Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH FIQH KHUTBAH

IDUL ADHA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Khutbah

Dosen Pengampu: Dr. H. Tata Sukayat, M.Ag.

Disusun Oleh:
Afifah Widiazmara 1174020004

Agfar Firdaus Gumilar 1174020006

Ai Siti Rahayu 1174020012

Bagus Tulus Ahadi 1174020029

Dedeh Dwi Putri 1174020034

Dinda Salsabila 1174020039

Kelas: KPI 5A

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Allhamdulilahhirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali


yang kita ingat. Segala puji bagi hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas
segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Idul Adha”

Dalam pembuatan makalah ini saya menyadari bahwa makalah yang saya buat masih
jauh dari kata sempurna dan memiliki banyak kesalahan. Atas segala kesalahan tersebut,
dengan itu saya memohon kritik dan saran dari pembaca yang sekiranya dapat membangun
dan memperbaiki kesalahan saya di waktu yang akan datang.

Akhir kata kami ucapkan terimakasih semoga sedikit pengetahuan yang termuat
dalam makalah ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat dan juga berkah.

Bandung, 4 Desember 2019

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Iduladha adalah sebuah hari raya Islam. Pada hari ini diperingati peristiwa kurban, yaitu
ketika Nabi Ibrahim, yang bersedia untuk mengorbankan putranya Ismail untuk Allah,
kemudian sembelihan itu digantikan oleh-Nya dengan domba.

Pada hari raya ini, umat Islam berkumpul pada pagi hari dan melakukan shalat 'Id
bersama-sama di tanah lapang atau di masjid, seperti ketika merayakan Idulfitri. Setelah
shalat, dilakukannya penyembelihan hewan kurban, untuk memperingati perintah Allah
kepada Nabi Ibrahim yang menyembelih domba sebagai pengganti putranya.

Iduladha jatuh pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah, hari ini jatuh persis 70 hari setelah
perayaan Idulfitri. Hari ini juga beserta hari-hari Tasyrik diharamkan puasa bagi umat Islam.
Pusat perayaan Iduladha adalah sebuah desa kecil di Arab Saudi yang bernama Mina, dekat
Mekkah. Di sini ada tiga tiang batu yang melambangkan Iblis dan harus dilempari batu oleh
umat Muslim yang sedang naik Haji.

Tentunya dalaam perayaan idul adha kita akan memiliki sebuah perayaan yang biasanya
diawali dengan khutbah. Karenanya memahami itu idul adha penting bagi mubaligh jika
sewaktu waktu harus menyampaikan khutbah idul adha.

B. Rumusan Masalah

1. Sejarah dan Pengertian Idul Adha?


2. Dalil tentang idul Adha dan Tafsirannya?
3. Hakikat dan makna Idul Adha?
4. Teks Khutbah Idul Adha?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Idul Adha.

Iduladha (bahasa Arab: ‫ )عيد األضحى‬adalah sebuah hari raya Islam. Pada hari ini diperingati
peristiwa kurban, yaitu ketika Nabi Ibrahim, yang bersedia untuk mengorbankan putranya
Ismail untuk Allah, kemudian sembelihan itu digantikan oleh-Nya dengan domba.

Pada hari raya ini, umat Islam berkumpul pada pagi hari dan melakukan shalat 'Id bersama-
sama di tanah lapang atau di masjid, seperti ketika merayakan Idulfitri. Setelah shalat,
dilakukannya penyembelihan hewan kurban, untuk memperingati perintah Allah kepada Nabi
Ibrahim yang menyembelih domba sebagai pengganti putranya.

Iduladha jatuh pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah, hari ini jatuh persis 70 hari setelah perayaan
Idulfitri. Hari ini juga beserta hari-hari Tasyrik diharamkan puasa bagi umat Islam. Pusat
perayaan Iduladha adalah sebuah desa kecil di Arab Saudi yang bernama Mina, dekat
Mekkah. Di sini ada tiga tiang batu yang melambangkan Iblis dan harus dilempari batu oleh
umat Muslim yang sedang naik Haji.

Disamping Idul Adha dinamakan hari raya haji, juga dinamakan Idul Qurban, karena pada
hari itu Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-
Nya. Bagi umat muslim yang belum mampu mengerjakan perjalanan haji, maka ia diberi
kesempatan untuk berkurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol
ketakwaan dan kecintaan kita kepada Allah SWT.

B. Sejarah Idul Adha

Berkuran adalah salah satu ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Ibadah kurban merupakan
bentuk kepasrahan dan keikhlasan seorang hamba kepada Allah untuk mendekatkan diri
kepada-Nya. Kurban dilaksanakan di Hari Raya Idul Adha bertepatan pada 10 Dzulhijjah
dalam kalender islam. Ternyata sejarah kurban menyimpan cerita indah. Buah kebesaran hati
Sarah juga kesabaran dan keteladanan dari Nabi Ibrahim, Hajar dan Ismail yang percaya
bahwa apa yang Allah perintahkan adalah jalan hidup terbaik yang harus ditempuh.

Awal kisah bermula saat Nabi Ibrahim dengan istrinya Sarah belum memiliki buah hati
hingga lanjut usia, Sarah lantas meminta Ibrahim untuk menikah lagi. Awalnya, Ibrahim
menolak permintaan Sarah karena baginya, Sarah lah satu-satunya wanita yang ada di
hatinya. Namun Sarah bersikeras meminta Ibrahim menikahi wanita lain dan berharap dari
pernikahan tersebut sang suami akan mendapatkan keturunan.

Dengan berat hati namun tetap menyerahkan segalanya kepada Allah SWT, Ibrahim
memenuhi permintaan Sarah untuk menikah lagi. Ibrahim lalu mempersunting budaknya,
Hajar. Lalu Ibrahim pun berdoa kepada Allah. "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku
(seorang anak) yang termasuk orang shaleh" (As Saffat : 100).

Dan saat itu, Allah pun mengabulkan doa tersebut. "Maka Kami beri kabar gembira
kepadanya dengan kelahiran seorang anak yang sangat sabar" (As Saffat : 101)Kemudian
lahirlah Ismail. Kelak Ismail akan menjadi seorang Nabi yang kesabarannya dituliskan dalam
Al-Qur'an. Singkat cerita, ketika Ismail sampai pada umurnya (beberapa ahli sejarah
menyatakan umur kenabian) Ibrahim bermimpi, dalam mimpi tersebut ia diperintahkan oleh
Allah untuk menyembelih Ismail.

Ibrahim berkata, "Hai anakku, sesungguhnya aku bermimpi untuk menyembelihmu, maka
pikirkanlah bagaimana pendapatmu? "Wahai ayahku kerjakanlah apa yang diperintahkan oleh
Allah, kau akan temui aku sebagai orang yang sabar" Jawab Ismail (As Safaat : 102)

ِ َ‫ك فَا ْنظُرْ َما َذا ت ََر ٰى ۚ قَا َل يَا أَب‬


‫ا َء‬M ‫ت َِج ُدنِي إِ ْن َش‬M ‫ؤ َم ُر ۖ َس‬Mْ Mُ‫ت ا ْف َعلْ َما ت‬ َ ‫ي إِنِّي أَ َر ٰى فِي ْال َمن َِام أَنِّي أَ ْذبَ ُح‬
َّ َ‫فَلَ َّما بَلَ َغ َم َعهُ ال َّس ْع َي قَا َل يَا بُن‬
َ‫هَّللا ُ ِمنَ الصَّابِ ِرين‬

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar".

Tidak lama setelah itu, Ibrahim dan Ismail menuju lokasi penyembelihan sesuai dengan
mimpi Ibrahim. Lokasinya terletak di Mina, Makkah. Dalam perjalanan menuju lokasi,
syaitan datang tiga kali menggoda Ibrahim untuk tidak menyembelih Ismail. Setiap kali
syaitan datang, Ibrahim mengusirnya dengan cara melempar kerikil kecil sebanyak tujuh kali
dengan mengucapkan "Bismillahi Allahu Akbar" hingga syaitan tersebut menghilang.

