Anda di halaman 1dari 16

Penegakkan diagnosis:

DSM V: Gangguan terkait stimulan

Gangguan penggunaan stimulan/ Stimulant use disorder

KD:

A. Terdapat suatu pola penggunaan zat tipe amfetamin, kokain, atau


stimulan lain yang menyebabkan adanya kelainan atau distres klinis yang
signifikan, yang di manifestasikan dengan sedikitnya 2 hal di bawah ini,
yang terjadi dalam periode 12 bulan:

1. Stimulan dikonsumsi dalam jumlah besar atau periode yang lebih


panjang daripada yang diperbolehkan

2. Adanya keinginan persisten atau usaha yang gagal untuk


mengurangi atau mengontrol penggunaan stimulan

3. Menghabiskan banyak waktu untuk mendapatkan, menggunakan,


atau bangkit dari efek penggunaan stimulan

4. Craving

5. Penggunaan stimulan berulang menyebabkan kegagalan memenuhi


tanggung jawab di pekerjaan, sekolah, atau rumah

6. Tetap menggunakan stimulan terus menerus walaupun efeknya


dapat menyebabkan atau menimbulkan masalah sosial atau
interpersonal

7. Berkurangnya aktivitas sosial, kerja, dan rekreasional akibat


pemakaian stimulan

8. Penggunaan stimulan berulang walau berada pada situasi yang


secara fisik membahayakan

9. Tetap melanjutkan penggunaan stimulan walaupun mengetahui


bahwa hal tersebut dapar menyebabkan masalah fisik dan
psikologis

10.Toleransi*, ditandai dengan:

a. Kebutuhan dosis stimulan yang lebih tinggi untuk mencapai


intoksikasi atau efek yang diinginkan, atau

b. Efek yang sangat berkurang dengan penggunaan stimulan


terus menerus dalam dosis yang sama

11.Withdrawal*, ditandai dengan:

a. Karakter sindrom withdrawal


b. Stimulan digunakan untuk menurunkan atau menghindari
gejala withdrawal

*Kriteria ini tidak berlaku bagi pasien yang menerima pengobatan jenis stimulan
dari dokter

Spesifikasi: in early remission: jika tidak ada gejala selama 3-12bulan

In sustained remission: jika tidak ada gejala >12 bulan

**Spesifikasi: Dalam lingkungan yang terkontrol

***Spesifikasi:

- Keparahan

o Ringan: 2-3

o Sedang: 4-5

o Berat: >=6

Manifestasi klinis: Manifestasi yang ditimbulkan dapat berbeda-


beda berdasarkan potensinya, ditentukan dari berbagai tingkatan
kemurnian dan kecepatan onset (dilihat dari preparasinya, ada
daun coca, pasta coca, cocaine hydrocloride(biasanya di snorted
atau di injeksi intravena), cocaine alkaloid spt freebase dan
crack). Seseorang yang terpapar kokain dapat mengalami
stimulant use disorder dalam 1 minggu (gak semua secepat ini).
Penggunaan berulang sebabkan toleransi. Terjadinya gejala putus
zat seperti hipersomnia, peningkatan nafsu makan, dan disforia
dapat sebabkan craving. Penggunaan bisa kronik atau episodik
dengan diselingi periode binge ketika dalam episode tidak
menggunakan. Ketika menggunakan dosis tinggi secara IV, hisap,
telan, maka dapat menyebabkan perilaku agresif dan kasar. Juga
ada intense temporary anxiety yang mirip GAD sama PD, juga
paranoid, episode psikotik mirip skizofrenia.

Ketika di injeksi atau di smoke bisa timbulkan rasa sejahtera,


percaya diri, euforia. Pada penggunaan long term maka akan
timbulkan perubahan perilaku dramatis, perilaku yang
kacaubalau, isolasi sosial, agresif (ada acting out), disfungsi
seksual. Individu yang mengalami intoksikasi akut akan
mengoceh, merasakan sakit kepala, adanya ideas of reference
( involve a person having a belief or perception that irrelevant, unrelated or
innocuous things in the world are referring to them directly or have special
personal significance. People suffering from ideas of reference experience
intrusive thoughts of this nature, but crucially, they realize that these ideas are
not real. They may include experiences such as: feeling that people on television
or radio are talking about, or talking directly to them; believing that headlines or
stories in newspapers are written especially for them; having the experience that
people (often strangers) drop hints or say things about them behind their back;
believing that events (even world events) have been deliberately contrived for
them, or have special personal significance; seeing objects or events as being
deliberately set-up to convey a special or particular meaning) serta tinnitus,
paranoid, halusinasi auditorik, taktil.

