PSORIASIS
Disusun Oleh :
Hudza Rabbani
141.0221.034
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2015
1
LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi Kasus :
PSORIASIS
Disusun Oleh :
Hudza Rabbani
141.0221.034
Dokter Pembimbing
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I LAPORAN KASUS 3
A. Identitias Pasien 3
B. Status Pasien 3
C. Prognosis 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
A. Psoriasis 7
1. Pendahuluan 7
2. Epidemiologi 7
3. Etiologi 7
4. Patogenesis 8
5. Presentasi Klinis 8
6. Diagnosis dan Diagosis Banding 9
7. Penatalaksanaan 12
8. Prognosis 14
DAFTAR PUSTAKA 16
3
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. SG
Usia : 56 tahun
Alamat : Bandongan
Pekerjaan : Petani
Bangsa : Indonesia
Suku : Jawa
Agama : Islam
B. Status Pasien
Autoanamnesis : 30 Juni 2015
Keluhan Utama : Pasien mengeluhkan adanya gatal-gatal di seluruh
tubuh sejak 7 hari lalu
Keluhan Tambahan : Terasa panas dan terbakar
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien merasakan gatal diseluruh tubuhnya,
berwarna kemarahan, jika digaruk bisa menjadi
lecet dan berdarah, jika terkena air bisa bertambah
merah. Saat ini pasien kesulitan tidur.
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien mengaku bahwa mengalami hal ini sejak 2
tahun lalu. Awalnya hanya berbentuk kecil di
bagian tangan kiri. Namun semakin lama semakin
menyebar dan terdapat di seluruh tubuh
Riwayat Penyakit Keluarga : Dikeluarga hanya pasien saja yang memiliki
keluhan
Riwayat Pengobatan : pernah berobat di puskesmas dan diberi obat minum
serta salf
4
C. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Baik
Status Generalisata :
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital : Tekanan darah = Tidak dilakukan
Nadi = 80x/ menit
RR = 20x/ menit
Suhu = 36.50C
Kepala : Deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemia -/-, sklera ikterik +/+
THT : Telinga = aurikula tidak terdapat kelainan, liang
telinga lapang, serumen -/-, membran timpani intak
Hidung = deviasi septum (–), mukosa normal,
konka tidak hipertrofi
Tenggorokan = Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Thorax : Pergerakan dada simetris; suara paru vesikuler,
ronki -/-, wheezing -/-; suara jantung S1-S2 reguler,
mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen : Bentuk flat, dinding perut supel
Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai (-), capillary refill < 2
detik
5
Status Dermatologikus :
Efloresensi : Plakat eritematosa yang besarnya bervariasi dari miliar sampai
numular, dengan gambaran yang beraneka ragam. Panjang mulai dari
0,5-10cm. Berbentuk bulat, lonjong,hingga menyerupai pulau-pulau.
Plakat ini berbatas tegas, ditutupi oleh skuama kasar berwama putih.
Terdapat tanda Aupitz, dan Koebner phenomenon. Terdapat di seluruh
tubuh.
Foto Klinis :
6
D. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dilakukan
E. Resume
Pasien dengan inisial Tn.SG usia 56 tahun datang dengan keluhan gatal diseluruh
tubuh. Rasa gatal jika terkena air, dan terasa panas. Berwarna kemarahan berbatas tegas dan
di tengahnya terdapat skuama berwarna putih.
Pada pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal. Pada status
dermatologikus terdapat Plakat eritematosa yang besarnya bervariasi dari miliar sampai
numular, dengan gambaran yang beraneka ragam. Panjang mulai dari 0,5-10cm. Berbentuk
bulat, lonjong,hingga menyerupai pulau-pulau. Plakat ini berbatas tegas, ditutupi oleh skuama
kasar berwama putih. Terdapat tanda Aupitz, dan Koebner phenomenon. Terdapat di seluruh
tubuh.
.
