Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

FARMAKOTERAPI 1
DRUG INDUCED LIVER INJURY

Dosen Pengampu :
Ikhwan Yuda Kusuma, S.Farm, M.Si., Apt

Disusun oleh:
Kelompok 3
Aldina Wahyuningrum (180105008)
Chandra Luciana Widiya (180105018)
Dimas Setiyono (180105024)
Esi Riskiyah (180105029)
Julia Pungki Astuti Firi (180105047)
Yessi Linda Saputri (180105107)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKERTO
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga Makalah ini kami
harapkan bisa menjadi refrensi bagi mahasiswa lain untuk belajar tentang “Drug
Induced Liver Injury”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata mata kuliah
‘’Farmakoterapi 1’’ yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.

Purwokerto, 20 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
1.1 Latar Belakang....................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
2.1 Liver Injury .........................................................................................................
2.2 Hepatitis ...............................................................................................................
2.3 Etiologi Hepatitis ................................................................................................
2.4 Patofisiologi Hepatitis ........................................................................................
2.5 Manifestasi Klinis ...............................................................................................
2.6 Kerusakan yang disebabkan hepatitis ..............................................................
2.7 Pengobatan Hepatitis .........................................................................................
2.8 Penyesuaian dosis hepatitis ................................................................................
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................
3.2 Saran.....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hati merupakan salah satu organ tubuh yang besar dan merupakan pusat
metabolisme tubuh manusia. Organ ini memiliki fungsi yang kompleks di antaranya
mempunyai peranan dalam memetabolisme karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
obat-obatan (Ganong, 2008). Pada proses metabolisme, obat akan diproses melalui
hati sehingga enzim hati akan melakukan perubahan (biotransformasi) kemudian obat
menjadi dapat lebih larut dalam tubuh dan dikeluarkan melalui urin atau empedu
(Depkes RI, 2003)
Gangguan fungsi hati masih menjadi masalah kesehatan besar di negara maju
maupun di negara berkembang. Indonesia merupakan negara dalam peringkat
endemik tinggi mengenai penyakit hati (Depkes RI, 2007). Angka kejadian kerusakan
hati sangat tinggi, dimulai dari kerusakan yang tidak tetap namun dapat berlangsung
lama (Setiabudy, 1979). Salah satu penyebab kerusakan hati adalah obat-obatan
(Depkes RI, 2007). Di Amerika Serikat sendiri ada sekitar 2000 kasus gagal hati akut
yang terjadi setiap tahunnya dan lebih dari 50% disebabkan oleh obat (Lucena et al,
2008). Obat yang dikatakan hepatotoksik adalah obat yang dapat menginduksi
kerusakan hati atau biasanya disebut drug induced liver injury (Sonderup, 2006).
Obat penginduksi kerusakan hati semakin diakui sebagai penyebab terjadinya
penyakit hati akut dan kronis (Isabel et al, 2008).
Sekitar 1000 sampai 3000 kasus obat ditarik dari pasaran dikarenakan
hepatotoksik (Department of Health and Human Services Food and Drug
Administration, 2009). Hepatotoksisitas merupakan komplikasi potensi obat yang
paling sering dijumpai dalam resep, hal ini mungkin dikarenakan peran hati dalam
memetabolisme obat (Aithal & Day, 1999). Obat-obat yang dapat menyebabkan
keparahan pada pasien gangguan fungsi hati seperti sirosis hati, hepatitis hati adalah
bentazepam, methotrexate, ebrotinide. Danaxole merupakan obat yang dapat
menyebabkan kanker hati (Lucena et al., 2008). Menurut Pauls dan Senior (2012)
obat-obat seperti estrogen, androgen, chorpromazine, asam klavulanat, dan piroxicam
dapat menyebabkan kolestatis. Obat lain seperti amiodaron dapat menyebabkan
perlemakan hati. Sebuah penelitian di Perancis menunjukkan sekitar 13,9
kasus/100.000 populasi kejadian DILI (Drug Induce Liver Injury). Dalam sebuah
penelitian akibat DILI, 4 dari 34 (11,8%) pasien dirawat di rumah sakit, dan dua
orang (5,9%) meninggal (Reuben, 2010). Sebanyak 14% kasus DILI menyebabkan
transplatasi hati bahkan kematian di Singapore (Wai, 2006). Tahun 2012 terdapat
penelitian di salah satu rumah sakit Tasikmalaya yang menunjukan bahwa 96%
pasien dengan gangguan fungsi hati masih banyak yang diberikan obat penginduksi
penyakit hati diantaranya ranitidin, sefriakson, dan parasetamol (Cinthya, 2012).

