikasi daerah.

1. Rencana tindak lanjut tingkat bidan di desa


Setelah menganalisa data yang didapatkan di wilayah kerjanya, setiap bulan bidan di
desa membuat perencanaan berdasarkan hasil analisanya masing-masing yang akan
didiskusikan pada acara minilokakarya tiap bulan. Rencana tersebut termasuk juga
rencana logistic.
2. Kepala Puskesmas dan bidan koordinator harus mampu melihat masalah dan membuat
perencanaan tindak lanjut berdasarkan masalah yang ada. Tabel di bawah adalah
contoh intervensi yang dilakukan Puskesmas yang didiskusikan pada saat pertemuan
bulanan dengan bidan di desa dengan melihat jumlah cakupan di desa.
K. PELEMBAGAAN PSW KIA
Pelembagaan PWS KIA adalah pemanfaatan PWS KIA secara teratur dan terus
menerus pada semua siklus pengambilan keputusan untuk memantau penyelenggaraan
program KIA, di semua tingkatan administrasi pemerintah, baik yang bersifat teknis program
maupun yang bersifat koordinatif nonteknis dan lintas sektoral.

Pada akhirnya pemanfaatan PWS KIA harus merupakan bagian integral dari
manajemen operasional program KIA sehari-hari. Dalam suatu pertemuan di Jakarta pada
tahun 1989, Bapak Menteri Kesehatan menyatakan :

“Dari pengamatan saya selama ini, PWS sangat sesuai dengan kebutuhan kita
sebagai alat pemantau sederhana bagi program imunisasi. Konsep tersebut dapat
juga diterapkan untuk program-program lain. Maka saya instruksikan kepada semua
Kepala Dinas Kesehatan untuk melembagakan pemakaian PWS tersebut, dalam
penyelenggaraan program-program.

Disamping itu, telah diterbitkan pula surat edaran Menteri Dalam Negeri No. 44 0/13
00/PUOD tanggal 10 April 1990, kepada semua Gubernur KDH dan semua
Bupati/Walikotamadya seluruh Indonesia untuk mendukung pelaksanaan PWS.

A. Langkah – langkah dalam pelembagaan PWS KIA

Dalam upaya pelembagaan PWS KIA dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Penunjukkan petugas pengolahan data di tiap tingkatan, untuk menjaga kelancaran


pengumpulan data.
• Data hasil kegiatan dikumpulkan oleh puskesmas ditabulasikan kemudian dikirimkan
ke dinas kesehatan kabupaten/kota.
• Di puskesmas disusun PWS KIA tingkat puskesmas (per desa/kelurahan) dan di dinas
kesehatan kabupaten/kota disusun PWS KIA tingkat kabupaten/kota (per puskesmas).

2. Pemanfaatan pertemuan lintas program

Penyajian PWS KIA pada pertemuan teknis bulanan ditingkat puskesmas (mini
lokakarya) dan kabupaten/kota (pertemuan bulanan dinas kesehatan kabupaten/kota),
untuk menginformasikan hasil yang telah dicapai, identifikasi masalah, merencanakan
perbaikan serta menyusun rencana operasional periode berikutnya. Pada pertemuan
tersebut wilayah yang berhasil diminta untuk mempresentasikan upayanya.

3. Pemantauan PWS KIA untuk meyakinkan lintas sektoral

PWS disajikan serta didiskusikan pada pertemuan lintas sektoral ditingkat kecamatan dan
kabupaten / kota, untuk mendapatkan dukungan dalam pemecahan masalah dan agar
masalah operasional yang dihadapi dapat dipahami bersama, terutama yang berkaitan
dengan motivasi dan penggerakan masyarakat sasaran.

4. Pemanfaatan PWS KIA sebagai bahan Musrenbang desa dan kabupaten/kota


Musrenbang adalah suatu proses perencanaan di tingkat desa dan kabupaten/kota. Bidan
di desa dapat memberikan masukan berdasarkan hasil PWS KIA kepada tim musrenbang.

B. Pemanfaatan Indikator Pemantauan

Dalam upaya melibatkan lintas sektor terkait, khususnya para aparat setempat,
dipergunakan indikator indikator yang terpilih untuk menggambarkan wilayahnya yaitu :
1. Cakupan K4, yang menggambarkan kualitas pelayanan KIA
2. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (PN), yang menggambarkan tingkat keamanan
persalinan.
3. Cakupan penanganan komplikasi kebidanan.
4. Cakupan kunjungan nifas/neonatus.
5. Cakupan penanganan komplikasi neonatus.
6. Cakupan kunjungan bayi.
7. Cakupan kunjungan balita.
8. Cakupan pelayanan KB aktif.

