Anda di halaman 1dari 32

1

PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronik

1. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel2.

Hambatan aliran udara pada penyakit ini seringkali disebabkan oleh diameter saluran
nafas yang menyempit berkaitan dengan beberapa faktor, antara lain meningkatnya
ketidakelastisan dinding saluran nafas, meningkatnya produksi sputum di saluran nafas, dan
lain sebagainya. Gangguan aliran udara di dalam saluran nafas disebabkan proses inflamasi
paru yang menyebabkan terjadinya kombinasi penyakit saluran napas kecil ([[small airway
disease]]) dan destruksi parenkim (emfisema). Kerusakan pada jaringan parenkim paru,
yang juga disebabkan proses inflamasi, menyebabkan hilangnya perlekatan alveolar pada
saluran nafas kecil dan penurunan rekoil elastik paru.

Banyak definisi terdahulu menekankan emfisema dan bronkitis kronis, yang


sekarang sudah tidak termasuk dalam definisi PPOK. Emfisema atau kerusakan permukaan
pertukaran gas paru (alveoli), adalah kata patologis yang sering digunakan dan menjelaskan,
hanya satu dari beberapa abnormalitas struktural yang terjadi pada penderita PPOK, dengan
kata lain emfisema merupakan suatu diagnosis patologik. Bronkitis kronis, atau batuk dan
produksi sputum selama setidaknya 3 bulan dalam 2 tahun, tetap merupakan konsep definitif
yang berguna secara klinis dan epidemiologi, sehingga bronkitis kronis dianggap sebagai
diagnosis klinis.

2. GEJALA KLINIS
Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya, dapat
dimulai dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa kelainan fisik
sampai kelainan fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh karena
itu dibutuhkan diagnosa yang akurat, pemeriksaan penunjang dan diagnosa banding
untuk dapat menegakkan penyakit PPOK.2
Seseorang diduga menderita PPOK bila (i) mengalami batuk kronis yang umumnya
muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (ii) memproduksi sputum kronis, (iii)
-sering mengalami bronkitis akut, (iv) sesak nafas setiap hari, memburuk pada saat
melakukan aktivitas dan terkena infeksi, (v) punya riwayat terpapar asap rokok (baik
perokok aktif maupun perokok pasif), polusi udara, debu dan bahan kimia di tempat kerja,
ataupun asap hasil pembakaran alat masak, misalnya kayu bakar, arang yang terus menerus
(setiap hari sepanjang tahun), disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis
PPOK adalah penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk
dengan aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok,
asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.
Penyakit ini seringkali tidak berdiri sendiri, tapi selalu disertai komorbid yang
berkaitan dengan rokok atau ketuaan, karena memang PPOK seringkali terjadi pada orang
perokok dalam jangka lama dan usia lanjut. Penurunan berat badan, abnormalitas nutrisi dan
disfungsi otot skeletal adalah beberapa dampak PPOK pada ekstrapulmonal. PPOK juga
akan meningkatkan risiko terjadinya infark myokard, angina, osteoporosis, infeksi
pernafasan, fraktur, depresi, diabetes, gangguan tidur, anemia , glukoma dan juga kanker
paru.

3. FAKTOR RESIKO
3.1. Genetik.
PPOK adalah penyakit yang melibatkan banyak gen dan merupakan contoh klasik
interaksi gen dan lingkungan. Faktor resiko genetik yang telah diketahui adalah defisiensi
alpha-1 antitrypsin, suatu penghambat yang bersikulasi dari protease serine.1
3.2. Merokok.
Perokok memeliki prevalensi yang lebih tinggi menderita gejala dan gangguan fungsi
paru, penurunan FEV1 setiap tahun dan angka mortalitas PPOK yang lebih besar. Resiko
PPOK pada perokok, bergantung pada banyaknya rokok yang dikonsumsi, usia pertama kali
mulai merokok, jumlah total rokok yang dihisap pertahun dan status merokok saat ini.
3.3. Debu dan Bahan Kimia Okupasi.
Paparan partikel dan bahan kimia okupasi, juga merupakan faktor resiko
berkembangnya PPOK. Meliputi agen kimia dan debu organik dan anorganik serta bau-
bauan.
3.4. Polusi Udara Dalam Rumah.
Pembakaran pada tungku atau kompor yang tidak berfungsi dengan baik, dapat
menyebabkan polusi udara di dalam ruangan.
3.5. Polusi Udara Di Luar Rumah.
Peranan polusi udara luar rumah dalam menyebabkan PPOK tidak jelas, tetapi
tampaknya lebih kecil dibandingkan merokok. Polusi udara dari pembakaran hutan, asap
kendaraan bermotor dan asap-asap pabrik.
3.6. Stress Oksidatif.
Paru-paru secara terus menerus terpapar oleh oksidan yang dikeluarkan secara
endogendari fagosit dan jenis sel lainnya, atau secara eksogen dari polusi udara atau asap
rokok. Akibat dari ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan maka paru-paru
mengalami stress oksidatif. Selain menghasilkan perlukaan langsung, juga mengaktivase
mekanisme molekuler yang menginisiasi inflamasi paru.
3.7. Infeksi.
Kolonisasi bakteri yang dihubungkan dengan inflamasi saluran nafas, dapat juga
berperan dalam eksaserbasi. Akibatnya akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan
menimbulkan gejala gangguaan pernafasan.

3.8. Asma.
Pada orang dewasa dengan asma memeliki resiko 12x lipat lebih besar menderita
PPOK, dibandingkan orang dewasa tanpa menderita asma.
4. PATOGENESIS DAN PATOFISOLOGIS PPOK

Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi pada paru- paru yang
merupakan suatu respon normal, yang tampak menjadi lebih berat pada penderita PPOK.
Respon abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim (menyebabkan emfisema)
dan mengganggu perbaikan normal dan mekanisme pertahanan (menyebabkan fibrosis
saluran nafas kecil). Perubahan patologis ini menyebabkan air trapping dan keterbatasan
saluran nafas yang progresif.

PERUBAHAN PATOLOGI PADA PPOK

Saluran Nafas Proksimal (Trakea, Bronki > 2mm diameter internal)


 Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T, beberapa neutrofil atau eosinofil.
 Perubahan struktural : Sel goblet, hipertrophi kelenjar submukosal ( keduanya
menyebabkan hipersekresi mukus), squamosa metaplasia epitelium.
Saluran Nafas Periferal (Bronkiolus < 2mm)

 Sel inflamasi : Makrofag, (CD8+ > CD4+) limfosit T, limfosit B, folikel limfoid,
fibroblas, beberapa neutrofil atau eosinofil.
 Perubahan struktural : penebalan dinding saluran nafas, fibrosis peribronkial,
eksudat inflamasi luminal, penyempitan saluran nafas, peningkatan respon
inflamasi dan eksudat yang berhubungan dengan kegawatan penyakit.

Parenkim Paru (bronkioulus respirasi dan alveoli)


 Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T
 Perubahan struktural : kerusakan dinding alveolar, apoptosis dinding epitel
dan endotel.
 Emfisema sentrilobular : dilatasi dan kerusakan bronkiolus respirasi (paling
banyak pada perokok)
 Emfisema parasinar : kerusakan kantung alveolar dan bronkiolus respirasi
(banyak terdapat pada defisiensi alpha-1 antitrypsin)
Vaskular Pulmonal

 Sel inflamasi : Makrofag, limfosit T.


 Perubahan struktural : penebalan intima, disfungsi sel endotel
SEL-SEL INFLAMSI PADA PPOK
Neutrofil : terdapat di dalam sputum perokok normal, kemungkinan berperan
penting dalam hipersekresi mukus dan melalui pelepasan protease.

Makrofag : Sejumlah besar terlihat pada lumen saluran nafas, parenkim paru dan cairan
lavage bronkoalveolar. Berasal dari monosit darah yang berdiferensiasi dalam jaringan
paru. Menghasilkan peningkatan mediator inflamasi dan protease pada pasien PPOK,
sebagai respon terhadap asap rokok
dan dapat menyebabkan fagositosis defektif.
Limfosit T : Sel CD4+ dan CD8+ meningkat poada dinding saluran nafas dan
parenkim paru. Sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 mensekresikan interferon. Sel
CD8+ dapat menjadi sitotoksik terhadap sel-sel alveolar.

