Dewasa ini lembaga pendidikan Tinggi Islam Negeri memasuki fase baru, yaitu suatu
keadaan ruang lingkup program akademis yang dilaksanakan dalam bentuk Institut tidak sesuai
lagi dan perlu di kembangkan kepada ruang lingkup program akdemis yang lebih luas dalam
bentuk Universitas. Konversi Institut menjadi Universitas ini sebenarnya sudah lama di rintis
oleh para pendahulu pendiri IAIN. Rencana pengembangan IAIN menjadi UIN kini semakin
diintensifkan. Namun bersamaan dengan itu masih terdapat berbagai kekhawatiran dan
permasalahan lainnya, yang perlu segera diatasi agar rencana konversi IAIN menjadi UIN itu
dapat di wujudkan. Perubahan itu sendiri tidaklah begitu sulit sepanjang pihak yang berwenang
setuju, tetapi yang amat penting dipertimbangkan adalah implikasi dari perubahan itu, antara lain
tenaga pengajar, fasilitas dan sarana, dana, konsep keilmuan, dan banyak lagi yang lain.
Semuanya menunggu pematangan untuk berdirinya Universitas Islam Negeri, pembinaan dan
perhatian terhadap IAIN adalah suatu keharusan.
III. PEMBAHASAN
A. Latar Belakang dan Tujuan Konversi IAIN menjadi UIN
Selama ini IAIN hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam. Perkembanganya dimulai
dari Akademi Dinas Ilmu Agama (ADAIA), berkembang menjadi Perguruan Tinggi Islam
(PTAIN), setelah itu berkembang lagi menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Akhir-akhir
ini dirasakan bentuk institut itu perlu dikembangkan lagi menjadi universitas. Berikut beberapa
alasan mengapa IAIN sebaiknya dikembangkan menjadi UIN:
1. Kita memerlukan pemikir yang mampu berpikir komprehensif.
Islam adalah agama yang lengkap yang mencakupi seluruh sistem kehidupan. Islam tidak
hanya berisi tuntunan tentang kepercayaan dan peribadatan ritual melainkan juga tuntunan dalam
hal mengatur urusan selain itu. Itu berarti setiap muslim harus mempelajari ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum. Ini dapat dilakukan bila ia belajar di universitas Islami.
Banyak sekali masalah umat muslim yang tidak dapat di selesaikan secara sempurna dengan
hanya menggunakan teori-teori peengetahuan agama seperti selama ini. Masalah-maslah itu baru
dapat diselesaikan secara sempurna bia menggunakan juga teori-teori pengetahuan umum. Untuk
tujuan ini IAIN harus menjadi UIN.
2. Ilmu agama memerlukan ilmu umum
Pada IAIN dibuka banyak fakultas dan jurusan, semua jurusan itu adalah jurusan yang
mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Pendalaman ilmu agama Islam itu memerlukan bantuan ilmu
umum. Jadi untuk meningkatkan ilmu agama diperlukan bantuan ilmu umum. Kebutuhan itu
secara perlahan akan terpenuhi bila IAIN dikembangkan menjadi UIN.
3. Meningkatkan harga diri sarjana dan mahasiswa muslim
Masuknya ilmu umum ke IAIN bila telah menjadi universitas akan dapat meningkatkan
harga diri sarjana dan mahasiswa muslim. Selama ini sarjana dan mahasiswa muslim kurang
dikenal di kalangan sarjana dan mahasiswa lainnya. Sebabanya antara lain karena sarjana dan
mahasiswa muslim hanya berkiprah dalam ilmu keagamaan, khususnya islam. Bila IAIN
dikembangkan menjadi universitas islami maka lapangan kiprah sarjana dan mahasiswa muslim
akan lebih luas.
4. Menghilangkan paham dikotomi agama-umum
Dikotomi antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum tidaklah sesuai dengan ajaran
Islam. Paham ini harus dihilangkan. Penyatuan kembali pengetahuan agama dan pengetahuan
umum dapat dilakukan secara sistematik di universitas islami.