Sesampainya dilokasi, Ibrahim mempersiapkan segalanya. Kemudian Ibrahim meletakkan


Ismail di atas batu di sebuah bukit kecil. Ibrahim dan Ismail telah dalam posisi siap.
Kepasrahan dan Keikhlasan mereka telah sampai pada puncaknya. "Maka ketika keduanya
telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya (untuk melaksanakan
perintah Allah)" (As Safaat 103)

ِ ِ‫فَلَ َّما أَ ْسلَ َما َوتَلَّهُ لِ ْل َجب‬


‫ين‬

”Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya),
(nyatalah kesabaran keduanya).” (QS. As Safaat: 103).

Kemudian Ibrahim mengayunkan pedangnya, sesaat sebelum pedang itu mengenai leher
Ismail, Jibril menahan pedang tersebut. Lalu turunlah wahyu."Wahai Ibrahim, sungguh
engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh demikianlah kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan
Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan kami abadikan untuk Ibrahim
(pujian) dikalangan orang-orang yang datang kemudian."(As Safaat 104 - 108).

Kisah yang dialami oleh Nabi Ibrahim tersebut, menjadikan peristiwa bersejarah, yang
kemudian dijadikan sebuah ibadah sunnah yang utama bagi umat Islam pada hari Raya Idul
Adha untuk berkurban. Sekaligus bukti bahwa hikmah berkurban dengan apa yang kita
sangat-sangat cintai meningkatkan ketakwaan dan kesabaran kepada Allah.

C. Hakikat dan Makna Idul Adha


Banyak ulama yang mencoba membaca arti, makna, dan hakikat idul adha qurban, namun tak
banyak yang menyuguhkan tafsir idul adha qurban yang komprehensif sehingga menjadi satu
nilai pembelajaran dari peristiwa penyembelihan qurban oleh Nabi Ibrahim kepada anaknya,
Nabi Ismail.
Hampir semua media online Islam sebatas menjelaskan arti, makna dan hakikat idul adha
qurban sebagai bentuk keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah.
Selain makna idul adha qurban itu, sepertinya agak susah mencari arti dan hakikat ibadah idul
adha qurban yang paling mendasar, mengakar, dan mendalam agar bisa diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, redaksi Islamcendekia.com mencoba melakukan
penelusuran akademis berbasis tasawuf untuk mendapatkan arti, makna, dan hakikat ibadah
Idul Adha Qurban.
Arti kata Idul Adha
Arti kata idul adha qurban ada dua makna. Pertama, arti qurban adalah dekat yang diambil
dari Bahasa Arab Qarib. Pandangan umum mengatakan bahwa qurban adalah upaya untuk
mendekatkan diri kepada Allah.
Kedua, arti qurban adalah udhhiyah atau bisa dikatakan dhahiyyah yang artinya adalah hewan
sembelihan. Dari arti makna qurban ini, maka menjadi tradisi sebagaimana lazim dilakukan
umat muslim di dunia untuk menyembelih hewan dengan cara kurban atau mengorbankan
hewan yang menjadi sebagian hartanya untuk kegiatan sosial.
“Tradisi kurban dalam hari raya idul adha memiliki dua dimensi. Pertama, makna qurban
memiliki dimensi ibadah-spiritual. Kedua, makna qurban punya dimensi sosial,” ujar
Lismanto, pencetus teori aktualisasi syariat (dalam Hukum Islam Progresif, 2014) saat
dihubungi Islamcendekia.com via telepon.
Dimensi ibadah dalam tradisi qurban, lanjut Lismanto, sudah jelas menjadi bentuk ketaatan
hamba kepada Tuhannya. Ketaatan itu harus dilandasi dengan rasa ikhlas sepenuhnya,
sehingga kita menjadi dekat dengan Allah. Hal inilah yang dimaksud qurban dalam
pengertian ibadah, yakni qarib
Sementara itu, tutur Lismanto, dimensi sosial dalam tradisi qurban sudah bisa dibaca dengan
kasat mata bahwa ibadah qurban memberikan kesejahteraan kepada lingkungan sosial berupa
daging kurban yang notabene hanya bisa dijangkau kalangan elite. “Ini berlaku di desa,
bukan di kota-kota yang memang sudah terbiasa makan daging. Dengan qurban dari
perspektif sosial, ini menjadi bagian dari ketakwaan kita kepada Allah secara horizontal,”
imbuh Lismanto.
“Jadi, Allah selalu memerintah hamba-Nya untuk selalu mengharmonisasikan antara ibadah
vertikal (hablum minallah) dan ibadah horizontal (hablum minannas). Keduanya berjalan
beriringan tanpa ada sekat dan harus senantiasa berdialektika,” tutur Lismanto.
Dari penjelasan tersebut, kita bisa simpulkan bahwa arti qurban dalam tradisi idul adha
memiliki dua makna. Makna pertama merujuk pada kata qarib yang identik pada ibadah
vertikal, dan arti qurban kedua merujuk pada makna kata udhhiyah atau dhahiyyah yang
dilekatkan pada ibadah horizontal.
Kurban idul adha diambil dari bahasa Arab, yaitu qaruba, yaqrabu, dan qurban wa qurbaanan
di mana artinya adalah mendekati atau menghampiri. Sementara itu, arti kata qurban secara
harfiah berarti hewan sembelihan yang diambil dari kata udhhiyah atau dhahiyyah.
Makna Qurban Idul Adha
Makna dan arti adalah dua kata yang bisa jadi berbeda. Arti lebih kepada arti secara eksplisit
atau kasat mata. Sementara itu, makna mengharuskan sebuah tafsir yang mendalam atas suatu
teks. Dari sini makna qurban dalam tradisi idul adha dimaknai lebih dalam sebagai sebuah
bentuk ketakwaan kita kepada Allah.
Makna qurban dalam idul adha adalah bahwa kita harus ikhlas dalam menjalankan cobaan
dari Allah. Kata lainnya adalah saat kita “disembelih” Allah, maka ikhlaslah dan bertawakal
sehingga dengan keikhlasan itu kita akan mendapatkan “domba” sebagai penggantinya.
Sayangnya, saat kita menjadi bagian dari sembelihan Allah, kemungkinan kita tidak ikhlas
dan berat sehingga tentu kita tidak mendapatkan gantinya berupa domba. Oleh karena itu,
atas segala sesuatu yang terjadi kepada kita karena cobaan dari Allah, kita mesti ikhlas
menjalaninya.
Muhammad Ainun Najib atau yang lebih akrab disapa Cak Nun dalam hal quran idul adha,
menjelaskan, kalau kita sedang “disembelih” Allah, maka kita harus ikhlas dan tulus agar kita
mendapatkan domba sebagaimana Ibrahim menyembelih Ismail. Masalahnya, kita seringkali
tidak ikhlas saat disembelih Allah. Inilah hal yang paling berat, yaitu ikhlas dan tulus.
Demikian arti dan makna qurban dalam idul adha menurut Emha (Muhammad) Ainun Najib
(Cak Nun).
Hakikat Idul Adha
Hakikat qurban idul adha adalah bahwa kita harus kembali kepada tujuan hidup, yaitu
beribadah kepada Allah. Karena manusia dan jin tidaklah diciptakan, kecuali untuk
beribadah.
Sebagaimana ujian Allah kepada nabi Ibrahim, hikmah dari segala peistiwa qurban tidak lain
tidak bukan adalah untuk memperoleh ridha Allah melalui ibadah dengan menjalankan apa
yang menjadi perintah Allah. Namun, tidak sekadar ibadah, kita harus ikhlas dalam
menjalankan setiap perintah Allah. Kalau tidak, apa yang kita kerjakan dan menurut kita
ibadah, itu menjadi sia-sia karena tidak dilakukan dengan ikhlas. Inilah hakikat dari peristiwa
qurban dalam idul adha.
Serbagaimana arti kata qurban yang bermakna qarib atau dekat kepada Allah, maka hakikat
kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintah dan
menjauhi larangan-Nya. Karena itu, makna qurban dalam pengertian Islam adalah bentuk
pendekatan diri kita kepada Allah melalui lantaran hewan ternak yang dikurbankan atau
disembelih.
Dengan begitu, kita merelakan sebagian harta kita yang sebetulnya milik Allah untuk orang
lain. Ini menjadi bagian dari ketaatan kita kepada Allah. Syaratnya, dalam qurban kita harus
benar-benar untuk mencari ridha Allah, bukan untuk yang lain. Inilah hakikat qurban dalam
Islam yang sebenarnya.
Demikian arti, makna dan hakikat qurban idul adha dalam tradisi Islam yang dibangun sejak
sepeninggal Nabi Ibrahim sampai sekarang. Semoga artikel tentang arti makna dan hakikat
qurban idul adha dalam Islam memberikan manfaat nyata kepada pembaca untuk
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
D. Dalil dan Tafsir Idul Adha