Limfosit B : di dalam saluran nafas perifer dan diantara folikel limfoid,


kemungkinan sebagai respon terhadap kolonisasi kronik dan infeksi saluran nafas.

Eosinofil : protein eosinofil terdapat dalam sputum dan eosinofil terdapat pada
dinding saluran nafas saat eksaserbasi.
Sel-sel Epitel : kemungkinan dipicu oleh asap rokok, untuk menghasilkan
mediator inflamasi

 Patogenesis
Inflamasi paru pada pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi normal
terhadap partikel dan gas beracun seperti asap rokok yang berlangsung lama. Selain itu
faktor genetik ikut mempengaruhi. Inflamasi lebih lanjut, diperburuk oleh stress oksidatif
dan kelebihan proteinase pada paru-paru. Secara bersamaan, mekanisme ini akan
menyebabkan perubahan patologis.
PPOK ditandai oleh pola tertentu dari inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag
dan limfositosis. Sel-sel ini akan melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi dengan sel
struktural, pada saluran nafas dan parenkim paru. Berbagai mediator inflamasi itu, akan
menarik sel inflamasi dari darah ( faktor kemotakik), memperkuat proses inflamasi (sitokin
proinflamasi), dan menginduksi perubahan struktural (faktor pertumbuhan).
Stress oksidatif mungkin merupakan mekanisme penguat dari proses terjadinya
PPOK. stress oksidatif lebih lanjut, meningkat pada eksaserbasi. Oksidan dihasilkan oleh
asap rokok dan partikulat lainnya, dan dilepaskan dari sel inflamasi teraktifasi seperti
makrofag dan neutrofil. Stress oksidatif memiliki konsekuensi buruk pada paru paru, yang
meliputi aktifasi gen inflamasi, inaktifasi antiprotese yang menstimulasi sekresi mukus dan
eksudat plasma.

Asap rokok, Partikel dan gas beracun


PATOGENESIS

Inflamasi paru

Faktor penjamu

Antioksidan Antiprotease

Stress oksidatif Protease

Mekanisme perbaikan

Patologi PPOK

 Patofisiologis
Inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK penurunan
FEV1 disebakan inflamasi dan penyempitan saluran nafas periferal, sementara penurunan
pertukaran gas disebabkan oleh kerusakan jaringan parenkim paru. Besarnya inflamasi,
fibrosis dan eksudat pada saluran nafas kecil, berhubungan dengan penurunan FEV1 dan
rasio FEV1/FVC. Cepatnya penurunan FEV1, merupakan karakteristik dari PPOK.
Obstruksi saluran nafas periferal secara progresif, menyebabkan air trapping selama
ekspirasi dan
mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi ini akan menurunkan kapasitas inspirasi, sehingga
kapasitas residu fungsional meningkat. Diperkirakan hiperinflasi berkembang sejak awal
penyakit dan merupakan mekanisme utama untuk dispnea eksersional.
Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran nafas periferal menyebabkan ketidakseimbangan
ventilasi – perfusi (VA/Q) disertai gangguan fungsi otot pernafasan, terjadilah retensi CO2.
Hipersekresi mukus, penyebab batuk kronis, tidak dialami semua pasien dengan PPOK. Hal
ini disebabkan metaplasia mukus dengan peningkatan jumlah sel-sel goblet dan pembesaran
kelenjar submukosa, sebagai respon terhadap iritasi saluran nafas kronis akibat asap rokok
dan agen berbahaya lainnya.
Hipertensi ringan juga dapat terjadi pada pasien PPOK. hal ini disebabkan vasokonstriksi
hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang akhirnya menyebabkan trejadinya hiperplasia
intima. Pada PPOK, tejadi respon inflamasi pada pembuluh darah serupa dengan yang
terlihat pada saluran nafas dan pada disfungsi sel endotel.

5. DIAGNOSIS PPOK

Diagnosis PPOK secara teoritis ditegakkan didasarkan atas anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan fungsi paru atau
spirometri.

I. Anamnesis
PPOK adalah suatu penyakit menahun, gangguan saluran napas secara bertahap
selama bertahun-tahun. Umumnya terjadi pada perokok, dimulai dengan berkurangnya
kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat, terjadinya perubahan pada saluran nafas
kecil dan fungsi paru. Timbul batuk prodiktif yang lama, mulai sering mendapat infeksi
berulang saluran nafas, kemudian secara perlahan disertai sesak nafas, dan sudah tidak
mampu untuk melakukan aktifitas sehari hari.
Diagnosis klinis PPOK seyogyanya dipertimbangkan pada setiap penderita yang
mengalami dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum dan/ atau adanya faktor resiko
(genetik: defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan rokok dan polusi udara, oksidatif stres,
gender, usia, infeksi saluran nafas, dll).
Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena merokok, dan
dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama batuk makin berat, timbul
sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas, batuk akan bertambah hebat dan
berkurang bila infeksi menghilang. Umumnya sputum pasien PPOK berwarna putih atau
mukoid, bila terdapat infeksi akan menjadi purulen atau mukopurulen dan kental.
Keluhan sesak bertambah berat bila terdapat infeksi.

II. Pemeriksaan Fisik


Pada stadium dini tidak diketemukan kelainan. Hanya kadang – kadang terdengar
ronkhi pada waktu inspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar ronkhi
pada waktu ekspirasi dan inspirasi disertai mengi.

Pasien biasanya tampak kurus, juga didapatkan tanda – tanda overinflasi paru seperti
diameter anteroosterior dada meningkat ( barrel-shaped chest ), kifosis, jarak tulang
rawan krikotiroid dengan lekukan supra sternal kurang dari 3 jari, iga lebih horisontal dan
sudut subkostal bertambah. Fremitus taktil dada berkurang bahkan tidak ada
Pada perkusi dada terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih
rendah, dan pekak jantung berkurang. Suara nafas vesikuler berkurang dengan ekspirasi
memanjang atau kadang normal. Kadang disertai kontraksi otot otot pernafasan
tambahan. Lebih sering didapatkan dengan hernia inguinalis.

III. Pemeriksaan Radiologis


Pada foto toraks pasien curiga PPOK bisa didapatkan normal atau tidak ada kelainan,
dapat juga ditemukan gambaran bayangan bronkus yang menebal, corakan
bronkovaskuler meningkat,bula, diapragma letak rendah dan mendatar, paru paru lebih
hiperlusen karena adanya air trapping, disertai posisi jantung yang menggantung.

IV. Pemeriksaan Fungsi Paru


Spirometri adalah pengukuran volume dan aliran udara yang masuk dan keluar paru-
paru. Spirometer dapat mengukur volume paru, seperti volume tidal dan kapasitas paru,
seperti kapasitas total.