Saat wd bisa ada depresi, ide bunh diri, iritabilitas, anhedonia,


emosi labil, gangguan atensi dan konsentrasi. Gangguan mental
saat wd bisa menghilang dalam bbrp jam-hari hingga menetap 1
bulan. Perubahan fisiologis pada wd berkebalikan dengan
intoksikasi seperti bradikardia.

Penanda diagnostik

Benzoylecgonine (metabolit kokain) dapat bertahan di urin


hingga 1-3 hari setelah single dose dan bisa sampai 7-12 hari jika
digunakan berulang kali dalam dosis tinggi. Adanya peningkatan
ringan tes fungsi liver pada pengguna kokain injektor dan
penggunaan bersama dgn alkohol. Pada penghentian
penggunaan kronis kokain dapat ditemukan perubahan EEG
menjadi abnormal persisten, adanya penurunan sekresi PRL dan
downregulation reseptor dopamin. Dapat ditemukan pula kondisi
medis lain spt BB turun, malnutrisi dan higienitas yang buruk.

DD: Primary mental disorders seperti major depressive disorder,


skizofrenia, bipolar, GAD, PD; Intoksikasi phencyclidine atau angel
dustkarena gambaran klinis mirip dan bisa dibedakan dari adanya
metabolit kokain dalam urin atau plasma.

Intoksikasi Stimulan
KD:
A. Baru saja menggunakan kokain, zat mirip amfetamin, atau stimulan lain
B. Perubahan perilaku dan psikologis signifikan (seperti euforia atau affective
blunting; perubahan kemampuan sosial; hipervigilansi (sikap waspada berlebihan
disertai dengan kecenderungan perilaku siap siaga untuk mencegah bahaya);
sensitivitas interpersonal; ansietas; tension atau marah; stereotyped behavior;
impaired judgment) yang terjadi selama, setelah, penggunaan zat stimulan
C. Ada>=2 gejala atau tanda dibawah ini yang terjadi selama atau setelah
penggunaan:
1. Takikardia atau bradikardia
2. Dilatasi pupil
3. Peningkatan atau penurunan BO
4. Perspirasi atau chills
5. Nausea atau vomiting
6. Adanya penurunan BB bermakna
7. Agitasi psikomotor atau retardasi
8. Lemah otot, depresi respiratorik, sakit dada, atau aritmia
9. Konfusi, kejang, diskinesia, distonia, atau koma
D. Gejala atau tanda tidak berhubungan dengan kondisi medis atau tidak lebih
dapat dijelaskan dengan gangguan mental lain, termasuk intoksikasi dengan zat
lain
Spesifikasi dengan intokiskan spesifik (misal kokain)
Spesifikasikan jika:
Dengan kelainan perseptual: jika terdapat halusinasi pada tes realitas yang
intak atau adanya ilusi auditori, visual, taktil terjadi ketika tidak ada delirium

Intoksikasi stimulan biasanya diawali dengan perasaan high termasuk salah satu dari:
euforia dengan kekuatan yang meningkat, suka berteman, hiperaktivitas,
kegelisahan, hipervigilansi, sensitivitas interpersonal, talkativeness, ansietas, tension,
waspada, rasa kebesaran ‘grandiosity’, stereotyped and repetitive behavior, marah,
impaired judgment, dan jika intoksikasi kronik dapat terjadi affective blunting
dengan fatigue atau kesedihan dan social withdrawal. Dan ditemani oleh minimal 2
tanda atau gejala spt diatas.
Dibagi jadi dua kelompok besar:
- Psikologis/perilaku:
o Perubahan mood
o Interaksi sosial
o Penilaian/pengambilan keputusan

- Fisiologis: (minimal dua)


o efek adrenergik
 Perubahan HR
 Perubahan BP
 Thermoregulasi
 Perubahan psikomotor
 Dilatasi pupil
o Gggn GIT
o Perubahan motorik
o Gejala cardiopulmonari
o Masalah neurologis
Intoksikasi baik akut atau kronik dapat sebabkan kelainan fungsi sosial dan
okupasional. Saat parah, sebabkan konvulsi, hiperpireksia, aritmia, dan kematian.

Kadang ada gangguan perseptual spt halusinasi atau ilusi. Namun jika keduanya tidak
ada indikasi disebabkan oleh zat maka bisa di pertimbangkan dx stimulant induced
psychotic.
“While stimulant intoxication occurs in individuals with stimulant use disorders, in- toxication is not
a criterion for stimulant use disorder, which is confirmed by the presence of two of the 11
diagnostic criteria for use disorder. “

DD: Stimulant induced disorders, other mental disorders

Stimulant Withdrawal

KD

Pengurangan atau penghilangan penggunaan jangka panjang zat tipe amfetamin,


kokain, atau stimulan lain

Mood disforik dan >=2 perubahan fisiologis di bawah ini, berkembang dalam jangka
waktu beberapa jam hingga beberapa hari setelah kriteria A

