Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang sedang tumbuh “menuju demokrasi”, di


mana demokrasi pada awalnya adalah aspirasi politik yang ditempuh melalui
suatu proses yang berpusat pada rakyat, artinya aspirasi rakyat merupakan suatu
sumber inspirasi dan sekaligus merupakan penentu arah proses pengambilan
keputusan publik. Sehingga masyarakat dan semua lapisan, etnis, agama, dan
sebagainya merasa harus ikut dilibatkan dan diakomodir pendapat dan
kepentingannya.

Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia.


Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultur maupun
geografis yang begitu beragam dan luas. Ada sekitar 300 suku yang menggunakan
hampir 200 bahasa yang berbeda . Diperkirakan bahwa pada pertengahan 1980-
an, sekitar 82,2% penduduk terdiri dari 14 kelompok etnik utama dengan anggota
lebih dari satu juta orang. Ada sekitar 99,4% penduduknya adalah penganut lima
agama besar di dunia. Islam kurang lebih 86,9%, Protestan 6,5%, Katholik 3,15%,
Hindu 1%, dan Budha 0,6%).

Lebih khusus lagi, apabila dilihat dari cara pandang, tindakan, dan
wawasan setiap individu yang ada terhadap berbagai macam fenomena sosial,
budaya, ekonomi, politik dan terhadap hal-hal lainnya, tak dapat dipungkiri,
mereka mempunyai pandangan yang beragam. Contohnya, masyarakat Indonesia
dengan berbagai macam latar belakang yang berbeda-beda seperti pendidikan,
etnis, agama, kelas sosial dan ekonomi, mempunyai tindakan dan pandangan yang
berbeda-beda pada tentang berbagai tindakan dan pandangan yang berbeda-beda
pula tentang berbagai macam fenomena sosial seperti demokrasi, hak asasi
manusia, gender, dan terhadap hal lainnya. Ada anggota masyarakat yang kurang
mendukung adanya proses demokratisasi di negara ini namun di sisi lain tidak

1
2

sedikit yang menginginkan adanya demokratisasi. Ada anggota yang sangat peduli
dan selalu memperjuangkan hak-hak asasi manusia, namun di sisi lain, tidak
sedikit masyarakat yang tidak peduli dengan masalah tersebut. Bahkan dengan
sengaja menggilas hak-hak asasi orang lain. Ada anggota masyarakat yang
merespon baik dan bahkan mendukung adanya kesetaraan gender, namun di sisi
lain tidak sedikit masyarakat yang menentangnya .

Keragaman ini diakui atau tidak dapat menimbulkan berbagai persoalan


seperti yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat ini. Korupsi, kolusi, nepotisme,
premanisme, perseturuan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan
lingkungan, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak
orang lain, adalah bentuk negatif yang nyata dan sebagai bagian dari
multikulturalisme ini.

Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dan


pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan
masyarakat untuk memikirkan, membicarakan, dan memecahkan persoalan yang
muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar
kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai
kawasan di ndonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang
dibangun dalam negara bangsa, betapa kentalnya prasangka antar kelompok dan
betapa rendahnya rasa pengertian antar kelompok. Kekuasaan komunal dan
negara seakan telah menjadi ciri-ciri permanen masyarakat Indonesia. Colombijin
dan Lindbald (2002: 18) menyebut Indonesia sebagai “a violent country”.
Menurut pengamatannya, “orang-orang Indonesia telah mengalami tingkat
kekerasan yang mengerikan barubaru ini”. Dengan mengutip banyak sumber
mereka menunjukkan banyak kasus konflik bersenjata, pemusnahan,
pembunuhan, pembantaian, pemenggalan, perkosaan, intimidasi, dan perusakan
properti publik dan swasta, serta fakta bahwa pada tahun 2001 ada 1,3 juta orang
tidak tercatat (mungkin hilang) di Indonesia.

Pluralisme atau kemajemukan pastilah didapati pada setiap masyarakat.


Teristimewa pada saat ini, ketika teknologi transportasi dan teknologi informasi
3

telah mencapai kemajuan sangat pesat, kemajemukan merupakan inevitable


destiny di tingkat global maupun di tingkat negara dan komunitas. Secara teknis
dan teknologis kita telah mampu tinggal bersama dalam masyarakat majemuk,
namun spiritual kita belum memahami arti sesungguhnya dari hidup bersama
dengan orang yang memiliki perbedaan budaya yang antara lain mencakup
perbedaan agama, etnisitas, dan kelas sosial..

Seperti halnya bangsa Indonesia, kemajemukan suku merupakan salah satu


ciri masyarakat Indonesia yang sering dibanggakan. Banyak orang yang belum
juga menyadari bahwa kemajemukan tersebut juga menyimpan potensi konflik
yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu
adalah sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai multicultural sejak awal pada
anggota masyarakat Indonesia, agar mekanisme dan nilai-nilai substantif dalam
demokrasi dipahami secara benar. Sebab nilai-nilai multicultural dan nilai-nilai
demokrasi memuat nilai humanisme (kemanusiaan) seperti keadilan, empati,
kebersamaan, dan mampu menerima perbedaan.