1.2 Rumusan Masalah


2.1. Bagaimana Yang Dimaksud Dengan Liver Disease ?
2.2. Bagaimana Yang Dimaksud Dengan Hepatitis ?
2.3. Bagaimana Etiologi Dari Hepatitis B ?
2.4. Bagaimana Patofisiologi Dari Hepatitis B ?
2.5. Bagaimana Manifestasi Klinis Hepatitis B ?
2.6. Bagaimana Diagnosis Hepatits B ?
2.7. Bagaimana Kerusakan Yang Disebabkan Oleh Hepatitis B ?
2.8. Bagaimana Pengobatan Hepatitis B ?
2.9. Bagaimana Penyesuaian Dosis Untuk Hepatitis B ?
1.3 Tujuan
2.1. Mahasiswa Dapat Mengertahui Tentang Liver Disease
2.2. Mahasiswa Dapat Mengetahui Tentang Pengertian Hepatitis
2.3. Mahasiswa Dapat Mengetahui Tentang Etiologi Dari Hepatitis
2.4. Mahasiswa Dapat Mengetahui Tentang Patofisiologi Dari Hepatitis
2.5. Mahasiswa Dapat Mengetahui Tentang Manifestasi Klinis
2.6. Mahasiswa Dapat Mengetahui Tentang Diagnosis Hepatits B
2.7. Mahasiswa Dapat Mengetahui Kerusakan Yang Disebabkan Pen Hepatits B
2.8. Mahasiswa Dapat Mengetahui Tentang Pengobatan Hepatitis
2.9. Mahasiswa Dapat Mengetahui Tentang Penyesuaian Dosis Untuk Hepatitis
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Liver Injury
Hati adalah salah satu organ terbesar pada tubuh manusia dengan bobot
kurang lebih sekitar 1,5 kg. Meskipun bobot hati hanya 2-3% dari bobot tubuh
manusia, namun organ hati terlibat sekitar 25-30% pemakaian oksigen. Hati sendiri
memiliki fungsi untuk membentuk kantong empedu dan isinya, melepaskan dan
menyimpan karbohidrat, membentuk urea, dan banyak fungsi lainnya yang
berhubungan dengan metabolisme lemak dan melakukan detoksifikasi berbagai obat
dan racun. Organ hati mempunyai sistem enzim yang dapat mensisntesis trigliserol,
kolesterol, fosfolipid, dan lipoprotein dan juga hati aktif mengubah berbagai asam-
asam lemak menjadi benda keton. Hati atau hepar dapat mengantur konsentrasi asam
amino dalam plasma sehingga dapat memecah kelebihan asam amino dengan cara
mengubah nitrogen menjadi urea dan menyalurkannya ke ginjal. Jumlah
fodfatidilkolin dalam plasma merupakan salah satu hal yang mempengaruhi
kemampuan hati untuk memetabolisme obat (Gibson, 2006).
Gambar 1. Organ Hati
Hati atau hepar memiliki bagian-bagian yang disebut dengan lobus yang
terbagi menjadi beberapa bagian seperti lobus hepatis dextra dan lobus hepatis
sinistra yang masing-masing memiliki fungsinya sendiri (Moore & Agur, 1996).
Lobus hepatis dextra dibatasi dengan lobus hepatis sinister oleh fossa vesicae bilaris
dan sulcus venae carva pada facies visceralis hepatis. Rusaknya fungsi hati ditandai
dengan menguningnya warna kulit, membran mukosa dan naikknya konsentrasi
bilirubin, SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase), SGPT (Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase), 4 GGT (Gamma Glutamyl Transferase)dan lainnya
dalam darah (Lu, 1995). Banyak sekali jenis penyakit hati diantaranya sirosis hati,
hepatitis, penyakit kuning, reye syndrome, penyakit wilson, dan tumor hati (Kaplan,
1989). Penyakit hepar atau hati yang ditemukan dalam lingkungan masyarakat dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu penyakit hati akut dan penyakit hati kronis. Penyakit hati
akut disebabkan karena virus, obat-obatan, alkohol dan keadaan iskemik. Sedangkan
yang penyakit hati kronis yaitu hepatitis kronis, sirosis hati, dan hepatoma. Pembeda
jenis penyakit hati ditujukan untuk menentukan prognosa dan penatalaksanaan dari
masing-masing penyakit.