Bila pada hasil pemeriksaan spirometri didapatkan hasil 30%<VEP1<70% dan VEP1 /
KVP < 80% maka dipastikan menderita PPOK.
po
Ri
Fa
or resiko Usia
yat pajanan : asap rokok, polusi udara,
i tempat kerja
Pemeriksaan fisik *

Keterbatasan aktifiti
Batuk kronik disertai dahak
Sesak nafas

DIAGNOSIS PPOK

Infiltrat, massa, dll

Curiga PPOK ** Pemeriksaan foto torak

PPOK secara Beresiko PPOK PPOK Bukan PPOK


klinis derajat 0 Derajat I/II/III/IV
ti spirometri (-) Fasiliti spirometri (+)

KETERANGAN
Normal 30% < VEP1 < 70 % prediksi VEP1 /
* Pemeriksaan fisikKVP
: < 80 % Fremitus melemah, sela iga melebar
a. Normal Hipersonor
b. Kelainan Suara nafas vesikuler melemah atau normal
 Bentuk dada : Barrel chest
Jantung Pendulum
 Penggunaan otot bantu pernapasan
 Pelebarab sela iga
 Hipertrofi otot bantu nafas
 Ekspirasi memanjang
 Mengi

**Foto toraks curiga PPOK


a. Normal
b. Kelainan
 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Diafragma mendatar
 Corakan bronkovaskuler meningkat
 Bullae
KLASIFIKASI PPOK

DERAJAT KLINIS FAAL PARU


Derajat 0 : Gejala kronik (batuk, dahak) Spirometri normal
Beresiko Terpajan faktor resiko
Derajat I : Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%
PPOK Ringan klinik ( VEP1 ≥ 80% prediksi
Derajat II A: PPOK Dengan atau tanpa gejala klinik VEP1/KVP < 75%
Sedang 50 % ≤ VEP1 ≤ 80% prediksi

Derajat II B: PPOK Dengan atau tanpa gejala klinik VEP1/KVP < 75%
Sedang 30 % ≤ VEP1 ≤ 50% prediksi

Derajat III: PPOK Gagal napas atau gagal VEP1/KVP < 75%
Berat jantung kanan VEP1 ≤ 30% prediksi

Diagnosis Banding
1. PPOK
a. Onset usia pertengahan
b. Gejala progresif lambat
c. Riwayat merokok (lama dan jumlah rokok)
d. Sesak saat aktifitas
e. Hambatan aliran udara ireversibel

2. Pada Asma
a. Onset usia dini
b. Gejala bervariasi dari hari ke hari
c. Gejala pada waktu malam lebih menonjol
d. Dapat diketemukan alergi, rhinitis dan eksim
e. Riwayat asma dalam keluarga
f. Hambatan aliran udaranya reversibel
3. Pada Gagal Jantung Kongestif
a. Riwayat hipertensi
b. Rankhi basah halus di basal paru
c. Gambaran foto torak tampak pembesaran jantung dan oedema
d. Pemeriksaan faal paru restriktif. (PPOK Obstruktif)

4. Pada Tuberkulosis
a. Onset semua usia
b. Gambaran foto torak infiltrat
c. Konfirmasi pemeriksaan mikrobiologi (BTA)
5. Pada Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT)
a. Riwayat terapi TB adekuat
b. Gambaran foto torak fibrosis dan kalsifikasi minimal
c. Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruktif yang tidak reversible.

6. PENATALAKSANAAN PASIEN PPOK

Dampak PPOK pada seseorang pasien, bergantung tidak hanya pada derajat
keterbatasan saluran nafas, tetapi juga pada keparahan gejalanya. Staging berdasarkan
spirometri, adalah pendekatan pragmatik yang ditujukan pada implementasi praktis
dan harus digunakan sebagai alat edukasi dan suatu indikasi umum untuk dilakukan
pengobatan.
Terapi farmakologis digunakan untuk mencegah dan mengendalikan gejala,
mengurangi kekerapan dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan kondisi kesehatan
dan meningkatkan toleransi olah raga.
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK sendiri :
1. Mencegah progresivitas penyakit
2. Mengurangi gejala
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Mencegah dan mengobati komplikasi
5. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
6. Mencegah atau meminimalkan efek samping obat
7. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
8. Meningkatkan kualitas hidup penderita
9. Menurunkan angka kematian

Berdasarkan dari tujuan penatalaksanaan PPOK maka program berhenti


merokok juga menjadi perhatian utama, karena asap rokok merupakan penyebab
terpenting bagi timbulnya PPOK.

Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui 4 komponen program


tatalaksana :

1. Evaluasi dan monitor penyakit


Riwayat penyakit yang rinci pada pasien yang dicurigai atau pasien yang telah di
diagnosis PPOK digunakan untuk evaluasi dan monitoring penyakit :
a. Pajanan faktor resiko, jenis zat dan lamanya terpajan.
b. Riwayat timbulnya gejala atau penyakit
c. Riwayat keluarga PPOK atau penyakit paru lain, misalnya Asma dan TB paru.
d. Riwayat eksaserbasi atau perawatan di rumah sakit akibat penyakit paru kronik
lainnya.
e. Penyakit komorbid yang ada, misal penyakit jantung, rematik atau penyakit yang
menyebabkan keterbatasan aktifitas.
f. Rencana pengobatan terkini yang sesuai dengan derajat PPOK.
g. Pengaruh penyakit terhadap kehidupan pasien seperti keterbatasan aktifitas,
kehilangan waktu kerja dan pengaruh ekonomi, dan perasaan cemas.
h. Kemungkinan untuk mengurangi faktor resiko terutama berhenti merokok.
i. Dukungan dari keluarga.

Karakteristik gejala PPOK adalah dispnea kronik dan progresif, artinya fungsi
paru akan menurun seiring bertambahnya usia, batuk dan produksi sputum, dapat
mendahului terjadinya keterbatasan aliran nafas. Meski PPOK didefinisikan atas dasar
keterbatasan aliran nafas, pada prakteknya keputusan untuk mendapatkan pertolongan
medis umumnya ditentukan dari dampak suatu gejala terhadap kualitas hidup pasien.
Untuk itu monitor penting yang harus dilakukan adalah memperhatikan gejala klinis
dan fungsi paru penderita.

2. Menurunkan faktor resiko


Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progesifitas penyakit.

Proses berhenti dari kebiasaan merokok ini memang tidak semudah membalik
telapak tangan, butuh niat yang kuat dari penderita dan kalau perlu bisa dibantu
dengan farmakoterapi. Kebiasaan merokok ini bahkan bisa masuk kategori candu
karena begitu seseorang mencoba merokok maka nikotin yang terserap dalam darah
akan diteruskan ke otak dan ditangkap oleh reseptor alfa 4 beta 2 sehingga merangsang
pelepasan dopamin yang memberikan rasa nyaman. Sehingga saat seseorang berhenti
merokok, dopamin akan berkurang dan menimbulkan hilangnya rasa nyaman
selanjutnya akan timbul keinginan kembali untuk merokok, terjadilah lingkaran setan
yang akan sangat sulit diputuskan.

3. Tatalaksana PPOK stabil


Tatalaksana PPOK stabil

EDUKASI FARMAKOLOGI NON FARMAKOLOGI

REGULER
Bronkodil

ator Anti
2
Agoni
Xantin
kolinergik
s Rehabilitasi
Berhenti merokok Kombinasi
Pengetahuan SABA + Terapi oksigen
dasar PPOK Antikolinergi Vaksinasi *
Obat-obatan k Kombinasi
Dipertimba Nutrisi
Pencegahan LABA +
ngkan Ventilasi non mekanik
perburukan Kortikostero
mukolitik Intervensi bedah
penyakit id
Menghindari Antioksidan
pencetus
Penyesuaian
aktifitas

Keterangan :
 Kortikosteroid hanya diberikan kepada penderita dengan uji steroid positif. Uji
steroid positif adalah bila dengan pemberian steroid oral selama 10-14 hari atau
inhalasi selama 6 minggu – 3 bulan menujukkan perbaikan gejala klinisatau fungsi
paru.
 SABA : short acting β 2 Agonis
 LABA : long actng β 2Agonis
 Vaksinasi Influensa dipertimbangkan pemberiannya pada :
 Pasien usia diatas 60 tahun
 Pasien PPOK sedang dan berat
4. Tatalaksana PPOK eksaserbasi
Akut eksaserbasi adalah suatu kejadian yang terjadi secara alamiah, dalam perjalanan
penyakit PPOK hal itu ditandai dengan perubahan dispnea, batuk, dan atau produksi sputum
yang jauh dari normal.

