PPOK
1. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel2.
Hambatan aliran udara pada penyakit ini seringkali disebabkan oleh diameter saluran
nafas yang menyempit berkaitan dengan beberapa faktor, antara lain meningkatnya
ketidakelastisan dinding saluran nafas, meningkatnya produksi sputum di saluran nafas, dan
lain sebagainya. Gangguan aliran udara di dalam saluran nafas disebabkan proses inflamasi
paru yang menyebabkan terjadinya kombinasi penyakit saluran napas kecil ([[small airway
disease]]) dan destruksi parenkim (emfisema). Kerusakan pada jaringan parenkim paru,
yang juga disebabkan proses inflamasi, menyebabkan hilangnya perlekatan alveolar pada
saluran nafas kecil dan penurunan rekoil elastik paru.
2. GEJALA KLINIS
Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya, dapat
dimulai dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa kelainan fisik
sampai kelainan fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh karena
itu dibutuhkan diagnosa yang akurat, pemeriksaan penunjang dan diagnosa banding
untuk dapat menegakkan penyakit PPOK.2
Seseorang diduga menderita PPOK bila (i) mengalami batuk kronis yang umumnya
muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (ii) memproduksi sputum kronis, (iii)
-sering mengalami bronkitis akut, (iv) sesak nafas setiap hari, memburuk pada saat
melakukan aktivitas dan terkena infeksi, (v) punya riwayat terpapar asap rokok (baik
perokok aktif maupun perokok pasif), polusi udara, debu dan bahan kimia di tempat kerja,
ataupun asap hasil pembakaran alat masak, misalnya kayu bakar, arang yang terus menerus
(setiap hari sepanjang tahun), disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis
PPOK adalah penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk
dengan aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok,
asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.
Penyakit ini seringkali tidak berdiri sendiri, tapi selalu disertai komorbid yang
berkaitan dengan rokok atau ketuaan, karena memang PPOK seringkali terjadi pada orang
perokok dalam jangka lama dan usia lanjut. Penurunan berat badan, abnormalitas nutrisi dan
disfungsi otot skeletal adalah beberapa dampak PPOK pada ekstrapulmonal. PPOK juga
akan meningkatkan risiko terjadinya infark myokard, angina, osteoporosis, infeksi
pernafasan, fraktur, depresi, diabetes, gangguan tidur, anemia , glukoma dan juga kanker
paru.
3. FAKTOR RESIKO
3.1. Genetik.
PPOK adalah penyakit yang melibatkan banyak gen dan merupakan contoh klasik
interaksi gen dan lingkungan. Faktor resiko genetik yang telah diketahui adalah defisiensi
alpha-1 antitrypsin, suatu penghambat yang bersikulasi dari protease serine.1
3.2. Merokok.
Perokok memeliki prevalensi yang lebih tinggi menderita gejala dan gangguan fungsi
paru, penurunan FEV1 setiap tahun dan angka mortalitas PPOK yang lebih besar. Resiko
PPOK pada perokok, bergantung pada banyaknya rokok yang dikonsumsi, usia pertama kali
mulai merokok, jumlah total rokok yang dihisap pertahun dan status merokok saat ini.
3.3. Debu dan Bahan Kimia Okupasi.
Paparan partikel dan bahan kimia okupasi, juga merupakan faktor resiko
berkembangnya PPOK. Meliputi agen kimia dan debu organik dan anorganik serta bau-
bauan.
3.4. Polusi Udara Dalam Rumah.
Pembakaran pada tungku atau kompor yang tidak berfungsi dengan baik, dapat
menyebabkan polusi udara di dalam ruangan.
3.5. Polusi Udara Di Luar Rumah.
Peranan polusi udara luar rumah dalam menyebabkan PPOK tidak jelas, tetapi
tampaknya lebih kecil dibandingkan merokok. Polusi udara dari pembakaran hutan, asap
kendaraan bermotor dan asap-asap pabrik.
3.6. Stress Oksidatif.
Paru-paru secara terus menerus terpapar oleh oksidan yang dikeluarkan secara
endogendari fagosit dan jenis sel lainnya, atau secara eksogen dari polusi udara atau asap
rokok. Akibat dari ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan maka paru-paru
mengalami stress oksidatif. Selain menghasilkan perlukaan langsung, juga mengaktivase
mekanisme molekuler yang menginisiasi inflamasi paru.