Berdasarkan permasalahan seperti di atas, perlu kiranya dicari strategi


khusus dalam memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang sosial,
politik, budaya, ekonomi, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, pendidikan
multikultural menawarkan salah satu alternatif melalui penerapan strategi dan
konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di
masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya,
bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras. Pendekatan
melalui pendidikan multikultural yang terpenting, strategi pendidikan tidak hanya
bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan
tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku
humanis, pluralis, dan demokratis.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana cara mengetahui sejarah multikulturalisme di Indoneia?
2. Bagaimana cara mengedentifikasi tujuan penididikan multikultural?
3. Bagaimana cara menjelaskan pentignya penididikan multikultural?
4

C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah multikulturalisme di Indoneia.
2. Mengedentifikasi tujuan penididikan multikultural.
3. Menjelaskan pentignya penididikan multikultural.
5

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MULTIKULTURALISME

Pendidikan adalah suatu usaha sadar manusia mempersiapkan generasi


mudanya. Dalam mempersiapkan generasi muda tersebut, pendidikan harus mulai
dari apa yang sudah dimilikinya dan apa yang sudah diketahuinya. Apa yang
sudah dimilikinya dan sudah diketahuinya itu adalah apa yang terdapat pada
lingkungan terdekat peserta didik terutama pada lingkungan budayanya Prinsip ini
berkenaan dengan cara bagaimana peserta didik belajar. 1
Studi Maehr dan Webb menunjukkan bahwa kebudayaan dan bahasa,
kebudayaan dan persepsi, kebudayaan dan kognisi, kebudayaan dan keinginan
berprestasi, serta kebudayaan dan motivasi berprestasi merupakan factor-faktor
yang berpengaruh terhadap belajar siswa.
Pada abad pertama ke 20, Ki Hajar Dewantara telah pula mengemukakan
bahwa pendidikan haruslah berakar pada kebudayaan. Pada bulan Mei 1946 di
Yogyakarta, Ki Hajar Dewantara mengatakan “dalam garis-garis adab
kemanusiaan, seperti terkandung didalam segala pengajaran agama, maka
pendidikan dan pengajaran nasional bersendi kepada agama dan kebudayaan
bangsa serta menuju kearah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat”. Pendapat
yang sama telah pula dikemukakan Dewey pada awal abad ke 20. Oleh karenanya,
pendidikan harus berakar pada budaya peserta didik dan harus mempersiapkan
peserta didik untuk hidup dalam lingkungan budaya tersebut.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan terdekat peserta
didikakan selalu berpengaruh terhadap kehidupan peserta didik. Pengaruh itu
terkadang positif tetapi tidak jarang pula bersifat negatif. Sebagai upaya sadar,
pendidikan haruslah memperkuat dan mengembangkan pengaruh positif dan
mengurangi pengaruh negative tersebut. Pengaruh positif diarahkan untuk

1
Hamid Hasan, “Pendidikan Multikultran Dalam Pelajaran Sejarah,” Universitas
Pendidikan Indonesia, 2006, h. 1-2.

5
6

mempertahankan dan meningkatkan nilai-nilai budaya masyarakat dan bangsa


untuk menjadi suatu kepribadian baru peserta didik. Dalam bahasa Undang-
Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
bahwa pendidikan berfungsi untuk “mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa” 2
Indonesia adalah salah satu negara di dunia ini yang memiliki keragaman
budaya yang kompleks. Menurut Wolpert, India adalah negara di dunia ini yang
tiada duanya dalam tingkat keragaman sosial dan budaya, dan bangsa Indonesia
“next to it”. Motto Bhinkea Tunggal Ika yang tercantum dalam lambang negara
sungguh tepat menggambarkan keragaman realita tersebut. Data menunjukkan
bahwa ada sekitar 200 keragaman sosial dan budaya dalam masyarakat bangsa
Indonesia. Kelompok sosial dan budaya besar seperti Aceh, Melayu, Batak,
Minang, Sunda, Jawa, Bali, Madura, Bugis, Manado, Ambon, Irian
(Polynesia/Papua) adalah beberapa contoh dari keragaman tersebut. Belum lagi
sejumlah kelompok budaya yang tak terhitung karena memiliki jumlah pendukung
yang relatif lebih kecil dibandingkan pendukung kebudayaan yang disebutkan
sebelumnya.
Dalam tulisannya yang berjudul "Making Historical Sense", Wineburg
mengemukakanPendidikan sejarah sebagai salah satu media pendidikan bangsa
tidak dapat melepaskan dari prinsip yang telah dikemukakan di atas. Pada tingkat
nasional para pengembang pendidikan sejarah haruslah berdasarkan keragaman
budaya yang ada. Dalam proses pembelajaranpendidikan sejarah, guru sejarah
harus mampu memperhatikan keanekaragaman budaya peserta didik dan
memanfaatkannya untuk keberhasilan belajar peserta didik. Pendidikan sejarah
haruslah mengembangkan dan memperkuat jati diri bangsa berdasarkan
keragaman budaya yang ada. Dalam memperkuat jati diri bangsa tersebut,
pendidikan sejarah haruslah mampu membangun penghargaan terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada pada keragaman budaya serta memperkuat
persamaan di antara keragaman budaya tersebut. Pendidikan sejarah tidak boleh

