Anda di halaman 1dari 7

Tugas Terstruktur Individu – Pertemuan ke 7

Mata Kuliah : Forensic Accounting & Fraud Examination


Materi : Fraud risk assessment : building a fraud audit program
Buku : Tuanakota , T.M (2010) – Akuntansi forensik dan audit investigasi

Chapter 16 – Audit investigatif dengan menganalisis unsur perbuatan melawan hukum


Akuntan forensik bekerja sama dengan praktisi hukum dalam menyelesaikan masalah
hukum. Karena itu akuntan forensik perlu memahami hukum pembuktian sesuai dengan
masalah hukum yang dihadapi, seperti pembuktian untuk tindak pidana umum (dimana
beberapa pelanggaran dan kejahatan mengenai fraud diatur), tindak pidana khusus (seperti
korupsi, pencucian uang, perpajakan, dan lain-lain), pembuktian dalam hukum perdata,
pembuktian dalam hukum administrasi dan sebagainya.
Bab ini membahas teknik analisis dengan menggunakan rumusan mengenai perbuatan-
perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat “Undang-Undang
Tipikor”). Perbuatan melawan hukum dirumuskan dalam satu atau beberapa kalimat yang
dapat dianalisis atau dipilah-pilah ke dalam bagian yang lebih kecil. Unsur-unsur ini dikenal
dengan istilah Belanda, Bestanddeel (tunggal) atau bestanddeelen (jamak). Penyidik atau
akuntan forensik mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk setiap unsur tersebut. Bukti
dan barang bukti yang dikumpulkan untuk setiap unsur akan mendukung atau membantah
adanya perbuatan melawan hukum.
Undang-undang tipikor merumuskan 30 jenis atau bentuk tindak pidana korupsi yang
dibagi dalam tujuh kelompok yang diringkas dalam tabel di bawah ini :

Perincian 30 Jenis Tindak Pidana Korupsi


Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009
Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Pidana Pidana
Penjara
Denda
No KelompokTipiko Keterangan Pidana (tahun) d/d
r a ( juta Rp )
Penjara
Min Maks Min Maks
Kerugian KeuanganNegara
1 Pasal 2 Memperkaya diri Seumur hidup 4 20 d 200 1.000
Pidana mati
2 Pasal 3 Menyalahgunakan Seumur hidup 1 20 da 50 1.000
Wewenang
Suap Menyuap
Pidana Pidana
Penjara
Denda
No KelompokTipiko Keterangan Pidana (tahun) d/d
r a ( juta Rp )
Penjara
Min Maks Min Maks
3 Psl 5 ayat Menyuap PN 1 5 da 50 250
(1)a
4 Psl 5 ayat Menyuap PN 1 5 da 50 250
(1)b
5 Pasal 13 Memberi hadiah ke PN 3 da 150
6 Psl 5 ayat(2) PN menerimasuap 1 5 da 50 250
7 Pasal 12.a PN menerima suap Seumur hidup 4 20 d 200 1.000
8 Pasal 12.b. PN menerima suap Seumur hidup 4 20 d 200 1.000
9 Pasal 11 PN menerimasuap 1 5 da 50 250
10 Psl 6 ayat(1).a Menyuap Hakim 3 15 d 150 750
11 Psl 6 ayat(1).b Menyuap advokat 3 15 d 150 750
12 Psl 6 ayat(2) Hakim & Advokat 3 15 d 150 750
terima suap
13 Pasal 12.c Hakim menerima suap Seumur Hidup 4 20 d 200 1.000
14 Pasal 12.d Advokat menerima Seumur Hidup 4 20 d 200 1.000
suap
Penggelapan dalam Jabatan
15 Pasal 15 PN menggelapkan 3 15 d 150 750
uang atau membiarkan
penggelapan
16 Pasal 9 PN. I memalsukan 1 5 d 50 250
buku
17 Pasal 10.a PN. I merusakbukti 2 7 d 100 350
18 Pasal 10.b PN membiarkan orang 2 7 d 100 350
lain merusakkan bukti
19 Pasal 10.c PN membantuorang 2 7 d 100 350
lain merusakkan bukti
Perbuatan Pemerasan
20 Pasal 12.e PN memeras Seumur Hidup 4 20 d 200 1.000
21 Pasal 12.g PN memeras Seumur Hidup 4 20 d 200 1.000
22 Pasal 12.h PN memeras Seumur Hidup 4 20 d 200 1.000
Perbuatan Curang
Pidana Pidana
Penjara
Denda
No KelompokTipiko Keterangan Pidana (tahun) d/d
r a ( juta Rp )
Penjara
Min Maks Min Maks
23 Psl 7 ayat(1) Pemborong berbuat 2 7 da 100 350
A curang
24 Psl 7 ayat(1) Pengawas 2 7 da 100 350
B proyekmembiarkan
perbuatan curang
25 Psl 7 ayat(1) Rekanan TNI/Polri 2 7 da 100 350
C berbuat curang
26 Psl 7 ayat(1) Pengawas rekanan 2 7 da 100 350
D TNI/Polri berbu at
curang
27 Psl 7 ayat (2) Penerima barang 2 7 da 100 350
TNI/Polri membiarkan
perbuatan curang
28 Psl 12.h PN memeras 4 20 d 200 1.000
Benturan Kepentingan dalam
Pengadaan
29 Pasal 12.i PN turut serta dlm Seumur Hidup 4 20 d 200 1.000
pengadaan yang
diurusnya
Gratifikasi
30 Psl 12B PN menerima Seumur Hidup 4 20 d 200 1.000
jo.12C gratifikasi dan tidak
melapor ke KPK