3.7. Infeksi.
Kolonisasi bakteri yang dihubungkan dengan inflamasi saluran nafas, dapat juga
berperan dalam eksaserbasi. Akibatnya akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan
menimbulkan gejala gangguaan pernafasan.
3.8. Asma.
Pada orang dewasa dengan asma memeliki resiko 12x lipat lebih besar menderita
PPOK, dibandingkan orang dewasa tanpa menderita asma.
4. PATOGENESIS DAN PATOFISOLOGIS PPOK
Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi pada paru- paru yang
merupakan suatu respon normal, yang tampak menjadi lebih berat pada penderita PPOK.
Respon abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim (menyebabkan emfisema)
dan mengganggu perbaikan normal dan mekanisme pertahanan (menyebabkan fibrosis
saluran nafas kecil). Perubahan patologis ini menyebabkan air trapping dan keterbatasan
saluran nafas yang progresif.
Sel inflamasi : Makrofag, (CD8+ > CD4+) limfosit T, limfosit B, folikel limfoid,
fibroblas, beberapa neutrofil atau eosinofil.
Perubahan struktural : penebalan dinding saluran nafas, fibrosis peribronkial,
eksudat inflamasi luminal, penyempitan saluran nafas, peningkatan respon
inflamasi dan eksudat yang berhubungan dengan kegawatan penyakit.
Makrofag : Sejumlah besar terlihat pada lumen saluran nafas, parenkim paru dan cairan
lavage bronkoalveolar. Berasal dari monosit darah yang berdiferensiasi dalam jaringan
paru. Menghasilkan peningkatan mediator inflamasi dan protease pada pasien PPOK,
sebagai respon terhadap asap rokok
dan dapat menyebabkan fagositosis defektif.
Limfosit T : Sel CD4+ dan CD8+ meningkat poada dinding saluran nafas dan
parenkim paru. Sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 mensekresikan interferon. Sel
CD8+ dapat menjadi sitotoksik terhadap sel-sel alveolar.
Eosinofil : protein eosinofil terdapat dalam sputum dan eosinofil terdapat pada
dinding saluran nafas saat eksaserbasi.
Sel-sel Epitel : kemungkinan dipicu oleh asap rokok, untuk menghasilkan
mediator inflamasi
Patogenesis
Inflamasi paru pada pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi normal
terhadap partikel dan gas beracun seperti asap rokok yang berlangsung lama. Selain itu
faktor genetik ikut mempengaruhi. Inflamasi lebih lanjut, diperburuk oleh stress oksidatif
dan kelebihan proteinase pada paru-paru. Secara bersamaan, mekanisme ini akan
menyebabkan perubahan patologis.
PPOK ditandai oleh pola tertentu dari inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag
dan limfositosis. Sel-sel ini akan melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi dengan sel
struktural, pada saluran nafas dan parenkim paru. Berbagai mediator inflamasi itu, akan
menarik sel inflamasi dari darah ( faktor kemotakik), memperkuat proses inflamasi (sitokin
proinflamasi), dan menginduksi perubahan struktural (faktor pertumbuhan).
Stress oksidatif mungkin merupakan mekanisme penguat dari proses terjadinya
PPOK. stress oksidatif lebih lanjut, meningkat pada eksaserbasi. Oksidan dihasilkan oleh
asap rokok dan partikulat lainnya, dan dilepaskan dari sel inflamasi teraktifasi seperti
makrofag dan neutrofil. Stress oksidatif memiliki konsekuensi buruk pada paru paru, yang
meliputi aktifasi gen inflamasi, inaktifasi antiprotese yang menstimulasi sekresi mukus dan
eksudat plasma.
Inflamasi paru
Faktor penjamu
Antioksidan Antiprotease
Mekanisme perbaikan
Patologi PPOK
Patofisiologis
Inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK penurunan
FEV1 disebakan inflamasi dan penyempitan saluran nafas periferal, sementara penurunan
pertukaran gas disebabkan oleh kerusakan jaringan parenkim paru. Besarnya inflamasi,
fibrosis dan eksudat pada saluran nafas kecil, berhubungan dengan penurunan FEV1 dan
rasio FEV1/FVC. Cepatnya penurunan FEV1, merupakan karakteristik dari PPOK.
Obstruksi saluran nafas periferal secara progresif, menyebabkan air trapping selama
ekspirasi dan
mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi ini akan menurunkan kapasitas inspirasi, sehingga
kapasitas residu fungsional meningkat. Diperkirakan hiperinflasi berkembang sejak awal
penyakit dan merupakan mekanisme utama untuk dispnea eksersional.
Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran nafas periferal menyebabkan ketidakseimbangan
ventilasi – perfusi (VA/Q) disertai gangguan fungsi otot pernafasan, terjadilah retensi CO2.
Hipersekresi mukus, penyebab batuk kronis, tidak dialami semua pasien dengan PPOK. Hal
ini disebabkan metaplasia mukus dengan peningkatan jumlah sel-sel goblet dan pembesaran
kelenjar submukosa, sebagai respon terhadap iritasi saluran nafas kronis akibat asap rokok
dan agen berbahaya lainnya.
Hipertensi ringan juga dapat terjadi pada pasien PPOK. hal ini disebabkan vasokonstriksi
hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang akhirnya menyebabkan trejadinya hiperplasia
intima. Pada PPOK, tejadi respon inflamasi pada pembuluh darah serupa dengan yang
terlihat pada saluran nafas dan pada disfungsi sel endotel.
5. DIAGNOSIS PPOK
I. Anamnesis
PPOK adalah suatu penyakit menahun, gangguan saluran napas secara bertahap
selama bertahun-tahun. Umumnya terjadi pada perokok, dimulai dengan berkurangnya
kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat, terjadinya perubahan pada saluran nafas
kecil dan fungsi paru. Timbul batuk prodiktif yang lama, mulai sering mendapat infeksi
berulang saluran nafas, kemudian secara perlahan disertai sesak nafas, dan sudah tidak
mampu untuk melakukan aktifitas sehari hari.
Diagnosis klinis PPOK seyogyanya dipertimbangkan pada setiap penderita yang
mengalami dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum dan/ atau adanya faktor resiko
(genetik: defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan rokok dan polusi udara, oksidatif stres,
gender, usia, infeksi saluran nafas, dll).
Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena merokok, dan
dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama batuk makin berat, timbul
sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas, batuk akan bertambah hebat dan
berkurang bila infeksi menghilang. Umumnya sputum pasien PPOK berwarna putih atau
mukoid, bila terdapat infeksi akan menjadi purulen atau mukopurulen dan kental.
Keluhan sesak bertambah berat bila terdapat infeksi.
Pasien biasanya tampak kurus, juga didapatkan tanda – tanda overinflasi paru seperti
diameter anteroosterior dada meningkat ( barrel-shaped chest ), kifosis, jarak tulang
rawan krikotiroid dengan lekukan supra sternal kurang dari 3 jari, iga lebih horisontal dan
sudut subkostal bertambah. Fremitus taktil dada berkurang bahkan tidak ada
Pada perkusi dada terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih
rendah, dan pekak jantung berkurang. Suara nafas vesikuler berkurang dengan ekspirasi
memanjang atau kadang normal. Kadang disertai kontraksi otot otot pernafasan
tambahan. Lebih sering didapatkan dengan hernia inguinalis.
Bila pada hasil pemeriksaan spirometri didapatkan hasil 30%<VEP1<70% dan VEP1 /
KVP < 80% maka dipastikan menderita PPOK.
po
Ri
Fa
or resiko Usia
yat pajanan : asap rokok, polusi udara,
i tempat kerja
Pemeriksaan fisik *
Keterbatasan aktifiti
Batuk kronik disertai dahak
Sesak nafas
DIAGNOSIS PPOK
KETERANGAN
Normal 30% < VEP1 < 70 % prediksi VEP1 /
* Pemeriksaan fisikKVP
: < 80 % Fremitus melemah, sela iga melebar
a. Normal Hipersonor
b. Kelainan Suara nafas vesikuler melemah atau normal
Bentuk dada : Barrel chest
Jantung Pendulum
Penggunaan otot bantu pernapasan
Pelebarab sela iga
Hipertrofi otot bantu nafas
Ekspirasi memanjang
Mengi
Derajat II B: PPOK Dengan atau tanpa gejala klinik VEP1/KVP < 75%
Sedang 30 % ≤ VEP1 ≤ 50% prediksi
Derajat III: PPOK Gagal napas atau gagal VEP1/KVP < 75%
Berat jantung kanan VEP1 ≤ 30% prediksi
Diagnosis Banding
1. PPOK
a. Onset usia pertengahan
b. Gejala progresif lambat
c. Riwayat merokok (lama dan jumlah rokok)
d. Sesak saat aktifitas
e. Hambatan aliran udara ireversibel
2. Pada Asma
a. Onset usia dini
b. Gejala bervariasi dari hari ke hari
c. Gejala pada waktu malam lebih menonjol
d. Dapat diketemukan alergi, rhinitis dan eksim
e. Riwayat asma dalam keluarga
f. Hambatan aliran udaranya reversibel
3. Pada Gagal Jantung Kongestif
a. Riwayat hipertensi
b. Rankhi basah halus di basal paru
c. Gambaran foto torak tampak pembesaran jantung dan oedema
d. Pemeriksaan faal paru restriktif. (PPOK Obstruktif)
4. Pada Tuberkulosis
a. Onset semua usia
b. Gambaran foto torak infiltrat
c. Konfirmasi pemeriksaan mikrobiologi (BTA)
5. Pada Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT)
a. Riwayat terapi TB adekuat
b. Gambaran foto torak fibrosis dan kalsifikasi minimal
c. Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruktif yang tidak reversible.