Fatigue

Vivid, unpleasant dreams

Insomnia, atau hypersomnia

Peningkatan nafsu makan

Retardasi atau agitasi psikomotor

Tanda dan gejala si kriteria B menyebabkan distres dan kelainan signifikan pada
fungsi sosial, okupasional, atau area penting lain

Tanda atau gejala tidak berhubungan dengan kondisi medis lain dan tidak lebih baik
dijelaskan oleh gangguan mental lain termasuk intoksikasi atau putus zat dari zat lain

Spesifikasi: zat spesifik yang dihentikan

Bradikardia, anhedonia, drug craving sering terjadi. Gejala putus zat akut atau
crash sering terlihat setelah periode penggunaan berulang dosis tinggi, ditandai
dengan perasaan kelesuan yang intens dan tidak menyenangkan dan depresi dan
peningkatan nafsu makan, yang secara umum membutuhkan beberapa hari
istirahat dan penyembuhan. Gejala depresif dengan ide atau perilaku bunuh diri
menjadi kondisi paling serius. Jika memenuhi kd depresi maka perlu
pertimbangkan dx stimulant induced depressive disorder.

DD: Stimulant use disorder dan other stimulant induced disorders. Dibedakan jika
gejala WD mendominasi dan cukup parah untuk perlu diberikan perhatian klinis.

Unspecified stimulant related disorder


Kategori ini diberikan pada gejala yang sebabkan distres dan kelainan di fungsi
fungsi penting namun tidak memenuhi kriteria spesifik stimulant related disoder
atau zat lainnya

Stimulan merupakan simpatomimetik poten yang sebabkan vasokonstriksi,


peningkatan HR, penignkatan BP lewat stimulasi adrenergik. Kombinasi
peningkatan kebutuhan myocardial dan vasokonstriksi PD koroner dapat
menyebabkan angina pectoris hingga infark myocard. Hipertensi akut
berhubungan dengan stimulan juga berpredisposisi dengan arterial hemoragis
seperti struk hemoragis dan diseksi aorta. Selain itu vasokonstriksi juga sebabkan
kerusakan pada end organ seperti otak, ginjal, dan usus.
Dengan pengguanan intranasal maka dapat terjadi penurunan aliran darah ke
mukosa nasal secara frekuen menyebabkan gejala di nasal seperti rhinorrhea,
mimisan, dan ulserasi mucosa. Orang yang menggunakan stimulan secara regular
juga dapat mengalami gangguan neuropsikologis seperti atensi, belajar, dan
memori. Juga sering orang menaruh dirinya dalam bahaya seperti melakukan
seks bebas tanpa pengaman. Yang menyebabkan HIV atau penyakit seksual lain.
Menyetir saat intox dll. Juga craving dorong seseorang untuk halalkan segala
cara.

Pemeriksaan; tes darah: digunakan untuk menilai intoksikasi akut dimana ada
kecurigaan bahwa pasien baru saja menggunakan.
Tes urin: untuk monitoring pasien apakah ada relaps atau mendeteksi adanya
penggunaan bersama bahan bahan berbahaya.

Kokain half life nya relatif lebih singkat dibandingkan dengan bahan lain sehingga
sulit untuk dilihat dari skrining obat lewat urin. Namun, jika penggunaannya
berat makaproduk pecahannya dapat terdeposit di lemak. Metabolit kokain
dapat ditemukan hingga 2 minggu setelah penghentian pada pasien pemakai
berat.
Pemeriksaan lain biasanya ddasarkan dari sejarah/riwayat atau bukti fisik.
Kejag atau defisit neurologis akut dapat dinilai dari CT scan atau MRI seperti
untuk struk hemoragik atau iskemik. Adanya nyeri dada atau abnormalitas cv
dapat diperiksa dengan EKG atau kardiak enzim serum. Jika ada kelihan
respiratorik dapat dilakukan xray untuk rule out pneumonitis. Infeksi pada lokasi
injeksi dapat di rule out dengan kultur darah untuk hilangkan kemungkinan
bakteremia atau endokarditis. Riwayat penggunaan obat injeksi untuk melihat
resiko hepB/C/HIV.

Penyalahgunaan stimulan kronis dapat merubah produksi hormon stress related


seperti CRH dan kortidol, meningkatkan prl, lh, fsh. Tapi pemeriksaannya tidak
rutin dilakukan.

DD:
Intoksikasi: mirip manic, psikotik, ggn ansietas
WD: ansietas, depresi
Jika symptom severe maka bisa jadi tmsk stimulant induced psychiatric disorder.
Biasanya akan membaik dalam waktu beberapa minggu setelah pemberhentian
(gejala gejala stimulan) namun jika tetap ada sampai sebulan atau lebih dulu ada
drpd inisiasi penggunaan stimulan mungkin hal tsb merupakan independent
psychiatric disorder.