Idul Adha yang jatuh pada bulan Dzulhijjah merupakan hari raya akbar bagi seluruh umat
islam sedunia. Pada bulan tersebut, umat Islam menjalankan dua momentum yang sangat
bersejarah, yaitu ibadah haji dan ibadah Kurban/Nahr. Menjalankan wukuf di Arafah
merupakan momentum utama dari pelaksanaan rukun Ibadah haji yang jatuh pada tanggal 9
Dzulhijjah.Adapun momentum yang kedua adalah pelaksanaan ibadah kurban yang
dilaksanakan setelah ‘Idul Adha sebagaimana isyarat dalam QS.Al-Kautsar 108:2 ‫ك‬ َ َ‫ف‬
َ ِّ‫ص ِّل لِ َرب‬
ْ‫“ َوا ْن َحر‬maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”.

Tela’ah kata Kurban menurut Abu Fida’ dalam tafsir Ruh al-Bayan terambil kata derivasi
kata Qarraba-Yuqorribu-Qurbanan, yang memiliki arti nama dari sesuatu yang
dipersembahkan baik berupa hewan yang dipotong (dzabihah) maupun sedekah yang
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kata kurban sendiri secara ekplisit
disebutkan pada QS. Al-Ma’idah 5: 27, yaitu ketika menceritakan kisah kedua putra Nabi
Adam As yang bernama Habil dan Qabil yang sedang menyoal mengenai perjodohan di
antara keduanya. Sehingga untuk melerai pertikaian di antara kedua putranya, Nabi Adam As
mendapat wahyu untuk memerintahkan kepada keduanya supaya melakukan ibadah kurban.

َ Mَ‫َر قَا َل أَل َ ْقتُلَنَّكَ ۖ ق‬


E. ُ ‫ا يَتَقَبَّ ُل هَّللا‬MM‫ال إِنَّ َم‬M ِ ‫ق إِ ْذ قَ َّربَا قُرْ بَانًا فَتُقُبِّ َل ِم ْن أَ َح ِد ِه َما َولَ ْم يُتَقَبَّلْ ِمنَ اآْل خ‬
ِّ ‫َوا ْت ُل َعلَ ْي ِه ْم نَبَأ َ ا ْبن َْي آ َد َم بِ ْال َح‬
َ‫ِمنَ ْال ُمتَّقِين‬

Artinya: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil)
menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari
salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata
(Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima
(korban) dari orang-orang yang bertakwa”.

Pada kitab tafsir Ruh al-Bayan tersebut dijelaskan bahwa persembahan kurban pada
waktu itu menggunakan dua media, yaitu pertama, Habil, berkurban dengan hewan ternak
kambing yang terbaik di antara hewan-hewan yang lain, sedangkan yang kedua, Qabil,
berkurban dengan menggunakan hasil panen kebunnya, hanya saja yang dipersembahkan
hasil tanaman yang paling jelek. Alhasil, persembahan kurban dari keduanya yang diterima
adalah kurban dari Habil, sang adik.

Satu riwayat dari Said ibn Jabir menceritakan bahwa tanda-tanda ibadah kurban yang
diterima oleh Allah Swt pada tempo dulu adalah turunnya Api tanpa uap/asap dari langit
kemudian api tersebut menyelimuti korban hewan kambingnya Habil dan selanjutnya
diangkat ke dalam surga. Alkisah, kambing tersebut yang dipelihara di surga hingga menjadi
tebusan (fida’) ketika proses berkurbannya Nabi Ibrohim As atas anaknya Isma’il.

Di sisi lain, kata kurban terambil dari kata Nahr dalam bentuk imperatif sebagaimana
termaktub dalam QS. Al-Kautsar 108: 2. Menurut para mufassir dalam menafsiri kata Nahr
memiliki banyak takwil, di antaranya dalam kitab Ibn Katsir disebutkan bahwa Abu Ja’far al
Baqir mengartikan Nahr dengan mengangkat kedua tangan ketika permulaan takbir dalam
sholat. Sayyidina Ali juga hampir sama memberi makna yang serupa, yaitu meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri pada sebelah atas dada dalam sholat. Hanya saja, pendapat di
atas menurut Ibn Katsir adalah pendapat-pendapat (aqwal) yang asing, sehingga pemaknaan
kata nahr yang tepat adalah dzabh al-manasik yang berarti pemotongan hewan ibadah kurban.
Penafsiran kata Nahr dengan makna pemotongan hewan kurban berdasar pada satu
riwayat hadits bahwa suatu hari Rasulullah Saw melakukan sholat Idul Adha kemudian
setelah selesai beliau melakukan penyembelihan hewan korban setelah itu Nabi Saw berkata;
“Barang siapa yang melakukan sholat sebagaimana yang kami lakukan dan setelah itu
menyembelih hewan kurban sebagaimana yang kami jalankan, maka ia memperoleh pahala
ibadah kurbannya, namun barang siapa yang melakukan penyembelihan hewan kurban
sebelum sholat ‘id maka tiada pahala kurban baginya”.

Dari dua akar kata tersebut cukup kiranya untuk menjadi refrensi dalam pelaksanaan
ibadah kurban, meskipun pensyari’atan ibadah kurban lebih kentara pada kisah Nabi Ibrahim
As yang terdapat pada QS. Al-Mu’minun 23: 101-107, yaitu perintah untuk mengorbankah
salah satu putranya, yaitu Isma’il As dengan melalui ru’yah shodiqoh (mimpi yang benar)
pada dua hari menjelang ‘Idul Adha. Sehingga Syaikh Nawawi al-Bantaniy (w. 1316 H.)
dalam kitab tafsirnya mengenal bahwa mimpi pada hari pertama dengan istilah hari tarwiyah
(perenungan) dan selanjutnya mimpi pada hari kedua dikenal dengan hari Arafah
(mengetahui) selanjutnya pada hari ketiga berikutnya terjadi pelaksanaan ibadah kurban
(yaum Nahr).

Meskipun kesejarahan ibadah kurban terdapat beberapa versi riwayat namun patut
kiranya peristiwa tersebut dijadikan uswah hasanah (teladan yang baik). Sebagai contohnya,
pertama dari peristiwa diterimanya ibadah kurbannya Habil dikarenakan ketulusan hati dalam
menghambakan diri kepada Allah dan memberikan harta bendanya dengan ikhlas demi
mencari ridha Allah Swt.

Namun sebaliknya tidak diterima ibadah kurbanya Qobil dikarenakan ketidak patuhannya
pada perintah Allah swt dan mendermakan harta bendanya yang paling jelek karena hanya
karena menuruti hawa nafsunya saja. Oleh karena itu, bagi siapapun ketika hendak
melakukan ibadah kurban sebaiknya menata hati dan niatnya supaya benar-benar dalam
rangka mendekatkan diri karena Allah Swt bukan karena tendensi yang lain.