Dampak PPOK pada seseorang pasien, bergantung tidak hanya pada derajat
keterbatasan saluran nafas, tetapi juga pada keparahan gejalanya. Staging berdasarkan
spirometri, adalah pendekatan pragmatik yang ditujukan pada implementasi praktis
dan harus digunakan sebagai alat edukasi dan suatu indikasi umum untuk dilakukan
pengobatan.
Terapi farmakologis digunakan untuk mencegah dan mengendalikan gejala,
mengurangi kekerapan dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan kondisi kesehatan
dan meningkatkan toleransi olah raga.
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK sendiri :
1. Mencegah progresivitas penyakit
2. Mengurangi gejala
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Mencegah dan mengobati komplikasi
5. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
6. Mencegah atau meminimalkan efek samping obat
7. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
8. Meningkatkan kualitas hidup penderita
9. Menurunkan angka kematian
Karakteristik gejala PPOK adalah dispnea kronik dan progresif, artinya fungsi
paru akan menurun seiring bertambahnya usia, batuk dan produksi sputum, dapat
mendahului terjadinya keterbatasan aliran nafas. Meski PPOK didefinisikan atas dasar
keterbatasan aliran nafas, pada prakteknya keputusan untuk mendapatkan pertolongan
medis umumnya ditentukan dari dampak suatu gejala terhadap kualitas hidup pasien.
Untuk itu monitor penting yang harus dilakukan adalah memperhatikan gejala klinis
dan fungsi paru penderita.
Proses berhenti dari kebiasaan merokok ini memang tidak semudah membalik
telapak tangan, butuh niat yang kuat dari penderita dan kalau perlu bisa dibantu
dengan farmakoterapi. Kebiasaan merokok ini bahkan bisa masuk kategori candu
karena begitu seseorang mencoba merokok maka nikotin yang terserap dalam darah
akan diteruskan ke otak dan ditangkap oleh reseptor alfa 4 beta 2 sehingga merangsang
pelepasan dopamin yang memberikan rasa nyaman. Sehingga saat seseorang berhenti
merokok, dopamin akan berkurang dan menimbulkan hilangnya rasa nyaman
selanjutnya akan timbul keinginan kembali untuk merokok, terjadilah lingkaran setan
yang akan sangat sulit diputuskan.
REGULER
Bronkodil
ator Anti
2
Agoni
Xantin
kolinergik
s Rehabilitasi
Berhenti merokok Kombinasi
Pengetahuan SABA + Terapi oksigen
dasar PPOK Antikolinergi Vaksinasi *
Obat-obatan k Kombinasi
Dipertimba Nutrisi
Pencegahan LABA +
ngkan Ventilasi non mekanik
perburukan Kortikostero
mukolitik Intervensi bedah
penyakit id
Menghindari Antioksidan
pencetus
Penyesuaian
aktifitas
Keterangan :
Kortikosteroid hanya diberikan kepada penderita dengan uji steroid positif. Uji
steroid positif adalah bila dengan pemberian steroid oral selama 10-14 hari atau
inhalasi selama 6 minggu – 3 bulan menujukkan perbaikan gejala klinisatau fungsi
paru.
SABA : short acting β 2 Agonis
LABA : long actng β 2Agonis
Vaksinasi Influensa dipertimbangkan pemberiannya pada :
Pasien usia diatas 60 tahun
Pasien PPOK sedang dan berat
4. Tatalaksana PPOK eksaserbasi
Akut eksaserbasi adalah suatu kejadian yang terjadi secara alamiah, dalam perjalanan
penyakit PPOK hal itu ditandai dengan perubahan dispnea, batuk, dan atau produksi sputum
yang jauh dari normal.