F. Diagnosis Kerja
Psoriasis vulgaris
G. Diagnosis Banding
Impetigo, Dermatitis numularis, Tinea korporis, Ptiriasis rubra
H. Penatalakasanaan
Non Medikamentosa
- Jangan menggaruk-garuk lesi
- Hindari terkena gesekan-gesekan pada tangan
Medikamentosa
- LCD solution 150ml (2x sehari)
- Desoksmetason krim tube 2 (2x sehari)
Salicil salf 20gr
- Curcuma tab (2x sehari)
- Loratadine tab (1x sehari)
I. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pendahuluan
Psoriasis merupakan penyakit golongan eritroskuamosa dengan lesi kulit yang khas
berbentuk plakat eritroskuamosa, sirkumskripta dan ditutupi oleh skuama putih perak.
Psoriasis menyebabkan morbiditas fisik dan psikologis serta menjadi beban ekonomi karena
biaya pengobatan dan frekuensi kunjungan ke dokter.
II.2. Definisi
Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronik dengan karakteristik berupa
plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis, dan berwarna putih keperakan
terutama pada siku, lutut, scalp, punggung, umbilikus dan lumbal. Selain itu psoriasis
merupakan penyakit dengan basis genetik yang kuat, selain itu bisa juga di picu oleh
lingkungan sekitar (trauma, infeksi, dan medikasi).
II.3. Epidemiologi
Psoriasis dijumpai di seluruh dunia dengan prevalensi yang berbeda-beda dipengaruhi
oleh ras, geografis, dan lingkungan. Di Amerika Serikat terjadi pada 2% dari populasi atau
sekitar 150.000 kasus baru per tahun. Insiden tertinggi di Denmark (2,9%) sedangkan rerata
di Eropa Utara sekitar 2%. Insiden psoriasis pada laki- laki dan perempuan hampir sama,
namun melaporkan insiden lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki dan
meningkat sesuai usia. Distribusi usia pasien psoriasis menunjukkan peningkatan sesuai
dengan kronisitas penyakit, namun terjadi penurunan setelah usia 75 tahun seiring
berkurangnya usia harapan hidup pada pasien psoriasis akibat hubungan psoriasis dengan
diabetes atau aterosklerosis.
II.4. Etiologi
Penyebab penyakit psoriasis belum diketahui meskipun telah dilakukan penelitian
dasar dan klinis secara intensif. Diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, sistem
imunitas, dan lingkungan.
8
II.4.1. Faktor Genetik
Sekitar 1/3 orang yang terkena psoriasis melaporkan riwayat penyakit keluarga yang
juga menderita psoriasis. Pada kembar monozigot resiko menderita psoriasis adalah sebesar
70% bila salah seorang menderita psoriasis. Bila orangtua tidak menderita psoriasis maka
risiko mendapat psoriasis sebesar 12%, sedangkan bila salah satu orang tua menderita
psoriasis maka risiko terkena psoriasis meningkat menjadi 34-39%. Berdasarkan awitan
penyakit dikenal dua tipe yaitu:
a. Psoriasis tipe I dengan awitan dini dan bersifat familial.
b. Psoriasis tipe II dengan awitan lambat dan bersifat nonfamilial.
Hal lain yang menyokong adanya faktor genetik adalah bahwa psoriasis berkaitan
dengan HLA. Psoriasis tipe I berhubungan dengan HLA-B13, B17, Bw57 dan Cw6. Psoriasis
tipe II berkaitan dengan HLA-B27 dan Cw2, sedangkan psoriasis pustulosa berkaitan dengan
HLA-B27. Pada analisa Human Leukocyte Antigen (HLA) yang spesifik dalam suatu
populasi, didapatkan bahwa suseptibilitas terhadap psoriasis berhubungan dengan Major
Histocompatibility Complex (MHC) klas I dan II pada atau dekat dengan kromosom 6 dan
lainnya berada di kromosom 17. Lokus Psoriasis Susceptibilitas 1 (PSORS1) dianggap lokus
yang terpenting untuk suseptibilitas psoriasis. Hal ini disebabkan PSORS1 berkaitan lebih
dari 50% kasus psoriasis.
