Anda di halaman 1dari 10

1

SANKSI HUKUM BAGI AYAH YANG TIDAK MELAKSANAKAN


KEWAJIBAN NAFKAH TERHADAP ANAK PASCA PERCERAIAN
(Studi Komparatif Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)

NORA ANDINI
Pengadilan Agama Argamakmur
Email: noraandini@gmail.co.id

Abstrak
Pemenuhan hak anak pasca perceraian ini pihak ayah sebagaian besar tidak
melaksanakan kewajibannya untuk menafkahi anaknya dan tidak adanya sanksi
hukum bagi ayah yang tidak melaksankan kewajiban tersebut. Hal inilah yang
melatar belakangi permasalahan yang diangkat, yaitu bagaimana sanksi hukum
bagi ayah yang tidak melaksanakan kewajiban nafkah terhadap anak pasca
perceraian dan bagaimana ketentuan kewajiban nafkah ayah terhadap anak pasca
perceraian dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia. Jenis
penelitian ini adalah library research, dengan bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, selanjutnya dianalisa sesuai yang diharapkan berdasarkan
analisis deskriptif normatif. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa sanksi
hukum bagi ayah yang tidak melaksanakan kewajiban nafkah terhadap anak pasca
perceraian perspektif hukum Islam terdapat disparitas, yaitu pendapat ulama'
Hanafi menyatakan nafkah anak yang telah lampau menjadi hutang ayah
meskipun ia, dalam keadaan miskin, sehingga pada saat ia sudah mampu, ayah
wajib menggantinya. Jika ayah dalam keadaan mampu, tetapi menolak
memberikan nafkah kepada anak, maka hakim wajib memaksa ayah untuk mau
membayar. Menurut mazhab Syafi'i, Hambali dan Maliki berpendapat nafkah
anak yang sudah lampau menjadi gugur kecuali jika ada putusan dari hakim.
Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia bahwa sanksi hukum bagi seorang
ayah yang melalaikan kewajiban nafkah kepada anak dapat dikenakan sanksi
perdata maupun pidana. Ketentuan hukum Islam mengenai kewajiban ayah
terhadap anak pasca perceraian yaitu lebih dibebankan kepada ayah dan seorang
ibu tidak wajib memberikan nafkah kepada anaknya. Sedangkan menurut
ketentuan hukum positif di Indonesia mengenai kewajiban ayah terhadap anak
pasca perceraian lebih diprioritaskan bagi seorang ayah, namun apabila ayah pada
kenyataannya tidak mampu, maka ibu ikut memikul biaya tersebut.
Kata Kunci: Sanksi Hukum, Kewajiban Ayah, Pasca Perceraian

ABSTRACT
The problem in this study is that there are most of fathers do not fulfill his duty to
support his son and the absence of punishment for father who do not fulfill the
obligation. This is the background of this research, the main question is how the
punishment for fathers who do not carry out the obligations of livelihoods for
children after divorce and how the provisions of the livelihood of the father to
children after divorce in the perspective of Islamic law and positive law in
Indonesia. Normative juridical method was used in this research with primary law
2

material and secondary law material, then the data were analyzed according to
expected based on normative descriptive analysis. The results showed that legal
sanctions for fathers who do not carry out their livelihood obligations to children
post-divorce of Islamic law perspective there is disparity, ie the opinion of the
'Hanafi clerics declared the previous child's living to be father's debt even though
he, in poor condition, so that by the time he capable, the father must replace it. If
the father is capable, but refuses to provide for the child, the judge is obliged to
force the father to pay. Whereas the Shafi'i school, Hambali and Maliki argue that
the life of a past child has fallen apart unless there is a verdict from the judge.
Whereas according to the positive law in Indonesia that legal sanction for a father
who neglect the obligation of livelihood to the child can be subject to civil or
criminal sanction. Then regarding with the provisions of Islamic law in terms of
the duty of the father to the child after the divorce is more charged to the father
and a mother is not obliged to provide for their children, whether there is a
husband on his side or none. Whether the women are rich or poor, a woman has
only the obligation to provide for her parents, and the slaves she has. Meanwhile,
according to the provisions of positive law in Indonesia regarding the duties of
fathers to children after divorce is more prioritized for a father, but if the father is
in fact not able, then the mother take bear the cost.
Keyword: Punishment, father obligation, after divorce

