Anda di halaman 1dari 22

PENDAHULUAN

Infertilitas merupakan suatu permasalahan yang cukup lama dalam dunia kedokteran.
Namun sampai sdaat ini ilmu kedokteran baru berhasil menolong ± 50% pasangan infertil
untuk memperoleh anak. Perkembangan ilmu infertilitas lebih lambat dibanding cabang
ilmu kedokteran lainnya, kemungkinan disebabkan masih langkanya dokter yang
berminat pada ilmu ini. 1
Sesuai dengan definisi fertilitas yaitu kemampuan seorang isteri untuk menjadi hamil
dan melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu menghamilinya,maka pasangan
infertil haruslah dilihat sebagai satu kesatuan. Penyebab infertilitaspun harus dilihat pada
kedua belah pihak yaitu isteri dan suami. Salah satu bukti bahwa pasangan infertil harus
dilihat sebagai satu kesatuan adalah aadanya faktor imunologi yang memegang peranan
dalam fertilitas suatu pasangan. Faktor imunologi ini erat kaitannya dengan faktor
semen/sperma, cairan/lendir serviks dan reaksi imunologi isteri terhadap semen/sperma
suami. Termasuk juga sebagai faktor imunologi adanya autoantibodi.1,2
Lebih kurang seperlima pasangan usia subur di Amerika Serikat adalah pasangan
infertil. Limabelas persen diantaranya tergolong infertil yang tidak jelas penyebabnya
(unexplained infertility). Banyak bukti yang menjelaskan bahwa ada peranan faktor
imunomodulasi pada pasangan ini. Aspek penting dari imunomodulasi ini adalah adanya
antibodi anti sperma (ASA).3.
Beberapa penelitian telah dilakukan terutama dinegara maju untuk mengetahui
hubungan faktor imunologi ini dengan fungsi reproduksi suatu pasangan. Diantara
penelitian ini yaitu menemukan antigen pada sperma, cara-cara identifikasi
antigen/antibodi dalam tubuh, dan penatalaksanaan apa yang memungkinkan diberikan
pada pasangan infertil dengan faktor imunologi ini. Terjadinya infertilitas pada suatu
pasangan yang mempunyai antibodi antisperma secara teoritis dikarenakan tingginya
kadar antibodi antisperma pada cairan vagina,serviks, uterus atau tuba. Walaupun
antibodi antisperma terdapat dalam serum seseorang, belum tentu orang tersebut
mempunyai antibodi antisperma yang tinggi kadarnya dalam cairan genitalianya.4.
Penemuan antibodi antisperma juga memberiakan suatu ide bagi beberapa ilmuwan
untuk mengembangkan suatu vaksin kontrasepsi berdasarkan antigen sperma.5,6
BEBERAPA PENYEBAB INFERTILITAS
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa seorang wanita tidak bisa atau sukar menjadi
hamil setelah kehidupan seksual normal yang cukup lama. Diantara faktor-faktor tersebut
yaitu faktor organik/fisiologik, faktor ketidakseimbangan jiwa dan kecemasan berlebihan.
Dimic dkk di Yugoslavia mendapatkan 554 kasus (81,6%) dari 678 kasus pasangan
infertil disebabkan oleh kelainan organik, dan 124 kasus (18,4%) disebabkan oleh faktor
psikologik. Ingerslev dalam penelitiannya mengelompokkan penyebab infertilitas
menjadi 5 kelompok yaitu faktor anatomi, endokrin, suami, kombinasi, dan tidak
diketahui (unexplained infertility)7,8
Sumapraja membagi masalah infertilitas dalam beberapa kelompok yaitu air mani,
masalah vagina, masalah serviks, masalah uterus, masalah tuba, masalah ovarium, dan
masalah peritoneum. Masalah air mani meliputi karakteristiknya yang terdiri dari
koagulasinya dan likuefasi, viskositas, rupa dan bau, volume, pH dan adanya fruktosa
dalam air mani. Pemeriksaan mikroskopis spermatozoa dan uji ketidakcocokan imunologi
dimasukkan juga kedalam masalah air mani.1
Masalah vagina kemungkinan adanya sumbatan atau peradangan yang mengirangi
kemampuan menyampaikan air mani kedalam vagina sekitar serviks.
Masalah serviks meliputi keadaan anatomi serviks, bentuk kanalis servikalis sendiri
dan keadaan lendir serviks. Uji pascasenggama merupakan test yang erat berhubungan
dengan faktor serviks dan imunologi.1
Masalah uterus meliputi kontraksi uterus, adanya distorsi kavum uteri karena
sinekia,mioma atau polip, peradangan endometrium. Masalah uterus ini menggangu
dalam hal implantasi, pertumbuhan intra uterin, dan nutrisi serta oksigenasi janin.
Pemeriksaan untuk masalah uterus ini meliputi biopsi endometrium,histerosalpingografi
dan histeroskopi.9
Masalah tuba merupakan yang paling sering ditemukan (25-50%). Penilaian patensi
tuba merupakan salah satu pemeriksaan terpenting dalam pengelolhan infertilitas.1
Masalah ovarium meliputi ada tidaknya ovulasi, dan fungsi korpus luteum. Fungsi
hormonal berhubungan dengan masalah ovarium, ini yang dapat dinilai beberapa
pemeriksaan antara lain perubahan lendir serviks, suhu basal badan, pemeriksaan
hormonal dan biopsi endometrium.1
Masalah imunologi biasanya dibahas bersama-sama masalah lainnya yaitu masalah
serviks dan masalah air mani karena memang kedua faktor ini erat hubungannya dengan
mekanisme imunologi.1,7