Kedua ibadah kurban merupakan bentuk dedikasi penghambaan diri secara totalitas dalam
rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Hal itu tercermin pada diri pribadi
Nabi ibrohim As yang merelakan putranya Isma’il untuk disembelih karena mentaati perintah
Allah Swt, meskipun dalam proses penyembelihan tersebut pada akhirnya diganti dengan
seekor kambing yang diambilkan dari surga. Di samping itu, kepatuhan yang penuh juga
diperlihatkan Isma’il yang menjawab secara tegas ketika mendapat perintah dari Ayahnya
sebagaimana dalam QS. As-Saffat 37:101. ‫رْ نَاهُ بِغُاَل ٍم َحلِ ٍيم‬M ‫“ فَبَ َّش‬Maka Kami beri dia khabar
gembira dengan seorang anak yang amat sabar”.

Ketiga dalam ibadah kurban tercermin nilai-nilai sosial kepada sesama umat, yaitu bentuk
kepedulian seseorang yang melakukan ibadah kurban untuk berbagi dalam menikmati daging
hewan kurban, yaitu dengan cara membagi bagikan daging korban tersebut kepada warga
masyarakat untuk dapat dinikmati pada hari lebaran Idul Adha dan hari Tasyriq (11-13
Dzulhijjah). Penerimaan daging kurban di hari raya tersebut tentunya akan memberi rasa
kegembiraan yang luar biasa bagi warga masyarakat fakir dan miskin, dimana mereka belum
tentu dapat menikmati lauk daging pada kehidupan kesehariannya. Maka inilah yang perlu
disadari bahwa ibadah kurban bukan hanya sekedar menjalankan ibadah sunnah perintah
agama , melainkan juga terdapat dimensi kepedulian terhadap sesama. Wallahhu a’lam.

Idul Adha yang jatuh pada bulan Dzulhijjah merupakan hari raya akbar bagi seluruh umat
islam sedunia. Pada bulan tersebut, umat Islam menjalankan dua momentum yang sangat
bersejarah, yaitu ibadah haji dan ibadah Kurban/Nahr. Menjalankan wukuf di Arafah
merupakan momentum utama dari pelaksanaan rukun Ibadah haji yang jatuh pada tanggal 9
Dzulhijjah.Adapun momentum yang kedua adalah pelaksanaan ibadah kurban yang
dilaksanakan setelah ‘Idul Adha sebagaimana isyarat dalam QS.Al-Kautsar 108:2 ‫ك‬ َ َ‫ف‬
َ ِّ‫ص ِّل لِ َرب‬
ْ‫“ َوا ْن َحر‬maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”.

Tela’ah kata Kurban menurut Abu Fida’ dalam tafsir Ruh al-Bayan terambil kata derivasi
kata Qarraba-Yuqorribu-Qurbanan, yang memiliki arti nama dari sesuatu yang
dipersembahkan baik berupa hewan yang dipotong (dzabihah) maupun sedekah yang
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kata kurban sendiri secara ekplisit
disebutkan pada QS. Al-Ma’idah 5: 27, yaitu ketika menceritakan kisah kedua putra Nabi
Adam As yang bernama Habil dan Qabil yang sedang menyoal mengenai perjodohan di
antara keduanya. Sehingga untuk melerai pertikaian di antara kedua putranya, Nabi Adam As
mendapat wahyu untuk memerintahkan kepada keduanya supaya melakukan ibadah kurban.

َ Mَ‫َر قَا َل أَل َ ْقتُلَنَّكَ ۖ ق‬


F. ُ ‫ا يَتَقَبَّ ُل هَّللا‬MM‫ال إِنَّ َم‬M ِ ‫ق إِ ْذ قَ َّربَا قُرْ بَانًا فَتُقُبِّ َل ِم ْن أَ َح ِد ِه َما َولَ ْم يُتَقَبَّلْ ِمنَ اآْل خ‬
ِّ ‫َوا ْت ُل َعلَ ْي ِه ْم نَبَأ َ ا ْبن َْي آ َد َم بِ ْال َح‬
َ‫ِمنَ ْال ُمتَّقِين‬

Artinya: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil)
menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari
salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata
(Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima
(korban) dari orang-orang yang bertakwa”.

Pada kitab tafsir Ruh al-Bayan tersebut dijelaskan bahwa persembahan kurban pada
waktu itu menggunakan dua media, yaitu pertama, Habil, berkurban dengan hewan ternak
kambing yang terbaik di antara hewan-hewan yang lain, sedangkan yang kedua, Qabil,
berkurban dengan menggunakan hasil panen kebunnya, hanya saja yang dipersembahkan
hasil tanaman yang paling jelek. Alhasil, persembahan kurban dari keduanya yang diterima
adalah kurban dari Habil, sang adik.

Satu riwayat dari Said ibn Jabir menceritakan bahwa tanda-tanda ibadah kurban yang
diterima oleh Allah Swt pada tempo dulu adalah turunnya Api tanpa uap/asap dari langit
kemudian api tersebut menyelimuti korban hewan kambingnya Habil dan selanjutnya
diangkat ke dalam surga. Alkisah, kambing tersebut yang dipelihara di surga hingga menjadi
tebusan (fida’) ketika proses berkurbannya Nabi Ibrohim As atas anaknya Isma’il.

Di sisi lain, kata kurban terambil dari kata Nahr dalam bentuk imperatif sebagaimana
termaktub dalam QS. Al-Kautsar 108: 2. Menurut para mufassir dalam menafsiri kata Nahr
memiliki banyak takwil, di antaranya dalam kitab Ibn Katsir disebutkan bahwa Abu Ja’far al
Baqir mengartikan Nahr dengan mengangkat kedua tangan ketika permulaan takbir dalam
sholat. Sayyidina Ali juga hampir sama memberi makna yang serupa, yaitu meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri pada sebelah atas dada dalam sholat. Hanya saja, pendapat di
atas menurut Ibn Katsir adalah pendapat-pendapat (aqwal) yang asing, sehingga pemaknaan
kata nahr yang tepat adalah dzabh al-manasik yang berarti pemotongan hewan ibadah kurban.

Penafsiran kata Nahr dengan makna pemotongan hewan kurban berdasar pada satu
riwayat hadits bahwa suatu hari Rasulullah Saw melakukan sholat Idul Adha kemudian
setelah selesai beliau melakukan penyembelihan hewan korban setelah itu Nabi Saw berkata;
“Barang siapa yang melakukan sholat sebagaimana yang kami lakukan dan setelah itu
menyembelih hewan kurban sebagaimana yang kami jalankan, maka ia memperoleh pahala
ibadah kurbannya, namun barang siapa yang melakukan penyembelihan hewan kurban
sebelum sholat ‘id maka tiada pahala kurban baginya”.

Dari dua akar kata tersebut cukup kiranya untuk menjadi refrensi dalam pelaksanaan
ibadah kurban, meskipun pensyari’atan ibadah kurban lebih kentara pada kisah Nabi Ibrahim
As yang terdapat pada QS. Al-Mu’minun 23: 101-107, yaitu perintah untuk mengorbankah
salah satu putranya, yaitu Isma’il As dengan melalui ru’yah shodiqoh (mimpi yang benar)
pada dua hari menjelang ‘Idul Adha. Sehingga Syaikh Nawawi al-Bantaniy (w. 1316 H.)
dalam kitab tafsirnya mengenal bahwa mimpi pada hari pertama dengan istilah hari tarwiyah
(perenungan) dan selanjutnya mimpi pada hari kedua dikenal dengan hari Arafah
(mengetahui) selanjutnya pada hari ketiga berikutnya terjadi pelaksanaan ibadah kurban
(yaum Nahr).