2.2. Sirosis Hati


Sirosis hati adalah tahap paling akhir dari seluruh tipe penyakit hati kronik.
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan proses peradangan,
nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan terbentuknya fibrosis hati yang difus, dengan
terbentuknya nodul yang mengganggu susunan lobulus hati.(Ramon B, 2008 ;
Golberg E, 2012) Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat reversible, namun
pada sebagian besar pasien sirosis, proses fibrosis biasanya tidak reversible. WHO
memberi batasan histologi sirosis sebagai proses kelainan hati yang bersifat difus,
ditandai fibrosis dan perubahan bentuk hati normal ke bentuk nodul-nodul yang
abnormal. (Sulaiman, 2007).

2.3. Klasifikasi
Sirosis hati diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologinya.
Klasifikasi morfologi telah jarang dipakai karena sering tumpang tindih satu sama
lainnya. Klasifikasi ini terdiri dari :
a. Sirosis mikronoduler ; nodul berbentuk uniform, diameter kurang dari 3 mm.
Penyebabnya antara lain: alkoholisme, hemakromatosis, obstruksi bilier dan
obstruksi vena hepatika.
b. Sirosis makronoduler; nodul bervariasi dengan diameter lebih dari 3mm.
Penyebabnya antara lain: hepatitis kronik B, hepatitis kronik C, defisiensi α-1-
antitripsin dan sirosis bilier primer .
c. Sirosis campuran kombinasi antara mikronoduler dan makronoduler.
Klasifikasi etiologi lebih sering dipakai. Mayoritas penderita sirosis awalnya
merupakan penderita penyakit hati kronis yang disebabkan oleh virus hepatitis atau
penderita steatohepatitis yang berkaitan dengan kebiasaan minum alkohol ataupun
obesitas. Beberapa etiologi lain dari penyakit hati kronis diantaranya adalah infestasi
parasit (schistosomiasis), penyakit autoimun yang menyerang hepatosit atau epitel
bilier, penyakit hati bawaan, penyakit metabolik seperti Wilson’s disease, penyakit
granulomatosa (sarcoidosis), efek toksisitas obat (methotrexate dan hipervitaminosis
A), dan obstuksi aliran vena seperti sindrom Budd-Chiari dan penyakit veno-oklusif.
(Sulaiman, 2007).
Di Amerika Serikat, kecanduan alkohol adalah penyebab yang paling sering
dari sirosis hati. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, virus hepatitis B
merupakan penyebab tersering dari sirosis hati yaitu sebesar 40- 50% kasus, diikuti
oleh virus hepatitis C dengan 30-40% kasus, sedangkan 10-20% sisanya tidak
diketahui penyebabnya dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (Rockey, 2006).

2.4. Etiologi
Menurut FKUI (2001), penyebab sirosis hepatis antara lain :
1. Malnutrisi
2. Alkoholisme
3. Virus hepatitis
4. Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika
5. Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan)
6. Hemokromatosis (kelebihan zat besi)
7. Zat toksik

Ada 3 tipe sirosis atau pembetukan parut dalam hati :


1. Sirosis Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai
akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati disekitar
saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi
(kolangitis).

2.5. Patofisiologi
Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis, konsumsi
minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi
dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi
gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis,
namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab yang utama pada
perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga
pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasaan minum minuman keras
dan pada individu yang dietnya normal tetapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi
(Smeltzer & Bare, 2001).
Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini dibanding
individu lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki kebiasaan meminum
minuman keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor lainnya dapat memainkan
peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen
terklorinasi, asen atau fosfor) atau infeksi skistosomiasis yang menular. Jumlah laki-
laki penderita sirosis adalah dua kali lebih banyak daripada wanita, dan mayoritas
pasien sirosis berusia 40-60 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh
pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan selsel hati yang uniform, dan
sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadangkadang disebut sirosis mikronodular.
Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi utama
akibat induksi alkohol adalah perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan
sirosis alkoholik (Tarigan, 2001).

