Anda di halaman 1dari 21

Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

SEJARAH FILSAFAT MODERN


Sebuah Era Baru Otonomisasi Pemikiran Filsafat

Pendahuluan
Istilah modern berasal dari kata Latin ‘moderna’ yang artinya ‘sekarang’, ‘baru’ atau
‘saat kini’.1 Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa, manusia yang hidup di zaman
modern, berarti manusia yang kesadarannya bersifat kekinian (baru pada waktu itu). Banyak di
antara sejarawan filsafat sepakat bahwa Sejarah Filsafat Modern berawal pada Rene Descartes
(1596-1650), sehingga tidak heran ia disebut sebagai Bapak Filsafat Modern. 2 Kekhasan
pandangan filosofisnya yakni menekankan kekuatan rasional manusia yang secara intrinsik,
dengan menggunakan metode yang akurat mampu mencapai kebenaran. Inilah sebuah langkah
baru yang melampaui keterkukungan terhadap kekuatan lain yang mengintervensi kekuatan
rasional. Kendatipun demikian, kelahiran era pemikiran baru tersebut, hanya dimungkinkan oleh
gerakan Renaissance yang dimulai pada abad ke -15 dan ke -16. Adapun pemikiran filsafat
modern sendiri berkembang begitu luas, sehingga mencakup berbagai aliran dan gaya
berfilsafat. Tidak mungkin semua kekayaan intelektual itu dituangkan dalam ruang dan waktu
yang terbatas ini. Oleh karena itu beberapa catatan penting, dan pemikiran dari berbagai filsuf
terkemuka saja yang akan didiskusikan.

1. Filsafat Modern dalam Lintasan Sejarah Filsafat dan Kharakteristiknya


Peralihan dari Abad Pertengahan ke Masa Modern ditandai oleh gerakan Renaissance.
Kata Renaissance berarti kelahiran kembali.3 Renaissance merupakan usaha menghidupkan
kembali kebudayaan klasik (Yunani-Romawi) yang dipandang sebagai sesuatu yang bernilai
pada dirinya. Para pelopor gerakan ini, tidak menyangkal eksistensi Tuhan atau menolak agama,
melainkan menghendaki suatu emansipasi kultural, yakni dunia tidak saja berarti karena ada
wahyu ilahi yang menyempurnakan, melainkan juga karena secara intrinsik dunia memang
bermakna. Renaissance bercita-cita menjadikan dunia suatu hunian yang bermakna bagi
manusia. Unsur-unsur agama yang telah meresapi kesusasteraan, seni, dan gaya berpikir,

1
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Yogyakarta: Kanisius, 2007),
hlm. 2.
2
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 46
3
Ibid., hlm. 44.
1|Page
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

hendaknya direduksi agar otentisitas manusia dan dunia dapat ditemukan kembali. Karena alasan
itulah, Renaissance sering kali disebut sebagai gerakan Humanisme4.
Dalam konteks sejarah filsafat, masa modern dimulai oleh Rene Descartes yang
memelopori gagasan-gagasan filosofis yang menekankan pada otonomi akal budi manusia. Dua
aliran yang tampil perdana dalam masa modern yakni rasionalisme dan empirisme. Konflik dari
dua pandangan itu membuahkan pijaran baru dalam masa Pencerahan. Sepanjang abad ke -18
dan 19 kemudian, muncullah pandangan-pandangan baru: idealisme, positivisme, materialisme,
dan eksistensialisme. Nanti kemudian masuk pada awal abad ke -20 dan 21 (filsafat
kontemporer), kemudian muncullah aliran-aliran yang kelak melengkapi pandangan-pandangan
sebelumnya atau merupakan bentuk baru dari aliran-aliran sebelumnya, seperti neo kantianisme,
neo hegelianisme, bentuk lengkap dari eksistensialisme (Jaspers, Heidegger, Sartre, Marcel, dan
Merleau-Ponty), fenomenologi (Husserl), filsafat analitis, strukturalisme (Levi Straus), post
strukturalisme (Lacan, Derrida, dan Foucault), pragmatisme (Peirce, James, Dewey), dan filsafat
proses (Whitehead).
Dengan demikian, sejarah filsafat modern berada di tengah lintasan sejarah filsafat barat,
dan merupakan masa di mana, filsafat menemukan otonominya. Inilah kharakteristik utama dari
filsafat modern. Oleh karena itu, titik pusat diskusi sejarah filsafat modern yakni transformasi
otonomi rasionalitas manusia. Otonomi rasionalitas itu memungkinkan perkembangan bebas dan
pesat dari ilmu pengetahuan, lepas dari intervensi teologi dan kewibawaan gereja yang secara
ketat pernah membantasinya sepanjang masa abad pertengahan. Sebab, dalam abad pertengahan,
filsafat mempunyai pertalian erat dengan teologi. Konsekuensinya, filsafat dan ilmu
pengetahuan pada umumnya sulit meloloskan diri dari pengaruh-pengaruh teologis. Jika dalam
abad pertengahan para filsuf sekaligus merupakan teolog, namun pada masa modern, para filsuf
tidak serentak merupakan teolog. Sebagai contoh Descartes dan Leibniz yang merupakan
penganut agama kristen, namun dalam pandangan-pandangan mereka, iman tidak menjadi tolak
ukur dalam berfilsafat.
Konsekuensi lain pula yakni ilmu pengetahuan semakin berkembang dan mendapatkan
tempatnya sendiri, terlepas dari filsafat maupun pandangan teologi. Berbagai riset atau
penelitian-penelitian empiris mulai banyak berkembang meskipun hasilnya tidak sejalan dengan
pandangan atau keyakinan iman gereja yang telah lama berakar dan tidak dapat diganggu-gugat.
Pemikir-pemikir yang terkemuka di antaranya: Nicolaus Copernicus (1473-1543), Galileo
Galilei (1564-1643), di bidang seni dan sastra seperti: Michelangelo (1475-1564), Leonardo da

4
“Humanisme” adalah gerakan yang mencari inspirasinya pada kesusasteraan klasik dari Yunani dan Roma.
Seorang humanis adalah sarjana yang mendalami sastera dan kebudayaan dari Yunani-Romawi Kuno. Ibid.
2|Page
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

Vinci (1452-1519), dan kelak di bidang iman gereja, seperti Martin Luther yang memproklamasi
reformasi yang radikal.

2. Rasionalisme
Istilah rasionalisme berasal dari kata ratio, yang dalam hubungan ini berarti budi atau
akal manusia. Apakah yang dituju oleh rasionalisme? Rasionalisme adalah pendirian dalam cara
berpikir yang menjunjung tinggi rasio atau akal dengan cara yang sedemikian rupa sehingga akal
menjadi hakim yang mutlak atas segala sesuatu.5 Dengan demikian, menurut aliran ini, segala
sesuatu mendapatkan tolak ukurnya melalui rasio. Segala sesuatu harus dimengerti dengan
sejelas-jelasnya. Lantas bagaimana dengan sesuatu yang tidak dapat dipikirkan atau dianalisa
dengan jelas? Sesuatu itupun harus disepelehkan, ditiadakan dan tidak dianggap sebagai realitas
yang sejati. Sebab, ketika sesuatu itu irasional, tidak lolos melalui rasionalitas, maka dipandang
sebagai sesuatu yang bukan merupakan kebenaran atau realitas sejati.

a). Rene Descartes (1559-1650)