Gejala eksaserbasi akut :

 Batuk bertambah
 Produksi sputum bertambah
 Sputum berubah warna
 Sesak napas bertambah
 Keterbatasan aktifitas bertambah
 Penurunan kesadaran

Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK

1. Optimalisasi penggunaan obat-obatan


a. Bronkodilator
 Agonis beta-2 kerja cepat kombinasi dengan antikolinergik perinhalasi (nebuliser)

 Xantin intravena (bolus dan drip)


b. Kortikosteroid sistemik
c. Antibiotik
 Gol. Makrolid baru
 Sefalosporin generasi III / IV
d. Mukolitik
e. Ekspektoran
2. Terapi oksigen
3. Terapi nutrisi
4. Rehabilitasi fisik dan respirasi
5. Evaluasi progesifitas penyakit
6. Edukasi
7. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :


1. Gagal napas
 Gagal napas kronik
 Gagal napas akut
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal

Gagal napas kronik, ditandai oleh :


 Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal

Gagal napas akut, ditandai oleh :


 Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
 Sputum bertambah dan purulent
 Demam
 Kesadaran menurun

Infeksi berulang
 Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imun
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.

Kor pulmonal
 Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematocrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan.

Gagal Nafas
1.1 Definisi Gagal Nafas
Gagal nafas adalah kondisi ketika sistem pernapasan gagal melakukan fungsi
pemasukan gas, pertukaran gas, dan pengeluaran karbondioksida. Ketidakmampuan
tersebut dilihat dari kemampuan jaringan dalam memasukkan oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida. Kriteria AGD untuk mengetahui gagal napas tidak
mutlak dilihat dari nilai PaO2 < 60 mmHg atau PaCO2 >60 mmHg.5
1.2 Klasifikasi Gagal Nafas
Berdasarkan pemeriksaan AGD, gagal nafas dapt diklasifikasikan ke dalam tiga tipe
- Tipe I : kegagalan oksigenasi (hipoksia) ditandai dengan PaO2 arteri yang
rendah.
- Tipe II : kegagalan ventilasi (hiperkapnia) ditandai dengan peningkatan
PaCO2 (PaC02 > 65 mmHg) yang diikuti dengan penurunan PaO 2 dan PAO2
sehingga nilai (Aa)-DO2 tidak berubah.
- Tipe III : Gabungan antara kegagalan oksigenasi dan kegagalan ventilasi,
ditandai dengan peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2.6
1.3 Patofisiologi Gagal Nafas
Gagal nafas tipe hipoksemia disebabkan karena ketidakseimbangan ventilasi
dan perfusi, dan pintasan darah kanan-kiri. Gagal nafas tipe ini terjadi pada kelainan
pulmoner dan ekstrapulmoner.6
Gagal napas tipe hiperkapnea disbebakan karena hipoventilasi karena
kelainan ekstrapulmoner atau ketidakseimbangan V/Q karena kelainan intrapulmoner
atau keduanya dapat terjadi secara bersamaan. Hiperkapnia terjadi karena kegagalan
pertukaran udara atmosfer dengan paru tanpa ada kelainan pertukaran gas di
parenkim paru. Akan didapatkan PaCO2 meningkat, PaO2 rendah, dan Aa-DO2
normal. Kegagalan ventilasi disebabkan karena sebagian alveoli mengalami
penurunan ventilasi relative terhadap perfusi dan sebagian alveoli mengalami
peningkatan ventilasi relative terhadap alveoli sehingga akan terjadi mekanisme
kompensasi dan PaCO2 tidak meningkat. Apabila hal ini berlangsung terus-menerus
maka akan terjadi gagal kompensasi yang menyebabkan peningkatan CO2,
penurunan PaO2, dan AA-DO2 akan meningkat signifikan.6
Indikasi gagal nafas adalah peningkatan frekuensi napas. Apabila terjadi
peningkatan frekuensi napas (n = 12-20x/menit) maka perlu diberikan bantukan
ventilasi karena kerja pernafasan meningkat sehingga terjadi kelelahan.6
1.4 Diagnosa Gagal Nafas
1. Anamnesis
Gejala yang paling sering muncul adalah sesak. Pada hiperkapnia dapat
terjadi penurunan kesadara hingga stupor-koma. Pasien juga dapat mengeluhkan
sakit kepala. Sakit kepala disebbkan karena dilatasi pembuluh darah cerebri akibat
peningkatan PaCO2. Gekala hiperkapnia meliputi somnolen, letargi, dan penurunan
status mental. Jika terjadi asidosis respiratorik berat dpat menyebabkan depresi
miokard yang ditandai dengan terjadinya hipotensi.7
Gejala hipoksemia dapat melibatkan kelainan pada SSP (confusion, kejang,
gelisah), kelainan kardiovaskular (aritmia, hipotensi, hipertensi), dan kelainan
respirasi (dispneu, takipneu).7
Hipoksemia dan hiperkapnia seringkali hadir bersamaan sehingga gejala yang
muncul dapat berupa kombinasi dari keduanya. Seringkali didapatkan gejala sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya seperti batuk dan sputum pada pneumonia, nyeri
dada pada infark miokard.7

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
a. Takipnue dan takikardi yang merupakan gejala nonspesifik
b. Batuk yang tidak adekuat, penggunaan otot bantu napas, dan pulsus
paradoksus dapat menandakan risiko terjadinya gagal napas
c. Pada funduskopi dapat ditemukan papil edema akibat hiperkapnia atau
vasodilatasi cerebral
d. Pada paru ditemukan gejala yang sesuai dengan penyakit yang mendasari.
e. Bila hipoksemia berat, dapat ditemukan sianosis pada kulit dan membran
mukosa. Sianosis dapat diamati bila konsentrasi hemoglobin yang mengalami
deoksigenasi pada kapiler atau jaringan mencapai 5 g/dL
f. Dispneu dapat terjadi akibat usaha bernapas, reseptor vagal, dan stimuli kimia
akibat hipoksemia atau hiperkapnia
g. Kesadaran berkabut dan somnolen dapat terjadi pada kasus gagal napas
h. Mioklonus dan kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat. Polisitemia
merupakan komplikasi lanjut dari hipoksemia
i. Hipertensi pulmoner biasanya terdapat pada gagal napas kronik. Hipoksemia
alveolar yang disebabkan oleh hiperkapnia menyebabkan konstriksi arteriol
pulmoner.7
3. Pemeriksaan Penunjang
Hitung darah lengkap dapat menunjukan anemia yang dapat berkontribusi
tehadap hipoksia jaringan, sedangkan polisitemia mungkin menunjukkan kegagalan
pernafasan hipksemia kronis.
Kelainan fungsi ginjal dan hati dapat memberikan komplikasi kegagalan
pernafasan. Kelainan elektrolit seperti kaliu, magnesium, dan fosfat dapat
memperburuk kegagalan pernafasan.
Foto rontgen dada sangat penting. Echocardiography tidak rutin dilakukan
tetapi kadang kadang berguna. Tes fungsi paru jika memungkinkan, dapat
membantu. Elektrokardiografi (EKG) harus dilakukan untuk mengevaluasi
kemungkinan penyebab kardiovaskular sebagai kegagalan pernafasan, tetapi juga
dapat mendeteksi disritmia akibat hipoksemia berat atau asidosis.7

1.5 Kriteria Gagal Nafas


1. Kriteria Gagal Nafas menurut Panttopidan.8
Acceptable Gawat nafas Gagal nafas
range
Mechanic of RR (x/menit) 12-15 25 >35
breathing Kapasitas vital 70-30 30-15 >15
(mL/kg)
Inspiratory 100-50 50-25 <25
force (cm
H2O)
Oksigenasi Aa-DO2 50-200 200-350 >350
(mmHg)
PaO2 (mmHg) 100-75 200-70 <70
(room air) (On mask (On mask
O2) O2)
Ventilasi VD/VT 0,3-0,4 0,4-0,6 >0,6
PacO2 35-45 45-60 >60
Terapi -Fisioterapi -Intubation
dada -tracheotomy
-Oksigenasi ventilation
-Close
Monitoring

2. Kriteria gagal nafas menurut Shapiro (rule of fifty).8


Gagal nafas bila :
- Tekanan parsial O2 arteri <50 mmHg
- Tekanan parsial CO2 arteri >50 mmHg
1.3.6 Penatalaksanaan Gagal Nafas
Penatalaksanaan gagal nafas dibagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan secara
supportif/non-spesifik dan penatalksaan secara kausatif/spesifik.5
A. Penatalaksanaan Supportif/Non-spesifik
1. Atasi hipoksemia : Terapi Oksigen

