Infertilitas merupakan suatu permasalahan yang cukup lama dalam dunia kedokteran.
Namun sampai sdaat ini ilmu kedokteran baru berhasil menolong ± 50% pasangan infertil
untuk memperoleh anak. Perkembangan ilmu infertilitas lebih lambat dibanding cabang
ilmu kedokteran lainnya, kemungkinan disebabkan masih langkanya dokter yang
berminat pada ilmu ini. 1
Sesuai dengan definisi fertilitas yaitu kemampuan seorang isteri untuk menjadi hamil
dan melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu menghamilinya,maka pasangan
infertil haruslah dilihat sebagai satu kesatuan. Penyebab infertilitaspun harus dilihat pada
kedua belah pihak yaitu isteri dan suami. Salah satu bukti bahwa pasangan infertil harus
dilihat sebagai satu kesatuan adalah aadanya faktor imunologi yang memegang peranan
dalam fertilitas suatu pasangan. Faktor imunologi ini erat kaitannya dengan faktor
semen/sperma, cairan/lendir serviks dan reaksi imunologi isteri terhadap semen/sperma
suami. Termasuk juga sebagai faktor imunologi adanya autoantibodi.1,2
Lebih kurang seperlima pasangan usia subur di Amerika Serikat adalah pasangan
infertil. Limabelas persen diantaranya tergolong infertil yang tidak jelas penyebabnya
(unexplained infertility). Banyak bukti yang menjelaskan bahwa ada peranan faktor
imunomodulasi pada pasangan ini. Aspek penting dari imunomodulasi ini adalah adanya
antibodi anti sperma (ASA).3.
Beberapa penelitian telah dilakukan terutama dinegara maju untuk mengetahui
hubungan faktor imunologi ini dengan fungsi reproduksi suatu pasangan. Diantara
penelitian ini yaitu menemukan antigen pada sperma, cara-cara identifikasi
antigen/antibodi dalam tubuh, dan penatalaksanaan apa yang memungkinkan diberikan
pada pasangan infertil dengan faktor imunologi ini. Terjadinya infertilitas pada suatu
pasangan yang mempunyai antibodi antisperma secara teoritis dikarenakan tingginya
kadar antibodi antisperma pada cairan vagina,serviks, uterus atau tuba. Walaupun
antibodi antisperma terdapat dalam serum seseorang, belum tentu orang tersebut
mempunyai antibodi antisperma yang tinggi kadarnya dalam cairan genitalianya.4.
Penemuan antibodi antisperma juga memberiakan suatu ide bagi beberapa ilmuwan
untuk mengembangkan suatu vaksin kontrasepsi berdasarkan antigen sperma.5,6
BEBERAPA PENYEBAB INFERTILITAS
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa seorang wanita tidak bisa atau sukar menjadi
hamil setelah kehidupan seksual normal yang cukup lama. Diantara faktor-faktor tersebut
yaitu faktor organik/fisiologik, faktor ketidakseimbangan jiwa dan kecemasan berlebihan.
Dimic dkk di Yugoslavia mendapatkan 554 kasus (81,6%) dari 678 kasus pasangan
infertil disebabkan oleh kelainan organik, dan 124 kasus (18,4%) disebabkan oleh faktor
psikologik. Ingerslev dalam penelitiannya mengelompokkan penyebab infertilitas
menjadi 5 kelompok yaitu faktor anatomi, endokrin, suami, kombinasi, dan tidak
diketahui (unexplained infertility)7,8
Sumapraja membagi masalah infertilitas dalam beberapa kelompok yaitu air mani,
masalah vagina, masalah serviks, masalah uterus, masalah tuba, masalah ovarium, dan
masalah peritoneum. Masalah air mani meliputi karakteristiknya yang terdiri dari
koagulasinya dan likuefasi, viskositas, rupa dan bau, volume, pH dan adanya fruktosa
dalam air mani. Pemeriksaan mikroskopis spermatozoa dan uji ketidakcocokan imunologi
dimasukkan juga kedalam masalah air mani.1
Masalah vagina kemungkinan adanya sumbatan atau peradangan yang mengirangi
kemampuan menyampaikan air mani kedalam vagina sekitar serviks.
Masalah serviks meliputi keadaan anatomi serviks, bentuk kanalis servikalis sendiri
dan keadaan lendir serviks. Uji pascasenggama merupakan test yang erat berhubungan
dengan faktor serviks dan imunologi.1
Masalah uterus meliputi kontraksi uterus, adanya distorsi kavum uteri karena
sinekia,mioma atau polip, peradangan endometrium. Masalah uterus ini menggangu
dalam hal implantasi, pertumbuhan intra uterin, dan nutrisi serta oksigenasi janin.
Pemeriksaan untuk masalah uterus ini meliputi biopsi endometrium,histerosalpingografi
dan histeroskopi.9
Masalah tuba merupakan yang paling sering ditemukan (25-50%). Penilaian patensi
tuba merupakan salah satu pemeriksaan terpenting dalam pengelolhan infertilitas.1
Masalah ovarium meliputi ada tidaknya ovulasi, dan fungsi korpus luteum. Fungsi
hormonal berhubungan dengan masalah ovarium, ini yang dapat dinilai beberapa
pemeriksaan antara lain perubahan lendir serviks, suhu basal badan, pemeriksaan
hormonal dan biopsi endometrium.1
Masalah imunologi biasanya dibahas bersama-sama masalah lainnya yaitu masalah
serviks dan masalah air mani karena memang kedua faktor ini erat hubungannya dengan
mekanisme imunologi.1,7
Antigen fertilisasi-1 (FA-1) merupakan antigen yang terdapat pada sel-sel germinal
laki-laki dan bereaksi kuat dengan semen dari laki-laki dan perempuan infertil dan
bereaksi lemah dengan semen dari orang –orang normal. Sperma dilapisi oleh membran
plasma yang mengandung antigen spesifik yang fungsinya sebagai pengenal zona
pellusida telur dan berfungsi dalam proses kapasitas dan reaksi akrosom. FA-1 adalah
glikoprotein spesifik-sperma yang didapatkan dari membran plasma sel germinal
manusia. Naz dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa hal ini terjadi karena antibodi
terhadap FA-1 tidak mengaglutinasi atau menyebabkan immobilisasi sel sperma, antibodi
ini menghambat fertilisasi dengan cara mempengaruhi interaksi antara sperma & zona
pellucida, sedangkan Kaplan dalam penelitiannya mendapatkan kesimpulan bahwa FA-1
tidak mempunyai efek proteolitik atau aktivitas akrosin. FA-1 menghambat penetrasi
sperma ke ovum melalui pengaruhnya terhadap kapasitasi dan reaksi akrosom sel sperma.
Dari datanya juga Kaplan mengganggap bahwa FA-1 dapat digunakan dalam diagnosis
dan pengobatan dalam imunoinfertiliti dan memungkinkan pengembangan vaksin
kontrasepsi pada manusia.14,15
Antibodi antisperma
Ada banyak bukti bahwa saluran reproduksi manusia khususnya pada wanita mampu
menimbulkan respons imun lokal terhadap antigen asing, termasuk antigen sperma.
Rumke dan Hellinger (1959) adalah orang pertama yang membuktikan adanya antibodi
antisperma atau autoantibodi terhadap sperma manusia. Respon imun saluran reproduksi
wanita terhadap antigen sperma dapat melalui 2 jalur yaitu jalur aferen dan jalur eferen.
Saluran reproduksi wanita dibantu oleh sel-sel yang kompeten untuk menimbulkan
respon imun. Sel-sel ini memfagositosis spermatozoa dan memproses antigennya
sehingga menimbulkan pertahanan imun seseorang, Mekanisme ini dibantu oleh beberapa
faktor yaitu :
1. Jumlah sperma yang sangat banyak/berlebihan
2. Sperma juga difagositosis oleh sel-sel somatik sebagaimana makrofag, dan semen
secara kemotatik mempengaruhi makrofag dan netropil
3. Antigen asing lain mempunyai efek ajuvans terhadap saluran reproduksi,
misalnya adanya infeksi vagina
4. Limfosit dalam semen berperanan menyebabkan sterilitas bagi wanita melalui
mekanisme histokompatibilitas
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon imun lainnya misalnya prostaglandin E
yang bersipat imunosupresif. Respon ini terhadap sperma pada wanita dapat
melalui pembentukan antibodi atau melalui sel-sel, yang masing –masing lebih
dominan bersipat lokal dibanding sistemik.2
Imunisasi lokal (intravaginal) dengan berbagai antigen menghasilkan antibodi
spesifik pada mukosa serviks. Biasanya stimulus antigen terhadap memnbran mukosa
membentuk antibodi lokal maupun sistemik, tapi karena antigen tidak mencapai
sirkulasi respon sistemik jarang terjadi. Ada juga bukti klinik yang menunjukkan
bahwa antigen yang terpapar akibat hubungan seksual dapat menimbulkan reaksi
hipersensitif akut lokal maupun sistemik, walaupun sangat jarang.2
Penelitian teakhir terhadap antibodi antisperma pada wanita dan hubungannya
dengan infertilitas mulai diarahkan keanalisis cairan saluran reproduksi. Penelitian
terhadap antibodi antisperma penting dilakukan karena berhubungan erat dengan
transport sperma, daya tahan sperma, fertilisasi oosit yang abnormal, perkembangan
embrio yang abnormal, abortus spontan, dan antibodi anti-DNA. Apakah antibodi
antisperma adalah penyebab dari kelainan-kelainan tersebut ataukah semata-mata
antibodi antisperma itu sebagai tanda adanya penyakit yang masih dicari. Moghisssi
dalam penelitiannya menadpatkan insidens adanya antibodi antisperma pada
pasangan infertil berupa sperm-aglutination antibodi (SAA) yang mempunyai
kegiatan mengaglutinasikan sperma (aglutinasi kepala-kepala, ekor-ekor, dan kepala
ekor), dan sperm-immobilizing antibody (SIA) yang menyebabkan spermatozoa motil
menjadi berhenti, tidak mobil.6,10,11,16
Dalam penelitiannya Moghissi berkesimpulan bahwa diantara wanita infertil,
insidens SAA dan SIA lebih tinggi dalam cairan serviks dibandingkan dalam serum,
bahkan walaupun dalam serum tidak ditemukan antibodi antisperma. Juga didapatkan
bahwa kandungan antibodi antisperma ini lebih tinggi pada pasangan infertil yang
tidak jelas sebabnya dibandingkan kandungan pada pasangan infertil yang diketahui
penyebabnya (explained infertility).10
Haas dkk, mengevaluasi semen 614 orang laki-laki & wanita dengan explained
infertility. Ia mendapatkan 7% laki-laki dan 13% wanita antibodi antisperma (+). Nip
dkk, menggunakan cara ELISA melaporkan bahwa antibodi antisperma terdapat pada
serum 77% wanita dengan explained infertility, 75% wanita dengan endometriosis
dan 60% wanita dengan infertilitas karena faktor tuba. Pada penelitian ini hanya
didapatkan 5% antibodi antiperma (+) pada kontrol. 3,10
Imunoglobulin adalah antibodi yang diproduksi sebagai respons terhadap antigen
spesifik. Imunoglobulin yang dibentuk oleh sel limfosit B merupakan molekul
glikoprotein yang terdiri dari komponen polipeptida sebanyak 82-96% dan selebihnya
karbohidrat. Pada elektroforesis molekul bermigrasi sebagai gammaglobulin. Fungsi
polipeptida ini adalah mengikat dan menghancurkan antigen dengan bantuan fungsi
efektor sekunder yaitu memacu aktivitas komplemen.12
Ada 5 isotip imunoglobulin yang dikenal IgA, IgG, IgM, IgE, dan IgD. Masing-
masing mengandung 2 rantai berat spesifik dan 2 rantai ringan (α atau λ). Ig dibagi
dalam 2 region, Fab (amino-terminal) porsion to antibodi dan Fc (carboxy-terminal)
portion bind to other imunosupresor.3,11,12
IgG merupakan 75% imunoglobulin total dan dijumpai dalam bentuk monomer.
IgG ini paling mudah berdifusi kedalam jaringan ekstravaskuler dan melakukan
aktivitas antibodi dijaringan. Aktivitas lain yaitu melapisi mikroorganisme sehingga
lebih mudah difagositosis, dan juga menetralisir toksin serta virus. 12
IgA merupakan immunoglobulin terbanyak kedua dalam serum dan merupakan
imunoglobulin terbanyak dalam cairan sekresi termasuk cairan vagina/serviks. IgA
dapat mengikat vaksin atau bakteri sehingga mencegah mikroorganisme tersebut
melekat pada permukaan mukosa.12
IgM dijumpai dalam bentuk pentamer sehingga merupakan imunoglobulin
terbesar. Karena itu IgM terdapat hanya dalam intravaskuler dan merupakan 10% dari
imunoglobuin dalam serum. Makromolekul ini dapat menyebabkan aglutinasi
berbagai partikel and fiksasi komplemen dengan efisiensi yang sangat tinggi, yaitu 20
kali lipat lebih efektif dalam aglutinasi and 1000 kali lebih efektif dalam aktivitas
penghancuran bakteri dibanding IgG. Antibodi IgM cenderung menunjukkan afinitas
rendah terhadap antigen dengan determinan tunggal (hapten) tetapi karena molekul
IgM multivalen, molekul IgM dapat menunjukkan aviditas yang tinggi terhadap
antigen yang mempunyai banyak epitop (bagian antigen yang bereaksi dengan
antibodi).12
IgD merupakan monomer dan konsentrasinya dalam serum hanya sedikit. Peran
biologiknya sebagai antibodi humoral belum jelas. IgD dapat dijumpai pada
permukaan sel B, terutama sel B neonatus dalam jumlah jauh lebih banyak dibanding
konsentrasi dalam serum. IgD diduga merupakan reseptor antigen pertama pada
permukaan sel B, dan bahwa IgD berperan dalam mengawali respon imun.12
Ig E dijumpai dalam serum dengan kadar yang sangat rendah, hanya 0,004% dari
imunoglobulin total. Selain itu IgE dapat dijumpai dalam cairan sekresi. Salah satu
sifat penting dari IgE adalah kemampuan melekat secara erat pada permukaan
mastosit atau basofil melalui reseptor Fc. Peran IgE secara pasti belum diketahui.12
Teknik immunofluresens
Pemeriksaan ini terdiri dari tiga langkah dasar, Subsrat antigen disiapkan dengan cara
membuat apusan spermatozoa yang dikeringkan diudara. Sediaan kemudian ditetesi
serum yang diperiksa (atau cairan serviks atau plasma semen) dan dilakukan
pemeriksaan imunofluresens terhadap imunoglobulin. Reaksi antigen antibodi antara
semen dan cairan saluran reproduksi dan sel-sel sperma dapat dilihat dan dilokalisasi
secara makroskopik dan penampakannya berhubungan dengan anatomi spermatozoa.2
Reaksi pewarnaan yang lemah pada kasus yang meragukan seringkali didapatkan
dan hasil yang dianggap positif bila diadpatkan pada pengenceran lebih dari 1/16.
Beberapa bagian sperma seperti kutub, leher dan bagian tengah adalah tempet yang
menimbulkan warna nonspesifik. Antibodi antisperma dalam darah bereaksi pada
teknik imunofluoresens hanya terhadap antigen diakrosom dan ekor. Pewarnaan
akrosom terjadi karena adanya antibodi IgM dan IgG, dan pewarnaan pada ekor
utama hampir selalu disebabkan oleh IgG. Sedangkan pewarnaan pada ujung ekor
disebabkan oleh adanya antibodi IgM.2
Flow cytometry
Sampel plasma semen sebanyak 50 μL dicampur dengan 40 μL PBS ditambah 5%
albumin serum goat. Sepuluh mikroliter suspensi sperma yang disiapkan dengan
metode renang atas dari donor dengan antibodi anti sperma (-) mengandung ±
125.000 sperma motil ditambahkan pada tiap sampel. Kontrol menggunakan sampel
yang diketahui positif atau negatif terhadap ASA.19
Setelah inkubasi paada suhu 370 C daalam inkubator yang mengandung CO2 5%
selama 1 jam, sperma dicuci sebanyak 2 kali untuk menghilangkan antibodi yang
tidak terikat. Satu mililiter PBS ditambahkan dan campuran digoyang-goyang teratur.
Tabung kemudian disentrifus selama 5 menit pada 500 ppm dan supernatan
dipisahkan. Endapan sperma dicampur lagi dengan 1 ml PBS dan kemudian dicuci
ulang. Setelah disentrifus, endapan diencerkan lagi dengan 50 μL larutan fluoresens
isotiosianat konjugat (FITC) yang mengandung imunoglobulin IgA, IgG, IgM dan
diinkubasi selama 1 jam pada suhu 40 C dan terhindar dari sinar. Antibodi yang tidak
terikat dihilangkan dengan mencuci menggunakan PBS sebanyak 2 kali dan sperma
dianalisis dengan flow cytometry.19
Sebanyak ± 5000 sperma dianalisis dari tiap sampel menggunakan histogram.
Dihitung berapa persen sperma yang dilapisi antibodi. Bila < 20% dikatakan negatif
dan bila ≥ 20% dikatakan positif. 19
Berdasarkan hasil, metode, dan ketelitian pemeriksaan antibodi antisperma,
beberapa petunjuk untuk langkah pemeriksaan pasangan pasangan infertil dengan
kemungkinan adanya faktor imunologi telah diusulkan oleh Jones. Ia membuat suatu
pedoman meliputi :
1. Tes imobilisasi sperma cocok sebagai tes untuk skrining terhadap adanya antibodi
suami atau isteri dan juga dapat digunakan untuk pemeriksaan lendir serviks.
2. tes kontak sperma – lendir serviks untuk melihat faktor imunologis lokal. Dengan
uji silang menggunakan sperma atau lendir serviks donor dapat ditentukan apakah
aktivitas antibodi berasal dari isteri atau suami.
3. Tes aglutinasi dengan gelatin cocok digunakan untuk suami, khususnya plasma
semen, tapi memerlukan interpretasi yang teliti.
4. Antibodi lokal (SIgA) tidak dapat dideteksi pada lendir serviks dan plasma semen
dengan tes konvensional untuk antibodi antisperma serum.
5. Tes mikroaglutinasi sperma sebaiknya dihindarkan.
6. Tes menggunakan mikroskop imunofluoresens tak langsung bukan merupakan tes
rutin, tapi mungkin bermanfaat untuk menilai sifat reaksi antigen-antibodi dalam
suatu penelitian.2
PENGOBATAN
Ada tiga strategi dasar dalam penanganan pasangan infertil karena imunologi ini yaitu
1. menurunkan produksi ASA, 2. Menghilangkan antibodi antisperma yang terikat
pada sperma, dan 3. ART (Assisted reproductive technology). Ketiga sterategi ini
secara teoritis menurunkan paparan gamet oleh antibodi antisperma yang akan
meningkatkan fungsi gamet. Sedangkan Alexander mengajukan 3 pilihan terapi yaitu
1. Inseminasi dengan sperma donor, 2. Terapi imunosupresif, dan 3. Manipulasi
sperma. 3,5
Ada hubugan antara antibodi antisperma dan ART. Walaupun ART digunakan
untuk pengobatan ASA, antibodi antisperma mungkin mempunyai efek merusak
ART. Beberapa penelitian antara lain penggunaan intra uterine insemination,
intracervical insemination (ICI), in vitro fertiliztion (IVF), gamete intrafallopian tube
transfer (GIFT), subzonal sperm injection (SUZI) dan intracytoplasmic sperm
injection (ICSI).3,21
Terapi oklusi
Di sini suami menggunakan kondom selama 6-9 bulan bila isteri mempunyai bukti
faktor imunologis sebagai penyebab infertilitasnya. Ada yang menganjurkan 6-12
bulan. Tujuannya adalah untuk mengurangi titer antibodi antispermatozoa dengan
mencegah pengulangan stimulasi antigenik. Uji imunologi harus diulang setiap 3
bulan sehingga menjadi negatif atau titernya menjadi 1:4 atau kurang. Terapi ini tidak
memberikan hasil yang memuaskan pada isteri yang mempunyai antibodi antisperma
dalam serumnya. Terapi ini lebih rasional bila diberikan pada pasien dengan adanya
faktor imunologik lokal (lendir serviks). Franklin dan Dukes melaporkan bahwa
kondom efektif untuk beberapa pasien. Tetapi menurut Aiman tidak ada bukti yang
menyakinkan untuk pemakaian kondom ini. 2,3,11,22
Inseminasi intrauterin
Inseminasi intrauterin terutama diberikan bila terbukti adanya antibodi antisperma
lokal pada lendir serviks yang menyebabkan kegagalan penetrasi lendir serviks oleh
sperma. Memang indikasi inseminasi ini masih kontroversi karena beragamnya hasil
yang dilaporkan. Angka keberhasilan dengan metode ini berkisar antara 20-30%.
Francavilla dkk dalam penelitiannya tidak berhasil melakukan inseminasi intrauterin
ini dimana spermatozoa yang digunakan semuanya berikatan dengan antibodi.
Sedangkan Rojas dalam penelitiannya terhadap 41 orang yang dilakukan inseminasi
dengan menggunakan sperma yang dicuci hanya mendapatkan insidens antibodi
antisperma (+) pada 2 pasien (4,8%).3,21,24
Terapi imunosupresif/kortikosteroid
Terapi kortikosteroid dapat diharapkan menurunkan produksi ASA. Suami diberikan
20 mg prednisolon selama 10 hari pertama sesuai siklus isteri dan 5 mg/hari pada hari
ke 11-12 selama 3 siklus. Ada juga peneliti yang menggunakan metilprednisolon.3
Lahteenmaki membandingkan efektivitas pemberian prednisolon oral dengan
inseminasi intrauteri pada 46 pasangan dengan antibodi antisperma (+) pada suami.
Suami diberi prednisolon 20 mg/hari selama 10 hari ditambah 5 mg/hari pada hari ke
11-12 selama 3 siklus. Namun pada penelitian ini ia berkesimpulan bahwa inseminasi
lebih baik dibandingkan terapi steroid pada suami.3
Penelitian lain yaitu membandingkan 30 pasangan dengan antibodi antisperma
suami positif yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama diberikan steroid
oral selama 4 bulan dan dilakukan inseminasi, sedangkan kelompok kedua
diberikansteroid selama 4 bulan dan diberikan jadwal hubungan suami isteri. Steroid
yang diberikan yaitu prednisolon selama 4 bulan dan diberikan jadwal hubungan
suami isteri. Steroid yang diberikan yaitu prednisolon selama 10 hari pertama siklus
istri dan 10 mg pada hari ke11 dan 12. Didapatkan tingkat kehamilan pada kelompok
pertama sebesar 39,4 % dan kelompok kedua 4,8%. Memang disini masih belum jelas
apakah faktor steroid berperan dalam tingginya tingkat kehamilan karena masih ada
faktor lain yaitu keadaan superovulasi, bypass terhadap lendir serviks atau perbaikan
lingkungan uterus. Beberapa efek samping pemakaian imunosupresif ini antara lain
nekrosis aseptik sendi paha, kambuhnya ulkus duodenal. 3,5
Pencucian spermatozoa
Metode ini merupakan salah satu metode menghilangkan antibodi antisperma yang
terikat pada sperma. Disini sperma dari suami dicuci beberapa kali dengan buffer
fisiologik yang ditambah serum/albumin manusia 5-10%. Spermatozoa yang telah
dicuci diinseminasi kekanalis servikalis atau kavum uteri isteri. Kualitas sperma yang
baik penting sekali dalam metode ini.11
Penambahan protease IgA
Bronson menemukan bahwa porsi Fc pada antibodi antisperma imunoglobulin
bertanggung jawab dalam menghambat penetrasi sperma kedalam lendir serviks. Ia
berasumsi bahwa IgA protese yang melepaskan porsi Fc dapat meningkatkan
penetrasi lendir serviks. Lebih lanjut Kutteh dan kawan-kawan menambahkan
protease IgA pada campuran antibodi antisperma (-) dan antibodi antisperma (+) pada
lendir serviks. Pada kelompok protease terdapat penurunan 81% pengikatan sperma
oleh ASA.3
RINGKASAN
Salah satu penyebab penting infertilitas adalah faktor imunologi, khususnya pada
kasus-kasus dengan infertilitas yang sebabnya tidak jelas. Reaksi imunologi pada
pasangan infertil disebabkan oleh adanya antigen pada sperma yang menyebabkan
timbulnya antibodi antisperma baik pada suami maupun pada istri. Antibodi
antisperma ini dapat menyebabkan infertilitas melalui 2 mekanisme yaitu melalui
aktivitas aglutinasi dan aktivitas imobilisasi sehingga akhirnya sperma tidak dapat
mencapai tuba untuk membuahi ovum.
Beberapa tes untuk mendeteksi adanya antibodi antisperma dalam serum atau
dalam lendir serviks yang penting adalah uji aglutinasi sperma, uji imobilisasi
sperma, uji kontak sperma-lendir serviks, dan beberapa pemeriksaan lain yang
memerlukan alat dan bahan yang lebih canggih.
Tujuan pengobatan pada kasus pasangan infertil dengan sebab faktor imunologi ini
(adanya antibodi antisperma dengan titer tinggi) adalah untuk menurunkan titer
antibodi tersebut yaitu dengan jalan metode oklusi menggunakan kondom, metode
inseminasi intrauterin, metode imunosupresi menggunakan obat kortikosteroid,
metode pencucian sperma, penambahan protease IgA, dan penggunaan heparin dan
aspirin.