2
Hamid Hasan, “Pendidikan Multikultran ....., h. 1-2.
7

menjadi media pendidikan yang mengabaikan keragaman budaya dan mencoba


untuk membangun suatu budaya monolith. 3
B. SEJARAH MULTIKULTURALISME

Dalam sejarahnya multikulturalisme semula merupakan perjuangan


politik dari migran kulit hitam dari Afrika di Amerika untuk menununtut
persamaan hak. Mereka menuntut untuk dihargai kebudayaannya, tidak harus
sama dengan kebudayaan orang kulit putih yang beragama Kristen. Tuntutan itu
juga berkembang dalam dunia pendidikan. 4
Sebagai sebuah ide, pendidikan multikultural dibahas dan diwacanakan
pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an
oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right
movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik
driskriminasi di tempat- tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja,
dan di lembaga-lembaga pendidikan, yang dilakukan oleh kelompok
mayoritas terhadap kelompok minoritas. Selama itu, di Amerika dan negara-
negara Eropa Barat hanya dikenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan
kulit putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam
masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan
pembatasan hak-hak mereka.
Gerakan hak-hak sipil ini, menurut James A. Bank, berimplikasi pada
dunia pendidikan, dengan munculnya beberapa tuntutan untuk melakukan
reformasi kurikulum pendidikan yang sarat dengan diskriminasi. Pada awal
tahun 1970-an muncullah sejumlah kursus dan program pendidikan yang
menekankan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan etnik dan keragaman
budaya (cultural diversity).

3
Hamid Hasan, “Pendidikan Multikultran ....., h. 1-2.
4
Suardi, “Masyarakat Multikulturalisme Indonesia,” 2017, h. 5.
Selain alasan politik ada sejumlah alasan mengapa pendidikan multikultural
diperlukan. Pertama, Muncul gerakan reformasi pendidikan di AS dan perubahan
perubahan masyarakat menuntut adanya integrasi sekolah-sekolah negeri yang
memasukkan para siswa dari berbagai kalangan etnis. Kedua, Peningkatanpopulasi
imigran memberi dampak pada lembaga-lembaga pendidikan Protes terhadap
penyamaan pendidikan, tanpa menghiraukan variasi budaya antar etnik. Ketiga,
keberadaan masyarakat dengan individu-individu yang beragam latar belakang bahasa
dan kebangsaan (nationality), suku (race or etnicity), agama (religion), gender, dan
kelas sosial (social class). Keragaman latar belakang individu dalam masyarakat
tersebut berimplikasi pada keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu
lembaga pendidikan.
Dalam sejarah pendidikan multikultural terdapat empat fase yang dilalui, yaitu:
1. upaya mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap tingkat kurikulum
2. pendidikan multi etnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan
pendidikan melalui reformasi keseluruhanpendidikan
3. kelompok-kelompok marjinal lain; seperti perempuan, orang cacat, homo,
lesbian, menuntut perubahan-perubahan dalam pendidikan
4. perkembangan teori, riset, dan praktek, perhatian hubungan antar ras,
kelamin, dan kelas: menghasilkan tujuan bersama para teoritisi dan pendidik.
Tujuan dari semua tahap pendidikan multikultural tersebut adalah
penghargaan terhadap perbedaan budaya. Semua murid apapun asal ras atau etnis,
kecacatan, kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan dapat menikmati
pendidikan yang sama. 5
Ketika Indonesia merdeka masyarakatnya merupakan warisan kolonial yang
dikenal sebagai masyarakat majemuk. Masyarakat ini sebagai warisan sejarah sebelum
kemerdekaan, yakni sejak zaman Hindia Belanda. Masyarakat majemuk ketika itu
didefinisikan oleh Furnivall sebagai masyarakat yang terdiri atas dua elemen atau lebih
yang hidup sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan
politik. Sebagai masyarakat majemuk, Indonesia dipandang sebagai tipe masyarakat
daerah tropis di mana antara yang memegang kekuasaan dan mereka yang dikuasai
5
Suardi, “Masyarakat Multikulturalisme Indonesia,” 2017, h. 5.
9

memiliki perbedaan ras. Klas penguasa merupakan minoritas, orang- orang Belanda,
dan yang dikuasai terdiri dari sejumlah ras yang berbeda. Rakyat bumiputera yang
merupakan penduduk mayoritas menempati strata bawah dan menjadi warga
negara klas tiga di negerinya sendiri. Sementara itu etnis Cina merupakan klas
menengah terbesar di antara orang Timur asing lainnya (Arab, India).
Konsepsi Furnivall itu tentu sudah tidak mutlak relevan lagi dengan kondisi
masyarakat majemuk Indonesia pasca kemerdekaan, apalagi dengan kondisi
masyarakat Indonesia dewasa ini. Hal itu dapat dilihat dari perwujudannya yang
kongkrit seperti tiadanya ras minoritas yang menguasai ras mayoritas.Meskipun
begitu, menurut Nasikun , konsepsi Furnifall itu masih ada kontinuitasnya pada
saat ini. Dengan mengabaikan perwujudannya yang bersifat kongkrit kita dapat
menangkap esensi konsepsi tersebut terlepas dari ruang dan waktu. Suatu masyarakat
majemuk adalah suatu masyarakat dengan sistem nilai yang dianut oleh berbagai
kesatuan sosial yang menjadi bagian bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga
para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai
keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki
dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. 6
C. LANDASAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Sebagaimana diketahui nilai-nilai Pancasila yang pertama kali dirumuskan dan