2.6. Manifestasi Klinis Sirosis


Menurut Smeltzer & Bare (2001) manifestasi klinis dari sirosis hepatis antara
lain:
1. Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang
dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari
pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan
regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit
yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan
pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba
berbenjol-benjol (noduler).
2. Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis
dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ
digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan dibawa ke hati. Karena hati
yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan darah yang bebas, maka aliran darah
tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan
konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis;
dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan
demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini
cenderung menderita dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan
pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk dirongga peritoneal akan
menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting
dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring
telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru
kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan
keseluruhan tubuh.
3. Varises Gastrointestinal Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat
perubahan fibrotik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral
dalam sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh
portal ke dalam pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai
akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah
abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae),
dan distensi pembuluh darah diseluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung
dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan
pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises
atau hemoroid tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang
tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan
menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk
mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal.
Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan
mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.
4. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
5. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang
tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi
vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang
berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi
gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi
hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala
anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan
kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin
sehari-hari.
6. Kemunduran Mental
Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan
ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi
perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien,
kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.

2.7. Pemeriksaan Penunjang


Ada beberapa pemeriksaan penunjang untuk sirosis hepatis meliputi yaitu
pemeriksaan lab, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lainnya seperti radiologi, dan
lain-lain. Perlu di ingat bahwa tidak ada pemeriksaan uji biokimia hati yang dapat
menjadi pegangan dalam menegakkan diagnosis sirosis hepatis.
1. Darah
Pada sirosis hepatis bisa di jumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer,
hipokom mikositer. Anemia bisa akibat dari hiperplenisme (lien membesar)
dengan leukopenia dan trombositopenia (jumlah trombosit dan leukosit kurang
dari nilai normal).
2. Kenaikan kadar enzim transminase/ SGOT, SGPT, tidak merupakan petunjuk
tentang berat dan luasnya kerusakan jaringan parenkim hepar. Kenaikan
kadarnya dalam serum timbul akibat kebocoran dari sel yang mengalami
kerusakan. Peninggian kadar gamma GT sama dengan transaminase ini lebih
sensitif tetapi kurang spesifik.
3. Albumin
Kadar albumin yang menurun merupakan gambaran kemampuan sel hati yang
berkurang. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin merupakan
tanda, kurangnya daya tahan hati dalam menghadapi stress seperti tindakan
operasi.
4. Pemeriksaan CHE (kolinesterase) penting dalam menilai kemampuan sel hati.
Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun. Pada perbaikan sel hepar,
terjadi kenaikan CHE menuju nilai normal. Nilai CHE yang bertahan di bawah
nilai normal, mempunyai prognosis yang buruk.
5. Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan pembatasan
garam dalam diet. Pada ensefalopati, kadar natrium (Na) kurang dari 4 meq/l
menunjukan kemungkinan terjadi syndrome hepatorenal.
6. USG (Ultrasonografi).
7. Pemeriksaan radiologi.
8. Tomografi komputerisasi.
9. Magnetic resonance imaging.
10. Biopsi hati untuk mengkonfirmasikan diagnosis.

2.8. Penatalaksanaan Sirosis Hati


Tujuan pengobatan sirosis hepatis adalah:
 Mencegah kerusakan hati lebih lanjut
 Mengobati komplikasi sirosis
 Mencegah kanker hati atau deteksi sedini mungkin dan transplantasi
Mencegah kerusakan hati dengan diet seimbang dan konsumsi multi vitamin,
hindari obat-obat yang merusak hati serta berhenti mengkonsumsi
alkohol.Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk
mengurangi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi,
bahan-bahan yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya.
sedangkan pengobatan untuk pasien sirosis dekompensata meliputi penatalaksanan
untuk asites, ensefalopati hepatis dan perdarahan saluran cerna akibat pecah varises
esofagus.
Tatalaksana komplikasi sirosis hepatis
1. Asites dan edema
 Tirah baring
 Diet rendah garam (2 gram per hari)
 Cairan satu liter per hari.
 Diuretik
Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg 1x/hari.
Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari,
tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Jika
pemberian spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasi dengan furosemid
dengan dosis 20-40 mg/hari.
 Parasentesis
Dilakukan bila tidak berhasil dengan diuretik. Bila asites sangat besar
sehingga menimbulkan distensi abdomen dan atau kesulitan bernapas karena
keterbatasan gerakan diafragma, para sintesis dapat dilakukan dalam jumlah
besar lebih dari 5 liter.11Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 L dan dilindungi
dengan pemberian albumin.
 Transjugular intravenous portosystemic shunting (TIPS)
 Transplantasi hati
2. Varises esofagus
 Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta
(propranolol).
 Waktu perdarahan akut bisa diberikan preparat somatostatin atau oktreotid,
diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.
 Transjugular intravenous portosystemic shunting (TIPS)
3. Ensefalopati hepatik
 Diet rendah protein sampai 0,5 gr/ kgBB/ hari
 Laktulosa oral untuk membantu pasien untuk mengeluarkan amonia.
 Antibiotik oral seperti neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri
usus penghasil amonia.
4. Peritonitis bakterial spontan
 Diberikan antibiotika seperti sefotaksim IV, amoksilin, atau aminoglikosida.
 Parasentesis
Pencegahan dan deteksi dini kanker hati dilakukan dengan skrining minimal
setahun atau setiap 6 bulan dengan USG hati dan pemeriksaan AFP.