9
II.4.2. Faktor Imunologik
Defek genetik pada psoriasis dapat diekspresikan pada salah satu dari ketiga jenis sel
yaitu limfosit T, sel penyaji antigen (dermal) atau keratinosit. Keratinosit psoriasis
membutuhkan stimuli untuk aktivasinya. Lesi psoriasis umumnya ditemukan limfosit T di
dermis yang terutama terdiri atas limfosit T CD4 dengan sedikit limfositik dalam epidermis.
Sedangkan pada lesi baru pada umumnya lebih didominasis oleh sel limfosit T CD8. Pada
lesi psoriasis terdapat sekitar 17 sitokin yang produksinya bertambah. Sel Langerhans juga
berperan dalam imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya proliferasi epidermis dimulai dengan
adanya pergerakan antigen baik endogen maupun eksogen oleh sel langerhans. Pada psoriasis
pembentukan epidermis lebih cepat, hanya 3-4 hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27
hari.
Psoriasis merupakan penyakit autoimun. Lebih 90% dapat mengalami remisi setelah
diobati dengan imunosupresif. Berbagai faktor pencetus pada psoriasis yang disebutkan
dalam kepustakaan diantaranya adalah stress psikis, infeksi fokal, trauma (Fenomenan
Kobner), endokrin, gangguan metabolik, obat, alkohol dan merokok.
10
dapat menyebabkan residif ialah beta adrenergik blocking agents, litium, anti malaria dan
penghentian mendadak steroid sistemik.
11
II.5.1. Psoriasis Vulgaris
Merupakan bentuk yang paling umum dari psoriasis dan sering ditemukan (80%).
Psoriasis ini tampak berupa plak yang berbentuk sirkumskrip, berwarna merah, terdistribusi
simetris. Jumlah lesi pada psoriasis vulgaris dapat bervariasi dari satu hingga beberapa
dengan ukuran mulai 0,5 cm hingga 30 cm atau lebih. Lokasi psoriasis vulgaris yang paling
sering dijumpai adalah ekstensor siku, lutut, bokong, lipatan genital, sakrum dan scalp. Selain
lokasi tersebut diatas, psoriasis ini dapat juga timbul di lokasi lain. Terapi paling
seringdengan radiasi UV atau kortikosteroid topikal. Patogenesisnya belum diketahui, namun
dimungkinkan berasal dari inhibisi sintesis prostaglandin.
12
II.5.2. Psoriasis Gutata
Tampak sebagai papul eritematosa multipel yang sering ditemukan terutama pada
badan dan kemudian meluas hingga ekstremitas, wajah dan scalp. Lesi psoriasis ini menetap
selama 2-3 bulan dan akhirnya akan mengalami resolusi spontan. Pada umumnya terjadi pada
anak-anak dan remaja yang seringkali diawali dengan radang tenggorokan. Lesi berupa papul
kecil berwarna merah, kira kira berukuran 0,5 cm-1,5cm.
13
II.5.4. Eritrodermik Psoriasis
Pada penyakit ini muncuk kemerahan hampir diseluruh tubuh, termasuk wajah,
tangan, kaki, kuku, dan badan. Eritema merupakan efloresensi yang paling banyak muncul.
Pasien dengan eritrodermik psoriasis mungkin akan kehilangan suhu tubuh, karena
vasodilatasi generalisata, dan bisa menyebabkan hipotermia. Selain itu terjadi edema pada
ekstremitas bawah dan kehilangan protein. Dari kehilangan air akibat vasodilatasi bisa
menyebabkan gagal jantung, dan gagal ginjal.
14
II.6. Imunopatogenesis Psoriasis
Seperti telah diketahui bahwa penyebab dan patogenesis psoriasis belum diketahui
dengan pasti, banyak sistem dalam tubuh berperan dalam patogenesis psoriasis, banyak
komponen, elemen mediator yang terlibat terhadap terjadinya atau kekambuhan psoriasis.
Namun ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh para peneliti, diantaranya gangguan
diferensiasi keratinosit, hiperproliferasi keratinosit dan imunologis. Hal tersebut menjadi
dasar patologis terjadinya psoriasis yang multifaktor tersebut, namun ketiganya tidak bekerja
sendiri-sendiri namun saling berkaitan.