Batuk bertambah
Produksi sputum bertambah
Sputum berubah warna
Sesak napas bertambah
Keterbatasan aktifitas bertambah
Penurunan kesadaran
Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imun
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematocrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan.
Gagal Nafas
1.1 Definisi Gagal Nafas
Gagal nafas adalah kondisi ketika sistem pernapasan gagal melakukan fungsi
pemasukan gas, pertukaran gas, dan pengeluaran karbondioksida. Ketidakmampuan
tersebut dilihat dari kemampuan jaringan dalam memasukkan oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida. Kriteria AGD untuk mengetahui gagal napas tidak
mutlak dilihat dari nilai PaO2 < 60 mmHg atau PaCO2 >60 mmHg.5
1.2 Klasifikasi Gagal Nafas
Berdasarkan pemeriksaan AGD, gagal nafas dapt diklasifikasikan ke dalam tiga tipe
- Tipe I : kegagalan oksigenasi (hipoksia) ditandai dengan PaO2 arteri yang
rendah.
- Tipe II : kegagalan ventilasi (hiperkapnia) ditandai dengan peningkatan
PaCO2 (PaC02 > 65 mmHg) yang diikuti dengan penurunan PaO 2 dan PAO2
sehingga nilai (Aa)-DO2 tidak berubah.
- Tipe III : Gabungan antara kegagalan oksigenasi dan kegagalan ventilasi,
ditandai dengan peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2.6
1.3 Patofisiologi Gagal Nafas
Gagal nafas tipe hipoksemia disebabkan karena ketidakseimbangan ventilasi
dan perfusi, dan pintasan darah kanan-kiri. Gagal nafas tipe ini terjadi pada kelainan
pulmoner dan ekstrapulmoner.6
Gagal napas tipe hiperkapnea disbebakan karena hipoventilasi karena
kelainan ekstrapulmoner atau ketidakseimbangan V/Q karena kelainan intrapulmoner
atau keduanya dapat terjadi secara bersamaan. Hiperkapnia terjadi karena kegagalan
pertukaran udara atmosfer dengan paru tanpa ada kelainan pertukaran gas di
parenkim paru. Akan didapatkan PaCO2 meningkat, PaO2 rendah, dan Aa-DO2
normal. Kegagalan ventilasi disebabkan karena sebagian alveoli mengalami
penurunan ventilasi relative terhadap perfusi dan sebagian alveoli mengalami
peningkatan ventilasi relative terhadap alveoli sehingga akan terjadi mekanisme
kompensasi dan PaCO2 tidak meningkat. Apabila hal ini berlangsung terus-menerus
maka akan terjadi gagal kompensasi yang menyebabkan peningkatan CO2,
penurunan PaO2, dan AA-DO2 akan meningkat signifikan.6
Indikasi gagal nafas adalah peningkatan frekuensi napas. Apabila terjadi
peningkatan frekuensi napas (n = 12-20x/menit) maka perlu diberikan bantukan
ventilasi karena kerja pernafasan meningkat sehingga terjadi kelelahan.6
1.4 Diagnosa Gagal Nafas
1. Anamnesis
Gejala yang paling sering muncul adalah sesak. Pada hiperkapnia dapat
terjadi penurunan kesadara hingga stupor-koma. Pasien juga dapat mengeluhkan
sakit kepala. Sakit kepala disebbkan karena dilatasi pembuluh darah cerebri akibat
peningkatan PaCO2. Gekala hiperkapnia meliputi somnolen, letargi, dan penurunan
status mental. Jika terjadi asidosis respiratorik berat dpat menyebabkan depresi
miokard yang ditandai dengan terjadinya hipotensi.7
Gejala hipoksemia dapat melibatkan kelainan pada SSP (confusion, kejang,
gelisah), kelainan kardiovaskular (aritmia, hipotensi, hipertensi), dan kelainan
respirasi (dispneu, takipneu).7
Hipoksemia dan hiperkapnia seringkali hadir bersamaan sehingga gejala yang
muncul dapat berupa kombinasi dari keduanya. Seringkali didapatkan gejala sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya seperti batuk dan sputum pada pneumonia, nyeri
dada pada infark miokard.7
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
a. Takipnue dan takikardi yang merupakan gejala nonspesifik
b. Batuk yang tidak adekuat, penggunaan otot bantu napas, dan pulsus
paradoksus dapat menandakan risiko terjadinya gagal napas
c. Pada funduskopi dapat ditemukan papil edema akibat hiperkapnia atau
vasodilatasi cerebral
d. Pada paru ditemukan gejala yang sesuai dengan penyakit yang mendasari.