Descartes dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1956. Pada tahun 1637 ketika ia berusia 41
tahun, ia telah melatakkan dasar pemikiran bagaimana pikiran manusia berkaitan erat dengan
tubuh manusia, sebagai sebuah teka-teki yang membingungkan filsafat modern dan sejak
munculnya ilmu pengetahuan.6 Descartes adalah orang yang merasa kurang puas dengan
pendidikan yang didapatkannya. Hal ini tentu tidak disebabkan karena mutu sekolahnya kurang
memenuhi syarat. Ia dididik di College La Fleche, salah satu sekolah termasyur pada waktu itu.7
Dengan sifat alami yang tidak cepat puas terhadap apa yang telah mentradisi, kemudian
membentuk kharakter seorang Descartes untuk menciptakan dunia baru dalam filsafat pada
zamannya.
Menurut Descartes, kita harus meragukan segala sesuatu yang kita tangkap dengan
pancaindra kita sampai kita akhirnya tidak bisa lagi meragukan hal itu. 8 Semua yang diragukan
disingkirkan dan trus-menerus begitu sampai kita mengetahui sesuatu secara pasti tanpa bisa
diragukan lagi. Dengan kata lain, untuk bisa sampai pada kebenaran kita perlu meragukan segala
hal, termasuk pendapat dan pengalamaan kita sendiri. Ini kita lakukan dengan mengandalkan
akal budi, dengan berpikir. Namun, keraguan metodis ini, bukalah tujuan yang harus dicapai.

5
A. Sudiarja, dkk. (Penyunting), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir Yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 19.
6
Rene Descartes was born on 31 March 1956. In 1637, when he was forty-one he set the problem of how the
human mind is related to the human body, a puzzle that has baffled Western philosophy and science ever since.
Richard Watson, Cogito Ergo Sum: The Life of Rene Descartes, (Boston: David R. Godine Publsher, 2002), p. 41.
7
K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2005), hlm. 82.
8
Sonny Keraf dan Michael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius,
2001), hlm. 46.
3|Page
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

Keraguan ini hanyalah merupakan sarana untuk bisa menemukan segala sesuatu yang bisa kita
ketahui secara pasti. Inilah yang disebut dengan dubium metodicum atau metode keragu-raguan
sebagaimana yang telah populer sejak zaman Yunani kuno oleh kaum skeptis. Dengan cara ini,
menurut Descartes, kita dapat mencapai pada kebenaran tertentu yang tidak bisa lagi diragukan,
dan ini memberi landasan yang kokoh bagi pengetahuan kita.
Ketika mempraktekkan metode ini, Descartes akhirnya sampai pada satu kenyataan yang
tidak bisa diragukannya lagi, yakni bahwa ia ada. Descartes sadar bahwa kalau ia meragukan
banyak hal, dia harus ada supaya bisa meragukan hal-hal ini. Sebaliknya, kalau tidak ada, maka
ia tidak bisa meragukan hal-hal itu. Oleh karena itu, ada satu hal yang pasti , yaitu bahwa saya
sedang meragukan segala sesuatu, saya sedang berpikir. Ini tidak bisa diragukan lagi, maka ia
mengatakan: cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada! Adanya saya sebagai manusia yang
berpikir (meragu-ragukan segala sesuatu) merupakan kebenaran yang tak terbantahkan lagi yang
menjadi landasan bagi pemikiran dan pengetahuan manusia.
Dengan demikian, hal ini mau menegaskan bahwa, berpikir atau akal budi, adalah unsur
paling pokok dari manusia, sekaligus juga bagi pengetahuan manusia. Hal itu berarti bahwa
hanya yang lolos dari seleksi akal budilah yang dapat diterima sebagai pengetahuan yang benar.
Lantas, pertanyaan kemudian dapat muncul, apakah yang mendasari pengetahuan yang berasal
dari akal budi itu merupakan kebenaran atau pengetahuan sejati? Dalam menjawab pertanyaan
ini, Descartes menyatakan bahwa, budi kita dapat dipercaya karna budi manusia berasal dari
Allah yang mahabaik. Maka pengetahuan tersebut diperoleh secara secara sistematis, matematis,
dan deduktif.9

b). Baruch de Spinoza ( 1632-1677)


Spinoza adalah orang Yahudi yang melarikan diri dari Spanyol ke Amsderdam akibat
terjadinya konflik keagamaan di sana. Pada usian 18 tahun, ia sempat menimbulkan kemarahan
komunitas Yahudi dan keluarganya karena meragukan Kitab Suci sebagai wahyu Allah,
mengecam posisi para imam Yahudi, dan mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi sebagai
“umat pilihan Allah”.10 Akibat ulahnya ini, ia dikutuk dan dikucilkan dari kalangannya. Ia
kemudian melanjutkan hidupnya sebagai seorang guru yang memberikan les prifat kepada
beberapa orang. Keadaan awal masa hidupnya inipun telah membentuk kharakter filsafatnya
yang kemudian mengkaji tentang Allah atau sebagai substansi yang melahirkan segala sesuatu.

9
Adelbert Snijders, Manusia Kebenaran, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 66.
10
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para Filsuf dari Zaman Yunani
hingga Zaman Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 210.
4|Page
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

Menurut Spinoza, Allah adalah satu-satunya substansi. Substansi dalam pengertian


Spinoza adalah ‘sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri,
artinya sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya’. Karena
Allah adalah satu-satunya substansi, hal itu berarti segala sesuatu yang ada, pernah, dan akan
ada, berasal dari pada-Nya. Dengan demikian, semua gejala plural yang bersifat jasmaniah
(mausia, flora, fauna, dsb) maupun yang bersifat rohaniah (pemikiran, perasaan, kehendak)
bukanlah hal-hal yang berdiri sendiri, melainkan ada-nya tergantung secara mutlak pada Allah.
Konsekuensinya, secara substansial tidak ada jiwa dan tubuh individual pada diri manusia, sebab
manusia hanyalah modus Allah. Dengan demikian, individualitas, jiwa, kebebasan manusia
tergantung sepenuhnya pada Allah.11
Konsep inipun berdampak pada ajarannya tentang etika atau filsafat tingkah laku. Dalam
etikanya, Spinoza bergelut pada sebuah pertanyaan. Tindakan apakah yang akan memberikan
kepada kita perasaan nikmat dan apa yang harus kita hindari karena memberikan perasaan sakit?
Menurut Spinoza, kita harus memperhatikan sebuah distingsi. Spinoza membedakan antara
emosi-emosi yang pasif dan yang aktif. Secara sepintas semua emosi kelihatan pasif. Misalnya,
saya melihat sebuah benda, dan idea benda itu membuat saya gembira, lalu saya mencintainya
dan saya menyebutnya “baik”, maka saya sama sekali pasif. Benda apapun dapat ‘kebetulan’
membuat saya merasa nikmat atau sakit. Emosi-emosi itu menguasai saya, maka saya pasif.12
Ada juga emosi yang aktif. Itulah emosi-emosi yang mengalir dari roh sejauh dia aktif,
jadi dari peningkatan pengertian saya. Semakin saya mengerti, semakin saya dapat memahami
hubungan logis antara idea-idea, semakin saya juga aktif dan tidak pasif. Dengan memperdalam
pengertian, sesuatu yang sebelumnya barang kali membuat saya sedih sekarang membuat saya
gembira. Saya bukan lagi objek pasif emosi, melakan emosi megikuti pengertian saya. Menurut
Spinoza, emosi aktif itu hanya dapat dihubungkan dengan keinginan dan nikmat, tetapi tidak
dengan perasaan sakit. Keutamaan-keutamaan positif lain yang disebut Spinoza adalah misalnya,
menguasai diri, berkepala dingin, sigap dalam keadaan bahaya.
Dengan demikian, bagi Spinoza, untuk maju secara moral, kita harus maju dalam
pengertian. Kita harus membentuk idea-idea yang sesuai dengan realitas yang jelas, agar
pandangan kita menjadi benar. Sebaliknya, ketika pengertian dangkal dan emosi-emosi pasif
mencegah kita dari menjadi diri kita sendiri. Kebenaran berarti kita mempunyai idea-idea yang
benar, termasuk tentang diri kita sendiri. Akhirnya, pengertian yang luhur yang dengannya akal

11
Simon Petrus L. Tjahjadi, Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead,
(Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 30-31.
12
Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai abad ke -19, (Yogyakarta: Kanisius,
1997), hlm. 104-105.