Pada keadaan PaO2 turun maka peru dilakukan terapi oksigen hingga
PaO2 normal kembali. Indikasi pemberian oksigen harus jelas, jumlah yang
diberikan harus diatur setepat mungkin agar memberikan efek terapi dan
menghindari toksisitas.5

Oksigen harus diberikan dalam jumlah yang adekuat. Oksigen harus


dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping.5

Cara pemberian oksigen secara umum ada dua, yaitu dengan sistem
arus rendah dan sistem arus tinggi. Nasal kanul merupakan sistem pemerian
oksigen arus rendah yang dapat mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan
alira 6-8 Lpm dengan FiO2 (245-44%). Alat oksigen arus tinggi diantaranya
ventury mask dan reservoir nebulizer blenders yang dapat mengalirkan
oksigen hingga 40 Lpm yang umun=mnya cukup untuk kebutuhan total
respirasi. Pasien dengan PPOK dan gagal nafas tipe hipoksemia,
menggunakan mask ini dapat mengurangi retensi CO2 dan mengurangi
hipoksemia yang terjadi.5
2. Atasi hiperkapnia : Perbaikan ventilasi

Jalan Nafas (Airway)

Pada semua pasien dengan gangguan jalan nafas perlu dipikirkan


adanya obstruksi jalan nafas. Pertimbangkan untuk melakukan insersi jalan
nafas buatan misalnya seperti Endotracheal Tube (ETT) dibandingkan
dengan jalan nafas alami berdasarkan manfaat dan risikonya.

Keuntungan jalan nafas buatan adalah dapat melintasi obstruksi jalan


nafa atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi
pemberian ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan
sekret dan rute bronkoskopi fibreoptik.5,6

Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik

Ventilasi
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut
kemulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung
(face mask atau ambu bag) dengan memompa kantungnya untuk
memasukkan udara ke dalam paru.6,9 Hiperkapnia mencerminkan adanya
hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat dari turunnya ventilasi semenit
atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba
selalu berhubungan dengan asidosis respiratoris. Pasien dengan pemulihan
awal diharapkan, ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau face mask
merupakan alternatif yang efektif.6 Indikasi utama pemasangan ventilator
adalah adanya gagal napas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas
(gawat nafas yang tidak 17 segera teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal
napas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau
kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap
hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau
eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak dan
menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang ventilator harus
dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien yang dipasang
ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang
terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup
keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil.
Secara umum bantuan napas mekanik (ventilator) dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu invasive Positive Pressure Ventilator (IPPV), dimana pasien
sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan Non
Invasive Positive Pressure Ventilator (NIPPV), dimana pasien sebelum
dihubungkan dengan ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini
adalah efek samping akibat tindakan intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya
relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang bisa bicara, makan, batuk,
dan bisa diputus untuk istirahat.6,8 Terapi suportif lainnya Fisioterapi dada.
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan ini
selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien
diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut
dengan menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan
batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada, punggung,
dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang diperlukan
juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator.7
B. Penatalaksanaan Kausatif

Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal


nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan.6
1.2 Ventilator mekanik
  Ventilator merupakan alat bantu mekanik yang mempertahankan udara dapat
mengalir ke dalam paru-paru. Tujuan utama penggunaan ventilator mekanik adalah
untuk menormalkan kadar gas darah arteri dan keseimbangan asam basa dengan
memberi ventilasi adekuat dan oksigenasi. (Grossbach, 2011). Ventilasi mekanik
memiliki prinsip yang berlawanan dengan fisiologi ventilasi, yaitu dengan
menghasilkan tekanan positif sebagai pengganti tekanan negatif untuk
mengembangkan paru-paru.1
Bantuan ventilasi yang diberikan mesin ventilator dapat berupa pemberian
volume, tekanan, atau kombinasi keduanya.17 Ventilasi mekanik ini bersifat life
saving, tetapi terdapat komplikasi yang potensial dapat terjadi, seperti pneumotoraks,
cedera jalan napas, dan Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Komplikasi ini
perlu dipertimbangkan dalam penanganan pasien. Pada pernafasan dengan ventilasi
mekanik, ventilator mengirimkan udara dengan memompakan ke paru pasien,
sehingga tekanan sselama inspirasi adalah positif dan menyebabkan tekanan intra
thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorax paling
positif.17
1.2.1 Prinsip Dasar
1.2.1.1 Mode Ventilasi
Ventilasi tekanan positif berarti tekanan jalan napas diterapkan pada jalan
napas pasien melalui endotracheal atau tracheostomy tube. Tekanan positif tersebut
menyebabkan gas mengalir masuk ke dalam paru hingga napas ventilator dihentikan.
Karena tekanan jalan napas turun menjadi 0, rekoil elastik paru menyebabkan
ekshalasi pasif dengan mendorong volume tidal keluar. 18 Pada kebanyakan kondisi,
inisiasi mode ventilasi haruslah assist-control mode, terdapat jaminan mengenai
volume tidal dan kecepatannya. Pasien dapat melakukan usaha inspirasi, kemudian
ventilator merasakan penurunan pada tekanan sirkuit dan mengantarkan volume tidal
yang sesuai dengan yang telah diatur. Dengan cara ini, pasien dapat mengatur pola
napas yang nyaman dan memicu napas tambahan yang dibantu oleh mesin, di atas
kecepatan yang telah diatur. Bila pasien tidak menginisiasi pernapasan, secara
otomatis ventilator mengantarkan volume tidal dan kecepatan napas yang telah
diatur, menjamin minute ventilation minimum. Pada mode ini, usaha napas dikurangi
sampai jumlah inspirasi yang dibutuhkan untuk memicu siklus inspirasi mesin.
Pemicu ini disesuaikan dengan pengaturan sensitivitas mesin terhadap derajat
penurunan tekanan yang diinginkan sirkuit.18
Gambar 1. Grafik bentuk gelombang tekanan, volume, dan aliran terhadap
waktu pada ventilasi mode assist-control2
 
Assist-control berbeda dari ventilasi yang terkontrol (controlled ventilator)
karena pasien dapat memicu ventilasi untuk bernapas, dan dengan demikian,
menyesuaikan minute ventilation.20 Minute ventilation adalah jumlah udara yang
diinhalasi atau ekshalasi dalam 1 menit (mL/min) sehingga minute volume
bergantung pada volume tidal dan frekuensi napas (volume tidal x jumlah napas
dalam 1 menit). Pada ventilasi terkontrol, pasien mendapat napas hanya yang
diinisiasi oleh ventilator dengan kecepatan tetap.18
Gambar 2. Grafik gelombang tekanan, volume, dan aliran terhadap waktu
pada ventilasi terkontrol2
Walaupun usaha napas tidak dihilangkan, pada mode ini, otot respirasi dapat
beristirahat karena pasien hanya perlu menciptakan tekanan negatif untuk memicu
mesin. Keuntungan lainnya adalah pasien dapat mencapai minute ventilation yang
dibutuhkan dengan memicu napas tambahan lebih dari yang kecepatan yang diatur. 2
Pada kebanyakan kasus, minute ventilation yang membuat pH berdasarkan kecepatan
respirasi ditentukan oleh kemoreseptor dan mekanoreseptor. Pusat napas di sistem
saraf pusat menerima masukan dari reseptor kimia (tekanan gas darah arteri) dan
jaras neural yang menerima dari mekanoreseptor. Kecepatan dan pola napas adalah
hasil dari kemoreseptor dan mekanoreseptor, yang membuat pusat napas mengatur
pertukaran gas. Pada mode assist-control, proses ini dicapai dengan kerja napas yang
minimal.18
Keuntungan kedua mode ini adalah siklus ventilator pada fase inspirasi
mempertahankan aktivitas ventilasi normal sehingga mencegah atrofi otot napas. 18
Kerugian yang mungkin terjadi pada mode assist-control adalah alkalosis
respiratorius pada sebagian kecil pasien yang pusat napas (resporatory drive)
menggantikan kemoreseptor dan mekanoreseptor. Pasien dengan potensi hipokapnia
dan hiperventilasi alveolar pada mode assist-control termasuk pasien dengan
penyakit hati stadium akhir. Pada kondisi ini biasanya diidentifikasi pertama melalui
analisis gas arteri, kemudian mode assist-control dapat diganti ke mode yang lain.18
Kerugian lain yang mungkin terjadi adalah kemungkinan tekanan napas positif serian
yang tetap (serial present positive-pressure breathes) membuat aliran vena kembali
yang lebih lambat (retard venous return) ke jantung kanan dan mempengaruhi curah
jantung. Namun, mode assist-control merupakan pilihan inisial paling aman untuk
ventilasi mekanik. Mode ini dapat diganti pada hipotensi atau hipokarbia yang
terdeteksi sejak hasil analisis gas darah pertama.18
 