5. Memenuhi harapan masyarakat muslim
Banyak sekali orangtua mahasiswa yang berharap anaknya menjadi sarjana dalam ilmu
umum yang memilki iman yang teguh dan mengetahui juga dasar-dasar agama Islam. Harapan
itu besar kemungkinan dapat dipenuhi bila anaknya belajar di universitas islami.
6. Memenuhi kebutuhan lapangan kerja
Sekarang ini, di Indonesia, banyak lapangan kerja yang spesifik Islami. Lapangan kerja itu
membutuhkan tenaga kerja muslim yang ahli di bidang itu. Di lapangan ekonomi misalnya sudah
ada bank islami. Bank islami itu berhubungan dengan perekonomian islami. Lembaga
pendidikan islami sebaiknya mampu menghasilkan tenaga kerja yang menguasai teori-teori
ekonomi islami. Tenaga itu dapat dihasilkan oleh universitas islami.[1]
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah
kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS.
al-Baqarah: 208).
Islam yang kaffah menggaris bawahi terwadahinya berbagai aspek kehidupan dalam Islam.
Pengembangan IAIN dengan demikian, bertolak dari suatu pandangan bahwa pendidikan tinggi
Islam merupakan suatu wahana pengembangan pandangan hidup yang islami, untuk
dimanifestasikan dalam sikap hidup dan ketrampilan hidupnya (manual maupun mental-sosial)
selaras dengan minat, bakat, kemampuan dan bidang keahliannya masing-masing. Pandangan ini
berimplikasi pada pendidikan Islam yang berorientasi pada peningkatan kualitas iman dan taqwa,
atau bahkan imam bagi orang yang bertaqwa. Taqwa ini terwujud dalam dua sikap yaitu itba’
syari’at Allah dan itba’ sunnattillah.
Sikap orang itba’ syari’at Allah, ditandai dengan: (1) senantiasa membaca dan memahami
ajaran dan nilai-nilai mendasar yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-sunnah; (2)
berusaha menghayatinya sambil memposisikan diri sebagai pelaku ajaran Islam yang loyal,
disamping sebagai pemikir, penalar dan pengkaji; (3) memiliki commitment yang tinggi terhadap
ajaran Islam; dan (4) siap berdedikasi dalam rangka menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam
yang rahmatan li al-‘alamin. Sedangkan sikap orang yang itba’ sunnatillah ditandai dengan: (1)
senantiasa membaca dan memahami fenomena alam, fenomena fisik dan psikhis, dan fenomena
sosial-historis, serta fenomena lainnya; (2) memposisikan diri sebagai pengamat, pengkaji
atau researcher (peneliti), sehingga memiliki daya analisis yang tajam, kritis dan dinamis dalam
memahami fenomena yang ada disekitarnya; (3) senantiasa berusaha membangun kepekaan
intelektual serta kepekaan informasi; dan (4) karena masing-masing orang mempunyai bakat,
kemampuan dan minat tertentu, maka dalam itba’ sunnatillah perlu disesuaikan dengan
kemampuan dan keahlian masing-masing, sehingga terwujudlah kematangan profesionalisme.
2. Landasan Filosofis
Dilihat dari aspek filosofis, paradigma pendidikan Islam adalah sebagai upaya pengembangan
pandangan hidup Islami, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan dimanifestasikan dalam
keterampilan hidup sehari-hari. Kehidupan yang Islami menggarisbawahi perlunya
bangunan ontologi, epistomologi, dan aksiologi ilmu pengetahuan yang tidak hanya meyakini
kebenaran sensual-indrawi, rasional-logik, dan etik-insani, tetapi juga mengakui dan meyakini
kebenaran transendental atau kebenaran intuitif.