Ciccarone, 2011
PENGGUNAAN AKUT: mencakup efek psikologis, perilaku, dan fisiologis.
Bervariasi berdasarkan penggunaannya yang akut atau kronis, potensi obat, rute
dan dosis.
Penggunaan stimulan secara akut akan mendorong pelepasan NT secara cepat
sehingga menyebabkan euphoria, peningkatan energi, dan libido, menurunkan
fatigue dan nafsu makan, serta respon perilaku seperti peningkatan PD dan
kewaspadaan. Efek adrenergik akut yang terjadi termasuk takikardia, dan
peningkatan BP. Kondisi ini dapat dilihat dengan respon setara dosis 15-25 mg IV
atau smoked; 40-100mg insufflated (snorting); atau 100-200mg ingested.
Dengan meningkatkan dosisnya akan terjadi peningkatan euforia pada awalnya
namun juga bisa menjadi toksik dan terjadi efek disforik termasuk insomnia,
anxiety, irritability, confusion, paranoia, panic attacks, and hallucinations;
behavioral: impulsif dan gradiosity. ES adrenergik akut seperti hiperpireksia,
hiperrefleksi, tremor, diaforesis, takikardia, hipertensi, takipneu. Overdosis
sebabkan konvulsi, hemoragis serebral atau infark, aritmia atau iskemia, gagal
nafas, muscle overactivity hingga rhabdomyolysis.

PENGGUNA KRONIS: mengalami siklus binge-abstinence yg bisa berlangsung sekitar 12 jam


atau lebih. Penggunaan dalam siklus ini dijelaskan dalam konsep sensitisasi:
penggunaan obat yang bersifat intermiten menyebabkan kebutuhan penggunaan
untuk meningkatkan dosis substansi yang digunakan Pada penggunaan yang
bersifat kronis, dapat ditemukan gejala psikotik yang jelas. Gejala psikotik
yang dapat ditemukan termasuk paranoid, delusi dan halusinasi. Gejala
halusinasi yang paling sering ditemukan adalah halusinasi taktil. Sekitar
25-50% pengguna psikostimulan kronis melaporkan gejala psikotik.
Penggunaan psikostimulan jangka panjang dapat menyebabkan
penurunan fungsi kognitif dan dapat bertahan beberapa bulan setelah
penggunaan terakhir. Pada pemeriksaan pencitraan otak dapat ditemukan
perubahan struktur otak seperti penurunan volume korteks frontal dan
peningkatan volume ganglia basalis.[1-2]
Setelah penghentian obat, salah satu fase yang dapat ditemukan adalah
gejala penarikan (withdrawal). Gejala akut ditandai dengan
hipersomnolen, rasa lapar yang tidak tertahankan, dan depresi. Pada
beberapa minggu gejala akan berubah menjadi disforia, letargi, dan
anhedonia.
(([CSAT, 1999] The incidence and severity of MA- and cocaine-induced side effects and toxic
reactions are also dose-related. As the dose increases, the profile of side effects progresses
from mild excitement to more intense reactions, even psychosis (CSAT, 1997). Because
tolerance develops rapidly to the desired euphoric effects, stimulant users nearly always
escalate dose size and frequency of drug use in pursuit of the vanishing rush. If initial use was
by oral or intranasal routes, users also tend to switch to intravenous administration or
inhalation, methods that promise more rapid response rates and peak plasma levels))
Chronic MA users may consume as much as 15 grams of the drug per day in doses exceeding
1 gram every 4 hours over a 24-hour period. Because the conventional dose is 10 mg, doses
of 150 mg to 1 g would ordinarily be highly toxic to naive users (Cho, 1990). There is,
however, considerable individual variation in toxicity and overdose from stimulants.
Although general ranges have been established for lethal doses and blood levels, reactions are
unpredictable (Gold and Miller, 1997). The lethal dose of cocaine for 50 percent of novice
users (LD50) is 1.5 grams.))