FAKTOR IMUNOLOGI SEBAGAI PENYEBAB INFERTILITAS


Dulu orang masih bertanya-tanya apakah faktor imunologi besar peranannya dalam
infertilitas. Para iluwan masih meragukan, bingung dan timbul berbagai pendapat yang
saling kontradiksi. Jones pada penelitian nya mengajukan teori bahwa faktor imunologi
berpengaruh pada beberapa tahap dalm proses reproduksi manusia, mulai dari masa
gamet dan telur yang dibuahi. Sebagaimana hormon, jaroingan dan cairan sekresi yang
berhubungan dengan traktus genitalia potensial bersipat antigenik dan mampu
menimbulkan suatu respon imun.2,10,11
Suatu antigen akan mengalami beberapa proses dalam tubuh kita akibat sistem
imunitas tubuh. Antigen tersebut akan difagositosis sebagai respon imun nonspesifik dari
tubuh. Dapat juga terjadi penghancuran sel (sitolisis) melalui peranan sel T-sitotoksis.
Mekanisme lain yaitu dengan membentuk antibodi dengan bantuan makrofag, sel T
helper dan selT supresor. Se-sel ini memberikan sinyal-sinyal kepada limfosit B sehingga
berdifensiasi menjadi sel plasma dan membentuk antibodi spesifik. Antibodi ini melalui
beberapa jalan menyebabkan penghancuran antigen antara lain membentuk komplek
antibodi komplemen menyebabkan lisis, antibody dependent cell mediated cytotoxicity
(ADCC) menimbulkan sitolisis, atau fagositosis spesifik. Untuk jelasnya dpat dilihat paa
gambar 1. 12
Pada beberapa wanita antigen sperma menyebabkan timbulnya antibodi terhadap
antigen spesifik atau permukaan pada sperma dan menyebabkan infertilitas. Menurut
Burnett, antigen jaringan yang telah ada dalam tubuh sebelum sistem imunologik
berfungsi dikenal sebagai self antigen, sedangkan antigen jaringan yang timbul setelah
sistem imunologik berfungsi sebagai non self antigen. Spermatozoa dapat digolongkan
self antigen karena diproduksi jauh setelah sistem imunologik berfungsi, sehingga ia
dianggap sebagai antigen asing. Antigen tersebut dapat berasal dari spermatozoa sendiri,
atau dari plasma semen.2,10,11
Selain itu dapat juga terjadi keadaan autoimun terhadap semen dan komponen sperma
yang biasanya terjadi pada suami yang pernah mengalami proses pada genitalianya
termasuk vasektomi dan infeksi (mumps). Beberapa penyakit autoimun dapat
menyebabkan suatu keadaan infertilitas. Geva dalam tulisannya tentang autoimunitas dan
reproduksi mendapatkan bahwa banyaknya autoantibodi dalam serum berhubungan
dengan kegagalan kehamilan yang berulang, endometriosis, kegagalan ovarium prematur
(prematur ovarian failure/POF), infertilitas yang tak jelas penyebabnya(unexplained
infertility), dan kegagalan fertilisasi invitro (IVF). Beberapa jenis antibodi yang dapat
dideteksi antara lain antibodi antifosfolipid (APA), antibodi antikardiolipin dan
antikoagulan lupus, antibodi antinuklear (ANA), Antibodi anti-DNA, faktor rhematoid,
antibodi antitiroid, autoantibodi anti oavarium, dan antibodi otot polos (smooth muscle
antibodies). Dalam tulisannya Geva berkesimpulan bahwa abnormalitas autoimun
mungkin menyebabkan kegagalan reproduksi (infertilitas) dan sebaliknya kegagalan
reproduksi dapat merupakan manifestasi awal dari penyakit autoimun yang belum
terdiagnosis. 2,5,13

BEBERAPA ANTIGEN DAN ANTIBODI PADA PASANGAN INFERTIL


Sperma dan plasma/cairan semen
Banyak molekul yang dibentuk pada saat terjadi miosis dalam testis. Autoantigen spesifik
testis pada saat terjadinya spermiogenesis. Antigen lain muncul pada membran plasma
setelah stadium midspermatid proses spermatogenesis dan pada permukaan sperma pada
masa perjalanan sperma diepididimis. Sifat antigenik dari sperma dan cairan sperma
inilah yang menyebabkan terbentuknya antibodi antisperma.5
Pada keadaan normal reaksi imun ini dihalangi oleh salah satu fungsi sel Sertoli pada
testis yaitu mempertahankan lingkungan intralumen bebas dari komponen serum. Sel
sertoli juga membentuk barier imunologik yang secara aktif memfagositosis dan
menghancurkan sisa-sisa produk hasil spermatogenesis tadi yang bila dibiarkan lolos dari
tubulus seminiferus akan menyebabkan reaksi imunologik. Hanya ± 1/5 dari sisa-sisa
tersebut yang lolos dari tubulus dn sisa ini diresorbsi oleh epitel germinativum. Beberapa
jenis antigen sperma manusia dapat dilihat pada tabel 1.5