diperkenalkan oleh Ir. Soekarno sebagai salah satu the founding fathers Indonesia pada
sidang BPUPKI 1 Juni 1945 dengan rumusan: Kebangsaan (nasionalisme),
kemanusiaan (internasionalisme), musyawarah-mufakat (demokrasi), kesejahteraan
rakyat dan ketuhanan yang berkebudayaan. Setelah itu diadakan penyesuaian rumusan
dari Panitia Kecil yang berjumlah Sembilan orang (Panitia Sembilan) sehingga pada
tanggal 22 Juni 1945 disepakati rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam
Rancangan Preambule Hukum Dasar yang popular dengan nama Piagam Jakarta yang
mengeksplisitkan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
sebagai keterangan lanjut dari sila pertama (Ketuhanan). Setelah terjadi negosiasi
karena adanya keberatan dari wakil-wakil Indonesia bagian timur, sidang PPKI tanggal
18 Agustus dengan agenda pertama mengesahkan UUD RI memutuskan menghapus
6
Suardi, “Masyarakat Multikulturalisme Indonesia,” 2017, h. 6.
10

tujuh kata dalam sila pertama: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemelukpemeluknya” dan diganti dengan rumusan: “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sehingga rumusan Pancasila menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan social bagi seluruh
rakyat Indonesia (Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, 1995). Inilah nilai-nilai ideal yang
harus diwujudkan oleh segenap komponen bangsa, baik pemerintah maupun rakyat
biasa. Maka, logislah bila sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan berlandaskan pada
Pancasila. 7

Pernyataan tersebut bukan hanya rangkaian kata-kata yang menjadi teks mati
dalam Undang-Undang, melainkan harus diwujudkan dalam praksis pendidikan yang
sesungguhnya. Demikian pula dalam hal pendidikan multikultural seyogyanya ada
kesejalanan antara praktik dan dasar teoritiknya (praksis) yang berlandaskan nilai-nilai
Pancasila. Perlu pula dirumuskan dengan jelas apa yang menjadi tujuan pendidikan
multicultural di Indonesia. 8

D. PRISNSIP-PRINSIP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Ada tiga prinsip pendidikan multikultural yang dikemukakan oleh Tilaar , antara
lain sebagai berikut:

1) Pendidikan multikultural didasar pada pedagogik kesetaraan manusia (equity


pedagogy).

2) Pendidikan multikultural ditujukan kepada terwujudnya manusia Indonesia yang


cerdas danmengembangkan pribadi-pribadi Indonesia yang menguasai ilmu
pengetahuan dengan sebaik-baiknya

3) Prinsip globalisasi tidak perlu ditakuti bangsa ini terhadap arah serta nilai- nilai baik
buruk yang dibawanya.Ketiga prinsip pendidikan multikultural yang dikemukakan
Tilaar tersebut di atas sudah dapat menggambarkan bahwa arah dari wawasan

7
Rukiyanti “Landasan dan Implementasi Pendidikan Multikultural Di Indonesia” hh.55-56
8
Rukiyanti “Landasan dan Implementasi .....hh.55-56
11

multikulturalisme adalah menciptakan manusia yang terbuka terhadap segala macam


perkembangan zaman dan keragaman berbagai aspek dalam kehidupan modern.9

E. .TUJUAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Tujuan pendidikan multikultural dalam UU Sisdiknas ialah: menambahkan sikap


simpati, respek, apresiasi dan empati terhadap penganut agama dan kultur yang
berbeda.Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap
simpatik, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang
berbeda. Gorski dalam Budianta, pendidikan multikultural bertujuan untuk
memfasilitasi pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik mencapai potensi
maksimal sebagai pelajar dan sebagai pribadi yang aktif dan memiliki kepekaan sosial
tinggi di tingkat lokal,nasional dan global serta mewujudkan sebuah bangsa yang kuat,
maju, adil, makmur dan sejahtera tanpa perbedaan etnik, ras, agama dan budaya.
Dengan semangat membangun kekuatan diseluruh sektor sehingga tercapai
kemakmuran bersama, memiliki harga diri yang tinggi dan dihargai bangsa lain10

F. KARAKTERISTIK PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku


seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia upaya
pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan dan cara-cara mendidik yang menghargai
pluralitas dan heterogenitas secara humanisti. Ada tiga tantangan besar dalam
melaksanakan pendidikanmultikultural di Indonsia, yaitu:

1. Agama, suku bangsa dan tradisi

Agama scara actual merupakan ikatan yang terpenting dalam khidupan orang Indonesia
sebagai suatu bangsa. Hal ini akan dapat menjadi perusak apabila digunakan sebagai
senjata politik atau fasilitas individu atau kelompok ekonomi.
9
Ibrahim Rustam, “pendididkan multikultural,” :Inspeal Ahimsakarya Press Vol.7, No.1 (2013).
10
. Tilaar, H.A.R, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa DepanDalam
Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004).
12

2. Kepercayaan

Kepercayaan merupakan unsure yang terpenting dalam hidup bermasyarakat.