((Intoxication

Stimulant use phases


 Initiation, single-dose phase. Early use of a single dose of stimulants results in
euphoria and increased energy that correspond closely to stimulant plasma levels.
Higher levels of euphoria are achieved by injection or inhalation routes of
administration that evoke a rapid rise to peak drug concentrations. The rush
experienced by persons who inhale (smoke) or inject stimulants is profoundly
rewarding and reinforcing. Classical conditioning to the cues associated with drug use
reputedly occurs during this initial phase.
 Consolidation, dose-frequency escalation phase. As tolerance develops to the
euphorigenic effects, users tend to increase doses and frequency of stimulant
administration in an attempt to recapture the original and most intense rush
sensations. They may also switch the route of administration to get a more rapid
response. During this phase, intermittent consumption is prolonged with the discovery
that higher doses produce greater effects.
 Maintenance phase with bingeing. High-dose and frequent-use patterns often lead to
even more compulsive bingeing over a few hours to days that ceases only when the
user is totally exhausted or the stimulant supply runs out. Binges typically last 12 to
18 hours (but may last 2 to 3 days or longer) for cocaine users. The high and sustained
plasma levels achieved during binges can have considerable pathological effects. The
binge is characterized by frequent mood swings as plasma levels of the stimulant
fluctuate. Stereotypic behaviors and thinking exclude other concerns so that the user
focuses exclusively on internal sensations and withdraws from social activities in
pursuit of direct pharmacological effects. Almost all activity is directed to acquiring
the drug and consuming it. Also, the settings in which drugs are consumed are
progressively restricted.
"Crash" and withdrawal syndrome phases
 Early crash phase. The binge terminates with a "crash" that has several successive
phases that follow each other in rapid succession over a relatively brief interval after a
cocaine run, but are more prolonged and pronounced in MA use. Dysphoria, anxiety,
and agitation begin a short time after cessation of stimulant use, followed by an
intense drug craving that often leads to recidivism. Users may exhibit a repetitive
cycle of bingeing, with an intervening crash, over a period of several months. The
more protracted withdrawal from ice produces a particularly irritable and jittery state
that coincides with the initial "come-down" period after binge use and is a dangerous
time because the user is short-tempered and unpredictable. This "tweaking" period is
exacerbated by the user's prolonged lack of sleep. At this point, the tweaker is
extremely frustrated because no dose will reestablish euphoria. Although not
apparently intoxicated, the tweaker may have rapid eye movements, concise but
quivery speech, and brisk, somewhat jerky movements The tweaker's thinking seems
scattered and subject to paranoid delusions.
 Middle crash phase. Anxiety and agitation are followed by a period of fatigue,
increasing depression, and anhedonia with decreased mental and physical energy. An
intense desire for sleep, often accompanied by insomnia, usually replaces the drug
craving. During this part of the crash, users may use alcohol, benzodiazepines, or
opiates to induce and prolong sleep. The middle crash phase terminates with a period
of protracted sleep, often for 24 to 36 hours during which time any attempt at therapy
or other intervention is inappropriate.
 Late crash phase. The period of hypersomnolence in the late crash phase is often
followed upon wakening by intense hunger.
 Protracted withdrawal. Following the crash phase (or early withdrawal), the user
experiences symptoms that are opposite to those of stimulant intoxication: fatigue,
loss of physical and mental energy, depression, anhedonia, and a limited interest in his
surroundings. These symptoms may increase in intensity over the 12 to 96 hours
immediately following the crash, or they may wax and wane over several weeks. A
severe and persisting depression in this phase can result in suicidal ideation or suicide
attempts and is a major concern for the user. Anhedonia and dysphoria usually
dissipate over a 6- to 18-week period for MA users. In the protracted withdrawal
phase, periods of drug craving may reemerge. These cravings are often triggered by
conditioned environmental cues and can only be extinguished by sustained
abstinence.

Acute intoxication with stimulants resembles hypomania or a manic state. In low doses, the
libido is stimulated and sexual performance is enhanced. In high doses, spontaneous
ejaculation and orgasm can occur.
With increasing doses, poor judgment, indiscretions, sexual acting-out, and other bizarre
behaviors or mental alterations are more likely to be seen. Acute stimulant intoxication can
result in seizures, confusion, dystonias, respiratory depression, chest pain, or cardiac
arrhythmias
Tatalaksana
Penanganan medis terutama diberikan pada fase akut. Selanjutnya, tata
laksana psikiatri diperlukan untuk pasien dapat melepaskan
kecanduannya.

Indikasi Rawat Inap


Tidak semua pasien dengan amphetamine and cocaine use disorder harus
dirawat inap. Pasien dengan gangguan organik yang jelas disarankan
untuk dilakukan rawat inap untuk observasi dan tata laksana lebih lanjut.
Pada pasien dengan gejala klinis yang khas harus dilakukan eksklusi
penyebab organik lainnya sebelum menegakkan diagnosis overdosis
psikostimulan. Pasien dengan agitasi akut harus diobservasi dalam
beberapa jam untuk melihat perbaikan gejala. Bila memungkinkan,
lakukan konsultasi dengan psikiater selama periode observasi agitasi.
Pasien dengan paranoid yang menetap, ide atau percobaan bunuh diri,
atau disforia hebat sebaiknya dilakukan rawat inap oleh psikiatri. Pasien
dengan gangguan mental lain sebagai komorbid seperti depresi, gejala
psikosis dan gangguan kepribadian juga sebaiknya dirawat inapkan.

Persiapan Rujukan
Pasien dengan amphetamine and cocaine use disorder biasanya tidak
menyadari kecanduan yang dialaminya. Untuk itu, diperlukan peran
keluarga dan orang sekitar untuk dapat mengenal tanda-tanda kecanduan
yang dialami. Keluarga dan pecandu sebaiknya dibawa ke dokter bila
 Pecandu tidak dapat berhenti menggunakan obat-obatan
 Pecandu terus menggunakan obat meskipun menyebabkan
gangguan pada penderita
 Pecandu menunjukkan gejala perilaku berisiko, misalnya
penggunaan jarum suntik bergantian dan perilaku seksual berisiko
 Ada tanda-tanda withdrawal
Pecandu harus dibawa ke rumah sakit segera bila ditemukan tanda-tanda
berikut:
 Mengalami overdosis
 Adanya perubahan kesadaran
 Sulit bernapas
 Kejang
 Tanda-tanda serangan jantung
 Adanya gejala fisik dan psikologi yang berat

Tata Laksana Akut


Tata laksana amphetamine and cocaine use disorder dimulai dari tata
laksana akut pada saat pasien datang pertama kali datang ke layanan
kesehatan. Tata laksana akut meliputi penilaian risiko, tata laksana
simtomatik dan tata laksana overdosis.
Penilaian Risiko
Batasan kadar letal pada penggunaan kokain bergantung pada
kemampuan metabolisme masing-masing individu. Namun, pada studi
ditemukan bahwa kadar letal penggunaan kokain IV adalah 20 mg dan
kokain oral 500-1400 mg.[12]. Dosis toksik pada penggunaan amfetamin
juga berbeda pada masing-masing pengguna. Pada literatur ditemukan
komplikasi ditemukan pada penggunaan 30 mg, namun, pada beberapa
kasus ditemukan setelah konsumsi 400 hingga 500 mg, tidak terjadi
kematian pada pasien. Pengguna kronis dapat menoleransi dosis yang
lebih besar.[13] Setelah dilakukan penilaian risiko, dilakukan
penatalaksanaan sesuai gejala yang dialami pasien.
Stabilisasi dan Rehidrasi
Penatalaksanaan yang diberikan sifatnya simtomatik guna menangani
gejala yang dialami seperti agitasi, hipertensi, kejang dan hipertermia.
Hidrasi merupakan salah satu elemen penting. Hidrasi diberikan
dengan cairan salin normal dengan memperhatikan output urine 2-3
ml/kgBB/jam. Resusitasi cairan yang cukup juga dilakukan dalam
penatalaksanaan rabdomiolisis. Tata laksana pada saat akut termasuk di
antaranya adalah menjaga patensi jalan napas dan observasi ketat.
Observasi suhu menjadi perhatian penting dokter. Pasien dengan
hipertermia, dapat mengalami peningkatan suhu akibat agitasi sehingga
diperlukan kehati-hatian dalam interpretasi suhu pasien. Bila dibutuhkan,
penurunan suhu dengan bak es dapat dilakukan. Kejang dapat terjadi
sebagai komplikasi pada pasien dengan amphetamine and cocaine use
disorder.
Tata Laksana Kejang
Pada pasien dengan kejang, penatalaksanaan dapat dilakukan dengan
pemberian benzodiazepin seperti lorazepam, diazepam, atau
midazolam. Restrain sebaiknya dihindarkan guna mencegah perburukan
rhabdomiolisis.[12,14]
Tata Laksana Hipertensi dan Hipotensi
Pasien dengan hipertensi yang diinduksi oleh penggunaan kokain
biasanya menunjukkan perbaikan dengan pemberian benzodiazepin.
Pilihan terapi lain adalah vasodilator nitrogliserin terutama pada pasien
dengan nyeri dada, atau vasodilator nitroprusside. Sebaliknya, pasien
dengan hipotensi dapat diberikan cairan. Vasopressor dapat diberikan
pada pasien yang tidak merespon dengan
cairan. Norepinephrine merupakan vasopressor pilihan.[12]
Tata Laksana Gangguan Respirologi
Pasien dengan intoksikasi kokain juga dapat mengalami edema paru. Tata
laksana pada saluran nafas dapat diberikan pemasangan CPAP
(continuous positive airway pressure) atau PEEP (positive end-expiratory
pressure) pada pasien dengan hipoksemia.[12,15]
Tata Laksana Body Stuffer
Kejang dapat terjadi pada pasien intoksikasi, terutama pada body stuffers,
individu yang memasukkan paket kokain dalam jumlah besar ke dalam
tubuh, biasanya untuk tujuan penyelundupan.
Kejang terjadi biasanya dalam 2 jam pertama intoksikasi yang terjadi jika
paket bocor atau tidak tersegel dengan benar. Penatalaksanaan kejang
pada intoksikasi psikostimulan dilakukan dengan benzodiazepine. Pada
pasien dengan distonia, dopamin dan asetilkolin dapat diberikan bila
pendekatan psikologis tidak berhasil.[12]
Pada pasien dengan ingesti kokain yang bukan body stuffers, dapat
ditatalaksana dengan pemberian karbon aktif. Induksi muntah dan bilas
lambung tidak disarankan untuk dilakukan. Pemberian karbon aktif juga
disarankan untuk body stuffers. Pada pasien yang menunjukkan gejala,
dapat diberikan laksatif atau irigasi seluruh saluran cerna guna
mengeluarkan paket yang dibawanya. Body stuffers harus diobservasi
setidaknya selama 6 jam setelah pasase paket terakhir. Pada body
stuffers yang menunjukkan gejala intoksikasi berat atau gejala obstruksi
dan iskemia saluran cerna, pembedahan menjadi pilihan pengobatan.
[2,5,12]
Tata Laksana Gangguan Metabolik dan Kardiovaskular
Pasien dengan hipoglikemia dapat ditatalaksana dengan pemberian
tiamin 100 mg bolus intravena dilanjutkan dengan dextrose 50%, 50 ml
bolus intravena. Pasien dengan gangguan asidosis diperbaiki dengan
ventilasi dan pemberian natrium bikarbonat. Natrium bikarbonat juga
diberikan pada pasien dengan gangguan irama jantung.[2,5,12]