Antigen fertilisasi-1 (FA-1) merupakan antigen yang terdapat pada sel-sel germinal
laki-laki dan bereaksi kuat dengan semen dari laki-laki dan perempuan infertil dan
bereaksi lemah dengan semen dari orang –orang normal. Sperma dilapisi oleh membran
plasma yang mengandung antigen spesifik yang fungsinya sebagai pengenal zona
pellusida telur dan berfungsi dalam proses kapasitas dan reaksi akrosom. FA-1 adalah
glikoprotein spesifik-sperma yang didapatkan dari membran plasma sel germinal
manusia. Naz dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa hal ini terjadi karena antibodi
terhadap FA-1 tidak mengaglutinasi atau menyebabkan immobilisasi sel sperma, antibodi
ini menghambat fertilisasi dengan cara mempengaruhi interaksi antara sperma & zona
pellucida, sedangkan Kaplan dalam penelitiannya mendapatkan kesimpulan bahwa FA-1
tidak mempunyai efek proteolitik atau aktivitas akrosin. FA-1 menghambat penetrasi
sperma ke ovum melalui pengaruhnya terhadap kapasitasi dan reaksi akrosom sel sperma.
Dari datanya juga Kaplan mengganggap bahwa FA-1 dapat digunakan dalam diagnosis
dan pengobatan dalam imunoinfertiliti dan memungkinkan pengembangan vaksin
kontrasepsi pada manusia.14,15
Antibodi antisperma
Ada banyak bukti bahwa saluran reproduksi manusia khususnya pada wanita mampu
menimbulkan respons imun lokal terhadap antigen asing, termasuk antigen sperma.
Rumke dan Hellinger (1959) adalah orang pertama yang membuktikan adanya antibodi
antisperma atau autoantibodi terhadap sperma manusia. Respon imun saluran reproduksi
wanita terhadap antigen sperma dapat melalui 2 jalur yaitu jalur aferen dan jalur eferen.
Saluran reproduksi wanita dibantu oleh sel-sel yang kompeten untuk menimbulkan
respon imun. Sel-sel ini memfagositosis spermatozoa dan memproses antigennya
sehingga menimbulkan pertahanan imun seseorang, Mekanisme ini dibantu oleh beberapa
faktor yaitu :
1. Jumlah sperma yang sangat banyak/berlebihan
2. Sperma juga difagositosis oleh sel-sel somatik sebagaimana makrofag, dan semen
secara kemotatik mempengaruhi makrofag dan netropil
3. Antigen asing lain mempunyai efek ajuvans terhadap saluran reproduksi,
misalnya adanya infeksi vagina
4. Limfosit dalam semen berperanan menyebabkan sterilitas bagi wanita melalui
mekanisme histokompatibilitas
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon imun lainnya misalnya prostaglandin E
yang bersipat imunosupresif. Respon ini terhadap sperma pada wanita dapat
melalui pembentukan antibodi atau melalui sel-sel, yang masing –masing lebih
dominan bersipat lokal dibanding sistemik.2
Imunisasi lokal (intravaginal) dengan berbagai antigen menghasilkan antibodi
spesifik pada mukosa serviks. Biasanya stimulus antigen terhadap memnbran mukosa
membentuk antibodi lokal maupun sistemik, tapi karena antigen tidak mencapai
sirkulasi respon sistemik jarang terjadi. Ada juga bukti klinik yang menunjukkan
bahwa antigen yang terpapar akibat hubungan seksual dapat menimbulkan reaksi
hipersensitif akut lokal maupun sistemik, walaupun sangat jarang.2
Penelitian teakhir terhadap antibodi antisperma pada wanita dan hubungannya
dengan infertilitas mulai diarahkan keanalisis cairan saluran reproduksi. Penelitian
terhadap antibodi antisperma penting dilakukan karena berhubungan erat dengan
transport sperma, daya tahan sperma, fertilisasi oosit yang abnormal, perkembangan
embrio yang abnormal, abortus spontan, dan antibodi anti-DNA. Apakah antibodi
antisperma adalah penyebab dari kelainan-kelainan tersebut ataukah semata-mata
antibodi antisperma itu sebagai tanda adanya penyakit yang masih dicari. Moghisssi
dalam penelitiannya menadpatkan insidens adanya antibodi antisperma pada
pasangan infertil berupa sperm-aglutination antibodi (SAA) yang mempunyai
kegiatan mengaglutinasikan sperma (aglutinasi kepala-kepala, ekor-ekor, dan kepala
ekor), dan sperm-immobilizing antibody (SIA) yang menyebabkan spermatozoa motil
menjadi berhenti, tidak mobil.6,10,11,16
Dalam penelitiannya Moghissi berkesimpulan bahwa diantara wanita infertil,
insidens SAA dan SIA lebih tinggi dalam cairan serviks dibandingkan dalam serum,
bahkan walaupun dalam serum tidak ditemukan antibodi antisperma. Juga didapatkan
bahwa kandungan antibodi antisperma ini lebih tinggi pada pasangan infertil yang
tidak jelas sebabnya dibandingkan kandungan pada pasangan infertil yang diketahui
penyebabnya (explained infertility).10
Haas dkk, mengevaluasi semen 614 orang laki-laki & wanita dengan explained
infertility. Ia mendapatkan 7% laki-laki dan 13% wanita antibodi antisperma (+). Nip
dkk, menggunakan cara ELISA melaporkan bahwa antibodi antisperma terdapat pada
serum 77% wanita dengan explained infertility, 75% wanita dengan endometriosis
dan 60% wanita dengan infertilitas karena faktor tuba. Pada penelitian ini hanya
didapatkan 5% antibodi antiperma (+) pada kontrol. 3,10
Imunoglobulin adalah antibodi yang diproduksi sebagai respons terhadap antigen
spesifik. Imunoglobulin yang dibentuk oleh sel limfosit B merupakan molekul
glikoprotein yang terdiri dari komponen polipeptida sebanyak 82-96% dan selebihnya
karbohidrat. Pada elektroforesis molekul bermigrasi sebagai gammaglobulin. Fungsi
polipeptida ini adalah mengikat dan menghancurkan antigen dengan bantuan fungsi
efektor sekunder yaitu memacu aktivitas komplemen.12
Ada 5 isotip imunoglobulin yang dikenal IgA, IgG, IgM, IgE, dan IgD. Masing-
masing mengandung 2 rantai berat spesifik dan 2 rantai ringan (α atau λ). Ig dibagi
dalam 2 region, Fab (amino-terminal) porsion to antibodi dan Fc (carboxy-terminal)
portion bind to other imunosupresor.3,11,12
IgG merupakan 75% imunoglobulin total dan dijumpai dalam bentuk monomer.
IgG ini paling mudah berdifusi kedalam jaringan ekstravaskuler dan melakukan
aktivitas antibodi dijaringan. Aktivitas lain yaitu melapisi mikroorganisme sehingga
lebih mudah difagositosis, dan juga menetralisir toksin serta virus. 12
IgA merupakan immunoglobulin terbanyak kedua dalam serum dan merupakan
imunoglobulin terbanyak dalam cairan sekresi termasuk cairan vagina/serviks. IgA
dapat mengikat vaksin atau bakteri sehingga mencegah mikroorganisme tersebut
melekat pada permukaan mukosa.12
IgM dijumpai dalam bentuk pentamer sehingga merupakan imunoglobulin
terbesar. Karena itu IgM terdapat hanya dalam intravaskuler dan merupakan 10% dari
imunoglobuin dalam serum. Makromolekul ini dapat menyebabkan aglutinasi
berbagai partikel and fiksasi komplemen dengan efisiensi yang sangat tinggi, yaitu 20
kali lipat lebih efektif dalam aglutinasi and 1000 kali lebih efektif dalam aktivitas
penghancuran bakteri dibanding IgG. Antibodi IgM cenderung menunjukkan afinitas
rendah terhadap antigen dengan determinan tunggal (hapten) tetapi karena molekul
IgM multivalen, molekul IgM dapat menunjukkan aviditas yang tinggi terhadap
antigen yang mempunyai banyak epitop (bagian antigen yang bereaksi dengan
antibodi).12
IgD merupakan monomer dan konsentrasinya dalam serum hanya sedikit. Peran
biologiknya sebagai antibodi humoral belum jelas. IgD dapat dijumpai pada
permukaan sel B, terutama sel B neonatus dalam jumlah jauh lebih banyak dibanding
konsentrasi dalam serum. IgD diduga merupakan reseptor antigen pertama pada
permukaan sel B, dan bahwa IgD berperan dalam mengawali respon imun.12
Ig E dijumpai dalam serum dengan kadar yang sangat rendah, hanya 0,004% dari
imunoglobulin total. Selain itu IgE dapat dijumpai dalam cairan sekresi. Salah satu
sifat penting dari IgE adalah kemampuan melekat secara erat pada permukaan
mastosit atau basofil melalui reseptor Fc. Peran IgE secara pasti belum diketahui.12