Selain ke-30 bentuk tindak pidana korupsi, Undang-Undang Tipikor Bab III mengatur
beberapa tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
1.      Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi
dalam perkara korupsi.
2.      Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.
3.      Dalam perkara korupsi, melanggar KUHP Pasal 220 (mengadukan perbuatan pidana, padahal
ia tahu perbuatan itu tidak dilakukan), Pasal 231 (menarik barang yang disita), Pasal 421
(pejabat menyalahgunakan kekuasaan, memaksa orang melakukan, tidak melakukan, atau
membiarkan sesuatu), Pasal 422 (pejabat menggunakan paksaan untuk memeras pengakuan
atau mendapat keterangan), Pasal 429 (pejabat melampaui kekuasaan ... memaksa masuk ke
dalam rumah atau ruangan atau pekarangan tertutup ... atau berada di situ secara melawan
hukum) atau Pasal 430 (pejabat melampaui kekuasaan menyuruh memperlihatkan kepadanya
atau merampas surat, kartu pos, barang atau paket ... atau kabar lewat kawat)

Di bawah ini ada catatan mengenai beberapa konsep Undang – Undang , baik yang
secara umum dikenal dalam KUHP dan KUHAP maupun yang khas untuk tindak pidana
korupsi. Konsep-konsep itu adalah : a)  alat bukti yang sah, b) beban pembuktian terbalik, c)
gugatan perdata atas harta yang disembunyikan, d) pemidanaan secara in absentia, e)
“memperkaya” versus “menguntungkan”, f) pidana mati, g) nullum delictum, h) concursus
idealis, i) concursus realis, j) perbuatan berlanjut, dan k)  “lepas dari tuntutan hukum” versus
“bebas”.
Konsep-konsep ini akan dibahas secara singkat dan dimaksudkan untuk membantu
akuntan forensik yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan hukum. Dalam analisis
kasus, pembaca dapat melihat penerapan sebagian konsep-konsep ini.
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188
ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk
tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :a)  alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu; dan b) dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Beban Pembuktian Terbalik, pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak


pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang
diduga berasal dari salah satu tindak pidana. Gugatan Perdata atas Harta yang
Disembunyikan, apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga
juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan
perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.

Perampasan Harta Benda yang Disita, ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 38
ayat 5 dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang
cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindakan pidana korupsi maka hakim
atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita. dan
penjelasannya yang berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan dalam ayat ini, dimaksudkan pula
untuk menyelamatkan kekayaan Negara”. Karena orang itu telah meninggal dunia,
kesempatan baginya banding tidak ada. Setelah ia meninggal, pertanggungjawabannya
dibatasi sampai pada perampasan harta benda yang telah disita.
Pemidanaan secara in Absentia, pengalaman mengenai koruptor yang melarikan diri
atau tidak hadir dalam persidangan, diatasi dengan ketentuan mengenai pemidanaan secara in
absentia. Hal ini diatur dalam pasal 38 ayat 1, 2, 3, dan 4 Undang-Undang Pemberantasan
Tipikor.

“Memperkaya” versus “Menguntungkan”, seorang pejabat menerima suap dari


seorang pengusaha dan seluruh jumlah itu diberikan kepada atasannya. Pejabat itu tidak
memperkaya dirinya, tetapi tetap menguntungkan dirinya. Dengan meneruskan seluruh suap
itu kepada atasannya, ia menguntungkan diri karena bisa mendapat keistimewaan (favor)
dalam bentuk kenaikan pangkat, jabatan, gaji dan seterusnya. Perumusan TPK dalam Pasal 2
Undang-Undang Tipikor berbeda dari perumusan dalam Pasal 3. Dalam Pasal 2, digunakan
istilah “memperkaya diri sendiri atau orang lain”. Sementara itu, dalam Pasal 3, digunakan
istilah “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”

Pidana Mati, dalam Pasal 2 ayat 2 dari Undang-Undang Tipikor, dikatakan:


“Dalam   hal tindak  pidana  korupsi  sebagaimana dimaksud  dalam  ayat   (1)  dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Penjelasannya berbunyi sebagai
berikut: yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan
sebagaipemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut
dilakukanpada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang
berlaku,pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana
korupsi,atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Nullum Delictum maknanya dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang
berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundangundangan pidana yang telah ada” Dalam kaitan dengan TPK, asas ini
dikemukakan dalam dua kasus. Pertama untuk kasus-kasus TPK yang dilakukan sebelum
keluarnya suatu undang-undang, tetapi diadili setelah keluarnya undang-undang tersebut.
Kedua, sewaktu KPK menangani kasus yang terjadi sebelum keuarnya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan TPK, ada orang yang
mempertanyakan wewenang KPK dengan menggunakan asas nullum delictum ini. Dalam
kasus semacam ini, asas ini sebenarnya tidak dilanggar karena substansi hukumnya sudah
diatur dalam undang-undang yang mendahului TPK itu. Yang terjadi kemudian adalah
perluasan dari aparat yang menanganinya, yakni dari polisi dan jaksa ke KPK.
Concursus Ideailis, konsep concursus idealis berkenaan dengan satu perbuatan yang
tercakup dalam lebih dari satu aturan pidana. Hal ini terlihat dalam Pasal 63 yang berbunyi
sebagai berikut:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanyasalah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat
ancamanpidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam
aturanpidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Concursus Realis
Konsep concursus realis ini berkenaan dengan beberapa perbuatan yang dilakukan
berbarengan. Hal ini terdapat dalam KUHP Pasal 65 yang berbunyi sebagai berikut.
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang
berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana
pokokyang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam
terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang trerberat ditambah
sepertiga.
Perbuatan Berlanjut, perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP
yang berbunyi sebagai berikut.
Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan
ataupelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
satuperbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda,
yangditerapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

“Lepas dari Tuntutan Hukum” versus “Bebas”


Putusan bebas (vrijspraak) atau bebas murni (zuivere vrijspraak) diatur dalam
KUHAP Pasal 191 ayat 1 yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwaan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.”
“Lepas dari segala tuntutan hukum” (ontslag van alle rechtsvervolging) diatur dalam
KUHAP Pasal 191 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat
bahwa perbuatan yang didakwaan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

ANALISIS KASUS KORUPSI


Para akuntan forensik dapat menarik pelajaran berharga dari pendapat dan komentar
para ahli hukum mengenai kasus-kasus yang sudah ada putusan hakim. Prof. Dr. Jur. Andi
Hamzah adalah salah satu seorang di antara para ahli hukum pidana dan hukum acara pidana
yang banyak menulis tentang kasus-kasus korupsi.
Analisis berikut disarikan dari tulisan beliau. Beliau memberikan pendapat dalam
kasus-kasus korupsi, seperti dalam kasus Akbar Tandjung di Pengadilan Tinggi. Selanjutnya
pendapat beliau digunakan oleh Mahkamah Agung meskipun tidak secara utuh.
Dalam bukunya, Profesor Andi Hamzah mencantumkan posisi dan analisis kasusnya
secara terperinci. Analisis di bawah merupakan ringkasan untuk menonjolkan hal-hal penting
bagi akuntan forensik. Para akuntan forensik sebaiknya mempelajari dokumentasi dari suatu
kasus secara utuh, yaitu sejak surat dakwaan yang diajukan penuntut umum, sampai kepada
Mahkamah Agung.

KASUS SAMADIKUN HARTONO


Penuntut Umum mendakwa Samadikun Hartono (Presiden Komisaris PT Bank Modern Tbk),
bersama-sama dengan Bambang Trianto (Presiden Direktur PT Bank Modern Tbk).
Dakwaan primair
Secara berlanjut (voortgezette handeling) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan secara melawan hukum atau secara tidak patut
menggunakan uang atau menyalurkan dana BLBI atau bertentangan dengan peruntukannya
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara sebesar
Rp169.492.986.461,54.
Dakwaan subsidair
Perbuatan itu juga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan, yang langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Menarik sekali apa yang dikatakan Andi Hamzah mengenai putusan Pengadilan Negeri dan
Mahkamah Agung dalam kasus Samadikun Hartono, serta tragedi pada akhirnya.
Dalam pertimbangan Pengadilan Negeri, perbuatan terdakwa tidak dapat dikualifikasikan
sebagai perbuatan melangar hukum. Karena itu terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan
baik yang primair maupun yang subsidair.
Nyata sekali kekeliruan hakim karena pada dakwaan subsidair yang terdakwa juga
dibebaskan, tidak ada bagian inti (bestanddeel) melawan hukum sehingga tidak perlu
dibuktikan.
Adalah hak terdakwa dan penasihat hukumnya untuk membuktikan bahwa tidak ada unsur
melawan hukum, dan jika hakim menerima alasan tersebut, putusannya harus lepas dari
segala tuntutan hukum dan bukan bebas (vrispraak). Putusan macam inilah yang disebut
oleh doktrin sebagai bebas murni atau niet zuivere vrijspraak  yang sama dengan lepas dari
segala tuntutan hukum terselubung (verkapte ontslag van alle rechtsvervolging).
Oleh karena itu, benar putusan mahkamah agung yang menerima permohonan kasasi jaksa
penuntut umum karena putusan tersebut seharusnya lepas dari segala tuntutan hukum yang
dapat diajukan dalam tingkat kasasi.
Mahkamah Agung memutuskan bahwa terdakwa Samadikun Hartono terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
bersama-sama dan berlanjut. Terdakwa dipidana dengan pidna penjara empat tahun dan
denda sebesar Rp20.000.000,00 subsidair tiga bulan kurungan.

Anda mungkin juga menyukai