Penyajian indikator–indikator tersebut kepada lintas sektor ditujukan sebagai alat


advokasi, informasi dan komunikasi dalam menyampaikan kemajuan maupun permasalahan
operasional program KIA, sehingga para aparat dapat memahami program KIA dan
memberikan bantuan sesuai kebutuhan.

Indikator pemantauan ini dapat dipergunakan dalam berbagai pertemuan lintas sektor
di semua tingkat administrasi pemerintah secara berkala dan disajikan setiap bulan, untuk
melihat kemajuan suatu wilayah. Bagi wilayah yang cakupannya masih rendah diharapkan
lintas sektor dapat menindak lanjuti sesuai kebutuhan dengan menggerakkan masyarakat dan
menggali sumber daya setempat yang diperlukan.

C. Pembinaan melalui supervisi

Supervisi yang terarah dan berkelanjutan merupakan sistem pembinaan yang efektif
bagi pelembagaan PWS. Dalam pelaksanaannya supervisi dilaksanakan dengan pengisian
checklist yang akan digunakan dalam supervisi ditingkat puskesmas dan kabupaten, untuk
kemudian dianalisis dan ditindaklanjuti.

L. Pelaksanaan PWS KIA

Proses yang perlu dilakukan dalam penerapan PWS KIA dimulai dengan langkah-
langkah sosialisasi, fasilitasi dan evaluasi yang diikuti dengan tindak lanjut sesuai kebutuhan.

1. Pelaksanaan PWS KIA di Tingkat Propinsi

Langkah – langkah atau urutan yang dilaksanakan meliputi :

a. Pertemuan orientasi :
Pertemuan ini merupakan pertemuan dengan tujuan :
 Menyamakan persepsi mengenai PWS KIA
 Menentukan kebijaksanaan propinsi dalam pelaksanaan PWS KIA
 Merencanakan Fasilitasi tingkat kabupaten/kota dan puskesmas
 Menyusun mekanisme pemantauan kegiatan, dll
Pihak yang terlibat meliputi :
 Subdinas/Bidang yang menangani KIA dari Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten/Kota.
 Subdinas/Bidang yang menangani Puskesmas dan RS dari Dinas Kesehatan Propinsi
dan Kabupaten/Kota.
 Subdinas/Bidang yang menangani Pengendalian Penyakit dari Dinas Kesehatan
Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Selain itu, pertemuan juga dapat melibatkan RSU. Hal ini penting karena PWS KIA
mempunyai pendekatan wilayah. Dengan demikian semua pelayanan KIA dari fasilitas
pelayanan di luar puskesmas pun perlu dilibatkan agar dapat diketahui cakupan pelayanan
KIA oleh tenaga kesehatan.

b. Pertemuan Sosialisasi :
Fokus pertemuan ini adalah untuk lintas sektor di tingkat Propinsi, dengan tujuan untuk
sosialisasi tentang PWS KIA, menyepakati peran lintas sektor dalam PWS KIA dan
menyusun mekanisme pemantauan kegiatan.
Pihak yang terlibat meliputi :
 Dinas Kesehatan
 BAPPEDA
 Biro Pembangunan Masyarakat Desa
 Biro PP dan KB

c. Fasilitasi :
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan bantuan teknis berupa kunjungan ke lapangan
atau pertemuan di kabupaten/kota dan puskesmas. Petugas provinsi dibekali untuk dapat
memfasilitasi petugas kabupaten/kota dan puskesmas. Peserta terdiri dari unsur- unsur
lain dari dinas kesehatan kabupaten/kota seperti : Gizi, Imunisasi, Yankes, Yanfar, P2PL,
dll.
Setiap kali fasilitasi, sebaiknya peserta sekitar 30 orang.
Materi fasilitasi :
o Pedoman PWS KIA
o Kebijaksanaan Program KIA
o Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar
o Perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan

d. Evaluasi /Tindak lanjut :


Kegiatan ini bertujuan untuk menilai kemajuan cakupan program KIA dan merencanakan
kegiatan tindak lanjut.

2. Pelaksanaan PWS KIA Di Tingkat Kabupaten

Langkah – langkah atau urutan yang dilaksanakan meliputi :

a. Pertemuan orientasi :
Pertemuan ini merupakan pertemuan dengan tujuan :
 Menyamakan persepsi mengenai PWS KIA
 Menentukan kebijaksanaan propinsi dalam pelaksanaan PWS KIA
 Merencanakan Fasilitasi tingkat kabupaten/kota dan puskesmas
 Menyusun mekanisme pemantauan kegiatan, dll
Pihak yang terlibat meliputi :
 Subdinas/Bidang yang menangani KIA dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
 Subdinas/Bidang yang menangani Puskesmas dan RS dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
 Subdinas/Bidang yang menangani Pengendalian Penyakit dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
 Kepala Puskesmas dan Bidan Koordinator
Selain itu, pertemuan juga dapat melibatkan RSU dan Unit Pelayanan Kesehatan
Swasta. Hal ini penting karena PWS KIA mempunyai pendekatan wilayah. Dengan
demikian semua pelayanan KIA dari fasilitas pelayanan di luar puskesmas pun perlu
dilibatkan agar dapat diketahui cakupan pelayanan KIA oleh tenaga kesehatan.