Ada beberapa hipotesis pembentukan antibodi antisperma pada laki-laki. Secara


teoritis, barier darah-testis dapat ditembus oleh beberapa mekanisme yang
menyebabkan terpaparnya sirkulasi oleh antigen sperma sehingga menyebabkan
respons imun yang menimbulkan reaksi radang dan pembentukan antibodi
antisperma. Obstruksi mekanis traktus genitalia dapat terjadi akibat kelainan
kongenital, vasektomi, atau trauma. Ekstravasasi sperma dapat dijumpai pada pria
setelah dilakukan vasektomi. Beberapa penelitian mendapatkan 50%-70% laki-laki
tersebut mempunyai antibodi antisperma serum (+). Sebagian besar laki-laki yang
mengalami vasovasostomi dan sebagian kecil laki-laki infertil mempunyai antibodi
antisperma dalam plasma semennya. Antibodi ini biasanya terdiri dari subklas IgG
atau IgA yang aka melekat pada sperma dan mempengaruhi fertilitas.3,5,17
Organisme penyebab penyakit yang ditularkan secara seksual merupakan initiator
pembentukan antibodi antisperma melalui mekanisme proses radang dan autoimun.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa beberapa bakteri, virus dan jamur dapat
mencapai membran luar sperma yang berfungsi sebagai antigen atau hapten yang
menimbulkan respons imun. Pembentukan antibodi antisperma juga terjadi sebagai
akibat adanya radang lokal setelah infeksi genital pada seorang wanita.3
Pembentukan antibodi antisperma pada wanita dapat terjadi pada traktus genitalia
wanita yang terpapar antigen sperma. Seorang wanita yang aktif secara seksual akan
terpapar triliunan speermatozoa selama hidupnya. Fertilitas akan baik bila wanita
tersebut memberikan reaksi imun yang kompromistik. Proses imunisasi yang (akibat
hubungan seksual) pada wanita terhadap sperma dapat menurunkan fertilitas
berdasarkan kemungkinan kombinasi efek antibodi antisperma seperti aglutinasi
sperma, menurunnya motilitas, gagalnya penetrasi lendir serviks, fusi sperma telur
yang tidak efisien, fagositosis sperma, dan gagalnya kehamilan sebelum atau sesudah
implantasi. Antibodi terhadap intrinsik sperma yang dihasilkan saat maturasi dalam
testis dan antigen kapsul sperma yang muncul selama dalam epididimis dan saat
bercampur dengan plasma semen berhubungan dengan infertilitas yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya (unexplained infertility).3,5
Sperma yang mencapai cavum peritonium juga dapat menginduksi pembentukan
antibodi antisperma serum melalui fagositosis makrofag dan presentasi sel T untuk
menimbulkan respon imun. Pembentukan antibodi antisperma juga dapat terjadi
akibat radang lokal pada genitalia wanita. Cunningham dkk, mencari prevalensi
antibodi antisperma pada wanita nulligravid usia reproduksi dengan berbagai proses
infeksi ginekologis. 46 % wanita didiagnosis dengan penyakit radang pelvis (PID)
(n=81) mempunyai antibodi antisperma (+) pada serum dan cairan serviks
dibandingkan prevalensi antibodi antisperma (+) 20% pada wanita dengan infeksi
genital bagian bawah ( jamur,klamidia, bakteri, n=86). Antibodi antisperma juga
ditemukan pada 69% wanita yang dilaparoskopi pada wanita dengan perlengketan
dipelvis atau hidrosalping tanpa riwayat PID.3

DETEKSI ANTIBODI PADA PASANGAN INFERTIL


Deteksi antibodi antisperma dapat dilakukan secara langsung terhadap antibodi yang
terikat pada sperma atau tidak langsung mengukur antibodi dalam cairan (serum,
semen, sekret vagina atau serviks atau cairan lain ). Diantara metode lain uji Kibrick,
uji Isojima, uji Kremer & Jager, imunobead assays (IBD), mixid antiglobulin reaction
(MAR) test, ELISA, tray agglutination test (TAT), Sperm immobilization assay test,
flow cytometry, dan radiolabeled agglutinin assays.3,11
Uji Kibrick ( sperm aglutination test)
Pemeriksaan ini untuk menentukan adanya aglutinasi sperma dalam serum. Semen
normal yang segar diencerkan dengan Baker’s buffer sampai tercapai kepekatan 40
juta per mil. Suspensi sperma ini kemudian dicampur dengan 10% larutan gelatin
dalam Baker’s buffer dalam jumlah yang sama, keduanya dalam suhu 370 C. Serum
yang akan diperiksa dan serum kontrol negatif dipanaskan pada suhu 560 C selama 30
menit untuk menginaktifkan komplemen. Kemudian dibuat pengenceran serum yang
diperiksa, dimulai dengan 1:4, 1:8, 1:16, dan seterusnya. Sebanyak 0,2 ml suspensi
sperma dalam gelatin dicampur dengan 0,2 ml serum inaktif. Campuran tersebut
kemudian dipindahkan pada tabung Kibrick yang berukuran 5 x 65 mm dan
0
diinkubasi pada suhu 37 C selama 2 jam. Secara mikroskopis, suatu reaksi positif
terlihat sebagai gumpalan-gumpalan putih diantara media yang bening, yang berasal
dari sperma yang teraglutinasi.11
Uji Isojima (Sperm immobilization test)
Immobilisasi sperma yang tergantung komplemen merupakan dasar dari test antibodi
sperma ini. Interaksi antara molekul antibodi dan antigen sperma mengaktifkan
sistem komplemen dan mengganggu permeabilitas dan integritas membran sel sperma
(akrosom dan bagian tengah). Pengaruh yang dapat dilihat secara mikroskopik adalah
hilangnya motilitas sperma diikuti kematian sel. Aktivitas immobilisasi sperma
terletak pada faksi IgG dan IgM dari semen yang positif yang dapt digunakan sebagai
dasar pemeriksaan aktivitas antisperma humoral. Tes immobilisasi sperma ini adalah
suatu metode pilihan untuk skrining antibodi serum wanita dan juga dapat dikerjakan
pada pemeriksaan antibodi serviks. Spermatozoa yang digunakan dalam tes
immobilisasi ini haruslah sperma yang baru diejakulasikan dengan kualitas yang baik.
Serum yang digunakan masih segar.2
0
Serum penderita dipanaskan pada suhu 56 C selama 20 menit untuk
mengaktifkan komplemen, kedalam 0,25 ml serum percobaan yang inaktif tersebut
dimasukkan 0,025 ml semen yang segar yang telah disesuaikan jumlah spermanya
sebanyak 60 juta per ml. Kedalamnya ditambahkan pula 0,05 ml serum manusia
sebagai komplemen. Campuran tersebut diinkubasi dalam penangas air pada 320 C
yang lebih sesuai dengan temperatur testis dalam skrotum. Sebagai kontrol 0,025 ml
serum manusia inaktif tanpa aktivitas imobilisasi 0,05 ml larutan komplemen dan
0,025 ml suspensi sperma dicampurkan dan diinkubasi.
Setelah 60 menit, 1 tetes dari campuran diletakkan pada gelas objek dasn motilitas
sperma dilihat dibawah mikroskop, dihitung jumlah sperma motil diantara 50
spermatozoa. Cara ini diulangi sampai 40 lapangan pandangan. Persentase sperma
motil diantara 200 spermatozoa dihitung sebagai T% dan kontrol sebagai C%. Nilai
ini imobilitas dihitung sebagai C/T. Hasil dianggap positif apabila T kurang dari ½
C.11