15
dan berbagai perubahan vaskular endotel di lapisan dermis, seperti angiogenesis dan dilatasi
pembuluh darah. Lapisan epidermis berdiferensiasi berlebihan yang berbeda dengan sel
normal, keratinosit pada psoriasis membentuk amplop cornified (CE) yang mudah terjadi
pengelupasan, pembentukan lapisan korneum yang berlebihan mengakibatkan epidermis
menebal. Pada fase akhir, kapilarisasi dermal yang luas menyebabkan infiltrasi sel radang
pada ikatan dermal-epidermal yang tampak sebagai papilomatosis, merupakan gambaran khas
pada psoriasis. Beberapa mediator sebagai penanda diferensiasi keratinosit yang abnormal
pada psoriasis; transglutaminase I (TGase K), skin-derived antileukoproteinase (SKALP),
migration inhibitory factor-related protein-8 (MRP-8), Involucrin, Filaggrin.
TGase K yang mengawali mengkatalisis untuk terbentuknya CE, yang penting pada
lesi psoriasis. SKALP yang hanya ditemukan pada lesi psoriasis, mediator ini merupakan
polipeptida inhibitor elastase dominan, yang disekresikan oleh keratinosit epidermal. Elastase
adalah lysosomal serin proteinase yang spesifik untuk degradasi elastin, protein yang
ditemukan dalam jaringan yang membutuhkan elastisitas kulit. MRP-8, merupakan Ca2+-
binding protein walaupun fungsi biokimia tidak sepenuhnya dipahami, namun ditemukan
pada psoriasis dan penyakit inflamasi lainnya, tidak pada kulit normal. Peran MRP-8 dalam
reorganisasi sitoskeleton selama patogenesis psoriasis. Involucrin, merupakan prekursor
protein yang membantu untuk menstabilisasikan CE. Pada kulit normal, protein ini
merupakan konstituen utama dari CE pada tahap awal pembentukan epidermis, involucrin
tetap konstituen utama dari CE selama proses maturasi. Filaggrin yang biasanya ditemukan
pada stratum granular epidermis, tidak ada dalam lesi psoriasis. Hilangnya stratum granular
kulit stratum korneum dalam psoriasis kemungkinan besar petanda ketidakhadiran filaggrin
tersebut
16
hiperproliferasi. BMP-6 merupakan faktor pertumbuhan ini sudah dapat dijumpai pada bayi
baru lahir, tapi biasanya menghilang setelah dewasa, kecuali pada pasien psoriasis, hal ini
menyebabkan ditemukan TGF-α dibagian atas lesi psoriasis, tetapi tidak dalam kulit normal.
Vasoactive Intestinal Polipeptide (VIP), merupakan neuropeptida dengan berat molekul
besar, menginduksi produksi TGF-α in vivo, sebelumnya diduga bahwa efek hiperproliferasi
dari VIP dimediasi oleh peningkatan level dari cyclic adenosine monophosphate (cAMP)
yang disebabkan oleh aktivitas activated adenylate cyclase, namun penelitian lain
menunjukkan bahwa VIP menstimuli pertumbuhan keratinosit melalui TGF-α
bukan.Activating protein (AP-1), sebuah kompleks dari oncoproteins, menstimulasi ekspresi
banyak gen yang penting dalam proliferasi sel dan inflamasi. Faktor-faktor ini terbukti
memiliki pola ekspresi yang bereda-beda pada lesi psoriasis sehingga mediator tersebut
terlibat dalam patogenesis psoriasis. Mediator terakhir, MAPK, membantu mengatur
proliferasi sel. Banyak growth factor dan sitokin memodulasi aktivitas MAPK, yang lebih
banyak pada fibroblas psoriasis.