Tata Laksana Kronis


Tata laksana kronis pada amphetamine and cocaine use disorder terdiri
atas terapi medikamentosa dan terapi suportif berupa terapi psikososial
dan perilaku.
Medikamentosa
Tidak ada antidotum yang spesifik dalam penanganan intoksikasi
psikostimulan. Sampai saat ini, belum ada terapi farmakologis yang
disetujui oleh FDA untuk mengatasi amphetamine and cocaine use
disorder. Beberapa pengobatan sudah diuji sebagai terapi untuk
kecanduan psikostimulan termasuk antidepresan yakni golongan
heterosiklik, SSRI (selective serotonin reuptake inhibitors) dan MAOI
(monoamine oxidase inhibitor). Penelitian menunjukkan bahwa pemberian
obat-obatan ini tidak memiliki efek pada penghentian kecanduan kokain.
Hasil yang sama ditunjukkan pada penelitian terhadap efek
farmakologis mood stabilizer, agonis dopamine dan neuroprotektor. Saat
ini, sedang dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efek
kombinasi antidepresan terbaru terhadap penghentian amphetamine and
cocaine use disorder.[1-2]
Terapi Suportif
Modalitas tata laksana amphetamine and cocaine use disorder  yang
utama adalah terapi psikososial dan perilaku. Terapi psikososial
termasuk CBT (cognitive behavioural therapy), terapi berbasis penguatan
komunitas, contingency management, atau kombinasi dari modalitas
tersebut. Studi menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan efikasi
terapi pada amphetamine and cocaine use disorder. Studi menemukan
bahwa CBT saja tidak menunjukkan perubahan penyalahgunaan kokain
yang bermakna, namun CBT yang disertai dengan contingency
management menunjukkan penurunan penyalahgunaan moderat. Di sisi
lain studi menemukan bahwa CBT memberikan hasil yang efektif pada
pengobatan ketergantungan metamfetamin.[1]
Cognitive and Behavioral Therapy
Terapi CBT berfokus pada berfokus pada belajar pada pola yang
maladaptif dan meningkatkan mekanisme coping untuk mencegah
kekambuhan. Contingency management adalah sebuah terapi yang
mengubah pengkondisian dalam diri penderita. Dalam terapi ini sebuah
perilaku diubah dengan menerapkan perilaku lain yang sifatnya
menguntungkan atau merugikan pelaku (reward and punishment).
Harapannya, terjadi perubahan perilaku yang akhirnya bersifat sukarela
oleh pelaku.[1,9]
Contingency Management
Perbedaan mendasar pada contingency management dan modalitas
lainnya adalah pada contingency management terdapat faktor eksternal
yang dipakai sebagai sarana dalam mencapai tujuan jangka pendek.
Sesuatu yang sifatnya eksternal ini misalnya imbalan
uang, voucher barang atau jasa. Sedangkan pada modalitas terapi lain
seperti terapi berbasis komunitas menggunakan sesuatu yang secara
alami terdapat dalam lingkungan atau dalam diri penderita guna
mencapai tujuan jangka panjang. Sesuatu yang berasal dari dalam diri
atau kelompok ini misalnya adalah dukungan kelompok sosial atau pujian
dari kelompok sosial atau pasangan.[1,9]
Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang baik untuk
terapi contingency managementpada penanganan amphetamine and
cocaine use disorder. Pada beberapa meta analisis ditemukan
bahwa contingency management menunjukkan penurunan kecanduan
yang signifikan pada kecanduan kokain dibanding modalitas terapi
lainnya. Salah satu kekhawatiran dalam terapi ini adalah efeknya yang
pendek dan temporer bergantung pada imbalan yang diberikan. Dalam
sebuah penelitian yang membandingkan contingency
management dengan CBT ditemukan bahwa terapi dengan contingency
management menunjukkan hasil yang lebih baik. Namun, setelah
penghentian uji coba, yang berarti penghentian pemberian imbalan
pada contingency management, subjek yang mendapatkan CBT
menunjukkan penurunan kecanduan yang lebih konsisten.[1,9]