Uji Kremer & Jager ( Tes kontak sperma-cairan serviks)


Tes ini pertama kali dilakukan oleh Kremer dan Jager untuk melihat antibodi lokal
pada pasangan infertil. Hasil positif menunjukkan adanya antibodi antisperma baik
pada seman, cairan serviks atau keduanya. Tas ini sangat bernilai untuk mendeteksi
antibodi lokal dan juga cocok untuk uji silang. Setetes lendir istri praovulasi dengan
tanda-tanda pengaruh estrogen yang baik dan pH lebih dari 7 diletakkan pada sebuah
gelas objek disamping stetes air mani suami. Kedua tetesan itu dicampur dan diaduk
dengan sebuah gelas penutup, yang kemudian dipakai untuk menutup campuran itu.
Setetes air mani yang sama diletakkan pada gelas objek itu juga, kemudian ditutup
dengan gelas penutup. Penilaian dilakukan dengan membandingkan mobilitas
spermatozoa dari kedua sediaan itu. Sediaan itu kemudian disimpan kedalam tatakan
peetri yang lembab, pad suhu kamar selama 30 menit, untuk kemudian diamati lagi.
Menurut Kremer & Jager, pada ejakulat dengan autoimunisasi, gerakan maju
spermatozoa akan berubah menjadi terhenti atau gemetaran ditempat (shaking
movement) kalau bersinggungan dengan lendir serviks. Perangai gemetar ditempat ini
terjadi juga kalu air mani yang normal bersingggungan dengan lendir serviks wanita
yang serumnya mengandung antibodi terhadap spermatozoa.2,11

Indirect immunobead binding (IBD) test


Tes ini menggunakan butir (bead) poliakrilimida yang berikatan dengan
antiimunoglobulin spesifik butir tersebut kemudian dicampur dengan sperma segar
yang viabel dan dicuci atau tidak dicuci. Sampel semen dengan antibodi antisperma
(+) dari donor dan disiapkan dengan cara/metode renang atas untuk mendapatkan
sperma yang mengandung ± 50 x 106/ml sperma motil. Sepuluh mikroliter plasma
semen masing-masing dilarutkan dalam 40 μL phosphate buffered saline (PBS)
ditambah dengan 5% (50g/L) albumin serum sapi (BSA) dalam tabung Effendorp,
dan 50 μL suspensi sperma ditambahkan pada masing-masing tabung dan dicampur
secara hati-hati. Sampel kemudian diinkubasi pada suhu 37 0C selama 60 menit dan
kemudian disentrifus selama 5 menit pada putaran 500 putaran permenit. Supernataan
dibuang dan endapan sperma dicampur lagi dengan 500 μL PBS + 0,4% BSA dan
disentrifus selama 5 menit pada 500 ppm. Supernatan dibuang dan enadpan sperma
dilarutkan lagi dengan 50 μL PBS segar ditambah 5% BSA.16,18
Dengan 2 slide yang berbeda 5 μL suspensi sperma tadi dicampur dengan 5 μL
immunobead GAM yang mengandung campuran imunoglobulin antihuman
immunobead (IgG, IgA, dan IgM). Slide kemudian diinkubasi selama 10 menit dan
kemudian diperiksa dengan pembesaran 400 kali dengan mikroskop kontras.
Setidaknya 200 sperma motil dihitung, dikelompokkan menjadi 2, yang dengan
dempet imunobead (immunobead attached) dan tanpa dempet imunobead. Lokalisasi
band bead juga diperiksa (misalnya kepala, midpiece, ekor an ujung ekor).16,18
Peersentase sperma yang motil dengan GAM imunobead dihitung. Tes dikatakan
positif bila ≥ 20% sperma motil mempunyai bead attache dan secara klinik bermakna
bila ≥ 50% dilapisi bead. Keuntungan tes ini adalah bersifat semikuantitaf, mampu
mendeteksi isotif dan lokasi fisik ASA, baik dalam hal sensitivitas dan spesifisitas.
Sedangkan kerugiannya yaitu membutuhkan staf yang trampil, mahal, memerlukan
waktu yang banyak, dan sulit dalam interpretasi. Beberapa metode lain yang
dikembangkan dari metode ini yaitu modifikasi metode imunobead (modified
immunobead method), dan mixed immunobead screen.3,16,18,19

Mixed antiglobulin reaction (MAR) test


Eritrosit golongan darah O dengan Rh-positif dilapisi oleh IgG atau IgA, dicampur
dengan sperma viabel yang dicuci ataupun tidak dicuci. Antiserum yang spesifik
terhadap imunoglobulin pada eritrosit ditambahkan, dan akan terjadi aglutinasi
sperma eritrosit bila ada antibodi antisperma. Aglutinasi ini dapat dinilai secara
semikuantitatif dengan menggunakan mikroskop.3

Elisa (enzym linked immunosorbent assay)


Antibodi spesifik dapat diikat oleh suatu enzim. Komplek antibodi-enzim
imunoglobulin adpat dideteksi dengan menambahkan subsrat enzim spesifik, yang
biasanya menghasilkan perubahan warna. Keuntungan metode ini adalah spesifik dan
kuantitatif.20

Tray aglutination test (TAT)


TAT dignakan untuk mendeteksi adanya antibodi anti sperma dalam serum atau
semen pasien. Cairan yang akan diperiksa dilarutkan secara serial setelah dilakukan
pemanasan untuk menginaktivasi komplemen. Kemudian ditambahkan sperma motil
yang dicuci dari donor yang sehat kedalam contoh cairaan. Persentase aglutinasi
sperma dihitung dengan bantuan mikroskop cahaya.3
Gelatin aglutination test
Pada test ini spermatozoa motil dicampur dengan medium gelatin dan sperma atau
cairan ditambahkan kedalam campuran tersebut secara serial. Aglutinasi dapat dilihat
secara mikroskopik. Tes ini digunakan secara luas pada suami pasangan infertil,
sedangkan penggunaan paad isteri kurang memberikan hasil yang baik. Walaupun
tidak dianjurkan lagi aktivitas aglutinasi gelatin terletaak pada IgG, IgA daan IgM.
Metode ini membutuhkan kontrol dan interpretasi yang teliti.2