5|Page
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

budi kita mencapai fungsinya yang tertinggi adalah mengerti Allah karena tak ada pengertian
yang lebih luas daripada pengertian akan Allah. Semkin kita mengerti Allah, semakin kita
mencintaiNya.

c). Gottfried Wilhem Leibniz (1646-1716)


Leibniz adalah seorang pribadi yang luar biasa jenius. Ia adalah anak seorang profesor
filsafat moral di universitas Lepzig. Sebagai seorang mahasiswa, ia begitu menojol sampai
sudah diberi tawaran jabatan profesor pada usia 21 tahun.13 Iapun adalah tipe orang yang tekun
dalam belajar, dan telah menghasilkan sejumlah pengajaran filsafat, kendatipun sering tidak
terstruktur dan teratur sebagaimana para filsuf rasionalis sebelumnya.
Dalam konteks substansi, Leibniz mengungkapkan sebuah pluralitas. Menurut Leibniz,
terdapat banyak sekali substansi, jumlahnyapun tak terhingga. Tiap substansi disebutnya sebagai
monade, (Yunani: monas) berarti kesatuan. Sebagai substansi non material, monade bersifat
abadi, tidak bisa dihasilkan ataupun dimusnahkan, tidak bisa dibagi, dan tidak berjendela,
mewujudkan kesatuan yang tertutup sehingga mampu bekerja berkat daya aktif dari dalam
dirinya sendiri. Setiap monade memiliki kerja dari dan oleh dirinya sendiri yang terdiri dari
kegiatan mengamati (perceptio) dan menginginkan (appetitions). Iapun mendefinisikan monade
sebagai ‘atom-atom sejati dari alam’ maka monade itu akan menjadi ‘prinsip kehidupan’
(lebensprinzipien).
Usaha mengamati sebuah monade, menurut Leibniz terdiri dari ‘merekam’ atau seperti
sebuah cermin, memantulkan alam semesta sebagai keseluruhan. Usaha menginginkan sebuah
monade, menurut Leibniz yakni daya dorong dalam diri monade untuk bergerak secara
progresif, mulai dari usaha untuk menapat gagasan yang baru dan agak jelas hingga mencapai
gagasan yang jelas dan disadari.14 Ajaran ini kemudian diterapkan pada pandangannya tentang
pengetahuan manusia. Bagi Leibniz, pengetahuan manusia mengenai alam semesta
sesungguhnya telah ada di dalam dirinya sendiri sebagai bawaan. Pada mulanya pengetahuan itu
berbentuk gagasan yang belum disadari, namun berkat usaha dari jiwa manusia, gagasan tersebut
menjadi disadari. Dalam pengamatan indrawi, pengetahuan ini masih agak kabur sebab baru
menghasilkan suatu gagasan ang masih sedikit kejelasannya. Namun, kemudian pengetahuan
dalam pengalaman ini secara perlahan menjadi semakin jelas, hingga akhirnya muncul dalam
gagasan atau ide yang jelas sebagai suatu pemahaman. Dengan demikian, bagi Leibniz

13
Bryan Magee, The Story of Philosophy, terj. Markus Widodo & Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius,
2008), hlm. 98.
14
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrotasi dengan para Filsuf dari zaman Yunani
hingga zaman Modern, hlm. 221-222.
6|Page
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

pengalaman hanyalah proses awal dari usaha mendapatkan pengetahuan. Dalam prosesnya untuk
mendapatkan pengetahuan dalam bentuk pemahaman, rasio atau daya berpikir berusaha
menambah isi pengetahuan dari pengalaman hingga menjadi pengetahuan yang jelas dan
disadari.

3. Empirisme
Bertentangan dengan rasionalisme yang mengutamakan rasio sebagai sumber utama
pengenalan atau cara memperoleh pengetahuan, maka sesudah rasionalisme, di Inggris
muncullah suatu aliran baru yang dinamakan empirisme. Empirisme berasal dari kata empiri
(pengalaman)15 atau dari kata empeiria (Yunani) yang berarti “pengalaman indrawi”.16 Menurut
paham empirisme dalam upaya untuk memperoleh pengetahuan, didasarkan pada pengalaman
yang bersifat empiris. Adapun arti dari empiris yaitu pengalaman indera manusia. Menurut John
Locke sebagai Bapak Emprisme berkata: “waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis
buku catatan kosong, dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman
indera”.17 Oleh sebab itu, metode untuk memperoleh pengetahuan bagi penganut empirisme
adalah berdasarkan pengalaman indrawi atau pengalaman yang bisa ditangkap oleh panca indera
manusia.

a). Thomas Hobbes (1588-1679)


Hobbes lahir pada tanggal 15 April 1588 di Mamesbury dekat kota London.18 Masa kecil
bahkan kelahiran Hobbes adalah masa yang amat suram, karena pada waktu itu banyak terjadi
peperangan. Seakan tidak cukup dengan situasi yang menakutkan secara nasional,
keluarganyapun mengalami pertikaian dengan gereja setempat sehingga Hobbes dipaksa untuk
berpisah dengan keluarganya dan tinggal bersama-sama dengan pamannya. Demikianlah masa
awal kehidupan Hobbes yang telah membentuk iklim berpikirnya dari lingkungan dan konteks
dimana ia memulai kehidupannya. Kehidupan yang dipenuhi dengan pengalaman perang telah
menghantarkan Hobbes pada serangkaian pandangan tentang politik dan negara, yang
semuanyapun dialami secara konkret dalam pengalaman hidup, panca indera, yang kelak
menjadi titik tolak empirisme Hobbes.
Hobbes menganggap pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengetahuan.
Pengenalan intelektual tidak lain daripada semacam kalkulus atau perhitungan, yaitu
penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara yang berlain-lainan. Tentang dunia

15
Muharto, Fitrahlogi: Akar Perdamaian dan Konflik Sosial, (Yogyakarta: deepublish, 2012), hlm. 111.
16
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, hlm. 50.
17
Lies Sudibyo, dkk., Filsafat Ilmu, (Jakarta: deepublish, 2012), hlm. 64.
18
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, hlm. 227.
7|Page
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

dan manusia ia menganut suatu pendapat materialistis. Karena itu ajaran Hobbes merupakan
sistem materialistis yang pertama dalam sejarah filsafat modern. Menurut Hobbes, seluruh
dunia, termasuk juga manusia merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-
hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme saja.
Bagian ajaran Hobbes yang terutama menjadi masyur ialah pendapatnya dalam bidang
filsafat politik. Bukunya yang terpenting berjudul Leviathan. Ia mengingkari bahwa manusia
menurut kodratnya adalah makluk sosial. Satu-satunya kecondongan kodrati pada manusia ialah
mempertahankan adanya. Ia menyebutnya sebagai sebuah egoisme radikal: homo homini lupus
(manusia adalah serigala bagi manusia lain).19 Demikianlah, dalam keadaan itu, mansia tidak
mampu untuk mempertahankan adanya. Keadaan ini mendorong terjadinya bellum omnium
contra omnes (perang semua melawan semua). Dalam situasi ini, menuntun manusia untuk
mewujudkan situasi yang lebih teratur. Itulah sebabnya manusia mengadakan suatu perjanjian,
yaitu bahwa mereka akan takluk pada suatu kewibawaan. Dengan demiian negara timbul. Tetapi
sekarang perjanjian itu tidak dapat dicabut lagi, sehingga negara mempunyai kekuasaan absolut
terhadap warga negara.