1.2.2 Volume Tidal dan Kecepatan Napas
Pada pasien tanpa penyakit paru, volume tidal dan kecepatan napas biasanya
dipilih dengan 12-12 rule yaitu pada assist-control volume tidal 12 mL/kgBB dan 12
kali/menit. Pada pasien PPOK, volume tidal dan kecepatan napasnya berkurang
sedikit menjadi 10-10 rule untuk mencegah overinflasi dan hiperventilasi, yaitu pada
assist-control volume tidal 10 mL/kgBB dan 10 kali/menit. Pada acute respiratory
distress syndrome (ARDS), paru dapat berfungsi maksimal dan volutroma
diminimalkan dengan volume tidal yang rendah yaitu volume tidal 6-8 mL/kgBB
pada assist-control. Strategi ini disebut ventilasi proteksi paru (lung-protective
ventilation). Dengan volume yang lebih rendah, dapat menyebabkan sedikit
hiperkarbia. Peningkatan PCO2 ini biasanya terlihat dan dapat diterima tanpa
koreksi, yang disebut dengan hiperkapnia permisif (permissive hypercapnia).
Namun, derajat asidosis respiratori yang diperbolehkan hanya pada pH yang tidak
kurang dari 7,25. Kecepatan napas ventilator perlu disesuaikan menjadi lebih tinggi
untuk meningkatkan minute ventilation yang hilang dengan volume tidal yang lebih
kecil.18
 
1.2.3 Pengecekan Volume Tidal Dua Kali
Setelah memilih volume tidal, tekanan jalan napas puncak untuk
mengantarkan napas harus ditentukan. Dengan meningkatnya volume tidal,
meningkat juga tekanan yang dibutuhkan untuk memaksa volume tersebut masuk ke
dalam paru. Tekanan puncak >45 cmH2O yang persisten dapat berisiko barotrauma.
Gambar 3. Komponen tekanan inflasi ventilasi mekanik.2 Paw adalah tekanan
jalan napas, PIP adalah puncak tekanan jalan napas, Pplat adalah tekanan plateu.
 
Beberapa peneliti menganjurkan tekanan plateu harus dimonitor untuk
mencegah barotrauma pada pasien dengan ARDS. Tekanan plateu dihitung pada
akhir fase inspirasi dari volume tidal siklus ventilator. Ventilator diprogram untuk
tidak mengizinkan aliran ekspirasi pada akhir inspirasi untuk waktu tertentu,
biasanya setengah detik. Tekanan plateu adalah untuk mempertahankan tidak adanya
aliran ekspirasi. Pada tekanan plateu dipertahankan < 30 cmH2O, barotrauma dapat
diminimalkan. Monitor tekanan puncak dan plateu dapat membantu dalam membuat
penilaian klinis.
Gambar 4. Efek penurunan komplains sistem respirasi (A) dan peningkatan
resistensi (B)
 
1.2.4 Napas Panjang (sighs)
Karena pada napas spontan biasanya seseorang akan menarik napas panjang
sebanyak 6-8 kali per jam untuk mencegah mikroatelektasis, maka beberapa ahli
merekomendasikan mesin secara periodik bernapas 1,5-2 lebih besar dari volume
tidal yang ditetapkan sebanyak 6-8 kali per jam. Namun tekanan puncak kadang
cukup tinggi sehingga menjadi predisposisi barotrauma. Saat ini, napas panjang tidak
direkomendasikan bagi pasien yang menerima 10-12 mL/kg atau bila pasien
membutuhkan positive end-expiratory pressure (PEEP). Bila volume tidal yang
digunakan rendah, dapat diterapkan napas panjang seperti yang sudah disebutkan.18
 
1.2.5 FIO2 Inisial
Prioritas utama dalam memulai ventilasi mekanik adalah oksigenasi efektif.
Setelah intubasi, FIO2 harus 100% sampai oksigenasi arterial adekuat. Periode
pendek dengan FIO2 100% tidak berbahaya pada pasien yang mendapat ventilasi
mekanik, malah memberi beberapa keuntungan. Pertama, FIO2 100% melindungi
pasien dari hipoksemia bila terdapat masalah akibat intubasi yang tidak dikenali.
Kedua, menggunakan perhitungan PaO2 dan FIO2 100%, dokter dapat
mengkalkulasi FIO2 dan shunt selanjutnya. Menghitung derajat shunt dengan FIO2
dapat menggunakan rumus: 700 mmHg dikurangi hasil PaO2, setiap 100 mmHg
shunt 5%. Shunt 25% harus dipertimbangkan menggunakan PEEP.18
Oksigenasi inadekuat meskipun pemberian oksigen 100%, harus dicari
komplikasi intubasi endotrakeal atau napas tekanan positif (pneumothoraks). Bila
tidak terdapat komplikasi maka PEEP dibutuhkan untuk mengatasi patologi shunt
intrapulmoner. Karena hanya sedikit penyakit yang dapat menyebabkan shunt
intrapulmoner, maka harus diperkecil kemungkinan kondisi:18
- Alveolar kolaps – atelektasis mayor
- Alveolar terisi benda selain gas – pneumonia lobaris
- Protein dan air – ARDS
-  Air – gagal jantung kongestif
-  Darah – perdarahan (hemorrhage)
 