Teknik immunofluresens
Pemeriksaan ini terdiri dari tiga langkah dasar, Subsrat antigen disiapkan dengan cara
membuat apusan spermatozoa yang dikeringkan diudara. Sediaan kemudian ditetesi
serum yang diperiksa (atau cairan serviks atau plasma semen) dan dilakukan
pemeriksaan imunofluresens terhadap imunoglobulin. Reaksi antigen antibodi antara
semen dan cairan saluran reproduksi dan sel-sel sperma dapat dilihat dan dilokalisasi
secara makroskopik dan penampakannya berhubungan dengan anatomi spermatozoa.2
Reaksi pewarnaan yang lemah pada kasus yang meragukan seringkali didapatkan
dan hasil yang dianggap positif bila diadpatkan pada pengenceran lebih dari 1/16.
Beberapa bagian sperma seperti kutub, leher dan bagian tengah adalah tempet yang
menimbulkan warna nonspesifik. Antibodi antisperma dalam darah bereaksi pada
teknik imunofluoresens hanya terhadap antigen diakrosom dan ekor. Pewarnaan
akrosom terjadi karena adanya antibodi IgM dan IgG, dan pewarnaan pada ekor
utama hampir selalu disebabkan oleh IgG. Sedangkan pewarnaan pada ujung ekor
disebabkan oleh adanya antibodi IgM.2

Flow cytometry
Sampel plasma semen sebanyak 50 μL dicampur dengan 40 μL PBS ditambah 5%
albumin serum goat. Sepuluh mikroliter suspensi sperma yang disiapkan dengan
metode renang atas dari donor dengan antibodi anti sperma (-) mengandung ±
125.000 sperma motil ditambahkan pada tiap sampel. Kontrol menggunakan sampel
yang diketahui positif atau negatif terhadap ASA.19
Setelah inkubasi paada suhu 370 C daalam inkubator yang mengandung CO2 5%
selama 1 jam, sperma dicuci sebanyak 2 kali untuk menghilangkan antibodi yang
tidak terikat. Satu mililiter PBS ditambahkan dan campuran digoyang-goyang teratur.
Tabung kemudian disentrifus selama 5 menit pada 500 ppm dan supernatan
dipisahkan. Endapan sperma dicampur lagi dengan 1 ml PBS dan kemudian dicuci
ulang. Setelah disentrifus, endapan diencerkan lagi dengan 50 μL larutan fluoresens
isotiosianat konjugat (FITC) yang mengandung imunoglobulin IgA, IgG, IgM dan
diinkubasi selama 1 jam pada suhu 40 C dan terhindar dari sinar. Antibodi yang tidak
terikat dihilangkan dengan mencuci menggunakan PBS sebanyak 2 kali dan sperma
dianalisis dengan flow cytometry.19
Sebanyak ± 5000 sperma dianalisis dari tiap sampel menggunakan histogram.
Dihitung berapa persen sperma yang dilapisi antibodi. Bila < 20% dikatakan negatif
dan bila ≥ 20% dikatakan positif. 19
Berdasarkan hasil, metode, dan ketelitian pemeriksaan antibodi antisperma,
beberapa petunjuk untuk langkah pemeriksaan pasangan pasangan infertil dengan
kemungkinan adanya faktor imunologi telah diusulkan oleh Jones. Ia membuat suatu
pedoman meliputi :
1. Tes imobilisasi sperma cocok sebagai tes untuk skrining terhadap adanya antibodi
suami atau isteri dan juga dapat digunakan untuk pemeriksaan lendir serviks.
2. tes kontak sperma – lendir serviks untuk melihat faktor imunologis lokal. Dengan
uji silang menggunakan sperma atau lendir serviks donor dapat ditentukan apakah
aktivitas antibodi berasal dari isteri atau suami.
3. Tes aglutinasi dengan gelatin cocok digunakan untuk suami, khususnya plasma
semen, tapi memerlukan interpretasi yang teliti.
4. Antibodi lokal (SIgA) tidak dapat dideteksi pada lendir serviks dan plasma semen
dengan tes konvensional untuk antibodi antisperma serum.
5. Tes mikroaglutinasi sperma sebaiknya dihindarkan.
6. Tes menggunakan mikroskop imunofluoresens tak langsung bukan merupakan tes
rutin, tapi mungkin bermanfaat untuk menilai sifat reaksi antigen-antibodi dalam
suatu penelitian.2

PENGOBATAN
Ada tiga strategi dasar dalam penanganan pasangan infertil karena imunologi ini yaitu
1. menurunkan produksi ASA, 2. Menghilangkan antibodi antisperma yang terikat
pada sperma, dan 3. ART (Assisted reproductive technology). Ketiga sterategi ini
secara teoritis menurunkan paparan gamet oleh antibodi antisperma yang akan
meningkatkan fungsi gamet. Sedangkan Alexander mengajukan 3 pilihan terapi yaitu
1. Inseminasi dengan sperma donor, 2. Terapi imunosupresif, dan 3. Manipulasi
sperma. 3,5
Ada hubugan antara antibodi antisperma dan ART. Walaupun ART digunakan
untuk pengobatan ASA, antibodi antisperma mungkin mempunyai efek merusak
ART. Beberapa penelitian antara lain penggunaan intra uterine insemination,
intracervical insemination (ICI), in vitro fertiliztion (IVF), gamete intrafallopian tube
transfer (GIFT), subzonal sperm injection (SUZI) dan intracytoplasmic sperm
injection (ICSI).3,21
Terapi oklusi
Di sini suami menggunakan kondom selama 6-9 bulan bila isteri mempunyai bukti
faktor imunologis sebagai penyebab infertilitasnya. Ada yang menganjurkan 6-12
bulan. Tujuannya adalah untuk mengurangi titer antibodi antispermatozoa dengan
mencegah pengulangan stimulasi antigenik. Uji imunologi harus diulang setiap 3
bulan sehingga menjadi negatif atau titernya menjadi 1:4 atau kurang. Terapi ini tidak
memberikan hasil yang memuaskan pada isteri yang mempunyai antibodi antisperma
dalam serumnya. Terapi ini lebih rasional bila diberikan pada pasien dengan adanya
faktor imunologik lokal (lendir serviks). Franklin dan Dukes melaporkan bahwa
kondom efektif untuk beberapa pasien. Tetapi menurut Aiman tidak ada bukti yang
menyakinkan untuk pemakaian kondom ini. 2,3,11,22

Inseminasi intrauterin
Inseminasi intrauterin terutama diberikan bila terbukti adanya antibodi antisperma
lokal pada lendir serviks yang menyebabkan kegagalan penetrasi lendir serviks oleh
sperma. Memang indikasi inseminasi ini masih kontroversi karena beragamnya hasil
yang dilaporkan. Angka keberhasilan dengan metode ini berkisar antara 20-30%.
Francavilla dkk dalam penelitiannya tidak berhasil melakukan inseminasi intrauterin
ini dimana spermatozoa yang digunakan semuanya berikatan dengan antibodi.
Sedangkan Rojas dalam penelitiannya terhadap 41 orang yang dilakukan inseminasi
dengan menggunakan sperma yang dicuci hanya mendapatkan insidens antibodi
antisperma (+) pada 2 pasien (4,8%).3,21,24