17
Hiperproliferasi ini menyebabkan menurunnya waktu transit epidermis (perkiraan waktu
yang diperlukan oleh sel kulit untuk maturasi secara normal) dari 28 hari menjadi 2-4 hari
dan memproduksi sisik kemerahan yang tipikal pada psoriasis. IFN-γ juga menghambat
apoptosis keratinosit dengan menstimulasi protein anti-apoptosis, demikian juga IL-6 lebih
tinggi secara bermakna antara psoriasis (61,26+57,40) dengan kontrol (2,38 +1,94). Skema
tersebut menggambarkan interaksi antara APC, sel T dan sel lain seperti fibroblast.
Interaksi ini difasilitasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel-sel imu lainnya. Sitokin yang
menstimuli () dan menghambat (--I). Tumor necrosis factor (TNF)-α, Interleukin (IL-
6),Interleukin (IL)-22,dan Interferon (IFN)-γ merupakan adalah mediator yang berperanan
dalam target akhir untuk diferensiasi, proliferasi dan inflamasi pada psoriasis.
Awalnya terjadi hiperproliferasi keratinosit akibat adanya aktivasi oleh faktor
pertumbuhan seperti epidermal growth factor, nerve growth factor, endothelial growth factor
dengan target sel dendritik imatur di epidermis menstimulasi sel T dari kelenjar getah bening
sebagai respons terhadap stimulasi unidentified antigen. Aktivasi sel T, TNF-α, dan sel-sel
dendritik adalah faktor patogenik yang distimulasi dalam respon terhadap faktor pencetus,
seperti trauma fisik, inflamasi bakteri, virus, atau withdrawal kortikosteroid. Infiltrat limfosit
pada psoriasis kebanyakan adalah sel T CD4 dan CD8. Setelah sel T menerima stimulasi
pertamanya dan teraktivasi, menyebabkan terjadinya sintesis IL-6. Peningkatan IL-6 dari sel
T yang teraktivasi dan IL-12 dari sel Langerhans menstimulasi IFN-γ, TNF-α, dan IL-6, yang
bertanggung jawab dalam diferensiasi, maturasi, dan proliferasi sel T menjadi sel memori
efektor. Kemudain sel T bermigrasi ke kulit, dimana mereka berkumpul di sekitar pembuluh
darah dermis. Ini merupakan perubahan imunologik pertama yang menyebabkan diferensiasi
dan proliferasi keratinosit pada psoriasis akut
Defisiensi aktivitas sel T regulator (T reg) pada pembuluh darah perifer dan di kulit
pasien dengan psoriasis. Meskipun jumlah absolut sel T reg yang bersirkulasi pada pasien
psoriasis adalah normal dibandingkan pasien yang sehat, ternyata terdapat defisiensi relatif
dalam kemampuan mereka untuk menekan proliferasi sel T CD4. Angiogenesis bukan
kejadian awal dari patogenesis psoriasis, namun memahami mekanisme yang menyebabkan
angio-proliferasi dapat membantu menemukan obat anti-psoriasis yang tepat. Angiogenesis
dan hiperpermeabilitas vaskular disebabkan oleh meningkatnya produksi vascular
endothelial growth factor (VEGF) oleh keratonosit yang telah terstimulasi oleh TGF-α yang
dihasilkan oleh sel T dan keratinosit. TNF-α juga meningkatkan angiogenesis. “Unidentified
antigen” yang disebutkan di atas merupakan hasil dari pencernaan protein yang tidak
sempurna, meningkatnya permeabilitas usus, dan alergi makanan; toksemia usus; gangguan
18
detoksifikasi hati; defisiensi garam empedu; konsumsi alkohol; defisiensi nutrisi (vitamin A
dan E, seng, selenium); dan stress psikologis.
Data terbaru menyatakan bahwa selain TNF-α, IL-20 dan IL-17 juga sangat berperan
di dalam patogenesis psoriasis. IL-17 yang disekresikan oleh sel Th17 juga dapat
mengaktifasi inflamasi di berbagai sistem organ. Seperti misalnya, IL-17 juga meningkat
pada serum pasien dengan penyakit arteri koroner.