1.2.6 Tekanan Akhir Ekspirasi Positif/ Positive end-expiratory pressure
PEEP adalah mode terapi yang digunakan konjungsi dengan ventilasi
mekanik. Pada akhir ekshalasi mekanik atau spontan, PEEP mempertahankan
tekanan jalan napas pasien di atas atmosfir dengan mempertahankan tekanan yang
melawan pengosongan paru yang pasif. Tekanan ini biasanya dicapai dengan
mempertahankan aliran tekanan positif di akhir ekshalasi. Tekanan ini dihitung
dalam sentimeter air.2 Terapi PEEP dapat efektif bila digunakan pada pasien dengan
penyakit paru difus yang menyebabkan penurunan akut kapasitas residual fungsional
(functional residual capacity/ FRC), di mana volume gas tetap di dalam paru pada
akhir ekspirasi normal. FRC ditentukan terutama oleh sifat elastik paru dan dinding
dada. Pada banyak penyakit paru, FRC berkurang karena kolaps atau alveoli yang
tidak stabil. Penurunan volume paru ini menurunkan area permukaan yang tersedia
untuk pertukaran udara dan menghasilkan shunting intrapulmoner (darah yang tidak
teroksigenasi kembali ke jantung kiri). Bila FRC tidak dikembalikan, oksigen yang
diinspirasi berkonsentrasi tinggi dibutuhkan untuk mempertahankan kandungan
oksigen arterial.18
PEEP meningkatkan tekanan dan volume alveolar. Peningkatan volume paru
meningkatkan area permukaan dengan membuka kembali dan menstabilisasi alveolar
yang kolaps atau tidak stabil. Usaha ini dilakukan dengan tekanan positif, akan
memperbaiki ventilation-perfusion match, menurunkan efek shunt.2 Setelah shunt
dimodifikasi dengan ventilation-perfusion mismatch dengan PEEP, penurunan
konsentrasi oksigen dapat diterapkan untuk mempertahankan PaO2 yang adekuat.
Terapi PEEP juga dapat efektif dalam memperbaiki komplains paru. Ketika FRC dan
komplains paru menurun, energi dan volume tambahan diperlukan untuk
mengembangkan paru. Dengan menggunakan PEEP, volume paru pada akhir
ekshalasi meningkat. Bila paru sudah mengembang separuh, maka diperlukan
volume dan energi yang lebih sedikit dari sebelumnya untuk melakukan inflasi.2
Bila digunakan untuk pasien dengan penyakit paru difus, PEEP harus
memperbaiki komplains, menurunkan ruang rugi (dead space), dan menurunkan efek
shunt intrapulmoner. Keuntungan PEEP adalah membuat pasien untuk dapat
mempertahankan PaO2 adekuat pada konsentrasi oksigen yang rendah dan aman (<
60%), menurunkan risiko toksikasi oksigen.2 Karena PEEP dapat menyebabkan
konsekuensi hemodinamik yang serius, harus didasari indikasi definit. Tambahan
PEEP eksternal biasanya diterapkan bila PaO2 60 mmHg tidak dapat tercapai dengan
FIO2 60% atau bila fraksi shunt inisial perkiraan lebih besar dari 25%. Tidak ada
bukti yang mendukung PEEP eksternal tambahan selama pengaturan inisial
ventilator.2
Banyak dokter menggunakan the least-PEEP philosophy, dengan
rekomendasi menggunakan tekanan positif paling rendah untuk menyediakan PaO2
adekuat dengan FIO2 yang aman. Penggunaan PEEP opsional yang aman lain adalah
didasarkan pada identifikasi titik infleksi rendah pada kurva volume-tekanan. PEEP
harus diatur 1-2 cmH2O di atas titik infleksi rendah untuk mendapat PEEP optimal. 2
Penggunaan PEEP tidak berhubungan dengan ketahanan di rumah sakit, karena baik
penggunaan PEEP yang tinggi maupun rendah, angka mortalitas tetap tinggi pada
pasien ARDS. Namun, penggunaan PEEP yang tinggi (higher level of PEEP)
menunjukkan perbaikan dalam kelangsungan hidup. Karena pada dasarnya PEEP
mengatur ulang dasar kurva tekanan-volume, tekanan puncak dan plateu akan
terpengaruh.18
Gambar 5. Penentuan titik infleksi yang rendah untuk mengestimasi PEEP
optimal
Ringkasan pengaturan ventilator inisial:
-          Mode assist-control
-          Volume tidak diatur tergantung pada status paru:
o   Normal 12 mL/kgBB
o   PPOK 10 mL/kgBB
o   ARDS 6-8 mL/kgBB
-          Kecepatan napas 10-12 x/menit
-          FIO2 100%
-          Napas dalam tidak terlalu diperlukan
-          PEEP hanya diindikasikan setelah penentuan analisis gas darah pertama, yaitu
pada shunt >25%
-          Ketidakmampuan mengoksigenasi dengan FIO2 <60% 18
 