b). John Locke (1632 – 1704)


Locke merupakan anak seorang ahli hukum Inggris bagian barat. Pada tahun 1646,
Locke dikirim Westminster, sekolah terbaik di Inggris saat itu. Selain mempelajari mata
pelajaran klasik, ia juga belajar bahasa Ibrani dan Arab. Ia melanjutkan studi ke Universitas
Oxford, di sanalah ia berkenalan dengan filsafat baru dan sains baru. Ia lulus dan mendapat gelar
dalam bidang kedokteran. Selama 4 tahun, dari 1675 sampai 1679, Locke tinggal di Prancis dan
di sana ia mempelajari karya-karya Descartes.20 Dari sini mulai nampaklah kepawaian seorang
Locke dalam hal mencari ilmu pengetahuan lewat kemampuan berpikirnya yang cemerlang.
Dengan mempelajari karya-karya Descartes, sebaliknya ia lantas menjadi pengkritisi karya-
karya tersebut.
Menurut Locke, apa yang kita alami secara langsung adalah berbagai macam isi
kesadaran kita – cinta indrawi, pikiran, perasaan, ingatan, dan sebagainya, dalam jumlah yang
luar biasa banyak. Berbagai macam isi kesadaran itu oleh Locke dinamai “ide-ide”, entah isi itu
bersifat intelektual, indrawi, emosional, atau apa pun. Yang dimaksudkan oleh Locke sebagai
ide adalah segala sesuatu yang ada secara langsung dalam kesadaran kita.21 Mengenai
pengetahuan kita tentang dunia luar, Locke berpendapat bahwa data mentah, masukan dasar,

19
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, hlm. 51.
20
Bryan Magee, The Story of Philosophy, hlm. 102.
21
Ibid, hlm. 103-104.
8|Page
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

datang kepada kita melalui indra-indra kita. Terus-menerus kita menerima kesan-kesan spesifik
mengenai terang dan gelap, merah dan kuning, dsb. Lama-lama kita akan belajar dan perlahan-
lahan terbiasa bahkan mulai berusaha untuk menamai objek atau sesuatu yang masuk dalam
kesadaran kita.
Dari sini kemudian nampaklah bahwa, Locke menekankan bahwa indra kita merupakan
satu-satunya titik singgung langsung antara diri kita dan realitas di luar diri kita. Hanya melalui
indera sajalah segala sesuatu yang dapat kita sadari dapat sampai kepada kita dari luar. Kita
mampu melakukan segala macam hal yang rumit di dalam kepala kita dengan data-data ini.
Namun, bila kita mulai melakukannya dengan dasar materi yang tidak berasal dari masukan
indrawi kita sendiri (atau orang lain), maka kita akan kehilangan satu-satunya kaitan kita dengan
realitas eksternal.22 Dalam hal ini, kerja pikiran kita tidak terkait dengan apapun yang ada di
dunia luar. Tentu saja dari sumber daya yang ada pada dirinya, benak kita mampu menghasilkan
mimpi dan segala khayalan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dunia luar. Namun,
Locke menyimpulkan bawa pengertian kita mengenai apa yang benar-benar ada dan karenanya
pemahaman kita mengeai realitas dan mengenai dunia pada akhirnya harus selalu berasal dari
apa yang telah kita lalai melalui indera, atau setidak-tidaknya dibangun atas dasar unsur-unsur
yang diturunkan dari pengalaman inderawi.

c). David Hume (1711-1776)


Hume dilahirkan dari keluarga terpandang. Ayahnya, seorang tuan tanah yang kaya,
meninggal selagi Hume masih kecil. Semasa mahasiswa di universitas Edinburgh, ia meminati
studi klasik dan secara autodidak mempelajari filsafat dan kesusasteraan. Kecenderungan ini
bertentangan denga kemauan ibunya yang menghendaki studi hukum. Lama-kelamaan menjadi
jelaslah bahwa Hume menyukai filsafat.
Hume mulai menghancurkan budi sebagai suatu prinsip. Budi, katanya tidak lebih
daripada kebiasaan adat. Bila saya menerapkan budi saya pada dunia dan memutuskan sesuatu
demikian, dasarya adalah bahwa hal itu telah berjalan seperti itu. Tetapi, hal itu tidak harus
demikian dan tidak perlu dilanjutkan. Menurut Hume, pengetahuan manusia itu terbagai 2:
impresi, yaitu apa yang kita terima dari indra. Kemudian, ide-ide yakni ingatan atau gambaran
samar dari impresi yang kita gabungkan di dalam pikiran dan penalaran.23 Karena ide-ide
terutama ditarik dari impresi, pengetahuan kita terbatas. Imajinasi kita mungkin tampak tanpa
batas, tetapi bahkan sesuatu sehebat centaur tidak lebih dari suatu kombinasi dari impresi.

22
Ibid.
23
Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat Agama Dulu dan Sekarang, (Yogyakarta: Kanisius,
2000), hlm. 73.
9|Page
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

Dengan begitu, seluruh kemampuan kreatif budi ini tidak lebih daripada kemampuan untuk
memindah, menambah, atau mengurangi bahan-bahan yang sampai kepada kita melalui panca
indera dan pengalaman.
Hume lantas sampai pada konsepnya menyangkut sebab-akibat. Dalam pandangannya,
penyebab adalah ide, bukan impresi. Bila kita melihat sebuah korek api terbakar, yang kita lihat
adalah sebuah korek api kemudian nyala. Kita tidak pernah melihat sesuatu yang sebenarnya
menyebabkan yang lain. Sebab baginya, kita tidak dapat mendeduksi akibat dari objek dan apa
yang biasanya terjadi tidak harus selalu terjadi. Penjelasan ini bersifat psikologis dan bukan
ilmiah. Inilah yang disebut sebagai skeptis mutlak tentang pengetahuan Hume.

4. Sintesis Immanuel Kant


Kant (1724-1804) lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur. Dalam
universitas di kota asalnya, ia menekuni hampir semua mata pelajaran yang diberikan dan
akhirnya menjadi profesor di sana. Dalam bidang filsafat, Kant dididik dalam suasana
rasionalisme ang pada waktu itu merajalela di universitas-universitas Jerman. Kant tidak kawin
dan selalu hidup tertib, sehingga ia dapat mencuahkan seluruh waktu dan tenaga kepada karya-
karya filosofinya.
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk memperdamaikan
rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur apriori dalam
pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman (seperti “idea-idea
bawaan”). Emprisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari
pengalaman. Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah.24 Ia
berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesa antara unsur-
unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk dan
unsur aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk dan unsur aposteriori memainkan
peranan materi. Menurut Kant, unsur apriori itu sudah terdapat pada taraf indera. Ia berpendapat
bahwa dalam pengenalan inderawi selalu ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Jadi,
ruang tidak merupakan ruang kosong, di mana benda-benda diletakkan; ruang tidak merupakan
“ruang pada dirinya” (ruang an sich). Dan waktu tidak merupakan suatu arus tetap, di mana
penginderaan-penginderaan bisa ditmpatkan. Kedua-duanya merupakan bentuk apriori dari
pengenalan inderawi. Atau dengan kata lain, kedua-duanya berakar pada struktur subjek sendiri.
Kant membedakan akal budi “verstand” dengan rasio “vernunft”. Tugas akal budi ialah
menciptakan orde antara data-data inderawi. Dengan kata lain, akal budi pengucapkan putusan-