Meskipun kesejarahan ibadah kurban terdapat beberapa versi riwayat namun patut
kiranya peristiwa tersebut dijadikan uswah hasanah (teladan yang baik). Sebagai contohnya,
pertama dari peristiwa diterimanya ibadah kurbannya Habil dikarenakan ketulusan hati dalam
menghambakan diri kepada Allah dan memberikan harta bendanya dengan ikhlas demi
mencari ridha Allah Swt.

Namun sebaliknya tidak diterima ibadah kurbanya Qobil dikarenakan ketidak patuhannya
pada perintah Allah swt dan mendermakan harta bendanya yang paling jelek karena hanya
karena menuruti hawa nafsunya saja. Oleh karena itu, bagi siapapun ketika hendak
melakukan ibadah kurban sebaiknya menata hati dan niatnya supaya benar-benar dalam
rangka mendekatkan diri karena Allah Swt bukan karena tendensi yang lain.

Kedua ibadah kurban merupakan bentuk dedikasi penghambaan diri secara totalitas dalam
rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Hal itu tercermin pada diri pribadi
Nabi ibrohim As yang merelakan putranya Isma’il untuk disembelih karena mentaati perintah
Allah Swt, meskipun dalam proses penyembelihan tersebut pada akhirnya diganti dengan
seekor kambing yang diambilkan dari surga. Di samping itu, kepatuhan yang penuh juga
diperlihatkan Isma’il yang menjawab secara tegas ketika mendapat perintah dari Ayahnya
sebagaimana dalam QS. As-Saffat 37:101. ‫رْ نَاهُ بِغُاَل ٍم َحلِ ٍيم‬M ‫“ فَبَ َّش‬Maka Kami beri dia khabar
gembira dengan seorang anak yang amat sabar”.

Ketiga dalam ibadah kurban tercermin nilai-nilai sosial kepada sesama umat, yaitu bentuk
kepedulian seseorang yang melakukan ibadah kurban untuk berbagi dalam menikmati daging
hewan kurban, yaitu dengan cara membagi bagikan daging korban tersebut kepada warga
masyarakat untuk dapat dinikmati pada hari lebaran Idul Adha dan hari Tasyriq (11-13
Dzulhijjah). Penerimaan daging kurban di hari raya tersebut tentunya akan memberi rasa
kegembiraan yang luar biasa bagi warga masyarakat fakir dan miskin, dimana mereka belum
tentu dapat menikmati lauk daging pada kehidupan kesehariannya. Maka inilah yang perlu
disadari bahwa ibadah kurban bukan hanya sekedar menjalankan ibadah sunnah perintah
agama , melainkan juga terdapat dimensi kepedulian terhadap sesama. Wallahhu a’lam.
E. Perbedaan Idul Adha di Inonesia dan luar Indonesia