Munculnya kecurigaan atau ktakutan dan ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat
juga timbul ketika tidak ada komunikasi di dalam masyarakat plural.

3. Toleransi

Toleransi merupakan bentuk tertinggi ketika kita mencapai keyakinan yang dapat
berubah. Toleransi pendekatan dalam perubahan pandangan, wawasan dan akal
pikiran.11

G. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA MULTIKULTURAL

Factor-faktor yang menyebabkan terjadinya multikulturalisme, yaitu:


1. Faktor geografis
Faktor ini sangat mempengaruhi apa dan bagaimana kebiasaan suatu masyarakat.
Maka dalam suatu darah yang memiliki kondisi geografis yang berbeda maka akan
trdapat perbdaan dalam masyarakat (multikultural).
2. Pengaruh budaya asing
Mengapa budaya asing menjadi penyebab terjadinya multicultural, karena
masyarakat yang sudah mengetahui budaya asing kemungkinan akan terpengaruh
mind set mereka dan menjadikan perbedaan antara budaya asing dan budaya
negaranya sendiri.
3. Kondisi iklim yang berbeda
Maksudnya adalah hampir sama dengan perbedaan letak geografis suatu daerah.12

H. PENDEKATAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

11
Yenny Puspita, “pentingnya pendidikan multikultural,” 2018, h. 287.
12
Puspita, pentingnya…., h. 287.
13

1. Pengajaran yang diberikan kepada mereka yang berbeda secara kultural


dilakukan dengan penitikberatan agar dikalangan mereka terjadi perubahan
kultural
2. Memperhatikan pentingnya hubungan manusia dengan mengarahkan atau
mendorong siswa memiliki perasaan positif, mengembangkan konsep
diri,mengembangkan toleransi dan mau menerima orang lain.
3. Menciptakan arena belajar dalam satu kelompok budaya.
4. Pendidikan multikultural dilakukan sebagai upaya mendorong persamaan
struktur sosial dan pluralisme kultural dengan pemerataan kekuasaan antar
kelompok.
5. Pendidikan multikultural sekaligus sebagai upaya rekontruksi sosial agar
terjadi persamaan struktur sosial dan pluralisme kultural dengan tujuan
menyiapkan agar setiap warga negara aktif mengusahakan persamaan struktur
sosial.13
I. PENTINGNYA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana


alternatif pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar
budayanya, dan pendidikan multikultural sangat relevan digunakan untuk demokrasi
yang ada seperti sekarang.
1) Sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui dapat
menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat,
khususnya di masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam unsur sosial dan
budaya. Dengan kata laun, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif
pemecahan konflik sosial-budaya
Struktur kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan
bagi dunia pendidikan untuk mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan
sumber perpecahan. Saat ini pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab

13
Yenny Puspita, “Pentingnya Pendidikan Multikultural,” PGRI PALEMBANG, 2018, h. 287.
14

besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk mengahadapi arus budaya luar di era
globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya 14
Pada kenyataannya pendidikan multikultural belum digunakan dalam proporsi
yang benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi sebagai instirusi pendidikan dapat
mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural dengan model masing-masing
sesuai dengan otonomi pendidikan atau sekolahnya sendiri.
Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan memang sudah ada. Namun,
hal itu masih kurang untuk dapat mengahargai perbedaan masing-masing suku, budaya
maupun etnis. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai konflik dari realitas
kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal ini berarti bahwa pemahaman
mengenai toleransi di masyarakat masih sangat kurang.
Penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann berhasil apabila
terbentuk pada diri setiap peserta didik sikap saling toleransi, tidak bermusuhan, dan
tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa, dan lain
sebagainya.
Menurut Sleeter dan Grant , pendidikan multikultural dikatakan berhasil apabila
prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya
multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural.
Perubahan yang diharapkan adalah pada terciptanya kondisi yang nyaman,
damai, toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul konflik yang
disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA. 15
2) Agar peserta didik tidak meninggalkan akar budaya
Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan multikultural
juga signifikan dalam upaya membina peserta didik agar tidak meninggalkan akar
budaya yang ia miliki sebelumnya, saat ia berhubungan dengan realitas sosial-budaya di
era globalisasi.
Pertemuan antar budaya di era globalisasi ini bisa menjadi ‘ancaman’ serius bagi
peserta didik. Untuk menyikapi realitas tersebut, peserta didik tersebut hendaknya
diberikan pengetahuan yang beragam. Sehingga peserta didik tersebut memiliki