Pendahuluan
Pernikahan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan
seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perceraian dapat terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun isteri
sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga.
Perceraian tidak boleh dilakukan setiap saat yang dikehendaki.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian akan menimbulkan
berbagai macam permasalahan, salah satunya yaitu terhadap orang tua/anak.
Pasal 41 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan
bahwa:
a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya;
b. Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam kenyataannya tidak
dapat memberi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.1

Tidak berbeda dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal


104 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan dengan jelas bahwa:

1
Pasal 41 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3

Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada


ayahnya, apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya
penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi
nafkah kepada ayahnya atau walinya.2

Dapat diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur


sanksi yang memiliki daya paksa mengenai uang nafkah di dalam putusan
perceraian, dapat benar-benar dilaksanakan. Karena sanksi yang memiliki
kekuatan memaksa ada pada domain hukum pidana, maka disimpulkan
bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sanksi pidana yang dapat
dijatuhkan kepada orang tua (ayah) yang mengabaikan putusan Pengadilan
Agama.
Bila ditelaah dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 9 yang menyatakan bahwa:
Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya, atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang tersebut.3

Kata menelantarkan bila dikaitkan dengan Pasal 41 huruf (b) UU


Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka Bapak/ayah yang tidak
bertanggungjawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan (nafkah) yang
diperlukan anaknya, maka dapat dikategorikan sebagai telah melakukan
tindakan penelantaran terhadap anaknya, sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat
(1) UU Nomor 23 Tahun Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga tersebut dapat dituntut dengan tindak pidana bila tidak
memenuhi kewajibannya menafkahi anaknya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalam hal
pemenuhan hak anak pasca terjadinya perceraian ini pihak ayah sebagaian
besar tidak melaksanakan kewajibannya untuk menafkahi anaknya dan tidak
adanya sanksi hukum bagi ayah yang tidak melaksanakan kewajiban nafkah
terhadap anak pasca perceraian.

Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1. Bagaimana ketentuan mengenai kewajiban nafkah ayah terhadap anak pasca
perceraian menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia?
2. Apa sanksi hukum bagi ayah yang tidak melaksanakan kewajiban nafkah
terhadap anak pasca perceraian?

Tujuan Penelitian

2
Pasal 104 ayat (1) Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
3
Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
4

1. Untuk menganalisis ketentuan mengenai kewajiban nafkah ayah terhadap anak


pasca perceraian menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui sanksi hukum bagi ayah yang tidak melaksanakan
kewajiban nafkah terhadap anak pasca perceraian.
Metode Penelitian
Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum
library research, yaitu sesuatu pendekatan masalah dengan jalan menelaah dan
mengkaji suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkompeten
untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan pemecahan masalah, sehingga
langkah-langkah dalam penelitian ini menggunakan logika yuridis.4
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan
konseptual, dengan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Prosedur yang dilakukan untuk mengolah bahan hukum dilakukan
sesuai dengan standar ilmiah penulisan karya ilmiah, yang pada umumnya
dilakukan melalui prosedur identifikasi dan inventarisasi kemudian dilakukan
klasifikasi sesuai dengan permasalahan yang dikaji.

Pembahasan
1. Kewajiban Nafkah Ayah Terhadap Anak Pasca Perceraian Perspektif
Hukum Islam.
Perceraian tidak mengakibatkan putusnya hubungan darah antara
orang tua dan anak. Tidak juga membebaskan orang tua dari tanggung
jawabnya, terutama tugas ayah memberi nafkah. Kewajiban memberi
nafkah itu berlangsung terus, baik selama masih dalam perkawinan
maupun setelah perkawinan putus karena perceraian. Dalam Alqur’an Q.S.
al-Baqarah (2) ayat 233 ditegaskan mengenai tanggung jawab seorang
ayah terhadap istri dan anak-anaknya apabila terjadi perceraian, yaitu:
“...Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka, dengan
cara yang patut...” Oleh sebab itu, nafkah anak setelah perceraian tetap
menjadi tanggung jawab ayahnya selama ia sanggup berusaha, dan
ketentuannya sama dengan pada waktu orang tua masih terikat dalam
perkawinan.
Dalam hukum Islam tidak ada alasan bagi ayah untuk tidak
menafkahi anak. Apakah ia seorang pengangguran, pekerjaannya tidak
tetap atau hidupnya miskin, bukanlah suatu alasan untuk tidak memberi
nafkah pada anaknya selama ia sanggup berusaha dan sehat secara fisik
maupun mental. Tidak berarti kemudian si ayah yang tidak mau berusaha
tersebut bisa lepas tangan dari tanggung jawabnya. Alasan susah untuk
mendapat pekerjaanlah yang sering kali dijadikan tameng oleh suami atau
ayah untuk tidak memberi nafkah pada anaknya. Tetapi hukum Islam tidak
bisa menerima alasan tersebut. Bagaimanapun keadaannya ayah tetap