Dan sesuai seperti Idul Adha pada umumnya. Namun ada yang berbeda, umat Islam di
Australia tak ketinggalan untuk merayakan Idul Adha dengan berkurban. Namun, tak seperti
di negara mayoritas muslim lain, berkurban di Australia bisa terasa berbeda.
Berikut sejumlah perbedaan dari berkurban di Australia yang dikutip dari ABC Australia
Plus:
1. Hewan Tak Disembelih di Australia
Kebanyakan umat muslim membeli hewan kurban dengan mentransferkan uangnya ke
sejumlah organisasi Islam di Australia, tanpa melihat hewan yang akan dikurbankannya.
Baha Yehia, Community Engagement Coordinator dari organisasi Islamic Relief Australia
mengatakan hewan-hewan yang sudah dibeli lewat organisasi Islam tidak disembelih di
Australia.
Kebanyakan disembelih di negara-negara di luar Australia, sesuai dengan pilihan masing-
masing.
Umat Muslim di Australia bisa membayar sekitar 100 dolar Australia atau sekitar Rp 1 juta
hingga 350 dolar Australia berkisar Rp 3,5 juta, untuk satu hewan hewan kurban atau satu
bagian hewan kurban untuk sapi atau unta.
Mereka juga bisa membeli hewan kurban dalam bentuk kaleng.
2. Dibagikan ke Luar Australia
Banyak organisasi Islam di Australia membagikan daging kepada mereka yang membutuhkan
di luar negeri.
Berdasarkan pengalamannya bekerja di organisasi bantuan Islam, jika seandainya ada yang
teridentifikasi pun belum tentu mau menerima kurban atau bantuan keuangan.
3. Membantu Orang Lokal
Islamic Relief Australia telah menyalurkan program selama 30 tahun.
Baha mengatakan organisasinya telah bekerja dengan berbagai pihak di luar negeri yang
terlibat dalam berkurban, mulai dari peternak, agen, pusat penyembelihan, sampai penyalur.
Ia juga mengatakan setelah daging disalurkan, tidak ada bagian dari tubuh hewan kurban
yang dibuang begitu saja.
Misalnya, kulit yang kemudian diolah menjadi bahan baku produk sepatu atau tas, atau
bagian tubuh lainnya yang dijadikan pupuk.
4. Mengikuti Aturan Ketat
Di Australia, dalam pelaksanaan kurban, Islam memiliki aturan ketat soal bagaimana hewan
diperlakukan. Ini dikenal dengan istilah halal, bukan hanya dilihat dari cara memotongnya.
Dan kondisi hewan yang akan dikurbankan tidak boleh memiliki cacat, seperti buta, pincang,
atau sakit.
F.Naskah Khutbah
NASKAH KHUTBAH IDUL ADHA
‫السالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬
‫ هللا أكبر‬،‫ هللا أكبر‬،‫هللا أكبر‬
‫ هللا أكبر‬،‫ هللا أكبر‬،‫هللا أكبر‬
‫ هللا أكبر‬،‫ هللا أكبر‬،‫هللا أكبر‬
‫ هللا أكبر وهلل الحمد‬،‫هللا أكبر كبيرا والحمد هلل كثيرا وسبحان هللا بكرة وأصيال ال اله اال هللا هللا أكبر‬
‫الحمد هلل الذى جعل هذا اليوم من أعظم األيّام ضيافة لألنام وجعله من شعاءر اإلسالم‬.
.‫أن سيّدنا محمدا عبده ورسوله خاتم النّبيّين رحمة للـمؤمنين وحجّة للجاهدين‬
ّ ‫اشهد ان الإله اال هللا وحده ال شريك له و أشهد‬
ّ ّ ّ
‫الله ّم صل ّي على سيّدنا محمد صلى هللا عليه فى األوّلين واآلخرين وعلى آله والطيّبين الطاهرين وسلم تسلي ًما كثيرا‬.
ّ ‫ إعلموا‬.‫ ايّها النّاس أوصيكم ونفسي بتقوى هللا وكونوا مع الصّادقين والـمخلصين‬M،‫أ ّما بعد‬
‫أن هذا اليوم يوم عظيم لقد سرّفه‬
ّ ،‫ فص ّل لربّك وانحــر‬،‫ إنّا أعطيناك الكوثر‬:‫هللا بالتّضحيّة لقوله تعالى‬
)3-1:‫ (الكوثر‬.‫إن شانئك هو األبتر‬
Ikhwân al-Muslimîn jama’ah ‘Id al-Adha rahimakumullah
Dalam suasana gembira merayakan hari raya ‘iedul adha, kita semua kembali berkumpul
bersama-sama di tempat ini melantunkan takbir dan tahmid sebagai ungkapan rasa syukur
serta terima kasih kita kehadirat Allah Swt, Kita mengagungkan dan memuji asma Allah,
Tuhan yang Maha Agung lagi Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
‫ أكبر و هلل الحمد‬،‫ هللا اكبر‬، ‫ هللا اكبر‬، ‫هللا اكبر‬
Dengan menghayati kalimat takbir dan tahmid ini akan tehunjam pengertian dan pemahaman
ke relung hati kita masing-masing yang lebih dalam betapa kecil dan kerdilnya kita sebagai
manusia berhadapan dengan kebesaran serta kekuasaan Allah Swt. Oleh karena itu,
kearogansian, kesombongan, kepongahan, ketakaburran yang disebabkan oleh kekuasaan,
jabatan, kedudukan dan harta, kita campakkan sebab semuanya itu semu serta tidak abadi
sama dengan kefanaan alam termasuk di dalamnya manusia itu sendiri yang kedudukannya
sebagai elemen terkecil dari seluruh sistem alam.
Marilah kita membuka mata, telinga dan hati kita, menyaksikan salah satu tanda kebesaran
dan kekuasaan Allah, sekaligus satu perumpamaan yang sangat besar. Marilah kita melihat
bagaimana umat Islam yang telah kembali kepada fitrahnya menuju ke tempat
dilaksanakannya Salat ‘Id seraya mengingat akan suatu hari di mana semua manusia sejak
Nabi Adam as. hingga manusia yang terakhir diciptakan Allah akan dikumpulkan pada suatu
hari yang oleh Allah di dalam al-Qur’ân disebut yawmun lâ yanfa’ mâl walâ banun, illa man
atâ Allah bi qalb salîm (hari yang ketika harta dan anak-anak tidak memberi manfaat lagi,
kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang tenang).
‫ أكبر وهلل الحمد‬،‫ هللا أكبر‬،‫هللا أكبر‬
Hari ini adalah hari yang teristimewa, dimana Allah Swt, menamakannya sebagai hari raya
haji atau hari raya qurban. Karena pada saat ini, jutaan umat Islam yang berasal dari seluruh
penjuru dunia sedang lebur dan tenggelam dalam melaksanakan ibadah haji dengan
mengumandangkan takbir dan talbiyah silih berganti. Dan pada hari ini pula, kita mengenang
peristiwa sejarah yang agung melibatkan dua tokoh besar, dua orang rasul Allah yang tetap
akan dikenang sepanjang zaman.
Setiap kali kita merayakan Id Adha, pasti kita akan kembali mengenang sejarah peristiwa
berqurban yang telah dilakoni oleh dua hamba Allah yang ikhlas melaksanakan perintah
Tuhan seperti yang terlukis dan terpahat dalam satu rangkuman ayat yang amat sangat indah
bahasanya di dalam al-Qur’an. Dimana dilukiskan dalam suatu dialog interaktif antara Nabi
Ibrahim a.s. dengan anaknya Nabi Ismail a.s, ditugaskan untuk mengurbankan putra
kesayangannya.
Ketika Nabi Ismail a.s, menginjak usia remaja (kallolo campedda), sang ayah, yaitu Nabi
Ibrahim a.s, mendapat perintah langsung dari Allah lewat mimpi yang benar bahwa ia harus
mengurbankan Ismail putra kesayangannya. Nabi Ibrahim a.s, duduk sejurus termenung
memikirkan ujian yang maha berat yang ia hadapi.
Dapat kita bayangkan sendiri, bagaimana kegembiraan hati sang ayah yang telah lama
mendambakan generasi pengganti dirinya dari sekian tahun lamanya, dan bagaimana tingkat
kecintaannya terhadap putra tunggal, anak kandung sibiran tulang, cahaya mata, pelepas
rindu, tiba-tiba harus dijadikan qurban, merenggut nyawa anaknya oleh tangan ayahnya
sendiri.
Tentu, suatu konflik batin yang bergejolak yang tejadi pada diri Nabi Ibrahim antara
kecintaan kepada anak dan ketaatan memenuhi perintah ilahi. Namun, cintanya kepada Allah
jauh lebih besar dan lebih di atas daripada cintanaya kepada anak, isteri, harta benda dan
materi kedunian lainnya.
Oleh karena itu, Nabi Ibrahim a.s, jauh lebih memilih perintah Allah yang diwahyukan lewat
mimpi yang benar, tanpa memperhitungkan serta memperdulikan kosekuensi bakal apa yang
akan terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan perintah itu.Untuk melaksanakan perintah itu,
Nabi Ibrahim a.s, mengajuk hati putranya dengan mengadakan dialog sebagai bentuk
komunikasi efektif antara sang ayah dengan anak dalam rangka mendidik serta membina
hubungan yang baik yang ditata oleh suatu ikatan batin kasih sayang, ketaatan dan kepatuhan.
Dalam dialognya seperti yang dilukiskan dalam bahasa yang sangat indah dan menyejukkan
di dalam al-Qur’an:
‫يآبن ّي إنّى أرى فى المنام أنى أذبحك فانظر ماذا ترى‬
“Wahai anak kandungku, sibiran tulang cahaya mata dan buah hatiku!, sesungguhnya ayah
melihat dalam mimpi bahwa saya akan menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa yang akan
menjadi keputusanmu”.
Ismail sebagai anak yang soleh, patuh dan taat kepada orang tua yang melahirkan dan
membesarkannya, sepontanitas menjawab:
‫يأبت افعل ما تؤمر ستجدنى إن شآء هللا من الصّابرين‬
“Wahai ayahku yang tercinta, laksanakanlah apa yang telah Allah perintahkan kepadamu.
Insya Allah, ayahanda akan menyaksikan sendiri bahwa ananda sabar serta tabah
menghadapi ujian itu”.
Dalam suasana peristiwa yang sangat mengharukan itu, dan detik-detik yang amat
menegangkan, sebagaimana yang kita maklumi bersama bahwa bukanlah Ismail yang
tersembelih, karena dengan kekuasaan dan kasih sayang Allah, tiba-tiba Ia mengganti dengan
seekor kibas besar yang dibawa oleh malaikat, seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an:
‫وفدينه بذبح عظيم‬
“Dan Kami tebus dia yaitu Ismail dengan suatu sembelihan yang besar”.
‫ هللا أكبر وهلل الحمد‬،‫ هللا أكبر‬،‫ هللا أكبر‬،‫هللا أكبر‬
Hadirin dan hadirat jama’ah id rahimakumullah.
Demikianlah prolog sejarah berqurban, maka sebagai epilog dari peristiwa penting itu, Allah
Swt, mensyariatkan umat ini bagi orang yang mampu supaya melaksanakan qurban setahun
sekali pada hari raya idul adha.
Pada dasarnya watak universal qurban itu terletak pada dimensi pembebasannya, melawan
dominasi, dan ketidakadilan, sama persis dengan agenda reformasi yang kita perjuangkan
sekarang ini. Ekspresi bahasa tindakan tersebut akan hilang manakala qurban dipahami tanpa
refleksi perasaan dan pengalaman mental atas fenomena aktual.
Berqurban mempunyai dan memiliki makna yang bernilai mulia, bilamana makna essensi
(hakikat) berqurban itu dapat kita tangkap dengan baik. Jadi, berqurban bukanlah sekedar
ritual tanpa makna, atau teradisi tanpa arti. Berqurban, harus mampu menggugah perasaan
pelakunya untuk menghayati apa yang tersirat di balik yang tersurat dari pelaksanaan ritual
tersebut.
Menurut pandangan Ali Syariati terhadap peristiwa qurban Ismail mengandung makna yang
sifatnya simbolistik. Pada dasarnya semua orang bisa saja berperan sebagai Ibrahim yang
memiliki Ismail. Ismail yang kita miliki dapat berwujud sebagai anak, isteri yang cantik,