14
Yenny Puspita, “Pentingnya Pendidikan Multikultural,” ...., hh. 287-288.
15
Yenny Puspita, “Pentingnya Pendidikan Multikultural,” ...., hh. 287-288.
15

kemampuan global, termasuk kebudayaan. Dengan beragamnya kebudayaan baik di


dalam maupun di luar negeri, peserta didik perlu diberi pemahaman yang luas tentang
banyak budaya, agar siswa tidak melupakan asal budayanya. 16
Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan langkah antisipatif terhadap tantangan
globalisasi, terutama dalam aspek kebudayaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi (iptek) dapat memperpendek jarak dan memudahkan adanya persentuhan
antar budaya.
Tantangan dalam dunia pendidikan kita, saat ini sangat berat dan kompleks.
Maka, upaya untuk mengantisipasinya harus dengan serius dan disertai solusi konkret.
Jika tidak ditanggapi dengan serius terutama dalam bidang pendidikan yang
bertanggung jawab atas kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maka, peserta didik
tersebut akan kehilangan arah dan melupakan asal budayanya sendiri.
Sehingga dengan pendidikan multikultural itulah, diharapkan mampu
membangun Indonesia yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.
Karena keanekaragaman budaya dan ras yang ada di Indonesia itu merupakan sebuah
kekayaan yang harus kita jaga dan lestarikan.
3) Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional
Pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi
sangat penting apabila dalam memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus
dikuasai oleh peserta didik dengan ukuran dan tingkatan tertentu.
Pengembangan kurikulum yang berdasarkan pendidikan multikultural dapat
dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut.
4) Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak seperti sekarang
menjadi filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap
jenjang pendidikan dan unit pendidikan.
5) Harus merubah teori tentang konten (curriculum content) yang mengartikannya
sebagai aspek substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi, menuju pengertian
yang mencakup nilai moral, prosedur, proses, dan keterampilan (skills) yang
harus dimiliki generasi muda.

16
Yenny Puspita, “Pentingnya Pendidikan Multikultural,” ...., hh. 287-288.
16

6) Teori belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur keragaman sosial,


budaya, ekonomi, dan politik.
7) Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara belajar berkelompok
dan bersaing secara kelompok dalam situasi yang positif. Dengan cara tersebut,
perbedaan antarindividu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok
dan siswa terbiasa untuk hidup dengan keberanekaragaman budaya.
8) Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan
kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan.
17

9) Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural


Inti dari cita-cita reformasi Indonesia adalah mewujudkan masyarakat
sipil yang demokratis, dan ditegakkan hukum untuk supremasi keadilan,
pemerintah yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial serta rasa aman
dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan
kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat
Indonesia.
Corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya
merupakan keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut tentang
keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
Eksistensi keberanekaragaman tersebut dapat terlihat dari terwujudnya sikap saling
menghargai, menghormati, dan toleransi antar kebudayaan satu sama lain.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain
adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan
dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku
bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapanungkapan budaya, domain privat dan
publik, HAM, hak budaya komuniti, dan kosnep-konsep lain yang relevan.

J. PENERAPAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

17
Yenny Puspita, “Pentingnya Pendidikan Multikultural,” ...., hh. 287-288.
17

Pendidikan multikultural dapat diterapkan di dunia pendidikan melalui berbagai


cara: 18

1) Multikulturalisme dalam Kurikulum.


Pengenalan ragam kultur atau budaya merupakan langkah pertama yang
perlu dilakukan ketikahendak mengajarkan nilai-nilai multikulutaralisme.
Sebagaimana dikemukakan di atas, kultur di sini meliputi berbagai aspek sosial
manusia yang membentuk identitasnya, seperti etnis, ras dan agama.Pengenalan
kultur perlu dijadikan sebagai bagian integral dari kurikulum tiap jenjang
pendidikan.Namun demikian, bukan berarti perlu diadakannya mata pelajaran
khusus multikulturalisme, karena hal tersebut hanya akan membuat struktur
kurikulum menjadi gemuk dan terlalu banyak matapelajaran. Pengenalan ragam
kultur dapat diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran yangmemungkinkan
pengenalan kultur itu terjadi.Kita sadari bersama bahwa Indonesia sangat kaya
dengan budaya yang dibentuk oleh kehadiranagama, keragaman etnis dan kondisi
geografis masyarakatnya.

Para siswa perlu diperkenalkandengan aneka ragam kelompok sosial


yang membentuk masyarakat Indonesia. Kelompok sosialdimaksud adalah
kelompok sosial yang membentuk identitas manusia, baik secara kolektif maupun
individual.Kelompok sosial tersebut dapat berbentuk kelompok berdasarkan agama,
suku bangsa, maupun etnis tertentu. Pengenalan identitas kelompok yang berbeda
ini penting agar siswa menyadari keberadaan kelompok mereka dan keberadaan
kelompok lain yang memiliki identitas yang berbeda.Dengan mengenalkan
keragaman sosial bangsa Indonesia, siswa akan diajak untuk memahami
bahwabangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat besar. Perbedaan
yang mereka lihat danalami perlu dipahami sebagai sebuah kekayaan dan bukan
sebagai pemisah antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya.

Di samping pengenalan terhadap ragam budaya yang dimiliki oleh


bangsa Indonesia yang multietnis,siswa juga perlu disadarkan bahwa mereka adalah
bagian dari warga dunia (global citizen). Oleh karena itu, pengenalan terhadap
18
Yenny Puspita, “Pentingnya Pendidikan Multikultural,” ...., hh. 287-288.
18

ragam kultur mancanegara juga perlu diberikan, terutama untuk siswa di tingkat
menengah ke atas. Kenyataannya kekayaan budaya Indonesia tidak hanya
merupakan hasil kreativitas murni bangsa Indonesia asli, tetapi banyak juga yang
dipengaruhi olehbudaya dari luar Indonesia, seperti Arab, India dan China. 19

2) Penanaman nilai-nilai multikultur dalam pembelajaran.