4
H Abu Ahmad dan Cholid Narbuko, Metodelogi Penelitian,(Jakarta: Bumi Angkasa,
2002), h, 23
5

wajib memikul tanggung jawab memberi nafkah, kecuali secara fisik tidak
memungkinkan untuk bekerja.
2. Kewajiban Nafkah Ayah Terhadap Anak Pasca Perceraian Perspektif
Hukum Positif di Indonesia.
Perceraian mempunyai mempunyai akibat hukum seperti orang tua
yang sudah bercerai masih mempunyai kewajiban menafkahi anak-
anaknya, hal tersebut dituangkan dalam Pasal 149 huruf (d) KHI yang
menjelaskan bahwa “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas
suami wajib memberikan biaya Hadhanah untuk anak-anaknya yang
belum mencapai umur 21 tahun”. Sehingga segala biaya mengasuh anak
dan segala sesuatu yang diperlukan anak dibebankan kepada ayah untuk
memenuhinya. Terkait itu besarnya jumlah nominal kebutuhan si anak
dalam hal pemeliharaan dan pendidikannya ditetapkan oleh hakim,
besarnya juga disesuaikan dengan kemampuan finansial si bapak dan
banyaknya tanggungan lain yang dibebankan pada si bapak.
Ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dinyatakan kewajiban kedua orang tua pada Pasal 45 ayat (1) dan (2)
bahwa: Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya, Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam
ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak ini kawin atau dapat berdiri
sendiri kewajiban yang mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua putus.
Dicantumkan hak-hak seorang anak dalam Undang-undang Nomor
4 Tahun 1979 sebagai upaya untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan
anak, yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara
rohani, jasmani maupun sosial, terutama terpenuhinya kebutuhan pokok
anak.
Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Pasal 14 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh
orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang
sah menunjukkan bahwa pemisahan itu merupakan demi kepentingan anak
terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
3. Sanksi Hukum Bagi Ayah yang Tidak Melaksanakan Kewajiban
Nafkah Terhadap Anak Pasca Perceraian Perspektif Hukum Islam.
Berkenaan dengan kewajiban seorang ayah yang telah
melalaikan nafkah terhadap anak atau nafkah madliyah anak, menurut
mazhad Hanafiyah dan para fuqaha menyatakan bahwa nafkah anak gugur
karena lewatnya masa dan tidak dapat disebut hutang, karena kewajiban
ayah menafkahi anak adalah untuk memenuhi kebutuhan. Jika kebutuhan
itu sudah tidak ada dengan lewatnya masa maka nafkah tersebut telah
gugur. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa
nafkah anak tidak menjadi hutang bagi ayah dan gugurlah nafkah itu jika
telah lewat masanya, namun nafkah tersebut dapat menjadi hutang jika
berdasarkan ketentuan hakim, dengan alasan sang ayah yang tidak
berada di rumah dan ayah sengaja tidak memberikan nafkah.
6

Penulis menyimpulkan beberapa alasan yang melatar belakangi


nafkah madliyah anak dapat dianggap sebagai hutang bagi ayah, yaitu
apabila:
1. Ayah dalam kondisi mampu untuk bekerja, sehat secara fisik dan
mampu dalam segi keuangan.
2. Ayah pergi meninggalkan rumah dan sengaja melalaikan anaknya
3. Anak dalam kondisi membutuhkan nafkah dari ayah untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari
4. Ibu dalam kondisi tidak mampu bekerja, seperti dalam keadaan sakit,
atau memiliki cacat tubuh yang sehingga menghalangi pemberian
nafkah kepada anaknya.
Dengan demikian kedua orang tua walaupun sudah bercerai masih
wajib menafkahi anak-anaknya, meskipun si anak ditinggalkan bersama
ibunya, tetapi nafkahnya tetap dipikul oleh bapak. Terkait itu orang tua
tetap mempunyai kewajiban mendidik dan merawat anak hingga ia
mengerti akan kemaslahatannya sendiri. Hilman Hadikusuma dalam
Muhammad Syarifuddin dkk menjelaskan bahwa setiap anak yang belum
dewasa atau sudah dewasa (baligh) tetapi keadaan hidupnya miskin dan
tidak mempunyai harta berhak untuk mendapatkan nafkah dari orang
tuanya yang mampu.5 Terkait itu anak yang belum dewasa dan masih
menuntut ilmu pengetahuan wajib mendapatkan nafkah dari bapaknya.
Anak wanita walaupun sudah dewasa, tetapi belum kawin dan tidak
mampu, berhak mendapat nafkah dari orang tuanya yang mampu. Saat
bapak dalam kenyataannya tidak dapat melaksanakan kewajiban
membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak, maka pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul tanggung jawab membiayai
pemeliharaan dan pendidikan anak itu.
4. Sanksi Hukum Bagi Ayah yang Tidak Melaksanakan Kewajiban
Nafkah Terhadap Anak Pasca Perceraian Perspektif Hukum Positif di
Indonesia.
Pada dasarnya tidak ada celah dan ruang atau dalih apapun untuk
mengelak dari kewajiban dan tanggung jawab orang tua sesuai dengan
ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak:
Pasal 26
1) Bahwasanya orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk:
a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b) Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya; dan
c) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.6