2.9. Kerusakan Yang Disebabkan Obat Terapi Sirosis


Berdasarkan penelitian Robiyanto et al (2019), penggunaan parasetamol
dikategorikan A karena parasetamol diketahui pasti bersifat hepatotoksik akut
terutama pada penggunaan dosis besar. Terapi parasetamol diketahui dapat
menyebakan cedera hepatoseluler akut dan serius akibat dari overdosis yang
disengaja atau tidak disengaja. Cedera ini disebabkan oleh efek toksik langsung dari
parasetamol dosis tinggi. Hepatotoksisitas paling umum muncul sebagai upaya bunuh
diri menggunakan lebih dari 7,5 gram (umumnya lebih dari 15 gram) sebagai
overdosis tunggal (US National Institute of Health, ). Novorapid® mengandung zat
aktif insulin dimana penggunaan dosis terapeutik tidak meningkatan enzim serum.
Namun. penggunaan insulin pada diabetes tipe 1 yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan sindrom klinis yang dikenal sebagai glikogenosis atau hepatopati
glikogenik dan ditandai dengan berbagai tingkat hepatomegali, nyeri perut, dan
peningkatan serum aminotransferase serum (US National Institute of Health, 2019).
Pasien rawat inap biasanya mengalami hipermetabolisme yang menyebabkan
peningkatan sekresi asam lambung sehingga diperlukan obat yang mampu menekan
sekresi asam lambung seperti ranitidin, omeprazol dan obat sejenis lainnya. Ranitidin
merupakan antagonis reseptor H2 yang bekerja dengan menghambat histamin pada
reseptor H2 secara kompetitif dan mengurangi sekresi asam lambung. Efek yang
ditimbulakan ranitidin dapat meningkatkan nilai SGPT dan memperluas kerusakan
hepar. Toksisitas ranitidin bersifat reversibel dan ringan akan tetapi pada kerusakan
liver yang parah telah menyebabkan kematian beberapa individu (Deng et al, 2009).
Terapi omeprazol menimbulkan cidera hepar dengan reaksi hipersensitivitas
yang dicurigai akibat perubahan metabolisme. Obat tersebut dimetabolisme oleh
sistem P450 (CYP2C19) hepar tetapi memiliki sedikit efek pada aktivitas enzim yang
memetabolisme obat. Penggunaan obat dalam 4 minggu akan muncul cedera
hepatoseluler akut dan akan pulih setelah berhenti pemakaian (reversibel) (US
National Institute of Health, 2019).
Spironolakton menjadi peringkat kedua terbanyak setelah furosemid.
Spironolakton dan furosemid digunakan untuk mengatasi udema. Menurut data
LiverTox cedera hepar yang tampak secara klinis dari spironolakton jarang terjadi
dan hanya beberapa kasus yang dilaporkan sebagai laporan khusus yang terisolasi.
Namun cedera hepar akan muncul setelah 4-8 minggu dengan peningkatan enzim
serum biasanya hepatoseluler atau campuran (US National Institute of Health, 2019).
Menurut Hikmah, pasien sirosis yang mendapatkan terapi spironolakton bersamaan
obat diuretik lainnya dapat memperparah ensefalopati hepar (Hikmah dan
Mutmainah, 2013). Walaupun begitu spironolakton dapat digunakan sebagai tata
laksana terapi untuk penyakit komplikasi sirosis dengan catatan bahwa penurunan
dosis serta dilakukan pemantauan dan pengawasan kadar obat (Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007).
Ondansetron merupakan antagonis reseptor 5-HT3 dapat meningkatkan enzim
serum sesekali selama terapi tetapi ini umumnya ringan (tanpa gejala) dan sembuh
dengan cepat. Permulaan cedera mulai 1 hingga 2 minggu setelah paparan dan pola
cedera hepatoseluler dan tanpa fitur immunoalergi atau autoimun. Blocker reseptor 5-