Terapi imunosupresif/kortikosteroid
Terapi kortikosteroid dapat diharapkan menurunkan produksi ASA. Suami diberikan
20 mg prednisolon selama 10 hari pertama sesuai siklus isteri dan 5 mg/hari pada hari
ke 11-12 selama 3 siklus. Ada juga peneliti yang menggunakan metilprednisolon.3
Lahteenmaki membandingkan efektivitas pemberian prednisolon oral dengan
inseminasi intrauteri pada 46 pasangan dengan antibodi antisperma (+) pada suami.
Suami diberi prednisolon 20 mg/hari selama 10 hari ditambah 5 mg/hari pada hari ke
11-12 selama 3 siklus. Namun pada penelitian ini ia berkesimpulan bahwa inseminasi
lebih baik dibandingkan terapi steroid pada suami.3
Penelitian lain yaitu membandingkan 30 pasangan dengan antibodi antisperma
suami positif yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama diberikan steroid
oral selama 4 bulan dan dilakukan inseminasi, sedangkan kelompok kedua
diberikansteroid selama 4 bulan dan diberikan jadwal hubungan suami isteri. Steroid
yang diberikan yaitu prednisolon selama 4 bulan dan diberikan jadwal hubungan
suami isteri. Steroid yang diberikan yaitu prednisolon selama 10 hari pertama siklus
istri dan 10 mg pada hari ke11 dan 12. Didapatkan tingkat kehamilan pada kelompok
pertama sebesar 39,4 % dan kelompok kedua 4,8%. Memang disini masih belum jelas
apakah faktor steroid berperan dalam tingginya tingkat kehamilan karena masih ada
faktor lain yaitu keadaan superovulasi, bypass terhadap lendir serviks atau perbaikan
lingkungan uterus. Beberapa efek samping pemakaian imunosupresif ini antara lain
nekrosis aseptik sendi paha, kambuhnya ulkus duodenal. 3,5

Pencucian spermatozoa
Metode ini merupakan salah satu metode menghilangkan antibodi antisperma yang
terikat pada sperma. Disini sperma dari suami dicuci beberapa kali dengan buffer
fisiologik yang ditambah serum/albumin manusia 5-10%. Spermatozoa yang telah
dicuci diinseminasi kekanalis servikalis atau kavum uteri isteri. Kualitas sperma yang
baik penting sekali dalam metode ini.11
Penambahan protease IgA
Bronson menemukan bahwa porsi Fc pada antibodi antisperma imunoglobulin
bertanggung jawab dalam menghambat penetrasi sperma kedalam lendir serviks. Ia
berasumsi bahwa IgA protese yang melepaskan porsi Fc dapat meningkatkan
penetrasi lendir serviks. Lebih lanjut Kutteh dan kawan-kawan menambahkan
protease IgA pada campuran antibodi antisperma (-) dan antibodi antisperma (+) pada
lendir serviks. Pada kelompok protease terdapat penurunan 81% pengikatan sperma
oleh ASA.3

Penggunaan heparin dan aspirin


Pada keadaan infertilitas yang disebabkan adanya faktor autoimum dimana
didapatkan antibodi antifosfolipid beberapa peneliti menggunakan heparin dan aspirin
sebagai obat yang digunakan. Sher mendapatkan tingkat kehamilan sebesar 49% pada
kelompok terapi dan hanya 16% pada kelompok non terapi. Kutteh dkk melaporkan
bahwa penggunaan heparin dasn aspirin dosis rendah lebih bik dibandingkan hanya
menggunakan aspirin saja. Ia mendapatkan angka kehamilan 44% pada kelompok
aspirin dan 80% pada kelompok aspirin ditambah heparin. Balasch dengan
menggunakan aspirin 100 mg perhari mulai 1 bulan sebelum konsepsi sampai selama
kehamilan dapat meningkatkan angka keberhasilan kehamilan dari 6,1% sampai
90,5%. Wada dkk juga berhasil meningkatkan tingkat kehamilan dengan
menggunakan aspirin 150 mg atau 300 mg dalam penelitiannya.13

RINGKASAN
Salah satu penyebab penting infertilitas adalah faktor imunologi, khususnya pada
kasus-kasus dengan infertilitas yang sebabnya tidak jelas. Reaksi imunologi pada
pasangan infertil disebabkan oleh adanya antigen pada sperma yang menyebabkan
timbulnya antibodi antisperma baik pada suami maupun pada istri. Antibodi
antisperma ini dapat menyebabkan infertilitas melalui 2 mekanisme yaitu melalui
aktivitas aglutinasi dan aktivitas imobilisasi sehingga akhirnya sperma tidak dapat
mencapai tuba untuk membuahi ovum.
Beberapa tes untuk mendeteksi adanya antibodi antisperma dalam serum atau
dalam lendir serviks yang penting adalah uji aglutinasi sperma, uji imobilisasi
sperma, uji kontak sperma-lendir serviks, dan beberapa pemeriksaan lain yang
memerlukan alat dan bahan yang lebih canggih.
Tujuan pengobatan pada kasus pasangan infertil dengan sebab faktor imunologi ini
(adanya antibodi antisperma dengan titer tinggi) adalah untuk menurunkan titer
antibodi tersebut yaitu dengan jalan metode oklusi menggunakan kondom, metode
inseminasi intrauterin, metode imunosupresi menggunakan obat kortikosteroid,
metode pencucian sperma, penambahan protease IgA, dan penggunaan heparin dan
aspirin.