b. Pertemuan Sosialisasi :
Fokus pertemuan ini adalah untuk lintas sektor tingkat kabupaten/kota, dengan tujuan
untuk sosialisasi tentang PWS KIA, menyepakati peran lintas sektor dalam PWS KIA dan
menyusun mekanisme pemantauan kegiatan.
Pihak yang terlibat meliputi :
 Dinas Kesehatan
 BAPPEDA
 Biro Pembangunan Masyarakat Desa
 Biro PP dan KB

c. Fasilitasi :
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan bantuan teknis berupa kunjungan ke lapangan
atau pertemuan di puskesmas. Petugas kabupaten/kota dibekali untuk dapat memfasilitasi
petugas puskesmas.
Materi fasilitasi :
o Pedoman PWS KIA
o Kebijaksanaan Program KIA
o Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar
o Perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan

d. Evaluasi /Tindak lanjut :


Kegiatan ini bertujuan untuk menilai kemajuan cakupan program KIA dan merencanakan
kegiatan tindak lanjut.

3. Pelaksanaan PWS KIA di Tingkat Puskesmas

Langkah – langkah atau urutan yang dilaksanakan meliputi :

a. Pertemuan reorientasi
Pertemuan ini merupakan pertemuan dengan tujuan :
 Menyamakan persepsi mengenai PWS KIA
 Sosialisasi kebijaksanaan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan PWS KIA
 Merencanakan Fasilitasi ke Desa
 Menyusun mekanisme pemantauan kegiatan, dll
Pihak yang terlibat meliputi :
 Bidan di Desa
 Bidan Koordinator
 Pengelola Program KIA
 Kepala Puskesmas
 Petugas Gizi
 P2PL
 Data Operator
 Farmasi

b. Pertemuan Sosialisasi
Fokus pertemuan ini adalah untuk lintas sektor tingkat kecamatan dan desa, dengan
tujuan untuk sosialisasi tentang PWS KIA, menyepakati peran lintas sektor dalam PWS
KIA dan menyusun mekanisme pemantauan kegiatan.
Pihak yang terlibat meliputi :
 Puskesmas
 Camat
 Kepala Desa
 Dewan Kelurahan
 LKMD
 PKK
 Koramil
 Polsek

c. Memfasilitasi Bidan di Desa :


Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan bantuan teknis berupa kunjungan ke lapangan
atau pertemuan di Desa. Petugas Puskesmas memfasilitasi Bidan di Desa dan lintas sector
terkait.
Materi fasilitasi :
o Pedoman PWS KIA
o Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar
o Kebijaksanaan Program KIA
o Perencanaan pelaksanaan dan pemantauan kegiatan

d. Implementasi PWS KIA Puskesmas.


Puskesmas melaksanakan kegiatan PWS KIA melalui pengumpulan, pengolahan, analisis,
penelusuran dan pemanfaatan data PWS KIA sesuai dengan yang diterangkan pada
pembahasan sebelumnya. Termasuk dalam implementasi PWS KIA di Puskesmas adalah
pemanfaatan PWS KIA dalam Lokakarya Mini, Pertemuan Bulanan Kecamatan dan
Musrenbangcam.

e. Tindak lanjut :
Kegiatan ini bertujuan untuk menindaklanjuti hasil – hasil pembahasan implementasi PWS
KIA di tingkat puskesmas .

4. Pelaksanaan PWS KIA di Tingkat Desa

Langkah – langkah urutan pelaksanaan meliputi :

a. Implementasi PWS KIA oleh Bidan di Desa


Bidan Di Desa melaksanakan kegiatan PWS KIA melalui pengumpulan, pengolahan,
analisis, penelusuran dan pemanfaatan data PWS KIA sesuai dengan yang diterangkan
pada pembahasan sebelumnya. Termasuk dalam implementasi PWS KIA di Tingkat Desa
adalah pemanfaatan PWS KIA untuk dibahas dalam Lokakarya Mini Puskesmas,
Pertemuan Bulanan Desa dan Musrenbangdes.

b. Tindak lanjut :
Kegiatan ini bertujuan untuk menindaklanjuti hasil – hasil pembahasan implementasi PWS
KIA di tingkat puskesmas dan desa.

Anda mungkin juga menyukai