Secara ontologis, ilmu pengetahuan agaknya bersifat netral, dalam arti ia tidak dapat bersifat
Islami, kapitalis, sosialis, komunis dan lain-lain. Tetapi, ketika menjelaskam perubahan yang ada
atau yang akan terjadi, dan/atau menerangkan cara memanfaatkan hukum alam dan
mengarahkannya ke arah tertentu, maka ilmu pengetahuan tidak benar bersifat netral. Atas dasar
inilah, maka ilmu pengetahuan tidak hanya mengajarkan “yang ada” (existence) yang dalam hal
ini dapat disebut netral, tetapi juga mengajarkan “yang akan ada” (will exist), bagaimana
mempergunakan hakekat alam semesta dan hukum-hukumnya atau temuan-temuan ilmu
pengetahuan, serta bagaimana mengarahkannya ke arah tertentu. Dalam hal ini, ada dua pilihan
yaitu, pilihan illahi (kebenaran) atau pilihan manusiawi (hawa nafsu).
Pengembangan pendidikan islam, dengan demikian, bertolak dari konstruk pemikiran atau
epistemologi bahwa yang vertikal (ajaran dan nilai-nilai ilahi) merupakan sumber konsultasi,
sentral dan didudukan sebagai ayat, furqan, hudan, dan rahmah. Sedangkan
yang horizontal (pendapat, konsep, teori, temuan-temuan ilmu pengetahuan dari sarjana muslim
atau non muslim, dan sebagainya) berada dalam posisi sejajar yang saling terjadi sharing ideas,
untuk selanjutnya dikonsultasikan pada ajaran dan nilai-nilai ilahi, terutama yang
menyangkut will exist atau dimensi aksiologis.
3. Landasan Historik
Dilihat dari aspek historik, secara garis besar sejarah Islam, menurut Harun Nasution (1995)
dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu: periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-
1800 M), dan periode modern ( 1800 M s.d sekarang). Dalam realitas sejarahnya, periode klasik
menggambarkan masa kejayaan keemasan atau kemajuan dunia Islam; masa pertengahan
menggambarkan masa kemunduran dunia Islam; dan periode modern menggambarkan masa
kebangkitan dunia Islam.
Dengan menyimak pengalaman historik tersebut, maka pengembangan berbagai program
studi umum di PTI berusaha menangkap ibrah serta mengembangkan nilai-nilai, sikap dan cara
berpikir dan perilaku ulama (ilmuan), karena hal itu dianggap mampu menghadapi tantangan
yang makin banyak dan ruwet, yang ditimbulkan oleh kemajuan IPTEK dan perubahan sosial
yang begitu pesat. Sebagai implikasinya, sistem pendidikan yang dibangun dan dikembangkan
lewat IAIN merupakan perpaduan yang sistematis dan integral antara itba’ syari’ah
Allah dan itba’ sunnatillah dalam struktur kurikulumnya, sehingga diharapkan mampu
menghasilkan ulama yang bersikap rasional dan profesional, berpandangan luas, berbudi pekerti
luhur, pengetahuannya tidak terbatas pada “ilmu keagamaan” saja, tetapi juga mencakup “ilmu
pengetahuan umum”, serta mampu berdiri sendiri (mandiri).[2]
4. Kritik Terhadap pengembangan Ilmu Pengetahuan yang diajarkan di IAIN dan UIN
Selama ini kajian yang berkembang di IAIN, sebagai mana tercermin dalam fakultas-fakultas
dan jurusan-jurusan yang ada, hanya terbatas pada pengembangan Ilmu Pengetahuan
agama Islam yang terkait langsung dengan itba’ syari’ah Allah. Pengembangan semacam itu
ternyata telah mendapat kritik, yaitu bahwa paradigma yang mendasari IAIN dewasa ini
dianggap kurang relevan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan tuntutan pembangunan
nasional, karena bersifat sangat sektoral, hanya memenuhi satu sektor tertentu dalam kehidupan
Islam di indonesia, yaitu memenuhi kebutuhan akan sarjana-sarjana yang mendapatkan
pengetahuan tinggi mengenai agama islam. IAIN dengan paradigmanya dipandang tidak
memungkinkan untuk melahirkan manusian-manusia yang kompetitif dalam era globalisasi yang
didominasi oleh Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, sehingga IAIN dituntut untuk dapat
melahirkan manusia-manusia yang mengisi IPTEK dan sekaligus hiup dalam nilai-nilai agama
(Islam).