5
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014), h.
354-355
6
Pasal 26 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
7

Ketentuan substansi dari pasal di atas sama dengan isi kandungan


dari Pasal 41 sebagai salah satu asas dalam Undang-undang No. 1 Tahun
tahun 1974 tentang perkawinan yang menjelaskan akibat dari putusnya
perkawinan karena perceraian, dimana perkawinan mempunyai akibat
terhadap anak atau keturunan dari perkawinan tersebut.
Pasal 41
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-
anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak
dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut
pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya
tersebut
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas Ayah untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri.7

Ketentuan dalam substansi Undang-Undang No. 1 tahun 1974


tentang Perkawinan di atas menunjukkan bahwa tanggung jawab seorang
Ayah kepada anaknya tidak dapat gugur meskipun antara keduanya sudah
bercerai, ataupun sudah menikah lagi. Kemudian dapat juga dipahami
bahwa ketika anak masih belum baligh, maka pemeliharaan anak
merupakan hak ibu, namun biaya menjadi tanggungan oleh ayahnya.8
Dengan demikian meskipun usia anak belum baligh dan pemeliharaannya
berada dalam otoritas ibu, akan tetapi segala yang menyangkut biaya
sepenuhnya adalah menjadi tanggung jawab Ayahnya.
Orang tua ayah jika melalaikan kewajibannya untuk menafkahi
anaknya, maka disebut dengan penelantaran, maka dapat dituntut secara
pidana sebagaimana ditegaskan dalam BAB XIA Larangan Pasal 76B
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh
melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran”. Dan
dalam Pasal 77B menjelaskan bahwa “Setiap orang yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Serinci itu Undang-undang
mengatur tentang kewajiban orang tua dalam pemenuhan nafkah anak
akibat perceraian, menurut penulis hal tersebut sudah sampai pada ranah
penelantaran anak Pasal 76B yang dilakukan oleh ayahnya karena tidak
memberikan nafkah kepada anak dengan ketentuan pidana yang diatur
dalam Pasal 77B Undang-undang No 35 tahun 2014.

7
Pasal 41 Undang-undang No. 1 Tahun tahun 1974 tentang Perkawinan
8
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), h. 67.
8

Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang menegaskan bahwa: ”Setiap orang
dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya, atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
kepada orang tersebut”. Dengan demikian jika pasal ini dikaitkan dengan
Pasal 41 huruf (b) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka
Bapak/ayah yang tidak bertanggungjawab atas biaya pemeliharaan dan
pendidikan (nafkah) yang diperlukan anaknya, maka dapat dikategorikan
sebagai telah melakukan tindakan penelantaran terhadap anaknya,
sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut.
Dikatakan lebih lanjut dalam Pasal 49 huruf a dan b Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, bahwa
ancaman pidana bagi tindakan kelalaian ayah terhadap kewajiban nafkah
anak pasca perceraian atau disebut dengan penelantaran sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang tersebut
adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Yang demikian ini menunjukkan
adanya korelasi bahwa kalau sudah terbukti adanya tindakan kelalaian atas
kewajiban nafkah pasca perceraian terhadap anak dianggap penelantaran
maka dapat dituntut secara perdata, juga dapat dituntut secara pidana.
Dengan memahami lebih mendalam berbagai peraturan
perundangan yang memberikan jaminan hukum terhadap terpenuhinya
hak-hak anak terutama terhadap anak-anak yang menjadi korban
perceraian orang tuanya sebagaimana tersebut diatas, maka orang tua
dapat dituntut secara pidana bila melalaikan kewajiban memberikan
nafkah kepada anak walaupun sudah bercerai anak tetap menjadi
kewajiban dan prioritas untuk mendapatkan hak-haknya.