Sel T yang teraktivasi ini akan memasuki sistem sirkulasi menuju jaringan perifer. Sel
T akan berikatan dengan endotel dimana leucocyte function-associated antigen-1 (LFA-1)
pada sel T dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) pada sel endotel akan
berinteraksi. Setelah interaksi tersebut, diapedesis akan terjadi. Diapedesis adalah migrasi
dari sel T melalui dinding pembuluh darah yang akan menuju ke dermis dan epidermis.
Setelah sel T mencapai kulit, maka terjadi aktivasi kembali sel T. Sel T yang teraktivasi
tersebut akan memproduksi sitokin yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi. Baik
CD4+ dan CD8+ sama-sama memproduksi sitokinin Th1.
Ekspresi yang berlebihan dari sitokin tipe-1 seperti IL-2, IL-6, IL-8, IL-12, IFNγ dan
TNFα menyebabkan terjadinya akumulasi sel-sel netrofil. Sinyal utama dari Th1 adalah IL-12
yang merangsang produksi IFNγ intraseluler. Pada psoriasis, sel Th langsung mengatur sel B
untuk menghasilkan autoantibodi, dan yang menjadi target antigen adalah sel-sel kulit itu
sendiri. Sedangkan pada psoriasis arthritis, targetnya adalah sel-sel pada sendi. Apabila
produksi sitokin terlalu berlebihan akan menimbulkan kerusakan pada kulit yang berlebihan
juga. Dari penelitian terbaru menyimpulkan bahwa mayoritas sel T CD4+ pada lesi kulit
psoriasis adalah sel T yang memproduksi IL-22 dan IL-17. Sumber utama IL-22 pada lesi
psoriasis adalah sel Th17 dan Th1. Adanya single-nucleotide polymorphisms (SNP) pada gen
reseptor IL-23 yang berhubungan dengan psoriasis akan mendukung peran sel Th17 didalam
imunopatogenesis psoriasis IL-15 adalah faktor pencetus keterlibatan sel-sel inflamasi,
angiogenesis dan menghasilkan IFN-γ, TNF-α, dan IL-17 yang semuanya mengatur plak
psoriasis. IL-2 berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan sel T sedangkan IFN-γ dapat
menghambat apoptosis keratinosit yaitu dengan cara menstimulasi ekspresi protein anti
apoptosis B cell lymphoma-x (Bcl-x) yang memungkinkan terjadinya hiperploriferasi
keratinosit. Target spesifik untuk terapi adalah dengan melibatkan TNF-α, ikatan leucocyte
function-associated antigen-1 (LFA-1)/interceluler adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan
ikatan LFA-3/CD2. IFNγ dan TNFα menginduksi keratinosit untuk memproduksi IL-7, IL-8,
IL-12, IL-15, dan TNFα. IL-17 dan IL-15 berperan dalam poliferasi dan keseimbangan
19
homeostatik sel CD8+. IL-17 dan IFNγ meningkatkan produksi sitokin proinflamasi dan
kemokin oleh keratinosit. TNF-α. menginduksi ICAM-1 pada permukaan keratinosit yang
menyebabkan sel T akan terikat langsung pada keratinosit melalui molekul LFA-1. Selain itu,
TNFα juga meningkatkan molekul adhesi sel endotel pembuluh darah
Keratinosit dapat diaktivasi terutama oleh sitokin Th1 (IFN-γ dan IL-22). Namun
setelah beberapa waktu tertentu peran tersebut akan digantikan oleh sitokin Th17 (IL-6, IL-
17, dan IL-22), dan akhirnya dimainkan oleh sitokin yang diproduksi oleh makrofag dan sel
dendritik (TNF-α, IL-6, IL-18, IL-19, dan IL-31 dan sitokin yang diproduksi sendiri oleh
keratinosit seperti TGF-α, IL-19 dan IL-20. Akan tetapi, sampai saat ini belum dapat
ditentukan sitokin mana yang bertanggung jawab dalam peningkatan poliferasi keratinosit.