24
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, hlm. 61.
10 | P a g e
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

putusan. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesa antara bentuk dengan materi. Materi
adalah data-data inderawi dan bentuk adalah apriori yang terdapat pada akal budi. Bentuk
apriori ini dinamakan dengan “kategori”. Kant berpendapat, ada 12 kategori, 2 di antaranya
yakni substansi dan kausalitas.25 Kemudian, tugas rasio ialah menarik kesimpulan dari putusan-
putusan (tugas akal budi). Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi-
argumentasi dengan dipimpin oleh tiga ide, yaitu jiwa, dunia, dan Allah. Ide yang dimaksudkan
Kant yakin suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala-gejala psikis
(jiwa), kejadian-kejadian jasmani (dunia), dan bidang segala-galanya yang ada (Allah). Ketiga
ide inilah yang mengatur argumentasi-argumentasi kita menyangkut pengalaman, namun
argumentasi-argumentasi yang dihasilkan bukanlah merupakan pengalaman. Demikianlah,
dengan kritisisme Imanuel Kant, usaha-usaha memperdamaikan rasionalisme dan emprisime
mulai nampak. Akan tetapi, yang kelak muncul setelah Kant, malah sesuatu yang baru lagi yang
kemudian membuka pandangan baru dalam filsafat, yakni idealisme dan yang terbesar di
antaranya adalah Hegel.

5. Idealisme Hegel
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) lahir di Stuttgart. Salah satu teman
sesamanya mahasiswa di universitas Tubingen adalah Schelling. Sementara Schelling sudah
menunjukkan kecemerlangan intelektual sejak usia mudanya, maka Hegel adalah orang yang
lebih ‘lambat panas’. Hegel pernah menjadi guru privat, editor surat kabar, kepalah sekolah, dan
akhirnya profesor filsafat pertama di universitas Heidelberg dan di Berlin. Ia sangat produktif,
dan sampai menjelang wafatnya, ia masih menjadi tokoh intelektual yang dominan di Jerman.26
Proyek para idealisme Jerman (Fichte, Schelling, Hegel) yakni penejelasan tentang
realitas. Bagi mereka, tidak ada suatu realitas pada dirinya (das ding an sich) atau suatu realitas
yang objektif belaka. Realitas seluruhnya bersifat subjektif. Realitas seluruhnya merupakan buah
hasil aktivitas suatu subjek. Yang dimaksud di sini dengan subjek bukanlah subjek perorangan
tertentu melainkan suatu subjek Absolut atau dipandang dari sudut agama, Allah. Inilah yang
kemudian disebut dengan ‘metafisika monistis’, yakni metafisika yang sangat menekankan
kesatuan realitas seluruhnya.27 Pikiran dasar mereka yakni realitas seluruhnya merupakan buah
hasil aktivitas suatu Subjek Absolut, jadi aktivitas rohani. Subjek Absolut bersifat tak terhingga
dan tidak boleh dianggap sebagai suatu substansi yang tertutup dalam dirinya, tetapi sebagai
suatu proses yang selalu berkembang terus. Demikianlah kiranya dapat dilukiskan sedikit

25
Ibid.
26
Bryan Magee, The Story of Philosophy, hlm. 158.
27
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, hlm. 64-65.
11 | P a g e
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

pemikiran dasar para idealis Jerman ini, namun sistem-sistem mereka berbeda dalam
menjelaskan tentang Subjek Absolut.
Bagi Hegel, realitas adalah suatu kesatuan organik dan realitas merupakan suatu yang
tidak berada dalam keadaan stabil, melainkan dalam suatu proses perkembangan yang terus
berlangsung. Ia memandang bahwa tujuan akhir dari perkembangan ini adalah tercapainya
pengenalan diri dan pemahaman diri. Hegel tidak memandang jiwa atau roh sebagai sesuatu
yang muncul dari alam yang tak berjiwa, melainkan bahwa eksistensi terutama terdiri dari diri
mereka sendiri dan karenanya mereka sendiri merupakan subjek dari proses historis yang
membentuk realitas.
Bagi Hegel, keseluruhan proses sejarah terjadi pada sesuatu yang olehnya disebut geist.
Yang dimaksud dengan geist adalah suatu titik tengah antara roh dan pikiran, lebih bersifat
mental daripada spirit dan lebih bersifat spiritual dari pada mind. Bagi Hegel, geist, adalah hal
yang paling mendasar dari eksistensi, yakni esensi terpenting dari keberadaan. Seluruh proses
sejarah yang membetuk realitas merupakan perkembangan dari geist menuju kesadaran dirinya
sendiri dan ke pengetahuan akan dirinya sendiri. Bila keadaan ini tercapai, segala yang ada akan
menjadi satu dengan dirinya sendiri secara harmonis. Hegel menyebut kesatuan yang sadar diri
tentang segala sesuatu ini dengan istilah ‘yang Absolut’ karena ia memandang hal yang hakiki
dari apa yang sebagai sesuatu yang bersifat non material, maka filsafatnya disebut sebagai
‘idealisme Absolut’. Hegel mengkombinasikan filsafat ini dengan kepercayaan kristen, namun
sebagian pengikutnya lebih menganggapnya sebagai suatu bentuk panteisme. Sementara
kalangan lain lagi memandangnya sebagai agama tanpa Tuhan. Yang paling radikal dari semua
pengikutnya adalah Karl Marx yang mengambil alih sebagian besar ide Hegel, namun kemudian
menjungkir-balikkannyya dengan menyatakan bahwa subjek dari seluruh proses historis ini
sama sekali tidak bersifat mental ataupun spiritual, melainkan material belaka.

6. Materialisme Karl Marx


Materialisme dapat dijelaskan secara singkat sebagai “the doctrine that all real existence
is ultimately of something material”. Bila ditelusuri ke akar sejarahnya, materialisme telah
muncul sejak masa Yunani kuno, sebagaimana ungkapan Zeno: “jiwa adalah benda padat, tidak
lebih, seperti meja misalnya.28 Paham ini hendak mengetengahkan bahwa kenyataan yang
sesungguhnya adalah benda atau materi, dan kenyataan ini diacukan untuk menjawab sejumlah
soal yang berhubungan dengan sifat dan wujud dari keberadaan. Karena itu persoalan roh atau
jiwa dalam aliran ini dianggap bukan sebagai substansi yang berdiri sendiri, tetapi dirumuskan