RUJUKAN
1. Sumapraja S. Pemeriksaan pasangan infertil. Dalam : Sumapraja S, Moeloek FA.
Manual infertilitas. Jakarta : Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia,
1985 : 1-44
2. Jones WR. Immunologic infertility-fact or fiction ? Fertil steril 1980 ; 33: 577- 586
3. Mazumdar S, Levine AS. Antisperm antibodies: ertiology, pathogenesis, diagnosis, and
treatment. Fertil Steril 1998; 70: 799-810
4. Stern JE, Dixon PM, Manganiello PD, Johnsen TB. Antisperm antibodies in women:
variability in antibody levels in serum, mucus, and peritoneal fluid. Fertil Steril 1992; 58:
950-958
5. Alexander NJ, Anderson DJ. Immunology of semen. Fertil Steril 1987; 47 : 192-201
6. Snow K, Ball GD. Characterization of human sperm antigens and antisperm antibodies in
infertile patients. Fertil Steril 1992; 58: 1011-1019
7. Sumapraja S. Infertilitas. Dalam : Prawiroharjo S. Ilmu kandungan. Cetakan kelima.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prwirohardjo, 1991: 426-463
8. Ingerslev M. Clinical findings in infertile women with circulating antibodies against
spermatozoa. Fertil Steril 1980; 33: 514-520
9. Soejoenoes A. Faktor uterus. Dalam : Sumapraja S, Moeloek FA. Manual infertilitas.
Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1985: 95-102
10. Moghissi KS, Sacco AG, Borin K. Immunologic infertility. Am J Obstet Gynecol 1980;
136: 941-947
11. Hanafiah MJ. Faktor serviks dan imunologi. Dalam : Sumapraja S, Moeloek FA. Manual
infertilitas. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1985 : 65-94
12. Kresno SB. Imuologi : diagnosis dan prosedur laboratorium. Ed 3. Jakarta : Balai
penerbit FKUI, 1996: 3-35
13. Geva E, Amit A, Geva LL, Lessing JB. Autoimmunity and reproduction. Fertil Steril
1997; 67: 599-611
14. Kaplan P, Naz RK. The fertilization antigen-1 does not have proteolytic/acrosin activity,
but its monoclonal antibody inibits sperm capacitation and acrosome reaction. Fertil
Steril 1992; 58: 396-402
15. Shai S, Naot Y. Identification of human sperm antigens reacting with antisperm
antibodies from sera and genital trac secretions. Fertil Steril 1992; 58: 593-598
16. Evans ML, Chan PJ, Patton WC, Kirg A. A convenient mixed immunobeads screen for
antisperm antibodies during routine semen analysis. Fertil Steril 1998;70:344-349
17. Pavia CS, Stites DP. Reproductive immunology. In stites DP, Stobo JD, Fudenberg HH,
th
Wels JV. Basic and Clinical Immunology. 5 edition. Singapore: Maruzen Asia, 1984:
682-692
18. Shulman S, Hu C. A study of the detection of sperm antibody in cervical mucus with a
modified immunobead method. Fertil Steril 1992; 58: 387-391
19. Nicholson SC, Robinson JN, Sargent IL, Barlow DH. Detection of sperm antibodies in
seminal plasma by flow cytometry: comparison with the indiect immunobead binding
test. Fertil Steril 1997; 68: 1114-1119
20. Shai S, Yoseph NB, Peer E, Naot Y. A reverse (antibody capture) enzyme-linked
immunosorbent assay for detection of antisperm antibodies in sera and genital tract
secretions. Fertil Steril 1990; 54: 894-901
21. Aiman J. Infertilitas. Dalam : Duenhoelter JH. Ginekologi Greenhill. Edisi 10. Jakarta :
EGC, 1989: 210-244
22. Francavilla F, Romano R, Santucci R, Marrone V, Corrao G, Failure of intrauterine
insemination in male immunological infertility in cases in which all spermatozoa are
antibody-coated. Fertil Steril 1992; 58: 587-592
23. Rojas IM, Rojas FJ, Leisure M, Stone SC, Asch RH. Intrauterine insemination with
washed human spermatozoa does not induce formation of antisperm antibodies. Ferti
Steril 1990; 53: 180-182
24. Livi C, Coccia E, Versari L, Pratesi S, Buzzoni P. Does intraperitoneal insemination in
the absence of prior sensitization carry with it a risk of subsequent immunity to sperm?
Fertil Steril 1990; 53: 137-142

Anda mungkin juga menyukai

  • Cover Referat Saraf
    Cover Referat Saraf
    Dokumen6 halaman
    Cover Referat Saraf
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • BAB I Hipertensi
    BAB I Hipertensi
    Dokumen17 halaman
    BAB I Hipertensi
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    Engel Turangan
    Belum ada peringkat
  • Metode Penelitian
    Metode Penelitian
    Dokumen5 halaman
    Metode Penelitian
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Filariasis
    Filariasis
    Dokumen2 halaman
    Filariasis
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Tetanus
    Tetanus
    Dokumen24 halaman
    Tetanus
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Filariasis
    Filariasis
    Dokumen2 halaman
    Filariasis
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Diare
    Diare
    Dokumen2 halaman
    Diare
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Phbs
    Phbs
    Dokumen4 halaman
    Phbs
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • FORMAT Cover
    FORMAT Cover
    Dokumen4 halaman
    FORMAT Cover
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Referat Dakriosistitis
    Referat Dakriosistitis
    Dokumen20 halaman
    Referat Dakriosistitis
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Tetanus
    Tetanus
    Dokumen14 halaman
    Tetanus
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • NAPZA
    NAPZA
    Dokumen14 halaman
    NAPZA
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • BAB II Lapsus Anak
    BAB II Lapsus Anak
    Dokumen33 halaman
    BAB II Lapsus Anak
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Etika Bisnis Dan Pengrusakan Lingkungan Hidup
    Etika Bisnis Dan Pengrusakan Lingkungan Hidup
    Dokumen8 halaman
    Etika Bisnis Dan Pengrusakan Lingkungan Hidup
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Anak
    Laporan Kasus Anak
    Dokumen23 halaman
    Laporan Kasus Anak
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Pendekatan Terhadap Pasien Diare Berulang
    Pendekatan Terhadap Pasien Diare Berulang
    Dokumen3 halaman
    Pendekatan Terhadap Pasien Diare Berulang
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • IPW Soal Keppres No 61
    IPW Soal Keppres No 61
    Dokumen105 halaman
    IPW Soal Keppres No 61
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Bab I Ta
    Bab I Ta
    Dokumen3 halaman
    Bab I Ta
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Draft Bab 3
    Draft Bab 3
    Dokumen17 halaman
    Draft Bab 3
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapsus
    Cover Lapsus
    Dokumen3 halaman
    Cover Lapsus
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Home Visitilmu Kesehatan Masyarakat
    Home Visitilmu Kesehatan Masyarakat
    Dokumen49 halaman
    Home Visitilmu Kesehatan Masyarakat
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Telaah Jurnal
    Telaah Jurnal
    Dokumen3 halaman
    Telaah Jurnal
    Dita Nurul
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen11 halaman
    Bab Ii
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Isi Propil
    Isi Propil
    Dokumen23 halaman
    Isi Propil
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Kista Ovarii
    Kista Ovarii
    Dokumen21 halaman
    Kista Ovarii
    Cacha Resty
    Belum ada peringkat
  • Infertilitas
    Infertilitas
    Dokumen26 halaman
    Infertilitas
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Kista Ovarium
    Kista Ovarium
    Dokumen24 halaman
    Kista Ovarium
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Luka Tembak: Jenis, Ciri, dan Klasifikasi
    Luka Tembak: Jenis, Ciri, dan Klasifikasi
    Dokumen15 halaman
    Luka Tembak: Jenis, Ciri, dan Klasifikasi
    Otchi Pudtrie Wijaya
    100% (2)
  • 2 Kata Pengantar Case Forensik 14
    2 Kata Pengantar Case Forensik 14
    Dokumen3 halaman
    2 Kata Pengantar Case Forensik 14
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat