Etiologi
Epidemiologi
Demam chikungunya tercatat pertama kali di Afrika dan Asia sejak tahun 1950an
dengan genotip virus chikungunya yang berbeda-beda dalam area ini. Epidemiologi dari
demam chikungunya ini juga unik dimana sebagian besar transmisi manusia-manusia terjadi
di perkotaan yang merupakan ciri khas penyakit di Asia. Chikungunya ini terdapat pada
primata liar yang disebabkan oleh nyamuk di Afrika namun secara periodik terdapat sejumlah
wabah besar di Afrika tengah dan timur dimana virus ini ditransmisikan dari manusia ke
manusia. Sejak wabah Asia pertama kali pada tahun 1958 di Bangkok, Thailand, sejumlah
wabah telah tercatat di India (1963), Sri Lanka (1969), Myanmar (1975), Indonesia (1982)
dan di Maldiva (2007). Epidemi ini dilaporkna di Philippina pada tahun 1954, 1956 dan
1968. Di Indonesia, chikungunya muncul kembali setelah 20 tahun dan menyebabkan 25
wabah antara tahaun 1999 sampai 2003. Di India, wabah demam chikungunya pertama
tercatat pada tahun 1963 di Kolkatta, diikuti dengan epidemi di beberapa negara bagian
lainnya.
Epidemi terakhir di samudera hindia dipercaya berasal dari teluk Kenya pada tahun
2004. Yang melewati Komoro dan Seychelles pada awal tahun 2005 diikuti dengan Mauritius
dan Reunion. Lebih dari 266 000 kasus, hampir 40% populasi di pulau Reunion, menderita
demam chikungunya. sekitar 250 kematian langsung maupun tidak langsung, diakibatkan
oleh virus di Reunion. Kasus ini terlihat lebih banyak pada orang dewasa dimana wanita lebih
banyak daripada laki-laki. Demam Chikungunya ini terjadi lagi sebagai ledakan epidemi di
India pada tahun 2005–2006, setelah 32 tahun, yang menyebabkan leih dari 1,3 juta kasus
dalam 13 negara bagian. Hampir sepertiga distrik di negara ini terkena. Sedangkan laporan
resmi tingkat nasional melaporkan berbagai provinsi di India tidak menyebutkan bahwa
chikungunya sebagai penyebab kematian di daerah yang terkena, satu penelitian yang
dilakukan di kota Ahmedabad me nunjukkan lebih banyak kematian selama wabah
chikungunya apabila dibandingkan dengan jumlah rata-rata kematian selama priode yang
sama dalam 4 tahun terakhir. Wabah chikungunya ini juga telah dilaporkan di Maldiva, Sri
Lanka dan Indonesia.
Gambaran klinis
Virus CHIK menyebabkan demam pada sebagian besar penderita dengan periode
inkubasi 2 – 4 hari sejak gigitan nyamuk. Viremia ini menetap selama 5 hari sejak onset
klinis. Gambaran klinis yang umum adalah demam (92%) biasanya juga disertai dengan
Arthralgia (87%), nyeri punggung (67%) dan sakit kepala (62%). Demam ini bervariasi mulai
dari demam ringan sampai berat, yang menghilang dalam 24 sampai 48 jam. Demam ini
biasanya terjadi mendadak sampai 39-40oC, dengan menggigil dan kekakuan dan biasanya
menghilang dengan pemberian antipiretik. Tidak ada variasi diurnal untuk demam ini.
Dalam kasus wabah yang terbaru ini banyak pasien yang mengeluhkan arthralgia
tanpa demam. Nyeri sendi tamaknya semakin memburuk pada pagi hari, yang kemudian
berkurang dengan aktivitas ringan. Nyeri sendi ini dapat menghilang selama 2-3 hari yang
kemudian muncul lagi dengan pola pelana kuda. Poliartritis migran dengan efusi juga dapat
dijumpai pada 70% kasus, namun menghilang sendiri. Pergelangan kaki, tangan, dan sendi-
sendi kecil paling sering terkena. Sendi besar seperti lutut dan tulang belakang juga dapat
terlibat. Terdapat kecenderungan keterlibatan sendi dengan riwayat trauma atau degenerasi.
Pekerjaan yang banyak menggunakan sendi kecil lebih sering terkena (misalnya sendi
interfalang pada penyadap karet, pergelangan kaki pada orang yang banyak berdiri dan
berjalan misalnya polisi). Fenomena pembungkukkan ini kemungkinan terjadi akibat dari
tungkai bawah dan keterlibatan punggung yang mendorong pasien membungkuk ke depan.
Gejala klinis lain. Ruam makulopapular transien dapat terjadi pada 50% pasien.
Erupsi makulopapular dapat menetap lebih dari 2 hari pada 10% kasus. Ulkus intertriginosa
dan erupsi vesikobulosa juga dapat ditemukan. Beberapa orang mengalami lesi angiomatosa
dan lebih sedikit yang mengalami purpura. Stomatitis ditemukan pada 25% pasien dan ulkus
oral pada 15% pasien. Eritema nasal diikuti dengan hiperpimentasi fotosensitif (20%) sering
ditemukan pada epidemi yang baru-baru ini terjadi. Dermatitis eksfolitiva yang terjadi pada
tungkai dan wajah ditemukan pada 5% kasus. Epidermolisis bullosa juga ditemukan pada
anak-anak. Sebagian besar lesi yang timbul ini dapat sembuh sempurna kecuali pada kasus
dimana hiperpigmentasi yang fotosensitif ini menetap.
Fotofobia dan nyeri retro-orbital juga pernah ditemukan. Meskipun jarang terjadi
pada orang dewasa, namun anak-anak terutama neonatus dapat mengalami muntah dan/atau
diare dan meningo-ensefalitis. Manifestasi neurologis seperti ensefalitis, kejang demam,
sindrom meningeal dan ensefalopati akut juga pernah dilaporkan. Neuroretinitis dan uveitis
pada salah satu mata atau kedua mata juga pernah dilaporkan. Manifestasi okuler yang
berkaitan dengan wabah epidemi dai infeksi virus chikungunya di India Selatan meliputi
uveitis anterior granulomatosa dan nongranulomatosa, neuritis optik, neuritis retrobulbar, dan
lesi dendritik. Prognosis visual biasanya baik, dimana penglihatan sebagian besar pasien ini
kembali normal.
Bentuk artralgia yang persisten telah dtemukan pada tahun 1980 di Afrika Selatan,
dimana sebuah penelitian retrospektif menunjukkan resolusi yang sempurna pada 87,9 %;,
3,7 % mengalami kekakuan episodik dan nyeri, 2.8% mengalami kekakuan yang persisten
tanpa nyeri dan 5.6% mengalami keterbatasan pergerakan sendi yang persisten dan
menyakitkan. Enthesopathy dan tendinitis dari tendoachilles ditemukan pada 53% pasien
yang mengalami keterlibatan muskuloskeletal. Sekuele neurologis, emosional dan
dermatologis juga dapat ditemukan.
Pemeriksaan laboratorium