Imunosit dan keratinosit pada lesi psoriasis memproduksi faktor angiogenik, yaitu
VEG-F, yang meningkatkan proses angiogenesis dan aktivasi sel endotel. Nilai VEG-F
meningkat dalam keadaan hiperinsulinemik seperti sindrom metabolik dimana adiposit
adalah sumber primernya. Faktor genetik juga berperan penting dalam suseptibilitas psoriasis
dan gangguan metabolik, termasuk dislipidemia. Lebih dari 20 lokus genetik yang
mengandung berbagai macam jumlah gen telah dikaitkan dengan suseptibilitas psoriasis. Dari
gen-gen ini, beberapa juga dihubungkan dengan gangguan metabolik. Lokus suseptibilitas
psoriasis PSORS2, PSORS3, dan PSORS 4 juga terhubung dengan lokus suseptibilitas untuk
gangguan metabolik, diabetes tipe 2, dislipidemia dan penyakit kardiovaskular
3. Akanthosis adalah penebalan lapisan stratum spinosum dengan elongasi rete ridge
epidermis.
20
6. Edema pada dermis disertai infiltrasi sel-sel polimorfonuklear, limfosit, monosit dan
neutrofil.
21
II.8. Diagnosis
Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
histopatologi. Apabila ditemukan fenomena bercak lilin, fenomena Auzpitz dan fenomena
Koebner dapat memberikan diagnosis yang tepat.
II.10. Penatalaksanaan
Psoriasis sebagai penyakit yang multifaktorial dengan penyebab belum diketahui
dengan pasti, sehingga penanganannya juga sangat bervariasi dan setiap pusat pendidikan
mempunyai acuan yang berbeda. Terdapat berbagai variasi terapi psoriasis, mulai dari topikal
untuk psoriasis ringan hingga fototerapi dan terapi sistemik untuk psoriasis berat.Edukasi
kepada pasien tentang faktor-faktor pencetusnya perlu disampaikan kepada pasien maupun
keluarganya. Beberapa regimen terapi yang sering digunakan topikal maupun sistemik
sebagai berikut:
A. Topikal
A.1. Preparat Tar
Obat topikal yang biasa digunakan adalah preparat tar, yang efeknya adalah anti
radang. Preparat tar berguna pada keadaan-keadaan: Bila psoriasis telah resisten terhadap
22
steroid topikal sejak awal atau pemakaian pada lesi luas. Lesi yang melibatkan area yang luas
sehingga pemakaian steroid topikal kurang tepat. Bila obat-obat oral merupakan kontra
indikasi oleh karena terdapat penyakit sistemik. Menurut asalnya preparat tar dibagi menjadi
3, yakni yang berasal dari : Fosil, misalnya iktiol. Kayu, misalnya oleum kadini dan oleum
ruski dan Batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens. Cara kerja obat ini
sebagai antiinflamasi ringan.
A.2. Kortikosteroid
Kerja steroid topikal pada psoriasis diketahui melalui beberapa cara , yaitu:
1. Vasokonstriksi untuk mengurangi eritema.
2. Sebagai antimitotik sehingga dapat memperlambat proliferasi seluler.
3. Efek anti inflamasi, diketahui bahwa pada psoriasis terjadi peradangan kronis akibat
aktivasi sel T. Bila terjadi lesi plak yang tebal dipilih kortikosteroid dengan potensi kuat
seperti: Fluorinate, triamcinolone 0,1% dan flucinolone topikal efektif untuk kebanyakan
kasus psoriasis pada anak. Preparat hidrokortison 1%-2,5% digunakan bila lesi sudah
menipis.
A.5. Tazaroten
Merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, efeknya menghambat proliferasi dan
normalisasi petanda differensiasi keratinosit dan menghambat petanda proinflamasi pada sel
radang yang menginfiltrasi kulit. Tersedia dalam bentuk gel, dankrim dengan konsentrasi
0,05 % dan 0,1 %. Bila dikombinasikan dengan steroid topikal potensi sedang dan kuat akan
mempercepat penyembuhan dan mengurangi iritasi. Efek sampingnya ialah iritasi berupa
gatal, rasa terbakar, dan eritema pada 30 % kasus, juga bersifat fotosensitif.