harta benda yang banyak, pangkat, kedudukan yang tinggi, pendeknya segala apa yang kita
cintai, yang kita dambakan, yang kita kejar-kejar dengan rela mempertaruhkan semua yang
kita miliki.
Ismail-ismail yang kita miliki itu, kadang dan bahkan tidak sedikit membuat kita terlena dan
lalai serta terbuai dari gemerlapan duniawi yang menyebabkan melanggar ketentuan moral,
etika dan agama, sehingga sulit kembali mengingat Allah swt.Oleh karena itu, berperanlah
sebagai Ibrahim untuk dapat menaklukkan Ismail-Ismail itu.
Janganlah kita dibelenggu oleh apa-apa di dunia ini. Janganlah kita dipalingkan dari Tuhan
oleh hal-hal yang pada hakikatnya bersifat semu dan tidak abadi. Kita boleh memiliki apa
saja di dunia ini, asalkan halal.
Boleh saja kita memiliki uang bermilyar-milyar banyaknya asal tidak menipu dan
menyengsarakan orang lain. Bahkan lebih dari itu kita boleh menguasai dunia ini asal tahu
batas kemampuan kita. Akan tetapi jangan sekali-kali dunia yang kita cintai ini menjadikan
dan membiarkan kita terbuai dan terlena sehingga lupa hakikat diri kita sebagai makhluk
yang beriman kepada Allah swt. dan sebagai manusia yang beraqidah.
Apa yang digelar Nabi Ibrahim as. di dalam panggung sejarah peradaban manusia adalah
mengurbankan anaknya secara manusiawi yang menurut naluri dan pikiran orang biasa
bahwa tugas itu adalah sesuatu yang amat sulit diterima; akan tetapi buat keluarga Nabi
Ibrahim as. hal itu adalah suatu kebahagiaan dan kemuliaan.
Keluarga Nabi Ibrahim as.justru menyambut tugas itu dengan suka cita lantaran
berkesempatan mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagi dirinya untuk Allah swt.,
sebagaimana firman Allah dl QS. Ali Imran (3): 92
‫لن تنالوا الب ّر حتّى تنفقوا مما تحبون‬
“Dan tidak dianggap membuat kebajikan seseorang di antara kalian sampai kamu
menginfaqkan apa yang kalian cintai.”
Rasa suka cita yang dialami oleh keluarga Nabi Ibrahim as. untuk berkorban dilandasi atas
pemahaman yang benar tentang nilai-nilai kehidupan. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa
segala sesuatu yang ada di dunia ini: anak, isteri, harta, pangkat dan jabatan semuanya datang
dari Allah dan pasti akan kembali kepada Allah. Oleh sebab itu, bagaimana pun modelnya
perintah Allah harus dilaksanakan sebaik-baiknya tanpa melihat untung dan rugi, enak tidak
enak, mudah dan sulit, maupun berat dan ringannya.
Sikap yang seperti inilah yang menunjukkan jati diri Nabi Ibrahim as. sehingga dianugerahi
oleh Allah sebagai imam, pemimpin, teladan dan idola. Kehormatan tersebut tidak mungkin
diraih tanpa Nabi Ibrahim as. didampingi oleh isteri yang salihah dan anak yang saleh, seperti
dilukiskan dalam QS. Al-Baqarah (2): 124
‫ قال الينال عهدى الظّلمين‬،‫ قال ومن ذرّيتى‬،‫ قال إنّى جاعلك للنّأس إماما‬، ‫هن‬
ّ ‫وإذ بتلى أبراهيم ربّه بكلمت فات ّم‬
“Perhatikanlah ketika Allah menguji Ibrahim, dengan berbagai kalimat perintah dan
harapan, maka semuanya dapat diselesaikan dengan sempurna. Maka Allah berfirman:
Sesunggunya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia, Ibrahim berkata: dan
saya mohon juga buat keturunanku. Allah berfirman: Janjiku ini tidak mengenai orang-
orang yang zalim”
‫ هللا أكبر وهلل الحمد‬،‫ هللا أكبر‬،‫ هللا أكبر‬،‫هللا أكبر‬
Pada zaman modern yang sofisticated dan canggih ini, atau zaman yang akhir-akhir ini oleh
masyarakat Indonesia dinamakan lagi sebagai zaman reformasi, tampak jelas dan tidak
terbantahkan bahwa logika lingkungan cinta duniawi telah merebak dan mewabah mencemari
perilaku hidup dan kehidupan manusia, di mana manusia dipandang sebagai obyek, bukan
sebagai subyek.
Kadar dan nilai manusia ditentukan seberapa jauh nilai materi yang dimilikinya. Tinggi
rendahnya nilai kehormatan manusia tergantung dari lebel-lebel keduniaan yang melekat
pada diri manusia itu sendiri. Maka wajarlah jika manusia zaman sekarang ini merasa asing
bahkan bingung hidup di atas bumi yang melahirkannya.
Masyarakat modern dewasa ini menurut Rosspoole, seorang cendekiawan Barat asal Inggris,
adalah masyarakat yang sakit, karena di satu pihak ia membutuhkan moralitas spritual (moral
agama), tapi di pihak lain ia membuat moralitas itu mustahil, tidak ada. Maka yang terjadi
adalah dunia modern memunculkan pemahaman-pemahaman tertentu tentang moralitas tanpa
kendali agama. Bahkan justru kehilangan moral dan inilah yang menjadi akar dari segala
permasalahan mengapa krisis multi dimensional di negara republik yang tercinta ini terjadi.
Oleh karena itu, penyembelihan qurban hari ini setelah menunaikan Solat ‘Id, sepantasnya
membuat kesadaran baru ke dalam diri individu setiap manusia. Kesadaran baru itu ialah
memahami akan hakikat keberadaan manusia dalam kosmos alam Allah, pada tata atur yang
sedemikian sempurna yang hukum-hukum adilnya menjelmakan sangsi-sangsi setimbang
dalam kekuasaan arasy yang tak tersepuh kepalsuan.
Manusia yang berkesadaran baru ialah hamba Allah yang berintrospektif, yang kerap
bertanya soal hakikat keberadaan dirinya yang membangun diri dan lingkungannya kepada
lima kualitas: kualitas iman yang tinggi, kualitas taqwa yang kokoh, kualitas intelektual yang
hebat, kualitas karsa yang nyata, dan kualitas karya yang maju.
Namun sayangnya, pada kenyataannya makna dari kerelaan berqurban masih kurang
mendapat perhatian dan penghayatan yang memadai, karena masih banyak di antara yang
berperan di bundaran dunia fana’ ini, cuma menanti pengorbanan orang lain, bahkan andai
kebetulan ia menjadi orang atasan, berpangkat dan berkedudukan, maka diperasnya
bawahannya agar sudi berkorban baginya demi kenikmatan egonya, demi prestise
kejayaannya dan lain-lain.
Dan sebaliknya, andai manusia semacam itu menjadi bawahan, maka dibekamnya fitrah citra
luhurnya demi kondite sementara yang disangkanya akan membahagiakan hidup di dunia dan
di akhirat.Memang dalam kehidupan ini manusia dicoba dengan bermacam-macam ujian
Ismail-Ismail yang sewaktu-waktu meminta pengorbanan.
Ada kalanya pengorbanan tenaga, harta, pengorbanan perasaan, dan kesenangan bahkan suatu
ketika meningkat pada pengorbanan jiwa. Berkorban jauh lebih baik dan mulia dari pada
menjadi korban.
‫ هللا أكبر وهلل الحمد‬،‫ هللا أكبر‬،‫ هللا أكبر‬،‫هللا أكبر‬
Penyembelihan qurban merupakan suatu tindakan penundukan dan penguasaan
kecenderungan-kecenderungan hewani dalam diri manusia itu sendiri yang dalam bahasa
agama disebut al-nfasu al-ammârah dan al-nafsual-lawwamah, yakni keinginan-keinginan
rendah yang selalu mendorong atau menarik manusia ke arah kekejian dan kejahatan.
Qurban disyariatkan guna mengingatkan manusia bahwa jalan menuju kebahagiaan
membutuhkan pengobanan. Akan tetapi yang dikorbankan bukan manusia, bukan pula
kemanusiaan. Namun yang dikorbankan adalah binatang, yang sempurna lagi tidak cacat,
sebagai indikasi agar sifat-sifat kebinatangan yang sering bercokol pada diri kita harus
dienyahkan serta dibuang jauh-jauh.
Misalnya: sifat mau menang sendiri walau dengan menginjak-injak hak orang lain, sikap
tamak dan rakus walau kenyang dari kelaparan orang lain, bahagia dan senang walau menari-
menari di atas penderitaan orang lain, mabuk kuasa dengan ambisi yang tidak terkendali,
sombong, serta angkuh, iri hati dan dengki, tidak rela disaingi, tidak mau dikritik, tidak
mampu mendengar nasihat dan lain sebagainya.Hikmat inilah yang diajarkan dalam
berqurban, seperti dalam firman Allah swt. QS. Al-Hajj (22): 37
‫ كذلك س ّخرها لكم لتكبّر هللا على ما هدكم وبشر الـمحسنين‬،‫ال ينال هللا لحومها وال دماؤها ولكن يناله التقوى منكم‬
“Daging-daging dan darah binatang qurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi apa
yang akan sampai kepadaNya hanyalah ketaqwaan. Demikianlah dia memperuntukkan
binatang ternak itu bagiMu semoga kamu mengagungkan Allah. Allah berkenan dengan
petunjukNya kepadamu, lalu berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang membuat
kebajikan.”
Hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Di samping itu, lewat ajaran perintah berqurban, islam mengajarkan, mendidik, serta
menyadarkan umat ini bagaimana membangkitkan kepekaan dan kepedulian sosial kita
kepada sesama saudara kita yang lain, yaitu membantu terbinanya pengentalan persaudaraan
yang hakiki, cinta kasih dan tanggung jawab antara sesama ummat, serta terwujudnya
pemerataan pendistribusian protein hewani untuk meningkatkan gizi masyarakat dalam
rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga dapat meningkatkan
pengabdian-nya kepada Allah dan sesamanya.
‫ هللا أكبر وهلل الحمد‬،‫ هللا أكبر‬،‫ هللا أكبر‬،‫هللا أكبر‬
Sebagai penutup dari uraian khutbah ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Manusia tidak dibenarkan menqorbankan manusia lainnya untuk sesuatu kepentingan,
sekalipun adalah kepentingan Tuhan.
2. Seseorang dituntut berkorban, baik harta, jabatan dan kedudukan, bahkan jiwa
sekalipun, tetapi jangan sekali-kali membawa efek yang merugikan orang lain.
Prinsipnya, lebih baik berkorban dari pada mengorbankan atau jadi korban orang lain.
3. Nilai pengorbanan tidak dilihat dari kuantitas, tetapi dari niat dan kualitas ketulusan
dan keikhlasan.
4. Makna lain dari berqurban adalah upaya mereformasi diri sendiri dengan jalan
menyembelih serta membunuh watak dan tabiat hewaniyah yang kita miliki, seperti:
mau menang sendiri, tamak dan rakus serta bakhil, gila kekuasaan, ambisi yang tidak
terekendali, sombong dan arogansi, iri hati dan dengki, tidak mau mendengar kritikan
dan nasehat, dan lain-lain sebagainya dari segala sifat yang tidak terpuji.
5. Ibadah qurban mengandung aspek ilahiah, di samping aspek insaniah. Dalam aspek
insaniah (sosial) adalah menumbuhkan kekentalan persaudaraan (silaturrahim) dan
meningkatkan protein dalam rangka mendorong semangat pengabdian kepada Allah
dan sesama manusia lainnya.