Penanaman nilai-nilai multikultur tidak terbatas pada pengenalan ragam
budaya Indonesia dandunia, tetapi juga berupaya membentuk sikap-sikap positif
terhadap keragaman tersebut.Penanaman nilai-nilai multikultur dapat dilakukan
dalam setiap proses pembelajaran di kelas. Jikapengenalan keragaman budaya
dilakukan dengan pendekatan kognitif, maka penanaman nilainilaimultikultur lebih
menyentuh aspek afeksi siswa.Nilai-nilai multikultur yang dimaksud meliputi:
identitas diri, kesetaraan, obyektivitas, pemahamanakan perbedaan, toleransi, dan
empati. Nilai-nilai tersebut dapat ditanamkan melalui interaksi gurudan siswa di
kelas. Penanaman ini tidak hanya menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran
tertentu,tetapi melibatkan seluruh guru yang memiliki interaksi dengan siswa di
kelas.

Dengan demikian, suasana kelas harus dikondisikan sedemikian rupa,


sehingga mengedepankan nilai-nilai multikuluturalisme tersebut dengan tidak
mengabaikan hak-hak individu yang ada di dalamnya. Internalisasi nilai-nilai
multikultural dalam pembelajaran dilakukan melalui pemilihan metode danstrategi
pembelajaran di kelas/di luar kelas. Metode yang digunakan hendaknya
memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan, objektivitas dan toleransi.Prinsip
kesetaraan berarti semua siswa memiliki hak dan peluang yang sama untuk terlibat
secara aktif dalam proses pembelajaran. Pendidik perlu memastikan keterlibatan
setiap individu siswa dalam proses tersebut dan jangan sampai terjadi dominasi
oleh seseorang atau sekelompok orang atas yang lainnya. 20

Perlu disadari bahwa dengan latar belakang dan sifat individu yang
berbeda, masing-masing siswa punya preferensi tersendiri untuk melibatkan dirinya

19
Yenny Puspita, “Pentingnya Pendidikan Multikultural,” ...., hh. 287-288.
20
Yenny Puspita, “Pentingnya Pendidikan Multikultural,” ...., hh. 287-288.
19

dalam kelompok sosial. Ada yang cenderung aktif, agresif dan dominan. Ada juga
yang cenderung pasif, mengalah dan mengikuti. Di sinilah peran guru menjadi
sangat penting untuk memastikan bahwa masingmasing siswa sadar akan
kesetaraan mereka sebagai peserta didik.Tidak jauh berbeda dengan prinsip
kesetaraan, guru harus memperlakukan seluruh siswa secara objektif. Keberpihakan
guru adalah pada pembentukan karakter positif dalam diri siswa, dengan
menghindari perilaku yang menguntungkan seseorang atau sekelompok orang dan
merugikan yang lain. Sikap objektif guru akan sangat berpengaruh pada diri siswa.
Sikap guru yang objektif terhadap seluruh siswanya akan memberikan kesan pada
siswa bahwa memperlakukan orang lain harus dengan adil dan bijak. Sehingga
perlahan-lahan sikap tersebut akan terinternalisasi dalam diri siswa.

Toleransi sebenarnya merupakan penyimpangan terhadap kesepakatan


atau nilai-nilai yang dianut. Memberikan toleransi berarti membiarkan orang lain
untuk melanggar aturan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, penggunaan prinsip
toleransi harus dilakukan secara hati-hati, terukur dan terbatas. Salah satu
contohnya adalah siswa yang terlambat masuk kelas. Jika aturan mengatakan
bahwa siswa harus masuk kelas pukul 07.00, dan mereka yang lewat pukul itu
tidak diperkenankan masuk kelas, maka mestinya siswa yang datang pukul 07.01
tidak lagi diperbolehkan untuk masuk kelas. Namun terkadang guru merasa bahwa
keterlambatan kurang dari 10 menit adalah hal yang bisa dimaafkan. Itulah yang
disebut toleransi, yaitu melonggarkan aturan demi terjadinya keberlangsungan.
Namun, kelonggaran aturan itu harus ditetapkan secara tebatas. Sesuai dengan
contoh di atas, siswa yang datang pukul 07.30 tentu tidak dapat diperkenankan
masuk kelas, kecuali jika ada alasan yang benar-benar kuat untuk lebih
melonggarkan toleransi itu. Hal yang sama juga berlaku untuk hubungan antar
individu atau kelompok di kelas. Perlu disepakati adanya toleransi dan batas-batas
di mana toleransi itu masih dianggap wajar. 21

3) Budaya multikultur di sekolah

21
Yenny Puspita, “Pentingnya Pendidikan Multikultural,” ...., hh. 287-288.
20

Pemahaman mengenai keragaman budaya merupakan hal yang sangat penting


untuk diajarkan dilembaga-lembaga pendidikan, sehingga para generasi muda
benar-benar memahami konsepmultikultural secara baik. Namun demikian,
pemahaman saja belum lah memadai, karena pemahaman secara kognitif tidak
berarti apa-apa jika tidak disertai dengan perbuatan nyata. Kenyatannya orang yang
memahami konsep multikultur dengan baik, belum tentu mampumenerapkan nilai-
nilai multikultur tersebut.Penanaman nilai-nilai multikultur akan menjadi lebih
efektif apabila budaya multikultur dapatdijadikan sebagai bagian dari budaya
sekolah. Sekolah dewasa ini, terutama di kota-kota besar,adalah salah satu tempat di
mana orang dari berbagai latar belakang sosial bertemu. Sekolah-sekolah di kota dan
daerah-daerah urban cenderung lebih plural dibandingkan sekolah-sekolah di desa.
Oleh karena itu, sekolah harus menjadi laboratorium budaya multikultural.

Budaya multikultural adalah budaya yang didasarkan atas konsep


multikulturalisme, di mana sekumpulan populasi terdiri atas anggota yang memiliki
latar belakang yang berbeda. Budaya multikultur diawali dengan adanya pengakuan
terhadap budaya-budaya yang berbeda tersebut, dantidak menjadikan sebuah kultur
menjadi dominasi atas yang lain. Pengakuan tersebut diiringi dengansikap-sikap
lainnya, seperti toleransi, empati dan apresiasi. Bagi sekolahsekolah umum (non-
keagamaan) penerapan nilai-nilai tersebut nampaknya akan lebihmungkin dilakukan
karena sekolah umum lebih terbuka terhadap perbedaan khususnya
perbedaanagama. Meski demikian, sekolahsekolah keagamaan juga dapat
menerapkan nilai-nilai multikultur tersebut meskipun siswanya hanya terdiri dari
orang-orang yang memiliki keyakinan yang sama.Meskipun mereka beragama sama,
namun masing-masing siswa pasti memiliki identitas sosial yangmungkin berbeda
dengan temannya, bisa perbedaan suku, etnis, dan status sosial. 22

4) Kegiatan penunjang pendidikan multikultur


Lembaga pendidikan dapat melakukan berbagai macam program atau kegiatan
temporeryang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai multikultural. Kegiatan-
kegiatan tersebut dapat berupakegiatan yang secara spesifik mengusung tema

22
Yenny Puspita, “Pentingnya Pendidikan Multikultural,” ...., hh. 288-289.
21

multikultural atau kegiatan dengan tema tertentuyang diselenggarakan secara


multikultural.Melalui kegiatan-kegiatan tersebut siswa dikenalkan dengan budaya-
budaya dan nilai-nilai yangdimiliki oleh masyarakat lain. Berbagai perspektif
multikultural dapat digunakan untuk mengenalkanragam perbedaan kepada siswa.
Misalnya perspektif agama-agama, perspektif negara/bangsa,perspektif suku
bangsa, dan perspektif komunitas sosial tertentu.Di samping kegiatan penunjang di
sekolah, lembagalembaga pendidikan juga dapatmenyelenggarakan kegiatan
kunjungan ke tempat-tempat yang dapat mendukung terwujudnyapendidikan
multikulutral tersebut. Mengunjungi museum, rumah ibadah agama lain,
perkampungankomunitas tertentu, atau sekolah lain yang mayoritas siswanya
adalah etnis tertentu adalah contohlain kegiatan-kegiatan penunjang pendidikan
multikultural. 23

23
Yenny Puspita, “Pentingnya Pendidikan Multikultural,” ...., hh. 288-289.
22

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada
semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan budaya seperti
perbedaan etnis, agama, bahasa, ras, dan kelas sosial. Pendidikan multikulturalisme ini
sangat penting sebagai upaya harmonisasi kehidupan berbangsa dan bragama. Sebelum
menerapkan pendidikan multikulturalisme perlu ada rancangan pmbelajaran
multicultural dilakukan dengan memberikan sasaran, terutama sgi pengetahuan, yang
dipadukan dengan penanaman dan pengembangan sikap menjunjung tinggi paham dan
nilai integrasi, berbeda dalam persatuan, dan bersatu walaupun dalam prbedaan.
Faktor yang juga dapat mempengaruhi dalam perkembangan multicultural
adalah yang pertama, faktor geografis yaitu kebiasaan suatu masyarakat. Kedua,
pengaruh budaya asing. Ketiga, kondisi iklim yang berbeda Adapun pentingnya
pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana alternatif pemecahan konflik,
peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar budayanya, dan pendidikan
multikultural sangat relevan digunakan untuk demokrasi yang ada seperti sarana
alternatif pemecahan konflik, agar peserta didik tidak meninggalkan akar budaya,
sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional dan banyak lagi hal lain yang
menjadi kepentingan pendidikan mulikultural ini.

22
23

DAFTAR PUSTAKA

Hamid Hasan, “Pendidikan Multikultral Dalam Pelajaran Sejarah,” Universitas


Pendidikan Indonesia, 2006, h. 1-2.
Ibrahim Rustam, “Pendididkan Multikultural,” : Inspeal Ahimsakarya Press vol.7 No.1
(2013).
Rukiyanti “Landasan dan Implementasi Pendidikan Multikultural Di Indonesia” FIP
UNY

Tilaar, H.A.R, “Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa DepanDalam


Transformasi Pendidikan Nasional” (Jakarta: Grasindo, 2004).
Yenny Puspita, “Pentingnya Pendidikan Multikultural,” PGRI PALEMBANG, 2018, h.
287.

Anda mungkin juga menyukai