e. Bila hipoksemia berat, dapat ditemukan sianosis pada kulit dan membran
mukosa. Sianosis dapat diamati bila konsentrasi hemoglobin yang mengalami
deoksigenasi pada kapiler atau jaringan mencapai 5 g/dL
f. Dispneu dapat terjadi akibat usaha bernapas, reseptor vagal, dan stimuli kimia
akibat hipoksemia atau hiperkapnia
g. Kesadaran berkabut dan somnolen dapat terjadi pada kasus gagal napas
h. Mioklonus dan kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat. Polisitemia
merupakan komplikasi lanjut dari hipoksemia
i. Hipertensi pulmoner biasanya terdapat pada gagal napas kronik. Hipoksemia
alveolar yang disebabkan oleh hiperkapnia menyebabkan konstriksi arteriol
pulmoner.7
3. Pemeriksaan Penunjang
Hitung darah lengkap dapat menunjukan anemia yang dapat berkontribusi
tehadap hipoksia jaringan, sedangkan polisitemia mungkin menunjukkan kegagalan
pernafasan hipksemia kronis.
Kelainan fungsi ginjal dan hati dapat memberikan komplikasi kegagalan
pernafasan. Kelainan elektrolit seperti kaliu, magnesium, dan fosfat dapat
memperburuk kegagalan pernafasan.
Foto rontgen dada sangat penting. Echocardiography tidak rutin dilakukan
tetapi kadang kadang berguna. Tes fungsi paru jika memungkinkan, dapat
membantu. Elektrokardiografi (EKG) harus dilakukan untuk mengevaluasi
kemungkinan penyebab kardiovaskular sebagai kegagalan pernafasan, tetapi juga
dapat mendeteksi disritmia akibat hipoksemia berat atau asidosis.7
Pada keadaan PaO2 turun maka peru dilakukan terapi oksigen hingga
PaO2 normal kembali. Indikasi pemberian oksigen harus jelas, jumlah yang
diberikan harus diatur setepat mungkin agar memberikan efek terapi dan
menghindari toksisitas.5
Cara pemberian oksigen secara umum ada dua, yaitu dengan sistem
arus rendah dan sistem arus tinggi. Nasal kanul merupakan sistem pemerian
oksigen arus rendah yang dapat mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan
alira 6-8 Lpm dengan FiO2 (245-44%). Alat oksigen arus tinggi diantaranya
ventury mask dan reservoir nebulizer blenders yang dapat mengalirkan
oksigen hingga 40 Lpm yang umun=mnya cukup untuk kebutuhan total
respirasi. Pasien dengan PPOK dan gagal nafas tipe hipoksemia,
menggunakan mask ini dapat mengurangi retensi CO2 dan mengurangi
hipoksemia yang terjadi.5
2. Atasi hiperkapnia : Perbaikan ventilasi
Ventilasi
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut
kemulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung
(face mask atau ambu bag) dengan memompa kantungnya untuk
memasukkan udara ke dalam paru.6,9 Hiperkapnia mencerminkan adanya
hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat dari turunnya ventilasi semenit
atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba
selalu berhubungan dengan asidosis respiratoris. Pasien dengan pemulihan
awal diharapkan, ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau face mask
merupakan alternatif yang efektif.6 Indikasi utama pemasangan ventilator
adalah adanya gagal napas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas
(gawat nafas yang tidak 17 segera teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal
napas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau
kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap
hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau
eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak dan
menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang ventilator harus
dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien yang dipasang
ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang
terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup
keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil.
Secara umum bantuan napas mekanik (ventilator) dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu invasive Positive Pressure Ventilator (IPPV), dimana pasien
sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan Non
Invasive Positive Pressure Ventilator (NIPPV), dimana pasien sebelum
dihubungkan dengan ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini
adalah efek samping akibat tindakan intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya
relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang bisa bicara, makan, batuk,
dan bisa diputus untuk istirahat.6,8 Terapi suportif lainnya Fisioterapi dada.
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan ini
selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien
diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut
dengan menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan
batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada, punggung,
dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang diperlukan
juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator.7
B. Penatalaksanaan Kausatif