Kritik tersebut menggaris bawahi perlunya IAIN pada dataran operasional dibangun agar
lulusannya mampu berkiprah di seluruh kehidupan dan di seluruh bidang keahlian, serta berada
pada seluruh strata kehidupan dan keahlian. Dengan kata lain, agar lulusan IAIN mampu
berkiprah dalam forum manapun, maka perlu dikembangkan bidang-bidang tugas fardlu
kifayah yang meiputi penyiapan calon-calon ulama, teknolog, psikolog, budayawan atau
satrawan, ekonom, dan lain-lain yang berspektif Islam.
Pengembangan studi umum di IAIN merupakan perwujudan dari rasa tanggungjawabnya
untuk menyiapkan calon-calon sarjana atau tenaga kependidikan yang memiliki komitmen
akademis-religius atau personal dan profesional religius. Kenyataan tersebut menggarisbawahi
perlunya pemahaman kembali tentang pengertian studi Islam di IAIN, sebagai program studi-
program studi. Suasana atau lingkungan religius di lembaga pendidikan, yang pada gilirannya
akan berdampak pada pengembangan pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup yang
berspektif Islami dalam konteks keindonesiaan, akan sulit tercipta jika tidak didukung oleh
seperangkat sarana dan prasarana serta tenaga kependidikan yang mampu mengembangkan nilai-
nilai islam. Ini semua merupakan tantangan bagi IAIN untuk menyiapkan calon-calon sarjana
yang disiapkan melalui suasana lingkungan yang kondusif bagi pengembangan nilai-nilai Islam,
salah satu caranya dengan mengembangkan program Ma’had (pesantren).[3]
IV. KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Alasan mengapa IAIN sebaiknya dikembangkan menjadi UIN:
a. Kita memerlukan pemikir yang mampu berpikir komprehensif.
b. Ilmu agama memerlukan ilmu umum
c. Meningkatkan harga diri sarjana dan mahasiswa muslim
d. Menghilangkan paham dikotomi agama-umum
e. Memenuhi kebutuhan lapangan kerja
f. Memenuhi harapan masyarakat muslim
2. Pengembangan program studi umum dari IAIN menjadi UIN
a. Landasan Normatif-Teologis
Dilihat dari aspek normatif-teologis, doktrin Islam pada dasarnya mengajarkan pada pemeluknya
untuk memasuki Islam secara kaffah (menyeluruh) sebagai lawan dari ber-Islam yang parsial.
b. Landasan Filosofis
Dilihat dari aspek filosofis, paradigma pendidikan Islam adalah sebagai upaya pengembangan
pandangan hidup Islami,
c. Landasan Historik
Dilihat dari aspek historik, secara garis besar sejarah islam, menurut Harun Nasution (1995)
dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu: periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-
1800 M), dan periode modern ( 1800 M s.d sekarang).
3. Pengembangan program studi umum dari IAIN menjadi UIN
Pengembangan studi umum di IAIN merupakan perwujudan dari rasa tanggungjawabnya untuk
menyiapkan calon-calon sarjana atau tenaga kependidikan yang memiliki komitmen akademis-
religius atau personal dan profesional religius.
4. Dampak positif dan negatif konversi IAIN menjadi UIN
a. Dampak positifnya yaitu: Perubahan IAIN menjadi UIN
- memberikan peluang dan kesempatan bagi lulusan Madrasah aliyah.
- Menjadikan lulusannya mudah diterima dimanapun dan lebih dihargai Ijazahnya daripada IAIN,
dan tidak dibedakan antara luusan dari Universitas Umum dengan UIN.
b. Dampak negatifnya yaitu: Diranah perguruan tinggi semacam UIN
- mahasiswa yang diterima ironisnya lebih banyak berasal dari SMA dibandingkan dari MA.
- Tidak banyak alumni UIN tidak bisa membaca kitab klasik mereka kebanyakan hanya bisa
membaca buku terjemahan.
DAFTAR PUSTAKA