NORA ANDINI
Pengadilan Agama Argamakmur
Email: noraandini@gmail.co.id
Abstrak
Pemenuhan hak anak pasca perceraian ini pihak ayah sebagaian besar tidak
melaksanakan kewajibannya untuk menafkahi anaknya dan tidak adanya sanksi
hukum bagi ayah yang tidak melaksankan kewajiban tersebut. Hal inilah yang
melatar belakangi permasalahan yang diangkat, yaitu bagaimana sanksi hukum
bagi ayah yang tidak melaksanakan kewajiban nafkah terhadap anak pasca
perceraian dan bagaimana ketentuan kewajiban nafkah ayah terhadap anak pasca
perceraian dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia. Jenis
penelitian ini adalah library research, dengan bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, selanjutnya dianalisa sesuai yang diharapkan berdasarkan
analisis deskriptif normatif. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa sanksi
hukum bagi ayah yang tidak melaksanakan kewajiban nafkah terhadap anak pasca
perceraian perspektif hukum Islam terdapat disparitas, yaitu pendapat ulama'
Hanafi menyatakan nafkah anak yang telah lampau menjadi hutang ayah
meskipun ia, dalam keadaan miskin, sehingga pada saat ia sudah mampu, ayah
wajib menggantinya. Jika ayah dalam keadaan mampu, tetapi menolak
memberikan nafkah kepada anak, maka hakim wajib memaksa ayah untuk mau
membayar. Menurut mazhab Syafi'i, Hambali dan Maliki berpendapat nafkah
anak yang sudah lampau menjadi gugur kecuali jika ada putusan dari hakim.
Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia bahwa sanksi hukum bagi seorang
ayah yang melalaikan kewajiban nafkah kepada anak dapat dikenakan sanksi
perdata maupun pidana. Ketentuan hukum Islam mengenai kewajiban ayah
terhadap anak pasca perceraian yaitu lebih dibebankan kepada ayah dan seorang
ibu tidak wajib memberikan nafkah kepada anaknya. Sedangkan menurut
ketentuan hukum positif di Indonesia mengenai kewajiban ayah terhadap anak
pasca perceraian lebih diprioritaskan bagi seorang ayah, namun apabila ayah pada
kenyataannya tidak mampu, maka ibu ikut memikul biaya tersebut.
Kata Kunci: Sanksi Hukum, Kewajiban Ayah, Pasca Perceraian
ABSTRACT
The problem in this study is that there are most of fathers do not fulfill his duty to
support his son and the absence of punishment for father who do not fulfill the
obligation. This is the background of this research, the main question is how the
punishment for fathers who do not carry out the obligations of livelihoods for
children after divorce and how the provisions of the livelihood of the father to
children after divorce in the perspective of Islamic law and positive law in
Indonesia. Normative juridical method was used in this research with primary law
2
material and secondary law material, then the data were analyzed according to
expected based on normative descriptive analysis. The results showed that legal
sanctions for fathers who do not carry out their livelihood obligations to children
post-divorce of Islamic law perspective there is disparity, ie the opinion of the
'Hanafi clerics declared the previous child's living to be father's debt even though
he, in poor condition, so that by the time he capable, the father must replace it. If
the father is capable, but refuses to provide for the child, the judge is obliged to
force the father to pay. Whereas the Shafi'i school, Hambali and Maliki argue that
the life of a past child has fallen apart unless there is a verdict from the judge.
Whereas according to the positive law in Indonesia that legal sanction for a father
who neglect the obligation of livelihood to the child can be subject to civil or
criminal sanction. Then regarding with the provisions of Islamic law in terms of
the duty of the father to the child after the divorce is more charged to the father
and a mother is not obliged to provide for their children, whether there is a
husband on his side or none. Whether the women are rich or poor, a woman has
only the obligation to provide for her parents, and the slaves she has. Meanwhile,
according to the provisions of positive law in Indonesia regarding the duties of
fathers to children after divorce is more prioritized for a father, but if the father is
in fact not able, then the mother take bear the cost.
Keyword: Punishment, father obligation, after divorce
Pendahuluan
Pernikahan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan
seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perceraian dapat terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun isteri
sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga.