23
A.6. Humektan dan Emolien
Efek emolien ialah melembutkan permukaan kulit dan mengurangi hidrasi kulit sehingga
kulit tidak terlalu kering. Pada batang tubuh (selain lipatan), ekstremitas atas dan bawah
biasanya digunakan salep dengan bahan dasar vaselin 1-2 kali/hari, fungsinya juga sebagai
emolien dengan akibat meninggikan daya penetrasi bahan aktif. Jadi emolien sendiri tidak
mempunyai efek antipsoriasis.
A.7. Fototerapi
Narrowband UVB untuk saat ini merupakan pilihan untuk psoriasis yang rekalsitran dan
eritroderma. Sinar ultraviolet masih menjadi pilihan di beberapa klinik. Sinar ultraviolet B
(UVA) mempunyai efek menghambat mitosis, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan
psoriasis. Cara yang terbaik adalah dengan penyinaran secara alamiah, tetapi tidak dapat
diukur dan jika berlebihan maka akan memperparah psoriasis. Karena itu, digunakan sinar
ulraviolet artifisial, diantaranya sinar A yang dikenal sebagai UVA. Sinar tersebut dapat
digunakan secara tersendiri atau berkombinasi dengan psoralen (8-metoksipsoralen,
metoksalen) dan disebut PUVA, atau bersama-sama dengan preparat ter yang dikenal sebagai
pengobatan cara Goeckerman. PUVA efektif pada 85 % kasus, ketika psoriasis tidak
berespon terhadap terapi yang lain.
B. Sistemik
B.1. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sistemik masih kontroversial kecuali yang bentuk eritrodermi,
psoriasis artritis dan psoriasis pustulosa Tipe Zumbusch. Dimulai dengan prednison dosis
rendah 30-60 mg (1-2 mg/kgBB/hari), atau steroid lain dengan dosis ekivalen. Setelah
membaik, dosis diturunkan perlahan-lahan, kemudian diberi dosis pemeliharaan. Penghentian
obat secara mendadak akan menyebabkan kekambuhan dan dapat terjadi Psoriasis Pustulosa
Generalisata.
B.2. Sitostatik
Bila keadaan berat dan terjadi eritrodermi serta kelainan sendi dapat sitostatik yang biasa
digunakan ialah metotreksat (MTX). Obat ini sering digunakan pada Psoriasis Artritis dengan
lesi kulit, dan Psoriasis Eritroderma yang sukar terkontrol. Bila lesi membaik dosis
diturunkan secara perlahan. Kerja metotreksat adalah menghambat sintesis DNA dengan cara
24
menghambat dihidrofolat reduktase dan juga hepatotoksik maka perlu dimonitor fungsi
hatinya. Karena bersifat menekan mitosis secara umum, hati-hati juga terhadap efek supresi
terhadap sumsum tulang.
B.4. Siklosporin A
Digunakan bila tidak berespon dengan pengobatan konvensional. Efeknya ialah
imunosupresif. Dosisnya 1-4mg/kgbb/hari. Bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik,
gastrointestinal, flu like symptoms, hipertrikosis, hipertrofi gingiva,serta hipertensi. Hasil
pengobatan untuk psoriasis baik, hanya setelah obat dihentikan dapat terjadi kekambuhan.
B.5. TNF-antagonis
Tumor Necrosis Factor (TNF) alpha merupakan sitokin proinflamasi yang memegang peran
penting dalam patogenesis psoriasis. Saat ini sedang dikembangkan sebagai terapi yang
memberi haparan baru. Sediaannya antara lain Adalimumab, Infliximab, etanercept, alefacept
dan efalizumab
II.11. Prognosis
25
II.12.Komplikasi
Referensi :
1. Siregar,et all. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. 2005. Jakarta : EGC
2. Weller, Richard; Hunter, Jhon; Savin, Jhon. Clinical Dermatology, 4th Edition. 2008. United
Kingdom: Blackwell Publishing
3. Taylor; Francis. An Atlas Of PSORIASIS. 2nd Edition. 2005. United Kingdom: A Parthenon
Book
4. Wolff, Klaus;et all. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th Edition. New York:
Mc Graw Hill
26