‫ هللا أكبر وهلل الحمد‬،‫ هللا أكبر‬،‫ هللا أكبر‬،‫هللا أكبر‬


Hadirin hadirat rahimakumullah,
Mengakhiri khotbah kita pada kesempatan ini, marilah kita bersama-sama memusatkan
ingatan kita kepada Allah seraya mengangkat tangan dan memohon do’a ke hadirat-Nya.
Ya Allah, ya Tuhan kami, pada hari ini kami berkumpul merayakan hari yang Engkau
agungkan, hari yang sangat bersejarah dalam kehidupan umat manusia, khususnya manusia
yang mengakui keberadaan dan kemahabesaran-Mu.
Oleh karena itu ya Allah, kami bermohon kepadamu, kiranya senantiasa berkenan
melimpahkan rahmat dan kasih sayang kepada kami sehingga kami mampu menjalankan
semua yang engkau perintahkan dan meninggalkan semua larangan-Mu.
Ya Allah, ya Tuhan kami, Tuhan yang senantiasa mendengarkan semua pengaduan
hambanya, anugrahilah kami rezeki yang mulia serta hati yang ikhlas untuk senantiasa rela
berkorban demi memenuhi panggilan-Mu.
Ya Allah, anugrahkan pula kepada kami hati yang pandai bersyukur, sehingga kami dapat
mensyukuri segala nikmat yang telah Engkau berikan kepada kami. Kami bermohon pula,
kiranya Engkau memberikan kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi cobaan-cobaan
dunia seperti berbagai krisis yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia sekarang ini, dan
hanya bantuan-Mulah yang senantiasa kami harapkan untuk mengatasinya.Ya Allah ya
Tuhan kami, limpahkanlah rezeki yang Engkau berkati dan jadikanlah rezeki itu sebagai alat
untuk memperkokoh silaturahmi di antara kami, dan bukan menjadi bala’ atau ssumber
bencana atas kami.
Ya Allah, ya gaffâr ya Rahman, ya Rahim, ampunilah dosa dan kesalahan kami, ampunilah
segala dosa dan kesalahan ayah dan ibu kami, sayangilah mereka sebagaimana mereka
menyayangai dan mendidik kami sewaktu kecil.
Ya Allah, ya Mujibassailin, perkenankanlah semua permintaan kami.
‫ ربّنا آتنا فى ال ّدنيا حسنة وفى اآلخرة حسنة وقينا‬،‫ربّنا تقبّل منّا إنّك أنت السّميع العليم وتب علينا إنّك أنت توّاب الرّحيم‬
‫عذاب النّار‬.
‫سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسالم علي المرسلين والحمد هلل رب العلمين‬
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Qurban idul adha adalah bahwa kita harus kembali kepada tujuan hidup, yaitu
beribadah kepada Allah. Karena manusia dan jin tidaklah diciptakan, kecuali untuk
beribadah.
Sebagaimana ujian Allah kepada nabi Ibrahim, hikmah dari segala peistiwa qurban
tidak lain tidak bukan adalah untuk memperoleh ridha Allah melalui ibadah dengan
menjalankan apa yang menjadi perintah Allah. Namun, tidak sekadar ibadah, kita harus
ikhlas dalam menjalankan setiap perintah Allah. Kalau tidak, apa yang kita kerjakan dan
menurut kita ibadah, itu menjadi sia-sia karena tidak dilakukan dengan ikhlas. Inilah hakikat
dari peristiwa qurban dalam idul adha.
Serbagaimana arti kata qurban yang bermakna qarib atau dekat kepada Allah, maka
hakikat kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintah
dan menjauhi larangan-Nya. Karena itu, makna qurban dalam pengertian Islam adalah bentuk
pendekatan diri kita kepada Allah melalui lantaran hewan ternak yang dikurbankan atau
disembelih.
Dengan begitu, kita merelakan sebagian harta kita yang sebetulnya milik Allah untuk
orang lain. Ini menjadi bagian dari ketaatan kita kepada Allah. Syaratnya, dalam qurban kita
harus benar-benar untuk mencari ridha Allah, bukan untuk yang lain. Inilah hakikat qurban
dalam Islam yang sebenarnya.
Dan sebagai seorang mubaligh kita harus paham tentang idul adha agar bisa
berkhutbah di waktu kurban.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Mahmud, Ali Abdul Halim.1995.Dakwah Fardhiyah.Jakarta: Gema Insani Press
Prof. Dr. Arifin, Anwar.2011.Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi.Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Sukayat, Tata.2015.Ilmu Dakwah Perspektif Filsafat Mabadi’Asyarah.Bandung: Simbiosa
Rekatama Media
https://www.dompetdhuafa.org/post/detail/9387/indahnya-sejarah-singkat-
kurban-

https://www.dompetdhuafa.org/post/detail/9387/indahnya-sejarah-singkat-
kurban-

Anda mungkin juga menyukai