Perceraian tidak boleh dilakukan setiap saat yang dikehendaki.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian akan menimbulkan
berbagai macam permasalahan, salah satunya yaitu terhadap orang tua/anak.
Pasal 41 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan
bahwa:
a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya;
b. Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam kenyataannya tidak
dapat memberi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.1
1
Pasal 41 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1. Bagaimana ketentuan mengenai kewajiban nafkah ayah terhadap anak pasca
perceraian menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia?
2. Apa sanksi hukum bagi ayah yang tidak melaksanakan kewajiban nafkah
terhadap anak pasca perceraian?
Tujuan Penelitian
2
Pasal 104 ayat (1) Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
3
Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
4
Pembahasan
1. Kewajiban Nafkah Ayah Terhadap Anak Pasca Perceraian Perspektif
Hukum Islam.
Perceraian tidak mengakibatkan putusnya hubungan darah antara
orang tua dan anak. Tidak juga membebaskan orang tua dari tanggung
jawabnya, terutama tugas ayah memberi nafkah. Kewajiban memberi
nafkah itu berlangsung terus, baik selama masih dalam perkawinan
maupun setelah perkawinan putus karena perceraian. Dalam Alqur’an Q.S.
al-Baqarah (2) ayat 233 ditegaskan mengenai tanggung jawab seorang
ayah terhadap istri dan anak-anaknya apabila terjadi perceraian, yaitu:
“...Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka, dengan
cara yang patut...” Oleh sebab itu, nafkah anak setelah perceraian tetap
menjadi tanggung jawab ayahnya selama ia sanggup berusaha, dan
ketentuannya sama dengan pada waktu orang tua masih terikat dalam
perkawinan.
Dalam hukum Islam tidak ada alasan bagi ayah untuk tidak
menafkahi anak. Apakah ia seorang pengangguran, pekerjaannya tidak
tetap atau hidupnya miskin, bukanlah suatu alasan untuk tidak memberi
nafkah pada anaknya selama ia sanggup berusaha dan sehat secara fisik
maupun mental. Tidak berarti kemudian si ayah yang tidak mau berusaha
tersebut bisa lepas tangan dari tanggung jawabnya. Alasan susah untuk
mendapat pekerjaanlah yang sering kali dijadikan tameng oleh suami atau
ayah untuk tidak memberi nafkah pada anaknya. Tetapi hukum Islam tidak
bisa menerima alasan tersebut. Bagaimanapun keadaannya ayah tetap
4
H Abu Ahmad dan Cholid Narbuko, Metodelogi Penelitian,(Jakarta: Bumi Angkasa,
2002), h, 23
5
wajib memikul tanggung jawab memberi nafkah, kecuali secara fisik tidak
memungkinkan untuk bekerja.
2. Kewajiban Nafkah Ayah Terhadap Anak Pasca Perceraian Perspektif
Hukum Positif di Indonesia.
Perceraian mempunyai mempunyai akibat hukum seperti orang tua
yang sudah bercerai masih mempunyai kewajiban menafkahi anak-
anaknya, hal tersebut dituangkan dalam Pasal 149 huruf (d) KHI yang
menjelaskan bahwa “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas
suami wajib memberikan biaya Hadhanah untuk anak-anaknya yang
belum mencapai umur 21 tahun”. Sehingga segala biaya mengasuh anak
dan segala sesuatu yang diperlukan anak dibebankan kepada ayah untuk
memenuhinya. Terkait itu besarnya jumlah nominal kebutuhan si anak
dalam hal pemeliharaan dan pendidikannya ditetapkan oleh hakim,
besarnya juga disesuaikan dengan kemampuan finansial si bapak dan
banyaknya tanggungan lain yang dibebankan pada si bapak.
Ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dinyatakan kewajiban kedua orang tua pada Pasal 45 ayat (1) dan (2)
bahwa: Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya, Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam
ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak ini kawin atau dapat berdiri
sendiri kewajiban yang mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua putus.
Dicantumkan hak-hak seorang anak dalam Undang-undang Nomor
4 Tahun 1979 sebagai upaya untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan
anak, yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara
rohani, jasmani maupun sosial, terutama terpenuhinya kebutuhan pokok
anak.
Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Pasal 14 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh
orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang
sah menunjukkan bahwa pemisahan itu merupakan demi kepentingan anak
terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
3. Sanksi Hukum Bagi Ayah yang Tidak Melaksanakan Kewajiban
Nafkah Terhadap Anak Pasca Perceraian Perspektif Hukum Islam.
Berkenaan dengan kewajiban seorang ayah yang telah
melalaikan nafkah terhadap anak atau nafkah madliyah anak, menurut
mazhad Hanafiyah dan para fuqaha menyatakan bahwa nafkah anak gugur
karena lewatnya masa dan tidak dapat disebut hutang, karena kewajiban
ayah menafkahi anak adalah untuk memenuhi kebutuhan. Jika kebutuhan
itu sudah tidak ada dengan lewatnya masa maka nafkah tersebut telah
gugur. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa
nafkah anak tidak menjadi hutang bagi ayah dan gugurlah nafkah itu jika
telah lewat masanya, namun nafkah tersebut dapat menjadi hutang jika
berdasarkan ketentuan hakim, dengan alasan sang ayah yang tidak
berada di rumah dan ayah sengaja tidak memberikan nafkah.
6
5
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014), h.
354-355
6
Pasal 26 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
7
7
Pasal 41 Undang-undang No. 1 Tahun tahun 1974 tentang Perkawinan
8
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), h. 67.
8
memberikan nafkah.
2. Sanksi hukum Pendapat ulama Hanafi Sanksi perdata:
bagi ayah yang menyatakan nafkah anak 1. Seseorang dapat digugat
tidak yang telah lampau menjadi ke Pengadilan untuk
melaksanakan hutang ayah meskipun ia mengganti biaya nafkah
kewajiban dalam keadaan miskin, anak yang tidak diberikan
nafkah sehingga pada saat ia kepada anak.
terhadap anak sudah mampu, ayah wajib 2. Seseorang dapat dicabut
pasca menggantinya. Jika ayah hak kuasa asuh terhadap
perceraian dalam keadaan mampu, anaknya sebab melalaikan
tetapi menolak kewajibannya menunaikan
memberikan nafkah nafkah anak.
kepada anak, maka hakim Sanksi pidana:
wajib memaksa ayah 1. Pidana penjara paling
untuk membayar. lama 5 (lima) tahun
Mazhab Syafe’i, Hambali dan/atau denda paling
dan Maliki berpendapat banyak Rp. 100.000.000,-
nafkah anak sudah lampau (seratus juta rupiah),
menjadi gugur kecuali jika sebagaimana tercantum di
ada keputusan dari hakim. dalam Pasal 77 B
Undang-undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak.
2. Pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp.
15.000.000,- (lima belas
juta rupiah), sebagaimana
tercantum di dalam Pasal
49 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapuan
Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
KESIMPULAN
1. Ketentuan hukum Islam mengenai kewajiban ayah terhadap anak pasca
perceraian yaitu lebih dibebankan kepada ayah dan seorang ibu tidak
wajib memberikan nafkah kepada anaknya, baik itu ada suami di sisinya
maupun tidak ada, sedangkan menurut ketentuan hukum positif di
Indonesia mengenai kewajiban ayah terhadap anak pasca perceraian lebih
diprioritaskan bagi seorang ayah, namun apabila ayah pada kenyataannya
tidak mampu, maka ibu ikut memikul biaya tersebut.
2. Sanksi hukum bagi ayah yang tidak melaksanakan kewajiban nafkah
terhadap anak pasca perceraian perspektif hukum Islam terdapat disparitas,
yaitu pendapat ulama’ Ḥanafi menyatakan nafkah anak yang telah lampau
10
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, Jakarta Timur: Sinar
Grafika, 2014.
Sudikno Mertokususmo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 2005.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2006.
UUD 1945 Alinea IV
Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Mohamad Aunurrohim, “Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum
di Indonesia” dikutip dari http://www.academia.edu.com diakses 04
April 2018.
Syafruddin Kalo, “Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan
Rasa keadilan Masyarakat” dikutip dari
http://www.academia.edu.com diakses 4 April 2018.