Tata Laksana Withdrawal


Pada pasien pengguna psikostimulan, fase withdrawal terutama terjadi
pada 2 minggu pertama setelah penghentian obat. Fase withdrawal pada
terdiri atas 3 fase yakni crash, withdrawal, dan extinction.
Fase crash terjadi terutama dalam 2-4 hari pertama, pasien biasanya
tampak tenang, tanpa adanya keinginan yang atas substans begitu besar.
Fase withdrawal merupakan fase yang terberat dengan gejala klinis yang
berat. Pasien memiliki keinginan yang begitu besar akan konsumsi
substansi. Fase ini terjadi dalam setelah 2-4 setelah pemakaian
amfetamin terakhir, mencapai puncak dalam 7-10 hari dan berangsur-
angsur membaik dalam 2-4 minggu. Pada pemakaian kokain,
fase withdrawal muncul pada 1-2 hari setelah pemakaian, mencapai
puncak dalam 4-7 hari dan membaik dalam 1-2 minggu.
Fase extinction berlangsung dalam hitungan minggu hingga bulan. Pasien
belum kembali dalam keadaan fisiologis namun gejala klinis tidak lagi
berat, keinginan untuk mengonsumsi psikostimulan juga jauh berkurang.
[10]
Tidak ada tata laksana spesifik dan tidak ada tata laksana yang
ditemukan secara efektif dapat menurunkan gejala yang dialami pada
saat withdrawal psikostimulan. Tata laksana yang dilakukan bertujuan
untuk mengatasi komplikasi yang dialami pasien dan bersifat simtomatik.
Terapi farmakologis yang dapat diberikan untuk mengurangi aktivitas
stimulasi dompaminergik, noradrenergik atau serotoninergik dapat
diberikan desipramin, bromokriptin, amantadine, dan selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRI). Pasien dengan gangguan mood dapat
diberikan lithium atau carbamazepine. Pada pasien dengan gejala psikosis
yang jelas dapat dipertimbangkan pemberian antipsikosis seperti
olanzapine.[10]

Refrensi
Ciccarone D. Stimulant Abuse: Pharmacology, Cocaine, Methamphetamine, Treatment,
Attempts at Pharmacotherapy. Prim Care. 2011;38(1):41–58.
DOI:10.1016/j.pop.2010.11.004. 

Preda A. Stimulants. 2018. Dapat diakses pada:


https://emedicine.medscape.com/article/289007-overview#a1 

Handly N. Amphetamine Toxicity. 2017. Dapat diakses pada:


https://emedicine.medscape.com/article/812518-overview#a1 

 Stitzer M, Petry N. Contingency Management for Treatment of Substance Abuse. Annu.


Rev. Clin. Psychol. 2006;2:411–34. 

Kampman K, Jarvis M. American Society of Addiction Medicine (ASAM) National Practice


Guideline for the Use of Medications in the Treatment of Addiction Involving Opioid Use. J
Addict Med. 2015;9(5):358-67 

Burnet B. Cocaine Toxicity. Medscape. 2018. Dapat diakses pada:


https://emedicine.medscape.com/article/813959-overview#a1 

Toxnet. Amphetamine. U.S. National Library of Medicine. 2018. Dapat diakses pada:
https://toxnet.nlm.nih.gov/cgi-bin/sis/search/a?dbs+hsdb:@term+@DOCNO+3287 

Romanelli F, Smith KM, Clinical Effects and Management of Methamphetamine Abuse.


Pharmacotherapy 2006;26(8):1148–1156 

Handly N. Amphetamine Toxicity Treatment & Management. Medscape 2018. Dapat diakses
pada: https://emedicine.medscape.com/article/812518-overview#a1

American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,


Fifth Edition (DSM-5), American Psychiatric Association, Arlington, VA 2013 

Sadock, Benjamin J, Virginia A. Sadock, and Pedro Ruiz. Kaplan & Sadock's


Comprehensive Textbook of Psychiatry. , 2017

Anda mungkin juga menyukai