SANKSI HUKUM BAGI AYAH YANG TIDAK MELAKSANAKAN


KEWAJIBAN NAFKAH TERHADAP ANAK PASCA PERCERAIAN
(Studi Komparatif Perpektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)

No Permasalahan Hukum Islam Hukum Positif di Indonesia


1. Kewajiban Lebih dibebankan kepada Kewajiban ayah terhadap
ayah terhadap ayah dan seorang ibu tidak anak pasca perceraian lebih
anak pasca wajib memberikan nafkah diprioritaskan bagi seorang
perceraian kepada anaknya. Hal ini ayah, namun apabila ayah
sejalan dengan mazhab pada kenyataannya tidak
Syafe’i, Hanafi dan mampu, maka ibu ikut
Hambali, apabila ayah memikul biaya tersebut.
tidak mampu menafkahi
anak, maka kerabat
terdekat bisa mengambil
alih peran ayah untuk
9

memberikan nafkah.
2. Sanksi hukum Pendapat ulama Hanafi Sanksi perdata:
bagi ayah yang menyatakan nafkah anak 1. Seseorang dapat digugat
tidak yang telah lampau menjadi ke Pengadilan untuk
melaksanakan hutang ayah meskipun ia mengganti biaya nafkah
kewajiban dalam keadaan miskin, anak yang tidak diberikan
nafkah sehingga pada saat ia kepada anak.
terhadap anak sudah mampu, ayah wajib 2. Seseorang dapat dicabut
pasca menggantinya. Jika ayah hak kuasa asuh terhadap
perceraian dalam keadaan mampu, anaknya sebab melalaikan
tetapi menolak kewajibannya menunaikan
memberikan nafkah nafkah anak.
kepada anak, maka hakim Sanksi pidana:
wajib memaksa ayah 1. Pidana penjara paling
untuk membayar. lama 5 (lima) tahun
Mazhab Syafe’i, Hambali dan/atau denda paling
dan Maliki berpendapat banyak Rp. 100.000.000,-
nafkah anak sudah lampau (seratus juta rupiah),
menjadi gugur kecuali jika sebagaimana tercantum di
ada keputusan dari hakim. dalam Pasal 77 B
Undang-undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak.
2. Pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp.
15.000.000,- (lima belas
juta rupiah), sebagaimana
tercantum di dalam Pasal
49 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapuan
Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.

KESIMPULAN
1. Ketentuan hukum Islam mengenai kewajiban ayah terhadap anak pasca
perceraian yaitu lebih dibebankan kepada ayah dan seorang ibu tidak
wajib memberikan nafkah kepada anaknya, baik itu ada suami di sisinya
maupun tidak ada, sedangkan menurut ketentuan hukum positif di
Indonesia mengenai kewajiban ayah terhadap anak pasca perceraian lebih
diprioritaskan bagi seorang ayah, namun apabila ayah pada kenyataannya
tidak mampu, maka ibu ikut memikul biaya tersebut.
2. Sanksi hukum bagi ayah yang tidak melaksanakan kewajiban nafkah
terhadap anak pasca perceraian perspektif hukum Islam terdapat disparitas,
yaitu pendapat ulama’ Ḥanafi menyatakan nafkah anak yang telah lampau
10

menjadi hutang ayah meskipun ia dalam keadaan miskin, sehingga pada


saat ia sudah mampu, ayah wajib menggantinya. Jika ayah dalam keadaan
mampu, tetapi menolak memberikan nafkah kepada anak, maka hakim
wajib memaksa ayah untuk mau membayar, sedangkan mazhab Syafi’i,
Hambali dan Maliki berpendapat nafkah anak yang sudah lampau menjadi
gugur kecuali jika ada putusan dari hakim. Menurut hukum positif di
Indonesia bahwa sanksi hukum bagi seorang ayah yang melalaikan
kewajiban nafkah kepada anak dapat dikenakan sanksi perdata maupun
pidana.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, Jakarta Timur: Sinar
Grafika, 2014.
Sudikno Mertokususmo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 2005.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2006.
UUD 1945 Alinea IV
Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Mohamad Aunurrohim, “Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum
di Indonesia” dikutip dari http://www.academia.edu.com diakses 04
April 2018.
Syafruddin Kalo, “Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan
Rasa keadilan Masyarakat” dikutip dari
http://www.academia.edu.com diakses 4 April 2018.

Anda mungkin juga menyukai