RUJUKAN
1. Sumapraja S. Pemeriksaan pasangan infertil. Dalam : Sumapraja S, Moeloek FA.
Manual infertilitas. Jakarta : Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia,
1985 : 1-44
2. Jones WR. Immunologic infertility-fact or fiction ? Fertil steril 1980 ; 33: 577- 586
3. Mazumdar S, Levine AS. Antisperm antibodies: ertiology, pathogenesis, diagnosis, and
treatment. Fertil Steril 1998; 70: 799-810
4. Stern JE, Dixon PM, Manganiello PD, Johnsen TB. Antisperm antibodies in women:
variability in antibody levels in serum, mucus, and peritoneal fluid. Fertil Steril 1992; 58:
950-958
5. Alexander NJ, Anderson DJ. Immunology of semen. Fertil Steril 1987; 47 : 192-201
6. Snow K, Ball GD. Characterization of human sperm antigens and antisperm antibodies in
infertile patients. Fertil Steril 1992; 58: 1011-1019
7. Sumapraja S. Infertilitas. Dalam : Prawiroharjo S. Ilmu kandungan. Cetakan kelima.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prwirohardjo, 1991: 426-463
8. Ingerslev M. Clinical findings in infertile women with circulating antibodies against
spermatozoa. Fertil Steril 1980; 33: 514-520
9. Soejoenoes A. Faktor uterus. Dalam : Sumapraja S, Moeloek FA. Manual infertilitas.
Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1985: 95-102
10. Moghissi KS, Sacco AG, Borin K. Immunologic infertility. Am J Obstet Gynecol 1980;
136: 941-947
11. Hanafiah MJ. Faktor serviks dan imunologi. Dalam : Sumapraja S, Moeloek FA. Manual
infertilitas. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1985 : 65-94
12. Kresno SB. Imuologi : diagnosis dan prosedur laboratorium. Ed 3. Jakarta : Balai
penerbit FKUI, 1996: 3-35
13. Geva E, Amit A, Geva LL, Lessing JB. Autoimmunity and reproduction. Fertil Steril
1997; 67: 599-611
14. Kaplan P, Naz RK. The fertilization antigen-1 does not have proteolytic/acrosin activity,
but its monoclonal antibody inibits sperm capacitation and acrosome reaction. Fertil
Steril 1992; 58: 396-402
15. Shai S, Naot Y. Identification of human sperm antigens reacting with antisperm
antibodies from sera and genital trac secretions. Fertil Steril 1992; 58: 593-598
16. Evans ML, Chan PJ, Patton WC, Kirg A. A convenient mixed immunobeads screen for
antisperm antibodies during routine semen analysis. Fertil Steril 1998;70:344-349
17. Pavia CS, Stites DP. Reproductive immunology. In stites DP, Stobo JD, Fudenberg HH,
th
Wels JV. Basic and Clinical Immunology. 5 edition. Singapore: Maruzen Asia, 1984:
682-692
18. Shulman S, Hu C. A study of the detection of sperm antibody in cervical mucus with a
modified immunobead method. Fertil Steril 1992; 58: 387-391
19. Nicholson SC, Robinson JN, Sargent IL, Barlow DH. Detection of sperm antibodies in
seminal plasma by flow cytometry: comparison with the indiect immunobead binding
test. Fertil Steril 1997; 68: 1114-1119
20. Shai S, Yoseph NB, Peer E, Naot Y. A reverse (antibody capture) enzyme-linked
immunosorbent assay for detection of antisperm antibodies in sera and genital tract
secretions. Fertil Steril 1990; 54: 894-901
21. Aiman J. Infertilitas. Dalam : Duenhoelter JH. Ginekologi Greenhill. Edisi 10. Jakarta :
EGC, 1989: 210-244
22. Francavilla F, Romano R, Santucci R, Marrone V, Corrao G, Failure of intrauterine
insemination in male immunological infertility in cases in which all spermatozoa are
antibody-coated. Fertil Steril 1992; 58: 587-592
23. Rojas IM, Rojas FJ, Leisure M, Stone SC, Asch RH. Intrauterine insemination with
washed human spermatozoa does not induce formation of antisperm antibodies. Ferti
Steril 1990; 53: 180-182
24. Livi C, Coccia E, Versari L, Pratesi S, Buzzoni P. Does intraperitoneal insemination in
the absence of prior sensitization carry with it a risk of subsequent immunity to sperm?
Fertil Steril 1990; 53: 137-142