28
Anselmus JE Toenlioe, Teori dan Filsafat Pendidikan, (Malang: Gunung Samudera, 2016), hlm. 34.
12 | P a g e
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

sebagai akibat dari proses materi. Dengan kata lain, aspek rohani manusia dipandang sebagai
produk sampingan jasmani. Malahan dunia juga bagi paham ini dipandang sebagai sesuatu yang
tiada lain terdiri dan tergantung pada benda materi. Dengan demikian, seluruh realitas, seluruh
kejadian dapat dijabarkan kepada materi dan proses material.29
Materialisme mencapai puncaknya pada Karl Marx (1818-1883). Marx memulai
pendidikannya di Bonn dan kemudian di Berlin. Di Berlin ia terpikat oleh filsafat Hegel yang
kelak menentang pandangan-pandangannya. Karya pokok Marx adalah Das Kapital, atau
“Kapital”, yang ditulis pada tahun 1867. Pangkal pemikiran Marx adalah ajaran Hegel. Ajaran
Hegel ini kemudian digabungkan dengan filsafat Feuerbach teori revolusioner Peranis, yakni
terutama gagasan-gagasan para sosialis utopis, dan juga pandangan ekonomi negara Inggris
klasik.30
Nisbahnya dengan Hegel dapat dirumuskan demikian: Marx mengambil alih dari Hegel
metode dialektikanya dan gagasan, bahwa ada ikatan yang erat antara filsafat, sejarah dan
masyarakat. Dialektika ini dipakai sebagai metode, ditambah dengan sebuah isi yang
ertentangan sekali dengan isi ajaran Hegel. Dialektika itu dipandang sebagai asas revolusioner,
sehingga dunia bukan dipandang sebagai suatu himpunan yang terdiri dari hal-hal yang telah
selesai melainkan sebagai sebuah himpunan yang terdiri dari proses-proses. Jadi, proses ini
adalah suatu dialektis, yang diisi bukan dengan pandangan dunia yang dialektis, melainkan
dengan pandangan dunia yang materialistis. Nisbah antara Marx dan Feuerbach dapat dikatakan
demikian, bahwa Marx mengambil alih dari Feuerbach kecenderungan untuk menjelaskan hal-
hal yang rohani dari yang jasmani, serta mencurahkan segala perhatian kepada manusia yang
hidup di dalam masyarakat.
Marx setuju dengan Feuerbach yang mengajarkan bahwa manusia harus dipandang
sebagai Gattung, sebagai makhluk alamiah. Oleh karena itu segala pengertian spekulatif harus
ditolak, sebaab hanya apa yang nyatalah yang benar. Namun Marx menambahkan lagi, bahwa
manusia harus dipandang sebagai makhluk alamiah, dibedakan dengan binatang, sebab manusia
adalah akhluk yang bermasyarakat, dilibatkan ke dalam proses produksi dan hubungan kerja dan
hubungan milik. Lebih lanjut lagi, menurut Marx, agama adalah hasil proyeksi keinginan
manusia, akan tetapi Marx berpikir dan bertanya mengapa timbul keinginan-keinginan tertentu
di tengah-tengah kelompok manusia itu? Jawabannya didapatkan di dalam hubungan-hubungan
kemasyarakatan. Perasaan-perasaan dan gagasan-gagasan keagamaan adalah hasil suatu bentuk
masyarakat tertentu jikalau kita membicarakan manusia tidak boleh kita mebicarakannya sebagai

29
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 90.
30
Harun Hadiwijo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 119.
13 | P a g e
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

tokoh yang abstrak, yang berada di luar dunia ini. Manusia berarti dunia manusia, yaitu negara,
masyarakat. Inilah yang menghasilkan agama.
Tujuan materialisme Marx sesungguhnya hendak mengangkat kehidupan manusia dalam
masyarakat yang praktis, guna mengubah hidup kemasyarakatan itu.31 Maka dari itu, dalam
konteks kaitannya dengan ekonomi. Yang terpenting adalah perbuatan, bukan pikiran atau
kemauan. Marx sangat menyayangkan para filsuf terdahulu dan sejamannya yang hanya
memberi penjelasan dan keterangan tentang dunia ini, padahal yang terpenting adalah mengubah
dunia. Melalui penelitiannya, ia mengungkapkan bahwa hidup manusia seluruhnya dikuasai oleh
hubungan-hubungan ekonomis. Segala aktivitas rohani baik ilmu pengetahuan maupun kesenian,
agama, kesusilaan dan sebagainya, sebenarnya adalah endapan dari hubungan ekonomi yang
ditentukan oleh sejarah. Ia lantas menambahkan lagi, bahwa manusia tidak boleh dipandang
secaa abstrak. Ia harus dipandang secara konkret, berhubungan dengan dunia sekitarnya, sebagai
makhluk yang bekerja. Hakekat manusia adalah kerja (homo laborans, homo faber).

7. Positivisme Auguste Comte


Sesudah menilik situasi filsafat Jerman abad ke- 19, sekarang kita mengalihkan perhatian
ke Prancis pada zaman yang sama. Situasi intelektual di Prancis abad ke- 19 sangat berbeda dari
situasi Pencerahan abad ke-18. Kalau pada zaman Pencerahan terdapat kecenderungan yang kuat
untuk melawan agama, di abad ke-19 para filsuf Prancis mulai menghargai kembali peranan
dimensi rohani manusia. Dalam hal ini mereka banyak menyerap pengaruh cita-cita spiritual
idealisme Jerman yang berkembang pada abad yang sama. Sebuah aliran terpenting yang paling
berpengaruh pada abad ini adalah positivisme yang mencapai puncaknya pada Auguste Comte.
Matrialisme menjadi cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan tentang masyarakat atau
sosiologi. Sekilas, akan tampak mencolok perbedaan antara idealisme dan positivisme.
Idealisme mendukung metafisika sedangkan positivisme menolak metafisika, namun kalau
dipelajari lebih lanjut yang membedakannya hanyalah ideologis masing-masing aliran.
Auguste Comte adalah figur yang paling representatif untuk positivisme sehingga dia
dijuluki sebagai Bapak Positivisme. Pada tahun terjadinya Revolusi, ia dilahirkan di kota
Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama katolik.32 Dalam usia 25 tahun, dia
studi di Ecole Polytechnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-
pikiran kaum ideolog tetapi juga Hume. Dalam tulisan-tulisannya ia mengusahakan sintesis

31
Harun Hadiwijo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 120.
32
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, hlm. 203.
14 | P a g e
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

segala ilmu pengetahuan dengan semangat positivisme, tetapi usaha itu tidak rampung, sebab
pada taun 1857 dia meninggal dunia.
Istilah “positivisme” diperkenalkan oleh Comte. Istilah ini berasal dari kata “positif”.
Dengan ‘filsafat’ Comte mengartikan sebagai sistem umum tentang konsep-konsep manusia’,
sedangkan ‘positif’ diartikannya sebagai ‘teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta
yang teramati’. Dengan kata lain, ‘positif’ sama dengan ‘faktual’, atau apa yang berdasarkan
fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa pengetauan hendakna tidak
melampaui fakta-fakta. Dalam penegasan itu lalu jelas ang ditolak positivisme, yakni metafisika.
Penolakan metafisika di sini bersifat definitif. Dengan demikian, fakta fakta dimengerti sebagai
‘fenomena yang dapat diobservasi’, maka sebenarnya positivisme terkait erat dengan empirisme.
Akan tetapi, sementara empirisme masih menerima pengalaman subjektif yang bersifat rohani,
positivisme menolaknya sama sekali. Yang dianggap sebagai pengetahuan sejati hanyalah
pengalaman objektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi. Karena itu,
positivisme adalah ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan dalam Pencerahan Prancis.
Dalam konteks pemikirannya, Comte menjelaskan menyangkut tiga tahap perkembangan
sejarah manusia. Tahap-tahap tersebut yakni, tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positif.
Ketiga tahap ini dipahami oleh Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manisia
sebagai suatu keseluruhan, dan berkesesuaian dengan tahap-tahap perkembangan individu dari
masa kanak-kanak, melalui masa remaja, ke masa dewasa. Pada tahap teologis, menurut Comte,
umat manusia mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa-peristiwa alam dan
menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini, entah disebut
dewa-dewa atau Allah, dibayangkan memiliki kehendak atau rasio yang melampaui manusia.
Pada tahap kedua, tahap di mana kejadian-kejadian di alam dijelaskan dari konsep-konsep dan
prinsip-prinsip abstrak spekulatif filsafat. Pada tahap ketiga dan terakhir para ilmuwan
mengamati secara ilmiah bagaimana gejala alami yang satu berkaitan dengan gejala lain-lain.
Itulah metode positif.
Demikian juga dengan masyarakat dan budaya melalui tiga perkembangan. Selama
mereka mencari penjelasan bagi apa yang mereka alami di alam adi-duniawi, masyarakat berada
di tahap teologi. Apabila gejala-gejala pengalaman dijelaskan secara metafisik, masyarakat ada
dalam tahap metafisik. Baru kemudian, apabila kehidupan masyarakat masuk ke tahap positif itu
berarti, masyarakat ditentukan oleh ilmu pengetahuan positif dan secara intelektual masyarakat
menjadi dewasa.33 Kelak pola kepercayaan yang semakin mengandalkan intelektual ini akan
menjadi cikal-bakal tubuh suburnya ateisme.