HT3 dimetabolisme di liver sebagian besar melalui sistem sitokrom P450 tetapi
potensinya rendah untuk menyebabkan cedera hepar. Hepatotoksik furosemid sangat
jarang terjadi. namun furosemid dapat menyebabkan hepatotoksik langsung pada
tikus. Hasil data yang diperoleh. furosemid diberikan dalam bentuk injeksi sebanyak
17 pasien dan 8 pasien dalam bentuk oral (US National Institute of Health, 2019).
Ketorolac selain digunakan sebagai obat penurun panas dan nyeri juga bisa
sebagai pencegah pembentukan gumpalan darah (antiplatelet). Ketorolac tidak
terbukti tetapi diduga sebagai penyebab cedera hepar yang nyata secara klinis.
Metronidazole dosis tinggi yang diberikan secara parenteral atau overdosis dapat
menyebabkan peningkatan kadar serum aminotransferase serum. Namun cedera hepar
akut dan klinis dari metronidazole jarang terjadi. Penyebab cedera hepar akut akibat
metronidazole mungkin immunoalergi (US National Institute of Health, 2019).
Dexamethasone merupakan obat golongan kortikosteroid. Hepatotoksitas
kortikosteroid secara umum memiliki efek besar pada hepar, terutama bila diberikan
jangka panjang dan dalam dosis yang lebih tinggi. Kortikosteroid dapat memicu atau
memperburuk steatohepatitis nonalkohol. Penggunaan jangka panjang juga dapat
memperburuk hepatitis virus kronis. Terapi kortikosteroid dapat menyebabkan
steatosis dan pembesaran hepar, tetapi ini sering tidak tampak secara klinis terutama
pada orang dewasa. Konsumsi kortikosteroid pada hepatitis B dapat menginduksi
peningkatan replikasi virus dan kadar DNA virus hepatisis B sekaligus menurunkan
kadar serum aminotransferase. Namun, peningkatan replikasi virus dapat
memperburuk penyakit hepar yang mendasarinya (US National Institute of Health,
2019).
Tramadol dapat meningkatkan serum aminotransferase dan pada sebagian
kecil pasien yang menerima tramadol. terutama dengan dosis tinggi. Cedera hepar
yang disebabkan oleh overdosis tramadol juga telah dikaitkan dengan
hiperammonemia, asidosis laktat dan steatosis hepar, menunjukkan cedera
mitokondria langsung. Mekanisme hepatotoksisitas akibat overdosis tramadol tidak
diketahui, tetapi kemungkinan karena cedera hepatoseluler langsung baik sebagai
akibat iskemia atau toksisitas mitokondria. Tramadol dimetabolisme oleh liver
terutama oleh CYP2D6 dan 3A4 menjadi bentuk aktifnya dan dapat mengakibatkan
interaksi obat-obat yang merugikan (US National Institute of Health, 2019).
Studi prospektif asam mefenamat menunjukkan bahwa < 5% pasien yang
menggunakan asam mefenamat mengalami peningkatan serum sementara
aminotransferase. Peningkatan aminotransferase yang ditandai > 3 kali lipat terjadi
pada <1% pasien. Mekanisme hepatotoksisitas asam mefenamat tidak diketahui tetapi
kemungkinan hipersensitivitas istimewa. Meloxicam merupakan golongan NSAID
(obat antiinflamasi non steroid) yang umumnya dapat ditoleransi dengan baik tetapi
efek sampingnya bisa berupa gangguan pencernaan dan rasa sakit, mual, sakit kepala,
pusing, mengantuk, gatal, edema perifer, dan reaksi hipersensitivitas. Studi prospektif
menunjukkan bahwa hingga 7% pasien yang menggunakan meloxicam mengalami
setidaknya peningkatan sementara serum aminotransferase. Mekanisme
hepatotoksisitas meloxicam tidak diketahui (US National Institute of Health, 2019).
BAB III
FORMULIR PEMANTAUAN TERAPI OBAT

Anda mungkin juga menyukai