Tujuan Penggunaan Ventilasi Mekanik
Pada dasarnya tujuan dari ventilasi mekanik adalah untuk menjaga supaya
pasien tetap hidup dan terhindar dari komplikasi iatrogenik sehingga kejadian
presipitasi dapat teratasi.22 Dalam mengatasinya tentu diperhatikan penyakit utama
yang mendasari kejadian tersebut:
1.  Apneu
Tujuan penggunaan ventilator adalah mengembalikan ventilasi.2
2.  Gagal napas (respiratory distress)
Pada studi yang dilakukan pada binatang, peningkatan beban
pernapasan akan menyebabkan kerusakan otot napas, retensi CO2, dan
akhirnya menyebabkan kelelahan otot napas (muscle fatigue). Hal ini
diperkirakan yang menjadi alasan kerusakan otot napas pada pasien PPOK
dan pasien yang sekarat saat diberikan ventilasi mekanik. Pada sepsis,
peningkatan usaha napas terutama disebabkan oleh kerusakan otot napas.
Walaupun telah dilakukan penelitian, peran kelelahan kontraksi dalam
perkembangan gagal napas masih belum diketahui. Kontraksi diafragma telah
dikuantifikasi secara objektif (melalui stimulasi nervus phrenikus) pada
pasien dengan gagal napas akut (pada penghentian penggunaan ventilasi
mekanik) dan tidak ditemukan perubahan kontraksi diafragma. 22 Oleh sebab
itu, penggunaan ventilator dan asistensi ventilator dalam mengurangi beban
(load) otot napas, dan mengurangi stres otot masih dipertanyakan. Bahkan,
insufficient unloading ataupun excessive unloading sama-sama berbahaya
bagi pasien.6 Hampir semua pasien gagal napas akut mengalami peningkatan
usaha napas, dan juga mengalami beberapa masalah lain: pertukaran gas
abnormal, gangguan perfusi otot, disfungsi otot yang diinduksi sepsis.
Pengurangan beban napas dapat memperbaiki hipoksemia dan hiperkapnia.22
3.  Hipoksemia berat
Ventilasi mekanik biasanya dilakukan dengan oksigen 100%. Respon
terhadap oksigen 100% dapat membantu dalam identifikasi patofisiologi yang
mendasari, diagnosis banding, dan terapi. Contohnya, bila O2 gagal
meningkatkan PaO2 pada pasien PPOK, maka masalah yang mendasari
bukan hanya V/Q mismatch (seperti pada bronkitis akut), malah, pasien
memiliki pirau/ shunt. Penyebab umum pirau adalah pneumonia, gagal
jantung kongestif, atelektasis lobaris, emboli paru.22
4.  Hiperkapnia berat
Hiperkapnia berat menekan sistem saraf pusat dan keluaran respirasi
motorik, sehingga memperparah hiperkapnia. Hiperkapnia juga menekan
kontraksi diafragma. Asidosis terlebih menekan kontraksi otot respirasi
daripada hiperkapnia.22 Tujuan pemberian ventilasi mekanik adalah
memperbaik VA, dan penggunaannya spesifik bagi setiap pasien. Pada pasien
hiperkapnia dengan status asmatikus atau PPOK, pemanjangan waktu
pernapasan secara konstan menyebabkan beban yang signifikan. Bila
ventilator diatur untuk mengantarkan volume tidal yang kecil dengan
frekuensi napas cepat, pemanjangan waktu yang konstan akan mengganggu
pengosongan paru, dan terjadi hiperinflasi. Kemudian, volume tidal yang
kecil tidak mencapai ventilasi adekuat, karena ruang rugi fisiologis
meningkat. Volume tidal yang lebih besar dapat mencapai ventilasi alveolar
yang adekuat tetapi membutuhkan waktu ekspirasi yang lebih lama daripada
volume tidal yang kecil. Dalam mengatasi agar ekshalasi memiliki waktu
yang cukup adalah dengan meningkatkan aliran inspirasi. Peningkatan aliran
mengurangi waktu untuk inflasi mekanik dan bila kecepatan respirasi tetap
konstan, pemanjangan waktu dapat tersedia untuk ekshalasi. Peningkatan
aliran inspirasi biasanya berhubungan dengan peningkatan kecepatan
respirasi. Namun, walaupun penurunan dalam siklus respirasi, berkurangnya
waktu inspirasi diikuti oleh bertambahnya waktu untuk ekshalasi – yang
menurunkan usaha inspirasi.22 Gangguan neuromuskular seperti sindroma
guillian barre, miastenia gravis, dan kerusakan korda spinalis (spinal cord
injury) dapat menyebabkan gagal napas hiperkapnia. Pasien ini biasanya
fungsi mekanis parunya normal tidak seperti PPOK atau asma. Waktu
konstan yang normal memberikan kemudahan dalam mengatur ventilator. 22
Ventilasi yang berlebihan (overzealous) dapat menyebabkan komplikasi yang
serius, termasuk alkalosis yang mengancam nyawa, penurunan perfusi
serebral, dan instabilitas kardiovaskular. Pasien yang sebelumnya hiperkapnia
sangat rentan terhadap komplikasi tersebut. Bila semakin berat, alkalosis
biasanya diikuti oleh spasme arteri koroner, konfusi, mioklonus, asteriksis,
dan kejang.22
Alkalosis respirasi menurunkan ion kalsium. Setiap peningkatan pH
0,1 unit, ion kalsium turun 0,05 mmol/liter. Perubahan ini sedang dan tidak
konsisten bila dihitung untuk meningkatkan eksitabilitas perifer dan sentral.
Parestesia, spasme karpal-pedal, tetani, terlihat pada hiperventilasi akut,
disebabkan oleh efek langsung alkalosis respirasi pada neuron. Efek lain dari
alkalosis menginduksi peningkatan afinitas hemoglobin terhadap oksigen dan
pada shunt dapat memperparah VA/Q (sekunder dari penurunan vasokontriksi
hipoksik pulmonal). Presipitasi penurunan PaCO2 menurunkan aliran darah
ke sistem saraf pusat, dan berkontribusi pada konfusi dan penurunan
kesadaran pada pasien hiperventilasi.22
Ketidakstabilan hemodinamik yang berhubungan dengan tatalaksana
ventilator yang berlebihan pada pasien hiperkapnia (pemanjangan waktu
konstan) paling sering adalah hipotensi. Hipotensi biasanya terjadi karena
peningkatan PEEP intrinsik setelah intubasi – walaupun penurunan tonus
simpatis juga disebabkan oleh penurunan pada PaCO2 dan pemberian sedasi.
Pada kondisi ini, sirkulasi biasanya dapat kembali sempurna dengan
menghentikan ventilator selama ≥30 detik dan mengembalikan ventilasi yang
tersisa.22 Pada tahun 1940 dan 1950, pembersihan CO2 secara cepat setelah
hiperkapnia dapat menyebabkan hipotensi dan aritmia ventrikular yang
berbahaya (percobaan pada anjing). Hiperkalemia juga diperkirakan terlibat.
Namun, studi terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut tidak benar. Prys-
Robert et al, menyebutkan bahwa tidak terdapat perubahan gambaran EKG
pada penurunan PaCO2 antara 80-20 mmHg lebih dari 5 menit dalam
keadaan anestesia. Beberapa dokter menyebutkan bahwa alkemia
berhubungan dengan aritmia supraventrikular dan ventrikular aritmia, hanya
muncul pada pasien dengan penyakit jantung iskemik. Penurunan ion
magnesium dapat menyebabkan iritabilitas jantung masih tidak jelas.
Ventilasi berlebihan, terlalu lama, menyebabkan pembuangan bikarbonat oleh
ginjal. Pada pasien yang menahan CO2, stabil secara klinis, pembuangan
bikarbonat oleh ginjal akan meningkatkan kebutuhan ventilasi selama
pelepasan ventilator.22
5.  Post operatif gagal napas dan trauma
Pasien yang mengalami hipoksemia post operasi biasanya
ditatalaksana dengan oksigen tambahan dan terapi fisik dada (termasuk
siprometri insentif). Sekitar 10% pasien yang menjalani operasi abdomen
mayor elektif, pemberian oksigen tambahan dan terapi fisik dada tidak
mencegah gagal napas. Squadrone et al melakukan studi randomisasi,
hasilnya, penggunaan CPAP mengurangi penggunaan intubasi, komplikasi
(pneumonia, infeksi, dan sepsis), dan ICU. Hasil ini setelah mengeksklusi
pasien PPOK, asma, sleep apneu, gagal jantung, hiperkapnia, dan asidosis
respirasi. Hasil penelitian ini tidak dapat diterapkan pada pasien yang berisiko
tinggi atelektasis setelah operasi.
Pasien dengan trauma multipel dapat mengalami flail chest. Banyak
pasien yang mengalami gagal napas secara sekunder dari kerusakan paru atau
patofisiologi lain yang mendasari dan membutuhkan ventilasi mekanik. Flail
chest sendiri bukan indikasi untuk ventilasi mekanik. Pada suatu studi
randomisasi, pasien dengan flail chest dan mengalami hipoksemia serta gagal
napas, penggunaan CPAP noninvasif menurunkan motralitas dan infeksi
nosokomial dibandingkan dengan pasien yang diintubasi dan menggunakan
ventilator.22
6.  Syok
Pada pasien yang hemodinamiknya tidak stabil, perfusi jaringan
termasuk sistem saraf pusatnya terganggu, 2 tujuan penggunaan ventilasi
mekanik adalah mencapai jalan napas yang adekuat dan menurunkanVO2.
Dengan mengistirahatkan otot napas dan dilakukan sedasi, ventilasi mekanik
dapat menurunkan VO2 dan menurunkan tonus simpatis. Efek ini dapat
memperbaiki perfusi jaringan.22
 
1.2.7 Efek Penggunaan Ventilasi Mekanik
Akibat tekanan positif pada rongga toraks, darah yang kembali ke jantung
terhambat, venous return menurun, sehingga cardiac output juga menurun. Bila
terjadi penurunan respon simpatis (misal, karena hipovolemia, obat, dan usia lanjut),
dapat mengakibatkan hipotensi. Darah yang melalui paru juga berkurang karena ada
kompresi mikrovaskular akibat tekanan positif sehingga darah yang menuju atrium
kiri berkurang, akibatnya cardiac output juga berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi,
dapat terjadi gangguan oksigenasi. Selain itu, bila volume tidal terlalu tinggi, yaitu >
10-12 ml/kgBB dan tekanan > 40 cmH2O, tidak hanya mempengaruhi cardiac
output, tetapi risiko terjadinya pneumotoraks juga meningkat. Akibat cardiac output
yang menurun, perfusi ke organ-organ lain pun menurun, seperti pada hepar, ginjal,
dengan berbagai akibat yang dapat terjadi. Akibat tekanan positif di rongga toraks,
darah yang kembali dari otak terhambat sehingga tekanan intrakranial meningkat.23
 
1.2.8 Komplikasi Ventilasi Mekanik
Terdapat beberapa komplikasi ventilasi mekanik, yaitu:
1.  Komplikasi yang terkait dengan airway: edema laring, trauma mukosa
trakea, kontaminasi saluran napas bawah, hilangnya fungsi
kelembaban pada saluran napas atas.
2.  Komplikasi pada paru: ventilator-induced lung injury, barotrauma,
toksisitas oksigen, atelektasis, pneumonia nosokomial, inflamasi.
3.  Komplikasi pada kardiovaskular: berkurangnya venous return,
berkurangya cardiac output, hipotensi.
4.  Komplikasi pada gastrointestinal dan nutrisi: perdarahan
gastrointestinal, malnutrisi.
5.  Komplikasi pada neuromuskular: peningkatan tekanan intrakranial.
6.  Komplikasi pada keseimbangan asam basa: asidosis respiratorik,
alkalosis respiratorik.
DAFTAR PUSTAKA

1. PPOK. ETHICAL DIGEST, Semijurnal Farmasi dan Kedokteran no 37 Maret 2007


2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) PPOK. Pedoman Praktis Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia, Revisi Juni 2004
3. Rasional Media informasi peresepan rasional bagi tenaga kesehatan Indonesia Volume 4,
Nomor 2 September 2006 ISSN 1411 – 8742 dan Volume 4, Nomor 3 Desember 2006 ISSN
1411 – 8742
4. Penyakit paru obstruktif kronik. Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia
"http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_paru_obstruktif_kronik"
5. Managemen Komprehensif Penyakit Paru Obstruktif Kronis, SIMPOSIA
- Majalah Farmacia Edisi Desember 2007 , Halaman: 58 (26 hits)
6. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga, Media Aesculapius, 2001.
Hal 480 - 482
7. Buku ajar ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2006

Anda mungkin juga menyukai