33
Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 56.
15 | P a g e
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

8. Eksistensialisme Awal
Eksistensialisme dipersiapkan dalam abad ke- 19 oleh Kierkegaard dan Nietzsche.34
Eksistensialisme merupakan nama untuk macam-macam jenis filsafat. Eksistensialisme berasal
dari kata “eks” yang berarti keluar dan “sistensi” dari kata “eksistere” yang berarti tampil,
menempatkan diri, berdiri, ialah cara manusia berada di dnia ini.35 Semua jenis ini mempunyai
inti yang sama, yaitu keyakinan bahwa filsafat harus berpangkal pada adanya (eksistensi)
manusia yang konkret, dan tiak pada hakikat (esensi) manusia pada umumnya. Manusia pada
umumnya sama sekali tidak ada menurut para eksistensialis. Yang ada hanya orang ini dan itu.
Esensi seseorang ditentukan selama eksistensinya di dunia ini.

a). Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855)


Kierkegaard lahir pada tahun 1813 di Kopenhagen Denmark, sebagai anak bungsu dari
orang tua yang suda lanjut umur. Sesudah mengalami masa kanak-kanak yang tidak bahagia dan
menyendiri ia belajar di universitas.36 Di sana ia hidup memuaskan diri, kendatipun demikian
sampai akhir hidupnya perasaan sedih terus menghantui hidupnya. Tulisan-tulisannya adalah
hasil dari kehidupannya yang tragis dan menyendiri. Kierkegaard dikenal sebagai bapak
eksistensialisme kristiani.
Menurut Kierkegaard, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih
dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus
dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan
soal komitmen total seluruh pribadi individu. Berangkat dari kebebesan sebagai corak
bereksistensi, Kierkegaard dengan demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas yang
abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan konkrit.
Dialektika eksistensial yang dilontarkan oleh Kierkegaard berangkat dari gugatannya
terhadap pemahaman Hegel tentang dialektika itu sendiri. Tesis Hegel tentang dialektika
ditentang oleh Kierkegaard dengan asumsi bahwa tegangan-tegangan kunci dalam eksistensi
manusia tidak dapat didamaikan melalui pemikiran proses rasionalisasi dan dialektis. Dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa apabila Hegel memahami Roh Mutlak sebagai proses dialektis,
maka Kierkegaard memahaminya sebagai suatu perkembangan kehidupan eksistensial individu.
Oleh karena itu, Kierkegaard melukiskan kehidupan eksistensial manusia dalam tiga tahap, yaitu
tahap estetis, tahap etis dan tahap religius.37

34
Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 61.
35
A. Gunawan Setiaardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 59.
36
Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 234.
37
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, hlm. 181.
16 | P a g e
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

Terminologi estetis berasal dari kata Yunani, yang berarti mengindrai, mencecap.
Menurut Kierkegaard, pada tahap ini, individu diombang-ambingkan oleh dorongan-dorongan
indrawi dan emosi-emosinya. Akibatnya, individu yang berada dalam tahap ini tidak mencapai
suatu kesatuan batiniah yang terungkap dalam satu pendirian dan kematangan pribadi. Maka
salah satu persoalan yang ditakuti oleh individu pada tahap ini adalah rasa tidak enak dan
kebosanan. Kendatipun tahap ini merupakan tahap rendah dalam eksistensi manusia, namun
tahap ini tetap disebut sebagai tahap eksistensial, karena pada tahap ini setiap individu memiliki
pilihan bebas atas situasi-situasi yang dia hadapi.
Tahap etis merupakan suatu tahap di mana individu membuat suatu pilihan bebas atau
sebuah “lompatan eksistensial.” Lompatan eksistensial mengandaikan bahwa individu mulai
secara sadar memperhitungkan atau memilah-milah dan menggunakan kategori yang baik dan
yang jahat dalam bertindak. Kierkgaard melukiskan peralihan dari eksistensi estetis ke eksistensi
etis seperti orang yang meninggalkan kepuasan nafsu-nafsu seksualnya yang bersifat sementara
dan masuk ke dalam status perkawinan dengan menerima segala kewajibannya. Pada tahap ini
individu dapat menguasai dan mengenali dirinya. Dengan demikian, kehidupan seorang
individu pada tahap ini ditandai oleh pilihan-pilihan konkrit berdasarkan pertimbangan rasio.
Tetapi menurut Kierkegaard, kendatipun manusia telah berusaha untuk mencapai asas-asas
moral universal, namun, manusia etis masih terkungkung dalam dirinya sendiri, karena dia
masih bersikap imanen, artinya mengandalkan kekuatan rasionya belaka. Pada tahap ini,
manusia menyadari keadaannya yang tragis.38
Tahap religius merupakan tahap tertinggi dari eksistensial manusia. Dikatakan
demikian karena tahap ini tidak lagi menggeluti hal-hal yang konkrit melainkan langsung
menembus inti yang paling dalam dari manusia, yaitu pengakuan individu akan Allah sebagai
realitas Yang Absolut dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan dari
Allah. Pada tahap ini, manusia religius membiarkan diri terkena oleh mata petir rahmat Tuhan
dan dengan iman kepercayaan yang besar ia mempertaruhkan seluruh kehidupannya demi Allah.
Ia mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Tetapi, Kierkegaard
melihat bahwa iman kepercayaan Kristiani itu bersifat paradoks kendatipun hidup sebagai
kristen merupakan cara yang paling tinggi bagi manusia.

b). Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1889)


Nietzsche lahir di Rochem pada tanggal 15 Oktober 1844, anak Karl Ludwig dan
Franziska Oehler. Ayahnya adalah penndeta lutheran di kota Rochem. Belum genap Nietzsche

38
Harun Hadiwijo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 125.
17 | P a g e
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

berumur 5 tahun, ayahnya meninggal dunia tanggal 30 Juli 1849 pada umur 36 tahun.39 Sejak
awal pertumbuhannya, Nietzsche telah memperlihatkan wawasan berpikir yang luas, hal inipu
semakin dikondisikan dengan tempat-tempat kuliah serta tokoh-tokoh filsafat yang kelak
membentuk sistem berpikirnya. Cara berpikirnya pun dipengaruhi oleh lingkungan serta
kehidupan yang secara konkret telah membentuknya sebagai seorang fisuf yang berkharakter.
Secara umum kita dapat melihat 3 bagian penting dalam pandangan filsafatnya yang saling
berkaitan satu dengan yang lain: nihilisme, kehendak untuk berkuasa (the will to power), dan
ubermensch.40
Yang pertama adalah nihilisme. Nihilisme berangkat dari sebuah renungan tentang krisis
kebudayaan khususnya kebudayaan Eropa pada zamannya. Bagi Nietzsche, orang Eropa pada
zamannya tidak sanggup lagi merenungkan dirinya sendiri, yang takut merenung. Bagaikan
sebuah insight tentang apa yang hendak terjadi pada zaman sesudahnya, demikianlah teorinya.
Nihilisme semacam keruntuhan nilai dan makna yang meliputi seluruh bidang kehidupan mansia
yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu bidang keagamaan dan bidang ilmu pengetahuan.
Runtuhnya dua bidang ini membuat manusia kehilangan jaminan dan pegangan untuk
memahami dunia dan hidupnya. Situasi inilah yang Nietzsche istilahkan “Tuhan sudah mati!
Kita telah membunuhnya! Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam arti sempit, ‘matinya
Tuhan menunjuk pada runtuhnya jaminan absolut, yaitu Tuhan, yang merupakan sumber
pemaknaan dunia dan hidup manusia. Dalam arti luas, kata “Tuhan” merupakan sebuah model
untuk menunjuk bentuk jaminan kepastian untuk hidup dan manusia. Maka dari itu, kendatipun
orang sudah membunuh Tuhan, namun belum tentu mereka juga tidak menghidupkan tuhan-
tuhan yang lain. Namun bagi Nietzsche, tuhan-tuhan yang lain itu juga perlu dibunuh. Kita perlu
merevaluasi seluruh nilai yang telah ada. Tidak merasa mapan dengan nilai-nila yang sudah
dimiliki. Dengan kata lain, tidak ada kebenaran absolut bahkan baginya kebenaran merupakan
sebuah kekeliruan yang tanpanya kita tak bisa hidup.
Sebagai lanjutan atau konsekuensi dari nihilisme yakni, the will to power atau kehendak
untuk berkuasa. Bagi Nietzsche kemanusiaan didorong oleh suatu kehendak untuk berkuasa.
Semua impuls tindakan kita berasal dari kehendak ini. Seringkali kehendak untuk berkuasa ini
diubah dari ekspresinya yang semula, atau bahkan diaihkan ke bentuk lain, tapi tidak dapat
dihindari semua itu selalu bermata air di tempat yang sama.41 Bagi Nietzsche, ajaran kristen
seperti cinta kasih, kerendahan hati, keibahan adalah lawan dari the will to power. Ajaran-ajaran
ini dianggap hanya merupakan penyamaran yang cerdik dari the will to power, yang sama sekali

39
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hlm. 4-5.
40
St. Sunardi, Nietzsche, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm. 51.
41
Paul Strathern, 90 Menit bersama Nietzche, (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm. 49-50.
18 | P a g e
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

tak bisa tidak bermanfaat terutama untuk membebaskan metalitas budak. Bahkan, tindakan-
tindakan yang mulia sekalipun terungkap sebagai sesuatu yang dekaden bahkan memuakkan.
Namun demikian, Nietzsche gagal untk memberikan jawaban terhadap satu pertanyaan penting.
Jika the will to power merupakan satu-satunya ukuran, lalu bagaimana halnya dengan tindakan-
tindakan yang sejak semula sama sekali tidak memiliki will to power.
Nietzsche menginginkan kehidupan manusia yang merdeka, bukan sebagai budak yang
takut akan tuannya melainkan menjadi tuan itu sendiri. Untuk kesempurnannya, Nietzsche
memakai istilah Ubermensch. Ubermensch di sini tidak dimaksudkan sama dengan superman
yang berkonotasi stagnan melainkan memakai istilah overman, yang berkelanjutan dan di dalam
proses menjadi. Di dalam Bahasa Indonesia, mengikuti istilah yang dipakai oleh Budi
Hardiman, Ubermensch diartikan dengan kata “manusia atas”.42 Manusia atas adalah manusia
yang unggul yang lebih dari manusia lainnnya.
Bagi Nietzsche, kebudayaan yang baik adalah kebudayaan yang membuat manusia-
manusianya maju dan menjadi unggul. Sedangkan kebudayaan yang menganjurkan
sikap durschnittlich (tengah-tangah/rata-rata) hanya akan menghilangkan bakat-bakat individu
dan menjadikannya kawanan. Manusia atas adalah suatu proses terus menerus dan belum pernah
ada yang bisa mencapainya. Kawanan ini adalah kerumunan massa. Mereka adalah sarana untuk
mencapai tujuan bukan tujuan itu sendiri. Manusia adalah sarana untuk mencapai manusia atas.
Perubahan kepada manusia atas harus didahului oleh sikap manusia yang kritis dan mengadakan
transvaluasi, penjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada sampai akhirnya manusia itu mampu
menentukan nilai-nilainya sendiri. Manusia atas selalu mengakui dirinya sendiri sebagai der
Wille-zur-Macht dan tidak menutupinya dengan kedok.

Kesimpulan
Demikianlah, filsafat modern lahir sebagai bentuk konfrontasi atas kekuatan budi
manusia terhadap teologi. Selama beberapa abad, keterkukungan kekuasaan gereja telah
melemahkan kekuatan intelek untuk mengeksplorasi realitas bahkan manusia itu sendiri. Sebagai
benih dari filsafat modern yakni renaissance yang telah memberikan peluang seluas-luasnya
bagi filsafat modern untuk berkembang. Maka terlahirlah rasionalisme, empirisme, idealisme,
positivisme, dan eksistensialisme. Semuanyapun terlahir dari pemikiran-pemikiran yang
kontekstual bahkan dipengaruhi oleh pergumulan personal yang telah membentuk watak dan
cara pandang terhadap objek di luar maupun di dalam manusia. Dengan munculnya era
pemikiran filsafat modern ini, maka bukan saja pandangan-pandangan filosifis, tetapi juga ilmu

42
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, hlm. 275.
19 | P a g e
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

pengetahuan mengalami perkembangan yang pesat, yang telah banyak membantu manusia untuk
memandang dunia, bahkan berusaha untuk mengatasi permasalan yang terjadi dalam abad
modern.

Daftar Pustaka
Bertens, K. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: PT. Mizan Publika, 2005.
________ . Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1975.
Hadiwijo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hamersma, Harry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius,
2007.
Keraf, Sonny dan Michael Dua. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
Magee, Bryan. The Story of Philosophy, terj. Markus Widodo & Hardono Hadi. Yogyakarta:
Kanisius, 2008.
Magnis-Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai abad ke -19. Yogyakarta:
Kanisius, 1997.
__________________ . Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Muharto. Fitrahlogi: Akar Perdamaian dan Konflik Sosial. Yogyakarta: deepublish, 2012.
Ramly, Andi Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx. Yogyakarta: LKiS, 2009.
Setiaardja, A. Gunawan. Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Smith, Linda, William Raeper. Ide-Ide Filsafat Agama Dulu dan Sekarang. Yogyakarta:
Kanisius, 2000.
Snijders, Adelbert. Manusia Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Sudiarja, A. dkk. (Penyunting). Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir Yang
Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2006..
Sudibyo, Lies dkk. Filsafat Ilmu. Jakarta: deepublish, 2012.
Sunardi, St. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS, 2006.
Strathern, Paul. 90 Menit bersama Nietzche, (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm. 49-50.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para Filsuf dari Zaman
Yunani hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

20 | P a g e
Universitas Negeri Manado – 2017/2018 Filsafat Pendidikan

_____________________. Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead.
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Toenlioe, Anselmus JE. Teori dan Filsafat Pendidikan. Malang: Gunung Samudera, 2016.
Watson, Richard. Cogito Ergo Sum: The Life of Rene Descartes. Boston: David R. Godine
Publsher, 2002.
Wibowo, A. Setyo. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press, 2004.

Tim Penyusun:
Prodi Pendidikan IPS
Andreas Dego/17807001
Berni Katuju/17807002
Jumiani Derek/17807003
Elpianus Roy Paat/17807004
Nono W. Tudjuka/17807006
La Diman/17807007
Youke Lensun/17807008

21 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai